• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran integrasi berdasarkan sub sistem kesehatan di DKI Jakarta a. Manajemen, Informasi dan Regulasi Kesehatan Penanggulangan HIV

F. Pola Integrasi di DKI Jakarta

1. Gambaran integrasi berdasarkan sub sistem kesehatan di DKI Jakarta a. Manajemen, Informasi dan Regulasi Kesehatan Penanggulangan HIV

i. Regulasi

Dukungan landasan hukum dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sudah cukup kuat. Provinsi ini memiliki dua regulasi utama, yaitu Perda No. 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah (SKD) dan Perda No.8 tahun 2008 tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Tersedianya dua regulasi ini lantas membuahkan dua dokumen utama yang menjadi panduan dalam memberikan respon penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kesehatan No 1234 tahun 2013 dan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013-2017. Dokumen regulasi SKD dibuat dengan tujuan untuk memberikan arah, pedoman, landasan dan kepastian hukum bagi setiap pemangku kepentingan pembangunan kesehatan daerah sehingga seluruh pemangku kepentingan dapat bekerja secara sinergis dan berdaya guna untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.6 Pemberantasan penyakin menular, dalam konteks ini HIV, sudah termasuk sebagai salah satu program prioritas di DKI Jakarta.

Sedangkan ruang lingkup penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta berdasarkan Perda No.5 tahun 2008 mencakup umum, promosi, pencegahan, pengobatan dan perawatan dan dukungan. Upaya pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengetahuan tentang tata cara pencegahan, penularan dan akibat yang ditimbulkan serta penyediaan layanan kesehatan yang dapat mencegah penularan HIV7. Sedangkan pengobatan ditujukan untuk ODHA didukung dengan pendekatan perawatan berbasis keluarga, masyarakat, serta dukungan pembentukan persahabatan ODHA. Yang termasuk pengobatan adalah tindakan pengobatan, tes HIV, yang wajib diberikan oleh setiap penyedia layanan kesehatan secara wajib dengan

33 azas kerahasiaan8. Sedangkan Perawatan dilakukan melalui pendekatan klinis, agama dan

pendekatan berbasis keluarga dan masyarakat tanpa diskriminasi. Bentuk dukungan dapat dilakukan oleh masyaratak dan sector terkait memalui pemberdayaan ODHA9. Perda ini juga melegitimasi peran KPAP sebagai leading sector dalam kordinasi seluruh program HIV dan AIDS di DKI Jakarta10.

Tabel 4. Daftar Kebijakan terkait HIV di DKI Jakarta

Kategori Daftar Regulasi terkait HIV di DKI Jakarta

Kepemimpinan 1. SK Walikota Jakarta Utara No.15/2008 ttg Susunan Organisasi KPAK

2. Pergub No.162/2009 ttg KPAP DKI Jakarta

3. SU Walikota Jakarta Barat No.48.2009 ttg Organisasi dan Tata Kerja KPAK Jakarta Barat

4. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 175 Tahun 2009 tanggal 19 Mei 2009 Tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara

5. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 782 Tahun 2010 tanggal 1 November 2010 tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara

6. Surat Keputusan Gubernur No. 954 tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Ketua kepada Sekretaris KPAP

7. Surat Keputusan Gubernur No. 321 tahun 2010 tentang Penunjukan Sekretaris KPAP

8. Peraturan Gubernur No. 26 tahun 2012 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS Kota

Pencegahan Pengurangan Dampak Buruk

1. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan tentang Kemandirian Penganggaran Program Harm Reduction No 3884/1.778/2009

2. Peraturan Gubernur No. 183 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat

3. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta No. 63/SE/2012 tentang Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril di DKI Jakarta

PMTS

1. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 174 tahun 2003 tentang Penetapan Kelurahan Maphar Sebagai Pilot Proyek Penggunaan Kondom 100%

2. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 1 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS di Jakarta Barat

3. Surat Edaran Kepala Sudin Kesehatan Jakarta Barat No. 2522/SE/2011 tanggal 16 Juni 2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual

