• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV &AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV &AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI UPAYA

PENANGGULANGAN HIV &AIDS

KE DALAM SISTEM KESEHATAN

Laporan Hasil Penelitian Tim Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta

di Provinsi Jakarta

UNIVERSITAS KATHOLIK

(2)

Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan

AIDS ke Dalam Sistem Kesehatan di DKI

Jakarta

(3)

1

Daftar Istilah

ABPN Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional

Alkes Alat Kesehatan

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BLUD Badan Layanan Umum Daerah

BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

CSR Corporate Social Responsibility

CST Care, Support, & Treatment

Dinkes Dinas Kesehatan Provinsi

FHI Family Health International

GFATM Global Fund to Fight Aids, Tubercolosis, and Malaria HCPI HIV Cooperation Programme for Indonesia

HR Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk)

Inpres Instruksi Presiden

IPWL Institusi Penerima Wajib Lapor JAIS Jakarta AIDS Information System

JKN Jaminan Kesehatan Nasional

Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan

KPAK Komisi Penanggulangan AIDS tingkat Kota KPAP Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi LASS Layanan Alat Suntik Steril

LKB Layanan Komprehensif dan berkesinambungan

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MDGs Millenium Development Goals

MPI Mitra Pembangunan Internasional

Musrembang Musyawarah Perencanaan Pembangunan

Nakes Tenaga kesehatan

NIK Nomor Induk Kependudukan

ODHA Orang dengan HIV/AIDS

PABM Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat

PBI Penerima Bantuan Iuran

PDP Perawatan Dukungan dan Pengobatan

PMTST

Perda Peraturan Daerah

Pergub Peraturan Gubernur Renstra Rencana Strategi

RKPD Rencana Kerja Pembangunan Daerah

RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang

SDM Sumber Daya Manusia

SIHA Sistem Informasi HIV-AIDS SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah SRAN Strategi Rencana Aksi Nasional SRAP Strategi Rencana Aksi Provinsi

(4)

Sudinkes Suku Dinas Kesehatan

SUFA Strategic Use of Anti Retro Viral

UPT Unit Pelayanan Teknis

(5)

3

Daftar Isi

DAFTAR ISTILAH 1 DAFTAR ISI 3 RINGKASAN EKSEKUTIF 4 I. PENDAHULUAN 8

A. SITUASI DAN UPAYA PENANGGULANGAN HIVAIDS DI DKIJAKARTA 8

B. PERTANYAAN PENELITIAN 12 C. TUJUAN 13 1. TUJUAN UMUM 13 2. TUJUAN KHUSUS 13 II. METODE 15 A. KERANGKA KONSEPTUAL 15

B. DESAIN DAN PROSEDUR PENELITIAN 16

C. LOKASI PENELITIAN DAN INFORMAN 16

D. ANALISA DATA 17

E. KETERBATASAN PENELITIAN 18

III. HASIL PENELITIAN 19

A. KONTEKS KEBIJAKAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKIJAKARTA 19 B. SITUASI EPIDEMI DAN PERILAKU BERISIKO TERKAIT HIV DAN AIDS DI DKIJAKARTA 20

C. RESPON PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKIJAKARTA 21 D. ANALISA PEMANGKU KEPENTINGAN PENANGGULANGAN HIVAIDS 26

E. PERAN PERGURUAN TINGGI 30

F. POLA INTEGRASI DI DKIJAKARTA 32

1. GAMBARAN INTEGRASI BERDASARKAN SUB SISTEM KESEHATAN DI DKIJAKARTA 32

2. TINGKAT INTEGRASI 58

IV. DISKUSI 66

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 69

A. KESIMPULAN 69

B. REKOMENDASI 70

(6)

Ringkasan Eksekutif

Studi ini bertujuan untuk menganalisis tingkat integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan di DKI Jakarta sehingga dapat dikembangkan rekomendasi perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah. Desain studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menggunakan mode kerangka konseptual dan analitik yang dikembangkan oleh Atun et al (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur integrasi respon pencegahan, perawatan dukungan dan pengobatan (PDP) dan mitigasi dampak yang dikembangkan untuk merespon permasalahan kesehatan tertentu ke dalam sistem kesehatan. Penelitian ini menggunakan baik data primer maupun sekunder yang dikumpulkan secara kumulatif. Data primer terkumpul dari 18 informan (7 laki-laki dan 10 perempuan, dan 1 waria) yang berkompeten membahas isu sistem kesehatan, program HIV dan AIDS serta kualitas layanan termasuk perkembangan integrasi ke sistem layanan kesehatan terutama di tingkat DKI Jakarta.

Prevalensi HIV di DKI Jakarta termasuk tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain dengan angka prevalensi HIV ditemukan di kalangan populasi yang terkonsentrasi seperti penasun, pekerja seks, LSL, dan waria. Prevalensi HIV di DKI Jakarta memberikan dampak kesehatan yang cukup serius. Dari kasus HIV yang terlaporkan, sebanyak 22.8% masuk ke dalam tahap AIDS dengan case rate kematian akibat AIDS mencapai 59.7%. Untuk menghadapi permasalahan ini respon terkait HIV di DKI Jakarta mencakup respon pencegahan yang berfokus pada pengguna napza suntik dan transmisi seksual melalui PMTS, respon PDP termasuk Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dan Strategic Use of ARV (SUFA), dan mitigasi dampak. Layanan HIV sudah tersedia merata di semua kotamadya.

Banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam respon penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta. Pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan kekuasaan tinggi adalah Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP), Puskesmas, dan Mitra Pembangunan Indonesia (MPI). Coorporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta memiliki kekuasaan tinggi dengan kepentingan rendah, sebaliknya Orang dengan HIV AIDS (ODHA) sebagai penerima manfaat memiliki kekuasaan dan kepentingan rendah. Pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan tinggi namun kekuasaan rendah adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes), Komisi Penanggulangan AIDS

(7)

5 Kota (KPAK), jaringan populasi kunci, dan lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Besarnya

kepentingan dan kekuasan banyak dipengaruhi oleh kepemilikan modal dan legitimasi payung hukum untuk melaksanakan program terkait HIV dan AIDS.

Dalam pengukuran tingkat integrasi banyak data yang tidak tersedia untuk mengukur setiap dimensi dalam sub-sistem kesehatan, terutama untuk melihat respon mitigasi dampak. Dari data yang tersedia dapat disimpulkan bahwa PDP adalah respon HIV AIDS terbanyak yang dimensinya sudah terintegrasi. Sub-sistem penyediaan farmasi dan alkes sudah terintegrasi secara penuh di kedua dimensinya. Sedangkan dalam sub-sistem lain ada beberapa dimensi yang sudah teringrasi secara penuh seperti dimensi regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem pembayaran layanan, kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Sedangkan dalam respon pencegahan dimensi dalam sub-sistem yang sudah teringrasi baru dalam tataran regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Beberapa dimensi seperti mekanisme pembayaran dan sumber daya baru terintegrasi secara parsial. Sayangnya, dari keseluruhan dimensi yang diukur dalam respon mitigasi dampak hanya tiga dimensi yang tersedia datanya, yaitu regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran serta mekanisme pembayaran layanan dengan hasil pengukuran menunjukkan bahwa dimensi tersebut tidak terintegrasi dengan sistem kesehatan di DKI Jakarta. Dengan tingkat integrasi respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak di DKI Jakarta, cakupan respon masih belum maksimal. Dari seluruh populasi kunci hanya waria yang sudah terjangkau sesuai target, sedangkan sisanya baru mencapai dibawah 45 persen. Begitupun dengan cakupan PDP yang baru mencapai 82% dari target dalam Renstra Dinkes dengan angka ODHA dalam ARV hanya mencapai 44%.