4. Surat Edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 19/SE/2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV dan AIDS Melalui Transmisi Seksual untuk Pimpinan Usaha Industri Pariwisata di DKI Jakarta

5. Surat edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 983/1.858.25/2011 tentang Program Pencegahan Penanggulangan IMS dan HIV Pada Tempat Hiburan di wilayah DKI Jakarta

8 Lihat pasal 17 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 99 Lihat pasal 19 bagain 6 Perda DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 10 Lihat pasal 22 Perda DKI Jakarta No.5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

Kategori Daftar Regulasi terkait HIV di DKI Jakarta

6. Surat edaran Kelapa Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 12/SE/2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV dan AIDS untuk Pimpinan Usaha Industri Pariwisata Wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur. Perawatan, Dukungan

dan Pengobatan

1. Surat Keputusan Gubernur No. 248 tahun 2011 tentang Biaya Pemeriksaan Darah Khusus (CD4) di Rumah Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Khusus Daerah

2. Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Program Komprehensif Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS) di 3 wilayah (Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur)

3. Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Nomor 5109 tahun 2012 tentang puskesmas layanan satelit Anti Retroviral dan Rumah Sakit pengampu di DKI Jakarta

Mitigasi Dampak n/a

Situasi yang

mendukung

1. Peraturan Daerah No. 5 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta

2. MoU antara KPAP DKI Jakarta dengan 6 SKPD (POLDA Metro Jaya, Dinas Sosial, Satpol PP, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, Kanwil Kemenag) dan Forum LSM tentang Kesepakatan Operasional Kondom dan Alat Suntik Bukan Menjadi Barang Bukti

3. Renstra KPAP tahun 2013-2017

Sumber: Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta, 2008 – 2012 (KPAP, 2013)

Rangkaian regulasi ini menjadi landasan bagi pemangku kepentingan terkait HIV dan AIDS di DKI Jakarta dalam merencanakan dan mengimplementasikan programnya, termasuk menjamin partisipasi masyarakat didalamnya. Dokumen Renstra dan SRAP dibuat sebagai turunan dokumen nasional yang dikeluarkan oleh Kemkes dan KPAN. Sebanyak tiga informan menyatakan bahwa SRAP DKI Jakarta sudah digunakan sebagai acuan dalam pengembangan program, dibuat lengkap dengan baseline dan target serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang akan dilakukan. Dalam pembuatannya SRAP turut melibatkan berbagai pihak, walaupun masih ada dua informan yang mengatakan LSM tempatnya bekerja tidak dilibatkan. Terlepas dari proses dan isi dalam dokumen, enam informan merasa implementasi SRAP masih dianggap belum maksimal. Hal ini diduga karena program yang dijalankan kurang memaksimalkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) setiap SKPD dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta seperti yang dikatakan oleh dua informan. Satu informan mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat lebih untuk merespon proyek yang sedang berjalan misalnya Global Fund. Selain itu, kebijakan yang menjadi rujukan belum dievaluasi keberhasilannya sehingga tidak ada proses pembelajaran terhadap dokumen setelahnya. Selain itu otonomi daerah harus dipertimbangkan saat mengadopsi dokumen rujukan nasional.

35

“Renstra terkait penanggulangan HIV ada tetapi dianggap belum maksimal dan belum menjangkau sampai ke bawah…renstra seharusnya dibuat juga berdasarkan tugas dan kewajiban masing-masing SKPD dalam penanggulangan HIV, hal ini yang belum bisa dikeluarkan dalam renstra” (R6)

“Kebijakan dirumuskan lebih condong merespon project. GF basisnya pada renstra nasional KPAN” (R14)

“Sudah menggambarkan usaha penanggulangan HIV namun yang jadi masalah adalah implementasinya, ada kesan renstra hanya formalitas” (R10)