Tingkat integrasi intervensi kesehatan di suatu daerah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kurangnya tingkat integrasi dalam repson mitigasi dampak umumnya terjadi ketika respon HIV lebih berfokus pada masalah kesehatan masyarakat dan melupakan tantangan pembangunan dan manajerial yang melingkupi permasalah HIV dan AIDS. Selain itu respon HIV dan AIDS hanya dilihat sebagai masalah kesehatan saja sehingga fokus solusi terhadap masalah tidak dapat keluar dari lingkup kesehatan, dan seringkali mengabaikan aspek sosial dan ekonomi. Level integrasi yang berbeda dalam pemberian layanan umumnya terjadi

(8)

berkaitan dengan ketersediaan anggaran, kurangnya kordinasi dan pendekatan yang berbeda

dalam monitoring/surveillance program. Pada prakteknya sistem kesehatan

mengkombinasikan intervensi yang terintegasi penuh dan tidak terintegrasi. Hal yang penting adalah apakah tingkat integrasi suatu intervensi kesehatan terhadap sistem kesehatan tersebut mampu memebrikan hasil dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Untuk meningkatkan kinerja respon HIV dan AIDS dalam kaitannya dengan sistem kesehatan maka beberapa hal yang menjadi rekomendasi adalah sebagai berikut:

1. Melakukan kajian sosial dan ekonomi terkait dampak HIV dan AIDS jangka panjang, terutama dengan adanya program SUFA yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup ODHA secara bermakna. Hasil dari kajian dapat digunakan untuk melakukan inovasi program mitigasi dampak, termasuk memperluas cakupan kerjasama seperti dengan instansi terkait seperti dinas sosial, badan pemberdayaan masyarkaat perempuan dan keluarga berencana, badan pendidikan dan pelatihan provinsi; 2. Melakukan inovasi untuk mensiasati jumlah tenaga kesehatan yang terbatas dengan

melakukan task shifting atau perpindahan delegasi beberapa pekerjaan terkait HIV yang dapat dilakukan oleh kader masyarakat, LSM atau populasi kunci seperti tes HIV berbasis komunitas, konseling kepatuhan Anti Retro-Viral (ARV), konseling dan

assessment terkait kesehatan reproduksi, Program Pencegahan Penularan HIV Ibu ke Anak (PPIA) dan Keluarga Berencana, registrasi dan sistem data manajemen;

3. Melakukan standarisasi kualitas layanan HIV dan AIDS sebagai jaminan mutu dalam konteks kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), Standard Operational Procedure

(SOP), supervisi, dan dukungan teknis untuk mengimplementasi program pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan, dan mitigasi dampak;

4. Melakukan upaya persiapan SDM sejak dini dengan memasukan kurikulum HIV dan

AIDS dalam fakultas kedokteran atau fakultas kesehatan masyarakat untuk menjamin keberlanjutan SDM yang bekualitas dan mengurangi beban pelatihan SDM;

5. Melakukan affirmative action agar lebih aktif bekerja sama dan melibatkan komunitas terdampak HIV (LSM, komunitas populasi kunci) dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi program;

6. Memperjelas kepemilikan data dari Sistem Informasi HIV AIDS (SIHA) dan Integrated Behavioural and Biological Survey (IBBS) dan melakukan analisa yang lebih spesifik

(9)

7 untuk setiap komponen Promosi Pencegahan dan PDP untuk kepentingan

pengembangan program di daerah, termasuk menyediakan data dan target capaian untuk program terkait mitigasi dampak;

7. Memperhatikan dan mulai melakukan inventaris dampak desentralisasi terhadap respon HIV dan AIDS seperti tidak meratanya jumlah staf dan kualitas layanan akibat kurangnya komitmen kotamadya, serta melakukan upaya perbaikan dan solusi; 8. Memanfaatkan peran CSR perusaan swasta untuk terlibat secara aktif dalam isu HIV

secara berkelanjutan dan memfasilitasi kerjasama dengan LSM sebagai solusi keterbatasan dana yang dikelola oleh LSM untuk respon HIV.

(10)

I.

PENDAHULUAN

A. Situasi dan upaya penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta

Permasalahan HIV dan AIDS di DKI Jakarta cukup serius. Secara konsisten provinsi ini selalu menduduki urutan lima kasus HIV dan AIDS tertinggi di Indonesia dalam lima tahun terakhir (Kemkes, 2014). Sampai dengan September 2014 kasus HIV yang terlaporkan secara kumulatif berjumlah 32.782 orang. Jumlah ini kebanyakan dikontribusikan dari populasi beresiko tinggi seperti Wanita Pekerja Seks (WPS), Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), Pengguna Napza Suntik (Penasun), Lelaki Beresiko Tinggi (LBT), dan waria. Total estimasi populasi beresiko tinggi terkena HIV di Jakarta adalah 854.340 orang (KPAP, 2013). Dengan situasi ini, DKI Jakarta termasuk dalam kategori epidemi HIV terkonsentrasi. Bila tidak dikendalikan dengan baik kemungkinan besar proporsi ODHA di DKI Jakarta akan meningkat di tahun mendatang.

Untuk merespon situasi ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan serangkaian upaya penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Dengan mengacu pada Strategi dan Rencana Aksi Penanggulangan HIV dan AIDS 2013-2017 (SRAP), Pemprov DKI Jakarta bertujuan untuk mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV pada individu, keluarga dan masyarakat. Empat program utama yang dilakukan di Pemprov DKI Jakarta adalah pencegahan, perawatan, PDP), mitigasi dampak dan pengembangan kebijakan untuk lingkungan yang kondusif. Melalui program yang dilakukan DKI Jakarta memiliki target SRAP yang cukup ambisius yaitu (1) Menurunkan infeksi baru pada laki dan perempuan muda sebanyak 50 persen; (2) Menurunkan infeksi baru pada bayi dan anak sebanyak 90 persen dan menurunkan angka kematian terkait HIV sebesar 50%. Seluruh kegiatan terkait HIV dan AIDS di DKI Jakartadikoordinir olehKPAP sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 4 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Strategi dan arahan program yang terangkum dalam SRAP diharapkan dapat memperluas cakupan dan pencapaian program HIV dan AIDS sehingga berhasil mecapai target yang telah ditentukan.

Namun, perluasan program terkait HIV yang dilakukan juga dapat menimbulkan konsekuensi lebih lanjut. Jumlah orang yang mengetahu status HIV akibat banyaknya jumlah tes HIV yang dilakukan berdampak pada meningkatnya jumlah ODHA yang membutuhkan perawatan

(11)

9 kesehatan. Hal ini tentunya membutuhkan sumber daya baik dalam material dan fisik yang

banyak. Untuk menghindari overburden maka upaya pencegahan penularan HIV pada populasi kunci dan populasi umum harus dilakukan dengan lebih efektif. Selain itu, mempersiapkan perawatan dan dukungan bagi ODHA dalam jangka panjang akibat dari efektifitas pengobatan dalam menekan angka kematian ODHA juga harus dilakukan. Agar Pemprov DKI Jakarta dapat merespon tantangan ini dengan baik, diperlukan integrasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan serta pengembangan model penyediaan layanan kesehatan yang melibatkan sektor dan program lain (continuum of care) yang dilihat dari aspek promosi pecegahan, PDP dan mitigasi dampak.