Keberadaan payung hukum dan rencana kerja memberikan dampak langsung pada penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Dokumen ini menjadi acuan dalam membuat perencanaan anggaran. Komitmen pemerintah daerah otomatis terlihat dari adanya anggaran APBD yang disediakan untuk respon HIV dan AIDS. Laporan NASA (2012) mencatat APBD DKI Jakarta untuk HIV pada 2012 mencapai sekitar 16 milliar rupiah. Satu informan mengatakan sebaiknya ketersediaan dana HIV yang besar harus diiringi dengan peningkatan SDM untuk mengelola dana tersebut agar dapat digunakan secara efektif. Dua informan mengatakan ketersediaan regulasi tidak serta-merta mengakui peran dan fungsi LSM dan populasi kunci.

“Sebenarnya APBD di Jakarta untuk HIV sudah cukup besar, untuk kegiatan yang dibutuhkan masyarakat, namun untuk menunjang kegiatan itu diperlukan peningkatan SDM” (R6)

“Peran SKPD lebih pada regulasi dan kebijakan, perlu mengakui adanya LSM serta fungsi dan peran mereka” (R10)

ii. Formulasi Kebijakan

Terdapat dua pendapat yang berbeda terkait proses pemuatan kebijakan terkait HIV di DKI Jakarta. Delapan informan mengatakan bahwa pembuatan kebijakan terkait HIV dan AIDS di DKI Jakarta telah dibentuk melalui berbagai proses. Data terkait HIV yang digunakan untuk memformulasikan kebijakan adalah asil surveillance terkait prevalensi HIV seperti STBP, survei sentinel, dan modeling menjadi dasar pembuatan perencanaan. Ditambah dengan hasil capaian implementasi program seperti laporan bulanan, pemetaan populasi kunci, dan data kasus HIV juga turut dipakai dalam perhitungan target. Proses pembuatan kebijakan terkait HIV dilakukan oleh KPAP dan Dinkes secara bersama dengan mengundang pemangku kepentingan terkait seperti LSM dan MPI. Dalam konteks proses pembuatan kebijakan, MPI memberikan masukan terutama terkait praktik berbasis bukti, sekaligus melihat dukungan

program yang tertera dalam agenda organisasi mereka. Namun disisi lain, lima informan mengatakan bahwa penggunaan data belum dioptimalkan dalam proses perencanaan kebijakan. Pendapat ini dilontarkan mengingat beberapa data yang digunakan bukanlah yang hasil terbaru atau tidak mempertibangkan hasil pemetaan dengan baik atau tidak dibuat berdasarkan hasil capaian tahun sebelumnya. Beberapa berpendapat bahwa koordinasi terkait hasil perencanaan tidak diinformasikan kembali dengan baik kepada pemangku kepentingan.

“Saat ini formulasi kebijakan sudah dilakukan berdasarkan data epidemi yang ada di daerah” (R16)

“Sumber informasi data…laporan bulanan, surveilan, ibbs, sentinel” (R1)

“Kritik terhadap pemerintah yang tidak mengoptimalkan data hasil pemetaan untuk perencanaan program, lebih sebagai laporan” (R15)

“Perencanaan seharusnya disesuaikan dengan hasil assessment dan evaluasi dari tahun sebelumnya, namun system pendataan masih kurang sehingga belum optimal untuk mengubah situasi yang ada” (R6, R3)

iii. Akuntabilitas

Akses publik terhadap informasi program HIV dan AIDS di DKI Jakarta belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Empat informan mengatakan yang sudah dilakukan terkait pemberian informasi sebatas pada peningkatan pengetahuan HIV saja. Hal ini dilakukan melalui berbagai cara dalam mendistribusikan informasi seperti melalui pendampingan, menggunakan teknologi berbasis SMS, siaran radio, media sosial, media dan KIE yang dikeluarkan oleh Kemkes, KPAn ataupun MPI. Namun, informasi yang lebih dalam terkait perencanaan dan penganggaran masih dinilai tertutup oleh lima informan. Mereka merasa bahwa keterlibatan masyarakat dan populasi kunci baru sebatas formalitas dan belum sepenuhnya transparan. Selain itu masalah birokrasi dan kurangnya kordinasi masih dianggap sebagai penghalang atas distribusi informasi terkait HIV di DKI Jakarta.

“…dari LSM melalui informasi saat pendampingan atau ada juga sistem gateaway melalui sms yang mengirimkan informasi2 program apa saja yang sedang berjalan” (R10)

“Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan regulasi hanya formalitas” (R5)

“LSM sebagai salah satu aktor dalam penanggulangan HIV banyak yang tidak jelas dan tidak transparan misal dalam pengelolaan proggram GF, banyak

nilai-37

nilai yang sudah hilang dan memanfaatkan komunitas hanya sebagai wadah pekerjaan saja” (R9)

Dua informan mengatakan bahwa seharusnya pemerintah lebih jeli dalam menggunakan dan memanfaatkan data dan informasi dalam perencanaan. Penentuan intervensi seharusnya melihat pada situasi epidemi di setiap daerah dan mempertimbangkan unsur desentralisasi kebijakan. Kebijakan dari tingkat nasional seharusnya hanya dilihat sebagai panduan dan harus disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan daerah.

“Desentralisasi kebijakan berpngaruh terhadap implementasi di daerah. Kebijakan di level nasional hanya ersifat pedoman saja” (R2)

b. Pembiayaan Kesehatan

i. Pengelolaan Sumber Pembiayaan

Sumber pembiayaan terkait respon HIV di DKI Jakarta dapat dipetakan menjadi empat kelompok besar. Dana yang bersumber dari pusat (APBN) biasanya bersumber dari Kemkes atau KPAN yang lantas diimplementasikan di tingkat daerah. Dana ini disediakan berdasarkan hasil pemetaan Kemkes terkait kebutuhan perluasan layanan di seluruh provinsi di Indonesia. Sedangkan dana yang bersumber lokal diambil dari APBD. Dana ini bersifat hibah sehingga pengelolaannya kurang fleksible. Dana lain adalah yang bersumber dari MPI seperti Global Fund, HCPI, FHI, Red Institute, Hivos, USAID, Asia Pacific Net Sex Workers, dan SUM. Dana yang bersumber dari donor biasanya penggunaannya disesuaikan dengan mandat organisasi yang diemban untuk dilaksanakan di Indonesia, selain itu terkadang dana sudah melekat di pusat seperti dana Global Fund dan hanya hanya dijalankan saja di daerah. Sistem pengelolaan dana dari luar negeri diatur oleh Kementerian Keuangan namun sampai saat ini belum terkelola dengan baik. Terakhir, dana yang bersumber dari perusahaan swasta dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) namun hanya berjumlah sedikit dan lebih memilih isu HIV dan AIDS. Program terkait pekerja seks misalnya, sulit didanai oleh CSR.

“Sumber pembiayaan untuk UPT dari APBN, selain itu ada dari LSM dan donor seperti GF, HCPI, red institute dan FHI” (R11)

“Pembiayaan untuk program HIV dan AIDS masih jauh dari yang diharapkan. Sistem pengelolaan dan dari luar negeri melalui kemeneterian keuangan, kecuali untuk dana non pemerintah. Negara pemberi bantuan yang semestinya memberikan informasi terkait dengan bantuan yang diberikan” (R2)

Jumlah dana penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sangat besar bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Menurut laporan evaluasi KPAP (2013) pada tahun 2012 total dana penanggulangan HIV di DKI Jakarta mencapai 22.2 milyar rupiah (lihat tabel 5 untuk informasi mengenai detil sumber anggaran). Dana ini bersumber dari APBD dan MPI yang bekerja di wilayah DKI Jakarta dengan proporsi 68% dari total anggaran merupakan dana yang bersumber APBD. Dua informan mengatakan bahwa dana HIV yang bersumber dari APBD diajukan dengan menggunakan sistem yang belaku di DKI Jakarta yaitu e-cataloque, untuk kemudian menunggu persetujuan. Sayangnya pengeluaran dana APBD masih terkendala keterlambatan. Menurut satu informan proses pengalokasian dana HIV yang berkaitan dengan sosialisasi kepada masyarakat sudah melibatkan unsur perwakilan masyarakat, walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana bentuk dan sejauhmana ketterlibatannya.