Tentunya tantangan ke depan terkait penanggulangan HIV dan AIDS yang akan dihadapi DKI Jakarta memerlukan ketersediaan sumber daya baik dari sisi SDM, anggaran, pengobatan, dan perlengkapan perawatan terkait HIV. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, termasuk DKI Jakarta masih bergantung pada hibah dari inisiatif global baik bilateral maupun multilateral sebesar 40% (Nadjib, 2013). Peran inisiatif kesehatan global yang sedemikian besar dalam penanggulangan HIV dan AIDS di negara-negara berkembang ini telah memunculkan berbagai konsekuensi terhadap sistem kesehatan seperti berkembangnya sistem ganda yaitu sistem penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan pada umumnya, serta lemahnya insentif dari sistem kesehatan untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan terbatasnya integrasi layanan HIV dan AIDS dengan layanan kesehatan yang lain (Atun et al., 2010a; b; Conseil et al., 2013; Desai et al., 2010; Dongbao et al., 2008; Kawonga et al., 2012; Shakarishvili et al. 2010). Demikian pula, koordinasi berbagai upaya kesehatan dengan mengembangkan sistem perencanaan, koordinasi dan monitoring yang terpisah dari upaya kesehatan lain. Situasi ini dikhawatirkan akan memperburuk sistem kesehatan karena akan menggerus sumber daya yang tersedia untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Sehingga upaya untuk memperkuat sistem kesehatan untuk memaksimalkan integrasi penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan dibutuhkan (Atun et al., 2010; Coker et al., 2010; Kawonga, 2012).

Integrasi secara umum dikaitkan dengan upaya untuk mengadopsi dan melakukan asimilasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam fungsi-fungsi pokok sistem kesehatan. Pada tingkat penyediaan layanan, integrasi ini misalnya bisa dilakukan dengan menggabungkan layanan khusus AIDS ke dalam layanan kesehatan umum, melibatkan berbagai program

(12)

kesehatan dan sektor lain di dalam penanggulangan AIDS, menyatukan sistem pembiayaan penanggulangan AIDS dalam pembiayaan kesehatan umum dan lain-lain. Sebuah kajian tentang integrasi program AIDS dan TB di Indonesia, menunjukkan bahwa kedua program tersebut cenderung belum terintegrasi dengan fungsi sistem kesehatan secara umum (e.g. dari segi tata kelola, sistem Monitoring dan evaluasi (M&E), perencanaan, pembiayaan, dan penyediaan layanan) (Desai et al., 2010; Coker et al., 2010). Lebih lanjut, penelitian PKMK (2013) menunjukkan bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan kebijakan yang bersifat vertikal yang diinisiasi dan dikembangkan oleh pemerintah pusat dengan dukungan penuh dari lembaga kesehatan global, tetapi lemah dalam integrasinya dengan sistem kesehatan yang ada karena dibangun berdasarkan sistem yang berbeda dengan sistem kesehatan nasional. Kedua, dalam era desentralisasi seperti saat ini, pemerintah daerah dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS belum memiliki peran yang signifikan dalam pengembangan kebijakan dan program baik pencegahan, PDP, dan mitigasi dampak. Ditemukan bahwa; (a) dominasi peran pemerintah pusat dan lembaga mitra pembangunan internasional (MPI) cenderung menempatkan pemerintah daerah sebagai pelaksana program sehingga komitmen dan dukungan dana daerah terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS cenderung minimal; (b) pendanaan lokal (APBD) untuk program HIV dan AIDS cenderung sangat terbatas dan biasanya digunakan untuk kepentingan pembiayaan kesekretariatan KPAD; (c) masalah-masalah seputar akses layanan HIV dan AIDS oleh populasi kunci (e.g. keterbatasan jam layanan, jumlah dan kualifikasi petugas kesehatan khusus AIDS, sistem pembayaran, stigma & diskriminasi) masih terjadi baik di Puskesmas, RS dan klinik tes HIV lainnya; dan (d) adanya overlapping fungsi antara KPAD dan Dinkes dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah.

Sebagai sebuah permasalahan kesehatan, upaya penanggulangan HIV dan AIDS tidak bisa dilepaskan dari sistem kesehatan yang berlaku di sebuah negara. WHO (2007) mendefinisikan sistem kesehatan adalah keseluruhan organisasi, kelembagaan dan sumberdaya yang bertujuan utama untuk mewujudkan tercapainya derajat kesehatan masyarakat. Sistem kesehatan ini mencakup berbagai upaya kesehatan yang dilakukan oleh sektor pemerintah dan non pemerintah (organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta) baik pada tingkat nasional maupun sub nasional. Sistem kesehatan yang kuat akan memungkinkan respons penanggulangan HIV dan AIDS yang berkelanjutan dan terintegrasi dengan upaya kesehatan

(13)

11 yang lain. Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa integrasi

penanggulangan penyakit tertentu ke dalam sistem kesehatan memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan dan efektivitas intervensi serta mampu memperkuat sistem kesehatan yang ada (Kawonga, Blaauw, & Fonn, 2012, Shigayeva, Atun, McKee, & Coker, 2012; Shigayeva, Atun, Mckee, & Coker, 2010). Sebaliknya, pada negara dengan sistem kesehatan yang kurang kuat, integrasi dengan sistem kesehatan justru akan membahayakan karena keterbatasan sumber daya tersedia menyebabkan adanya persaingan pendanaan antar penanggulangan penyakit. Menurut Dudley & Garner (2011) integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang berimplikasi pada alokasi pendanaan untuk HIV dan AIDS yang berasal dari pemerintah yang harus bersaing dengan pendanaan bagi penyakit yang lain (Dudley & Garner, 2011).

Permasalahan integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan bukan merupakan hal yang mudah dilakukan karena melibatkan banyak pemain (dan kepentingan), infrastruktur, kebijakan dan sumber daya. Integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan menuntut upaya untuk meningkatkan efektivitas dan aksesibilitas layanan HIV dan AIDS dengan memaksimalkan sumber daya dan infrastruktur yang tersedia (Dudley and Garner, 2011). Upaya untuk mengintegrasikan dua pendekatan ini sebenarnya berisiko karena hasil-hasil yang telah dicapai melalui pendekatan vertikal bisa tidak tampak atau bahkan hilang. Selain itu, kenyataan bahwa belum terbangunnya sistem kesehatan di tingkat daerah cenderung akan mendorong pengambil kebijakan untuk meneruskan pendekatan vertikal (Godwin and Dickinson, 2012).

Meskipun demikian, sejauh ini belum ada kesimpulan yang jelas tentang pengaruh integrasi intervensi khusus ini ke dalam sistem kesehatan terhadap status kesehatan masyarakat umum karena masih terbatasnya studi tentang integrasi dan belum tersedianya metodologi yang dinilai memadai Kawonga et al., 2012 dan Coker at al., 2010). Oleh karena itu isu yang lebih mendasar bukan pada memilih satu pendekatan dari pada pendekatan yang lain atau integrasi kedua pendekatan tersebut karena variabilitas dari konteks kebijakan yang beragam, tetapi lebih melihat bahwa kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dan perlu diintegrasikan dalam porsi yang sesuai dengan kompleksitas penyediaan layanan kesehatan yang terintegrasi dan berkelanjutan berdasarkan perencanaan, koordinasi dan manajemen yang efektif (Dudley and Garner, 2011; Atun et al., 2010). Melakukan integrasi dengan

(14)

komposisi yang tepat dan praktis merupakan tantangan terbesar dan memerlukan pertimbangan yang sangat hati-hati.