“Ada dana dialokasikan dari APBD untuk sosialisasi HIV yang melibatkan LMK (Red: Lembaga Musyawarah Kota)” (R12)

Untuk dana yang bersumber dari APBD dan Global Fund, pengeluaran dana dapat dikelompokan menjadi dana operasional dan dana program. Sebesar 28% dari total dana APBD digunakan untuk biaya operasional dan sekitar 20% untuk dana Global Fund. Sisanya diperuntukan untuk kepentingan biaya program. Hal ini terkonformasi pada pengeluaran Global Fund pada periode selanjutnya. Sebesar 36 Milyar Rupiah digunakan untuk membiayai operasional petugas pemberi layanan.

“Mulai Juli 2012 – Juni 2013 sekitar 36M, uang dari GF untuk running cost petugas di layanan” (R4)

Dana yang bersumber dari MPI digunakan sesuai dengan mandat kerja MPI di wilayah tertentu. Penyumbang dana hibat terbesar di DKI Jakarta bersumber dari Global Fund. Dua informan mengatakan MPI terkadang tidak melakukan kordinasi dan langsung memberikan dana hibah kepada LSM. Duplikasi program dengan dana APBD sangat mungkin untuk program HIV.

39

Tabel 5. Proporsi Anggaran HIV di DKI Jakarta

**Sumber: Laporan Evaluasi Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta (KPAP, 2013)

ii. Penganggaran, Proporsi, Distribusi dan Pengeluaran

Komitmen pemerintah DKI Jakarta dalam respon HIV juga dapat dilihat dari besaran dana APBD yang dikeluarkan. Sumber dana dari pemerintah untuk HIV tidak hanya bersumber dari APBD saja namun ada dukungan dana yang bersumber dari pemerintah pusat atau APBN. Tren anggaran HIV cenderung terus meningkat di DKI Jakarta. Pada tahun 2013 Dinkes mengelola dana untuk HIV sebesar 4.8 milyar. Dana yang dikelola oleh Dinkes diajukan sesuai tupoksi instansi tersebut yaitu peningkatan kapasitas sumber daya manusia kesehatan melalui pelatihan dan refreshing materi terkait IMS dan tes HIV, bimbingan teknis dan monitoring dan evaluasi. Jumlah alokasi dana yang diajukan melalui APBD mengacu pada serapan anggaran yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya. Dua informan mengatakan bahwa diperkirakan kedepannya dana HIV akan semakin meningkat. Saat ini dana HIV sudah meningkat sekitar 50% dari sebelumnya, angka ini kemungkinan besar akan terus meningkat mengingat proyeksi penurunan dukungan dari dari MPI akan bekurang. Peningkatan alokasi dana untuk HIV diperkirakan akan disalurkan melalui BLUD. UPT mengelola anggaran yang berumber baik dari APBD dan MPI. Satu informan mengungkapkan ketidaktahuannya mengenai proses dan jumlah anggaran yang tersedia di DKI Jakarta. Selain itu informan yang sama juga mengatakan masih ada tumpang tindih anggaran dan isu terkait serapan yang kurang maksimal. Dua informan mengatakan bahwa keterlibatan LSM atau masyarakat sipil

15,100 1,984 3,682.10 938 544.1 22,248 0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000

APBD GF HCPI ASA/SUM 1 SUM 2 TOTAL

Proporsi Angaran HIV DKI Jakarta (2012) (Dalam Miliar Rupiah)

dalam perencanaan anggaran masih sangat terbatas. Hal ini menimbulkan biaya yang dialokasikan masih bersifat normatif dan belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