Dengan demikian, permasalahan kebijakan yang perlu memperoleh perhatian dalam melihat keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia adalah: (1) bagaimana mengembangkan respon kesehatan masyarakat agar bisa mengakomodasi meningkatnya kompleksitas penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka panjang; dan (2) bagaimana mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang sudah ada untuk memastikan respon jangka panjang, meskipun sistem kesehatan yang berlaku saat ini belum optimal karena adanya berbagai hambatan baik politik, ekonomi dan sosial budaya. Pemahaman tentang dua isu kebijakan ini akan sangat membantu dalam merancang sebuah program penanggulangan HIV dan AIDS yang berkelanjutan dan efektif melalui berbagai upaya penyesuaian dari tingkat strategi dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV dan AIDS, penentuan prioritas dan mobilisasi sumber daya hingga tingkat operasional dan layanan (Atun dan Bataringaya, 2011).

Untuk bisa menjawab dua isu kebijakan di atas, Pusat Penelitian HIV dan AIDS (PPH) Unika Atma Jaya Jakarta bekerja sama dengan PKMK FK UGM melakukan penelitian tentang bagaimana “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan di wilayah DKI Jakarta”. Penelitian ini dimaksudkan untuk memetakan berbagai kekuatan dan kelemahan sistem kesehatan di DKI Jakarta dalam mendukung atau merespon permasalahan HIV dan AIDS sehingga diharapkan bisa mengidentifikasi berbagai potensi dan peluang untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini ke dalam sistem kesehatan yang ada.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, pertanyaan penelitian utama dalam studi ini adalah “Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di DKI Jakarta?”

Sedangkan pertanyaan khusus meliputi:

1. Bagaimana konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku di DKI Jakarta?

(15)

13 2. Seberapa jauh konsistensi antara regulasi dan kebijakan HIV dan AIDS di tingkat

kotamadya dan provinsi di DKI Jakarta?

3. Seberapa jauh sinergi fungsi dan peran KPA, Dinkes, lintas sektoral, dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta?

4. Seberapa besar proporsi, kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada (e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta?

5. Seberapa jauh hubungan kerja, ketenagaan dan pengembangan kapasitas antara Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non pemerintah dengan SDM kesehatan di DKI Jakarta?

6. Seberapa jauh integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis dan pemanfatan ‘I untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program di DKI Jakarta?

7. Bagaimana pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan, diagnostik dan terapi dalam kontek kebijakan jaminan kesehatan nasional di DKI Jakarta?

8. Seberapa jauh partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta?

9. Bagaimana keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan AIDS dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya manusia di DKI Jakarta?

C. Tujuan 1. Tujuan Umum

Menganalisis tingkat integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan di DKI Jakarta sehingga dapat dikembangkan rekomendasi perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah

2. Tujuan Khusus

1. Menganalisis konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku;

2. Mengukur konsistensi antara regulasi dan kebijakan HIV dan AIDS di DKI Jakarta, baik di tingkat kotamadya maupun provinsi;

(16)

3. Mengidentifikasi dan mengukur sinergi fungsi dan peran KPA, Dinkes, lintas sektoral, dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta;

4. Mengukur proporsi, kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada (e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta;

5. Mengidentifikasi hubungan kerja, ketenagaan dan pengembangan kapasitas antara Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non pemerintah dengan SDM kesehatan di DKI Jakarta;

6. Mengukur integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis di DKI Jakarta dan pemanfatan evidence/bukti untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program;

7. Mengukur pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan, diagnostik dan terapi di DKI Jakarta dalam kontek kebijakan jaminan kesehatan nasional;

8. Mengukur partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta; dan

9. Mengukur keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya manusia.

(17)

15

II.

METODE

A. Kerangka Konseptual

Penelitian ini menggunakan model konseptual dan kerangka analitik yang dikembangkan oleh Atun et al (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur integrasi respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak yang dikembangkan untuk merespon permasalahan kesehatan tertentu ke dalam sistem kesehatan. Integrasi dalam model konseptual ini didefinisikan sebagai tingkat adopsi dan asimilasi intervensi kesehatan khusus ke dalam berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan (Atun et al, 2010). Integrasi dalam sistem kesehatan melihat seberapa jauh berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan didayagunakan secara bersama-sama mendukung inovasi dalam penyelesaian permasalahan kesehatan tertentu dengan cara membangun komitmen antar aktor dalam sektor kesehatan dan memanfaatkan teknologi dan sumber daya yang tersedia (WHO, 2007). Dalam konteks di Indonesia, berbagai fungsi pokok sistem kesehatan tersebut mencakup manajemen dan regulasi kesehatan; pembiayaan; SDM; informasi strategis; penyediaan layanan, dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana ditentukan dalam sistem kesehatan nasional di Indonesia (Perpres 72 tahun 2012).

Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan akan dipengaruhi oleh (1) karakteristik permasalahan, kebijakan, dan program HIV dan AIDS (pencegahan, PDP dan dampak mitigasi), (2) interaksi berbagai aktor-aktor yang berkepentingan di dalam sistem kesehatan dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, (3) karakteristik sistem kesehatan dan interakasi antar fungsi-fungsi pokok dalam sistem kesehatan, dan (4) konteks politik, sosial, dan budaya dimana penanggulangan HIV dan AIDS ini dilaksanakan termasuk desentralisasi (Atun et al, 2010, Coker et al, 2010). Beranjak dari pemahaman ini, maka model konseptual untuk penelitian ini dikembangkan dengan mengasumsikan bahwa keempat komponen saling berinteraksi secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat integrasi dan menentukan kinerja sistem kesehatan yang meliputi cakupan, aksesiblitas, pemerataan, kualitas dan keberlanjutan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Model konseptual bisa dilihat pada gambar 1 di bawah ini.

(18)

Gambar 1. Kerangka Konseptual

B. Desain dan prosedur penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ditetapkan. Dalam desain awal, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam. Namun pada pelaksanaannya, data yang diperoleh dari diskusi kelompok terarah tidak digunakan dalam

analisa hasil mengingat sumber data hanya berasal dari dua informan dan tidak cukup kaya untuk melihat ‘kesepakatan’ terhadap isu yang ditanyakan. Data primer yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam digunakan sebagai data utama dalam melakukan analisa. Untuk memperkaya hasil, data sekunder terkait respon HIV turut dikumpulkan. Secara keseluruhan, durasi waktu penelitian berlangsung sejak Januari – September 2014, yang meliputi beberapa tahapan sebagai berikut: mempertajam perangkat penelitian, persiapan lapangan, pengambilan data primer, pengumpulan data sekunder analisa dan penulisan laporan.

C. Lokasi penelitian dan Informan

DKI Jakarta menjadi fokus lokasi pengambilan data dalam penelitian ini. Terdapat beberapa kriteria informan yang digunakan dalam penelitian ini seperti: anggota KPAP, SKPD dengan

(19)

17 tugas pokok dan fungsi yang bersinggungan dengan respon HIV, Organisasi Masyarakat Sipil

(OMS) yang terdaftar sebagai mitra kerja KPAP dan mempunya keterlibatan dalam respon AIDS, dan perwakilan populasi kunci. Secara total, terdapat 18 informan yang melakukan wawancara untuk penelitian ini (10 perempuan, 7 lelaki dan 1 waria) yang dikategorikan dalam informan dari MPI, SKPD, OMS, Populasi Kunci, dan penyedia layanan terkait HIV seperti terlihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Informan Penelitian.