“Penganggaran di dinkes sesuai tupoksi termasuk monev, peningkatan kapasitas SDM seperti pelatihan dan refreshing untuk IMS, VCT dan Bimtek” (R4)

“Sepertinya akan ada rencana peningkatan anggaran APBD melalui BLUD karena dana MPI akan semakin berkurang” (R8)

“Penganggaran biaya yang dilakukan belum sesuai dengan kebutuhan, selama ini dibuat secara normatif general tidak melihat kebutuhan satu persatu dilapangan”

(R16)

Dalam pengajuan dana HIV, DKI Jakarta memanfaatkan alat bantu untuk melihat kebutuhan anggaran dan membantu perencanaan seperti yang dikatakan oleh dua informan. Perangkat pertama adalah National AIDS Spending Assessment (NASA) digunakan untuk menghitung pembiayaan HIV dan AIDS di daerah sehingga pemerintah dapat mengetahui secara jelas berapa investasi domestik yang telah diberikan. Pada gambar 1 terlihat proporsi alokasi anggaran yang digunakan untuk membiayai program terkait HIV di DKI Jakarta yang bersumber dari laporan NASA (2012). Total keseluruhan dana adalah 22,248 milyar rupiah yang bersumber baik dari APBD dan MPI. Terlihat bahwa tiga alokasi terbesar dari dana digunakan untuk komponen pencegahan (41%), manajemen program (31%) dan PDP (12%). Alokasi anggaran untuk mitigasi dampak masih sangat kecil (0.23%) bila dibandingkan dengan program lain. Sedangkan perangkat kedua adalah budget tools yang dikembangkan oleh HCPI yang diberguna untuk melakukan kajian dalam memilih kebutuhan anggaran yang lebih strategis sesuai dengan kebutuhan daerah. Mengingat semua puskesmas di DKI Jakarta sudah BLUD, rencana kebutuhan anggaran dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan spesifik Puskesmas tersebut. Pada tahap akhir, Dinkes akan melakukan sinkronisasi dari seluruh anggaran yang telah diajukan oleh UPT di bawahnya untuk menghindari pengajuan kegiatan berulang.

41

Gambar 3. proporsi angagran HIV DKI Jakarta (2012)

Sumber: Laporan NASA (2012)

iii. Mekanisme Pembayaran Layanan

Secara umum penduduk DKI Jakarta mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah daerah. Pada tahun 2012 pemerintah daerah mengeluarkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) untuk menjamin pemberian layanan kesehatan bagi yang membutuhkan. Sembilan informan mengatakan bahwa saat ini jaminan kesehatan diberikan melalui BPJS mengikuti dengan kebijakan nasioanal. BPJS dapat dimiliki dengan sistem iuran ataupun non-iuran, yang diperuntukan untuk penduduk miskin. Bila tidak memiliki kartu JKN, beberapa kartu lain seperti Jamkesmas, KJS dan KIS dapat digunakan untuk membayar layanan kesehatan. Dua informan mengatakan bila layanan kesehatan tersebut tidak dapat ditanggung oleh JKN maka masih ada Jaminan Kesehatan Daerah yang dapat digunakan untuk membayar layanan. Dengan adanya jaminan kesehatan ini maka penduduk Jakarta dapat berobat secara gratis di seluruh puskesmas dan 88 rumah sakit rujukan Pemprov DKI Jakarta. Walaupun menurut pengakuan tiga informan bahwa dengan adakanya JKN tidak serta-merta membuat seluruh biaya kesehatan menjadi gratis, namun bantuan dana kesehatan dirasa cukup meringankan bebab biaya pengobatan.

Bila dibawa ke dalam konteks respon HIV dan AIDS, penggunaan jaminan kesehatan untuk kebutuhan penyakit ini masih terdapat kebingungan. Secara ketentuan, pasien dengan HIV tetap dapat dilayani dengan biaya perawatannya sesuai dengan Permenkes No. 28 tahun

41% 12% 1% 10% 4% 1% 31% 0%

Dokumen terkait