Kategori Gender Total

L P W MPI 1 3 - 4 LSM 3 - 3 OMS 1 1 1 3 Jaringan Ponci - 2 - 2 SKPD 1 4 - 5 Layanan 1 - - 1 TOTAL 7 10 1 18

Sumber: hasil pengolahan data

D. Analisa data

Kerangka analisis yang digunakan adalah kerangka logik pendekatan induksi (Creswel, 2003) dan prinsip grounded teori (Glaser & Strauss, 1967; Strauss & Corbin, 1998) yang menitikberatkan pada pengembangan tema dan kategori-kategori yang muncul dalam penelitian. Hasil-hasil verbatim dari wawancara mendalam diklasifikasikan, dikoding, dan dianalisis sesuai dengan tema-tema yang muncul di sesuai dengan tujuh dimensi sub-sistem kesehatan seperti; Manajemen, Informasi & Regulasi Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan, Sumber Daya Manusia (SDM), Informasi Strategis, dan Pemberdayaan Masyarakat. Setiap data yang didapat diklasifikasikan sesuai kata kunci yang dipersiapkan sebelumnya dalam setiap dimensi sub-sistem. Dalam mengukur integrasi beberapa pertanyaan reflektif disiapkan untuk membantu peneliti dalam memberikan penilaian terhadap situasi penanggulangan HIV dan AIDS yang terjadi di DKI Jakarta. Penentuan tingkat integrasi mengacu pada prinsip-prinsip yang digunakan pada penelitian sebelumnya (Conseil et al., 2010; Desai et al., 2010).

(20)

E. Keterbatasan Penelitian

Terdapat beberapa keterbatasan dalam studi ini yang perlu dicermati dalam membaca hasil penelitian. Pertama, metode diskusi kelompok terarah tidak dilakukan dalam studi ini sebagai salah satu metode pengambilan data yang awalnya direncanakan. Hal ini menyebabkan hasil studi tidak dapat melihat kesepakatan antar pemangku kepentingan di DKI Jakarta mengenai sistem kesehatan yang berlaku dalam intervensi HIV. Kedua, beberapa informan yang turut diambil datanya juga bekerja dalam lingkup nasional. Hal ini menyebabkan beberapa informasi yang diberikan tidak bisa secara spesifik mengacu pada kondisi intervensi di DKI Jakarta. Hal ini terjadi mengingat karakteristik DKI Jakarta yang selain sebagai sebuah provinsi mandiri namun juga adalah ibukota negara di mana para penggiat HIV berkumpul dan bekerja dalam lingkup nasional berdomisili di DKI Jakarta dan mengetahui situasi penanggulangan HIV dan AIDS di provinsi ini. Ketiga, informasi dari kategori pemberi layanan berjumlah minim sehingga gambaran lengkap dan konfirmasi mengenai situasi dalam pemberian layanan HIV tidak dapat terkonfirmasi dari berbagai pihak. Keterbatasan yang ada sebisa mungkin dilengkapi melalui data sekunder yang bersumber dari dokumen pencapaian program terkait HIV di DKI Jakarta sehingga dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai situasi penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta.

(21)

19

III.

HASIL PENELITIAN

A. Konteks kebijakan dan penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta

Provinsi DKI Jakarta merupakan ibukota Indonesia yang terdiri dari enam struktur wilayah administrasi yang terdiri dari lima kota administrasi (Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat) dan satu kabupaten yaitu Kepulauan Seribu. Secara paralel DKI Jakarta memiliki 44 kecataman dan 267 kelurahan (BPS, 2014). Jumlah penduduk pada 2014 10.075.300 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.06. Jakarta merupakan daerah padat penduduk dengan jumlah kepadatan 15.212 jiwa per km². Jumlah penduduk miskin sebesar 393,900 atau sebesar 3.92% dari total populasi di DKI Jakarta. Jumlah pendapatan DKI Jakarta pada 2013 terhitung besar, dengan kemampuan untuk mengelola pendapatan daerah sebesar 39.5 trilyun. Dari jumlah tersebut 10% dialokasikan untuk kesehatan, termasuk HIV dan AIDS. Tingkat pendidikan di DKI Jakarta terhitung tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Rata-rata penduduk DKI Jakarta bersekolah selama 11 tahun dengan angka melek huruf sebesar 99.22% (BPS, 2014).

Berdasarkan UU Nomor 29 tahun 2007, DKI Jakarta berstatus istimewa yang menyebabkan seluruh kebijakan mengenai pemerintahan maupun anggaran ditentukan pada tingkat provinsi1. Hal ini berdampak pada pengelolaan layanan kesehatan di DKI Jakarta. Dinas

Kesehatan Provinsi (Dinkes) memiliki kewenangan dan kewajiban dalam mengeluarkan kebijakan dan mengatur penyediaan semua pelayanan dan bahan medis. Di tingkat kotamadya, Dinkes bekerja melalui Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) dan Unit Pelayanan Teknis (UPT) dalam menjalankan layanan kesehatan. Khusus untuk respon HIV dan AIDS, KPAP memiliki tugas utama sebagai lembaga koordinasi yang menjadi poros komunikasi dan perencanaan program terkait HIV dan AIDS dengan SKPD lain di DKI Jakarta. Serupa dengan Dinkes, KPAP juga memiliki “kepanjangan tangan” di tingkat kotamadya, yaitu Komisi Penanggulangan AIDS Kota (KPAK). Sudinkes dan KPAK bekerja sama dalam melakukan implementasi program HIV dan AIDS di tingkat kotamadya.

Dalam konteks jaminan kesehatan, Provinsi DKI Jakarta memiliki jaminan kesehatan untuk warganya melalui payung hukum Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.123 tahun 2014 tentang peserta dan pelayanan jaminan kesehatan menyebutkan di pasal 18 bahwa pelayanan tingkat

(22)

pertama termasuk pelayanan HIV dan AIDS dan pelayanan harm reduction (HR). Renstra Dinkes 2013-2017 no.1324 tahun 2013 menyatakan bahwa prioritas urusan wajib yang dilaksanakan Dinkes terkait program pencapaian penanggulangan penyakit menular secara gamblang termasuk pengobatan, dukungan dan perawatan bagi orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA) serta monitoring jumlah kasus AIDS. Renstra juga menyebutkan bahwa salah satu sasaran jangka menengah pemda DKI Jakarta adalah menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular dengan terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa menjadi di bawah 0.5%. Sebagai indikator dari RPJMD adalah persentase layanan kesehatan pada ODHA baik akses layanan kesehatan ODHA dan proporsi jumlah penduduk usia 15 sampai 24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, mengikuti Inpres No.3 tahun 2010 mengenai pembangunan yang berkeadilan yang pada saat itu ditetapkan untuk menguatkan pencapaian Milennium Development Goals (MDGs) khususnya target nomor 6 tentang HIV dan AIDS.

B. Situasi epidemi dan perilaku berisiko terkait HIV dan AIDS di DKI Jakarta

Prevalensi HIV di DKI Jakarta termasuk tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain, kecuali Papua. Kemkes (2012) menyatakan prevalensi HIV adalah 1.03 persen sekitar 0.4 persen lebih tinggi bila dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Tingkat prevalensi ini masih memiliki kecenderungan untuk meningkat dalam beberapa tahun kedepan (Asia Epdemic Model - AEM 2012). Situasi epidemi HIV di DKI Jakarta digolongkan dalam kategori epidemik terkonsentasi. Status ini didapat dari kasus penularan HIV yang tinggi pada sub-populasi tertentu yang memiliki perilaku beresiko tertular HIV lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum lainnya.

Tabel 2 menunjukan tingkat prevalensi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) di DKI Jakarta per populasi kunci yang diolah dari Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011. Penasun memiliki tingkat prevalensi tertinggi di DKI Jakarta (56%) dengan Waria (31%) dan LSL (17%) di urutan kedua dan ketiga. Namun dalam konteks penularan IMS situasi ini berbeda dimana kelompok WPSL memiliki tingkat prevalensi tinggi terutama dalam gonorhoe

(GO) dan atau chlamidia (51%) dan WPSTL (45%). Untuk tingkat prevalensi sifilis, Waria (31%) dan LSL (17%) tetap tinggi dibandingkan dengan kelompok populasi kunci lainnya. Dari

(23)

21 ketujuh sub-populasi kunci yang ada, penasun memiliki pengetahun komprehensif yang

paling tinggi (30.8%) disusul dengan waria (29.2%), dengan kelompok lelaki beresiko tinggi (LBT) dengan pengetahuan komprehensif terendah (3.3%). Dengan situasi ini tidak heran bila prevalensi HIV pada ibu hamil jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pekerja seks tidak langsung (5.2% dan 5%). Sayangnya data mengenai tingkat pengetahuan komprehensif pada ibu hamil tidak tersedia.

Tabel 2. Data Prevalensi HIV dan IMS DKI Jakarta

Populasi Kunci Prevalensi HIV (%) Prevalensi Sifilis (%) Prevalensi GO (%) Prevalensi GO dan/atau Chlamidia (%) % Pengetahuan komprehensif WPSL 11.0 5.0 n/a 51 8 WPSTL 5.0 2.0 36 45 15.6 LBT 0.3 5.0 18 3.3 Waria 31 31 n/a 38 29.2 LSL 17.0 17 25 28 22.8 Penasun 56.0 4.0 18 n/a 30.8

Ibu Hamil 5.2 0.4* n/a n/a n/a

Sumber: STBP 2011 *data tahun 2008

Prevalensi HIV di DKI Jakarta memberikan dampak kesehatan yang cukup serius. Dari kasus HIV yang terlaporkan, sebanyak 22.8% masuk ke dalam tahap AIDS dengan case rate kematian akibat AIDS mencapai 59.7% (Kemkes, 2014). Hal ini terjadi karena diduga akibat dari tingkat pengobatan ARV yang masih cukup rendah. Hanya 81% dari ODHA yang sudah memenuhi syarat untuk memulai terapi ARV yang pernah menjalankan ARV. Itupun, hanya 58% yang masih aktif menggunakan ARV sampai dengan periode data ini dikeluarkan. Angka loss to follow up ARV di DKI Jakarta cukup tinggi dan mempengaruhi tingkat kesehatan ODHA.

C. Respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta

DKI Jakarta memiliki respon penanggulangan HIV yang cukup baik. Beberapa arahan program yang tertuang dalam rencana strategi nasional baik di KPAN dan Kemkes diadaptasi oleh provinsi. Hal ini turut berkontribusi dalam mendorong ketersediaan layanan terkait HIV di DKI Jakarta. Sampai dengan tahun 2012, KPAP DKI Jakarta mendokumentasikan berbagai layanan HIV yang tersedia di setiap kotamadya (lihat table 3). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa penyebaran layanan terkait HIV telah merata di setiap kotamadya. Selain itu, terlihat

(24)

bahwa lingkup respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta meliputi tiga komponen besar, yaitu: pecegahan, perawatan, dan pengobatan. Layanan yang tersedia dilakukan oleh puskesmas dan rumah sakit.

Tabel 3. Layanan terkait HIV per kotamadya di DKI Jakarta

Layanan Pus Ut Bar Sel Jak-Tim

Jumlah (2012) Layanan konseling dan tes HIV

sukarela (VCT/HTC)

13 7 9 8 10 55

Layanan infeksi menular seksual (IMS)

8 6 8 7 10 39

Layanan program terapi rumatan metadon (PTRM)

5 2 3 2 6 18

Layanan program pertukaran jarum suntik steril (LASS)

8 6 8 8 8 38

Layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT)

7 2 9 3 6 27

Layanan TB-HIV 43

Layanan PDP dan rumah sakit rujukan HIV dan AIDS*

9 5 7 4 11 24

satelit ARV di Puskesmas Kecamatan

19

Sumber: Renstra KPAP DKI Jakarta (2013) *) sumber Laporan Kasus HIV (Kemkes 2014)

Respon pencegahan terkait HIV di DKI Jakarta berfokus pada dua area, pencegahan HIV bagi kelompok pengguna suntik melalui program pengurangan dampak buruk (LASS dan PTRM), dan pencegahan melalui transmisi seksual. Program pengurangan dampak buruk awalnya mengacu pada Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat No.2/2007 yang menyebutkan 12 komponen utama yang harus dilakukan bagi pencegahan HIV pada kelompok penasun. Namun selanjutnya, pada tahun 2009, WHO, UNODC, dan UNAIDS mengeluarkan pedoman baru yang mengabungkan 12 komponen tersebut menjadi 9 komponen yaitu: (1) program layanan alat suntik steril; (2) terapi substitusi opiat dan layanan pemulihan adiksi lainnya; (3) konseling dan testing HIV; (4) terapi antiretroviral; (5) pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual (IMS); (6) program kondom untuk penasun dan pasangan seksualnya; (7) komunikasi informasi dan edukasi tersasar untuk penasun dan pasangan seksualnya; (8) vaksinasi, diagnosis dan pengobatan hepatitis; (9) pencegahan, diagnosis dan pengobatan tuberkulosis.

(25)

23 Di DKI Jakarta, kesembilan komponen tersebut dilakukan bersama-sama antara LSM dan

Puskesmas. Peran penjangkauan lebih banyak dilakukan oleh LSM mengingat puskesmas yang bersifat statis atau memberikan layanan lebih banyak di lokasi yang menetap. Sampai dengan tahun 2012 tercatat 38 puskesmas yang memberikan layanan LASS dan 18 layanan PTRM yang tersedia di DKI Jakarta. Bahkan dengan berlakukanya program proteksi sosial Jakarta Sehat, maka penduduk Jakarta yang memiliki kartu Jakarta sehat dapat mengakses layanan pencegahan seperti Metadon tanpa biaya. Sebelumnya, pasien metadon dibebankan biaya sebesar Rp 5000 hingga Rp 15.000 sesuai dengan ketentuan unit pemberi layanannya (Puskesmas atau Rumah Sakit). Pada tahun 2014 program pemulihan adiksi berbasis masyarakat (PABM) secara resmi dilakukan di DKI Jakarta dengan diterbitkannya Pergub No. 182 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM). Program PABM adalah penatalaksanan yang bersifat medis, sosial, dan psikologis atas masalah yang ditimbulkan akibat penggunaan NAPZA yang diselenggarakan atas inisiatif masyarakat. PABM bertujuan meningkatkan akses layanan kesehatan dan sosial bagi penyalah guna napza, memutus mata rantai penularan HIV yang berasal dari pengguna napza suntik, meningkatkan kualitas hiudp pengguna NAPZA dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV ADIS serta penyalahgunaan NAPZA. Program ini dilengkapi dengan Pergub No.614 tahun 2014 tentang tim pembina program pemulihan adiksi berbasis masyarakat tingkat provinsi, untuk memastikan berjalannya program.

Sedangkan program pencegahan melalui transmisi seksual di DKI Jakarta mulai berkembang sejak adanya hasil Kajian Paruh Waktu KPAN mengidentifikasi peningkatan penularan infeksi melalui transmisi seksual terutama pada kelompok LSL serta Pekerja Seks2. Dengan

menggunakan intervensi struktural sebagai fondasi program PMTS yaitu Pencegahan Melalui Transmisi Seksual sebagai pendekatan yang komprehensif dengan 4 komponen3: (1)

Peningkatan peran positif pemangku kepentingan lokal untuk lingkungan yang kondusif, (2) Komunikasi perubahan perilaku yang berazaskan pemberdayaan, (3) Jaminan ketersediaan dan akses kondom dan pelicin dan (4) Manajemen IMS yang komprehensif. Sumber-sumber pembiayaan program HIV and AIDS termasuk PMTS masih didominasi donor internasional dengan share-cost logistik untuk obat-obatan IMS menggunakan APBN/ABPD dengan

2 Laporan 5 tahun kpan

(26)

proporsi 40% oleh pusat dan 60% daerah. Pada tahun 2012 tercatat 39 tempat layanan di DKI Jakarta yang memberikan perawatan dan pengobatan IMS. Data Jakarta information system

milik KPAP DKI Jakarta mencatat terdapat 996 outlet kondom yang tersebar di DKI Jakarta.

Pada tahun 2012, Kemkes RI bersama KPA Nasional meluncurkan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) sebagai upaya yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sebagai layanan terpadu dan berkesinambungan untuk memberikan dukungan baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial bagi ODHA dan masyarakat yang membutuhkan dengan melibatkan seluruh sektor terkait, masyarakat termasuk swasta, kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA, keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta organisasi/kelompok yang ada di masyarakat. LKB/SUFA bertujuan menurunkan jumlah kasus baru HIV, menurunkan angka kematian, dan menurunkan stigma dan diskriminasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA (three zeroes). Secara implementatif pembagian antara LSM dan pemerintah adalah dimana LSM mendorong masyarakat untuk bisa mengakses layanan sedangkan untuk penyediaan layanan adalah tugas dinkes.

Program perawatan dan pengobatan terkait HIV mulai dilakukan secara intensif sejak 2013, Kemkes meluncurkan inisiatif Strategic Use of ARV (SUFA) yang bertujuan meningkatkan cakupan tes HIV, meningkatkan cakupan ART serta meningkatkan retensi terhadap ART. Dalam implementasinya, SUFA menekankan pada TOP - Temukan, Obati, dan Pertahankan, sebagai pendekatan dan slogan yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman status HIV serta pemberian pengobatan ARV sedini mungkin bagi semua populasi yang berisiko terinfeksi. SRAP DKI Jakarta menyebutkan pengembangan jaminan kualitas layanan perawatan dan pengobatan terkiat HIV melalui peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan yang berkualitas, menjamin ketersediaan dukungan logistik obat, dan peningkatan peran layanan berbasis masyarakat sebagai pelengkap dari layanan yang disediakan oleh pemerintah. Target SRAP 2013-2017 untuk perawatan dan pengobatan adalah 100% ODHA yang membutuhkan pelayanan dan pengobatan ARV dapat terlayani. Sampai dengan 2012 terdapat 24 layanana PDP, 12 satelit ARV, 27 layanan PMTCT dan 55 layanan tes HIV yang tersedia di seluruh kotamadya di DKI Jakarta.

(27)

25 Pengobatan untuk warga DKI Jakarta dibantu oleh jaminan kesehatan dari pemerintah daerah

namun untuk pembayaran sangat tergantung dengan layanan yang diakses dan Puskesmas yang bersangkutan, kadang kalau butuh pemeriksaan tambahan yang tidak masuk dalam asuransi sehingga tetap harus bayar, inipun juga tergantung petugas, yang sudah biasa dengan populasi kunci bisa membantu untuk gratis. Disamping itu, lembaga (LSM) pun bantu membayar kekurangan biaya pengobatan. Dengan sistem BPJS yang sifatnya nasional ada yang menerima bantuan iuran dan ada yang non iuran, selebihnya peserta askes, jamsostek yang otomatis ada jaminan kesehatan. Namun JKN melalui BPJS belum menanggung semua layanan HIV, contohnya untuk ARV tidak ditanggung, hasil perhitungan biaya yang diperlukan untuk pengobatan sekitar Rp. 20 jt pertahun sedangkan BPJS hanya sanggup 16 juta per tahun dan belum ada kesepakatan untuk meningkatkan tanggungan dari BPJS. Saat ini untuk ARV masih ditanggung oleh APBN. Sedangkan semua fasilitas yang ada di lapas gratis, bila membutuhkan rujukan bisa menggunakan BPJS dan di tanggung namun bisa juga ditawarkan ke pasien bila memilih fasyankes yang lain mereka bisa bayar sendiri.

Gubernur DKI Jakarta menginginkan semua warga dapat mengetahui status HIV-nya sehingga dipersiapkan layanan agar mencukupi, sejauh ini ada 28 puskesmas yang siap serta semakin meningkat permintaan RS swasta untuk dapat membuka layanan HIV. Namun populasi kunci masih menjadi fokus perhatian utama saat ini ditambah ibu hamil dan pasangan. Untuk memfasilitasi terwujudnya target-target tersebut, di DKI Jakarta sudah hampir semua Puskesmas kecamatan sudah ada staf yang terlatih. Yang menjadi persoalan adalah menjaga kelanjutan dari program-program ini sebagaimana disebutkan salah satu informan bahwa salah satu hambatan implementasi program adalah masih banyak populasi kunci atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses yang terjangkau. Contoh pada PPIA, banyak ibu dengan anak yang sulit memeriksakan viral load karena kendala biaya, padahal dia juga harus menyusui anaknya. Selain itu banyak masalah di masyarakat karena masih sangat minimnya informasi yang tepat mengenai HIV dan AIDS.

Peraturan Menkes no.21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS menyebutkan bahwa mitigas dampak merupakan upaya untuk mengurangi dampak kesehatan dan sosial ekonomi. Ditambahkan bahwa tanggungjawab ini merupakan upaya bersama pemerintah (Pusat dan daerah), swasta dan masyarakat untuk mendukung ODHA dan keluarga menghadapi dampak-dampak akibat penularan HIV dengan memberikan jaminan kesehatan,

(28)

program bantuan, menghilangkan stigma dan diskriminasi serta memberdayakan ODHA dan keluarga melalui keterlibatan yang lebih bermakna di dalam penanggulangan. Sedangkan SRAN 2015-2019 (masih menunggu penetapan) menetapkan target perluasan cakupan mitigas dampak adalah agar orang terinfeksi atau terdampak HIV, termasuk anak, janda, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang membutuhkan, memiliki akses untuk mitigasi dampak termasuk kesehatan, pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi. Sebagai warga (maupun bukan) mendapat hak akses layanan kesehatan yang sama. Bagi kelompok yang rentan, pemerintah menyediakan bantuan berupa makanan tambahan, dimana pada rencana APBD 2014 dinas sosial DKI Jakarta memberi santunan kepada 200 ODHA (beras, vitamin, susu) dan 180 anak ODHA serta bimbingan dan pelatihan 20 ODHA4.

Kementerian sosial pun memiliki Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Integrasi sosial ODHA adalah adaptasi ODHA dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga tidak mengalami diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat5.

D. Analisa pemangku kepentingan penanggulangan HIV AIDS

Banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam respon penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta. Setiap aktor memiliki peran dan kepentingan yang spesifik, baik secara normatif ataupun sesuai implementasi di lapangan, dengan kepentingan dan tingkat sumber daya yang berbeda-beda. Pemangku kepentingan adalah bagian krusial dari sebuah sistem, dalam konteks ini sistem kesehatan yang berkaitan dengan respon HIV dan AIDS. Dengan melakukan analisa kepentingan dari setiap aktor, dapat membantu untuk memahami bagaimana interaksi antara setiap pemangku kepentingan dalam respon HIV dan AIDS memengaruhi suatu kebijakan atau sistem kesehatan di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil pengolahan data, terdapat beberapa pemangku kepentingan mulai dari perangkat daerah seperti Dinkes, masyarakat sipil seperti LSM, jaringan populasi kunci, MPI termasuk lembaga PBB dan lembaga donor, serta UPT seperti puskesmas dan lembaga pemasyarakatan. Dari hasil pengolahan data yang terkumpul, ditambah dengan data sekunder, maka dapat dipetakan

4

(29)

27 peran, kepentingan serta kekuasaan para pemangku kepentingan termasuk seberapa tinggi

atau rendah posisi setiap pemangku kepentingan.

Berdasarkan Perda No. 4 tahun 2009 tentang sistem kesehatan daerah, upaya kesehatan masyarakat (UKM) adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, masarakat, dan swasta untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. HIV dan AIDS masuk dalam target UKM sebagai salah satu upaya untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Puskesmas dan masyarakat termasuk salah satu pelaksana UKM di strata pertama. Dalam kebijakan yang lebih spesifik, Perda No.5 tahun 2008 tentang penanggulangan HIV dan AIDS dikatakan bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masarakat dan pemerintah dengan prinsip kemitraan. Masyarakat adalah pelaku utama dalam respon HIV yang berperan untuk mendistribusikan informasi, menciptakan lingkungan kondusif, terlibat dalam peningkatan kapasitas pencegahan dan PDP. Seluruh kegiatan tekait HIV dan AIDS di DKI Jakarta harus dikordinasikan dengan KPAP/K. Peran KPAP/K sendiri diperjelas dalam Pergub No 231 tahun 2015 sebagai pengganti Pergub No. 26 tahun 2012 yang menyakatakn bahwa KPAP adalah lembaga nonstruktural yang berkedudukan di provinsi di bawah gubernur. Tugas utama KPAP adalah menyusun strategi dan rencana aksi HIV, penyusun kebijakan dan program, melaksanakan kerja sama dengan multi pihak, mengoordinasikan, memantau mengevaluasi serta memberikan arahan terkait KPAK. Pada dasarnya KPAK adalah instansi non-struktural yang bekerja khusus sesuai kewilayahan kotamadyanya dan bertugas sebagai pelaksana SRAN dan kebijakan serta berkordinasi dengan pemangku kepentingan terkait HIV di wilayahnya.

Berdasarkan Permenkes no 21 tahun 2013 tugas dan tanggung jawab Dinkes dalam penanggulangan HIV AIDS meliputi melakukan kordinasi penyelenggaranan upaya pengendalian dan penanggulangan, menetapkan situasi epidemik HIV, menyelenggarakan sistem pencatatan, pelaporan, evalasi dan menjamin ketersediaan layanan di tingkat primer. Selain itu KPAK bertugas untuk mengkordinasikan kerjasama dari seluruh kegiatan yang dilakukan oleh LSM, jaringan populasi kunci dan MPI. Sumber dana HIV dan AIDS dapat diberikan oleh MPI sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dinkes juga bertanggung jawab untuk melakukan kompilasi dan analisis dari laporan kasus untuk pengambilan kebijakan.

(30)

Bila dilihat lebih spesifik berdasarkan aturan normatif dan hasil pengolahan data di lapangan, maka peran dari setiap pemanggu kepentingan dapat digambarkan sebagai berikut:

Dinkes memiliki kekuasaan dan kepentingan yang sangat tinggi di DKI Jakarta karena instansi ini adalah regulator jaminan pemeliharaan kesehatan, penyelenggara perencanaan dan penyediaan kebutuhan obat dan perbekalan, bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan tenaga kesehatan, tempat pelayanan kesehatan, mengelola dan pemanfaatan biaya pelayanan kesehatan, dan penyelegaraan pelayanan kesehatan setiap UPT. Sebagai intansi struktural, Dinkes dapat mengakses dana APBD sesuai dengan kebutuhannya, berdasarkan rencana strategis dan analisa hasil pelaporan yang dilakukan. Dalam melakukan tugasnya, Dinkes dibantu oleh Sudinkes yang bertugas sebagai pelaksana regulasi dari Dinkes dan berfungsi sebagai pengawas masalah kesehatan di daerahnya. Kepentingan Sudinkes dalam respon HIV AIDS dapat dikategorikan tinggi namun memiliki kekuasaan yang rendah karena hanya sebagai pelaksana. Dalam melakukan tugasnya, Sudinkes memiliki Puskesmas sebagai pelaksana teknis layanan kesehatan. Kegiatan supervisi dan bimbingan teknis menjadi salah satu tugas Sudinkes. Puskesmas bertugas untuk memberikan pelayanan kesehatan, melakukan perencanaan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan UKM di wilayahnya, bekerjasama dengan lintas sector dan masyarakat, memberikan dukungan sistem informasi, memberikan dukungan perencanaan obat. Sebagai pelaksana teknis, Puskesmas memiliki kekuasaan untuk mengatur dana BLUD untuk manggulangi permasalahan kesehatan di daerahnya. Dalam konteks ini, Puskesmas dapat dikagorikan memiliki kekuasan dan kepentingan tinggi.

Sebagai lembaga non-struktural, KPAP memiliki kekuasaan dan kepentingan yang tinggi dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta. Lembaga ini dapat mengakses dana hibah APBD untuk melaksanakan mandatnya, seluruh instansi yang melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS harus melakukan kordinasi sebelumnya dengan KPAP. Selain itu, KPAP memiliki kewenangan untuk menentukan arah dan strategi penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta melalui SRAP yang menjadi salah satu tanggungjawab utamanya. Karena KPAP bertindak dalam lingkup provinsi, dalam melakukan tugas di tingkat kotamadya instansi ini dibantu oleh KPAK yang bertindak sebagai pelaksana dari SRAP yang telah dibuat dan membantu melakukan kordinasi dengan pemangku kepentingan lain di daerahnya. KPAK

(31)

29 peran dan fungsinya KPAK dapat dikategorikan memiliki kepentingan yang tinggi namun

kekuasaan yang rendah dalam respon HIV di DKI Jakarta.

LSM sebagai bagian dari unsur masyarakat adalah pelaku utama dalam respon HIV dan AIDS. Mandat organisasi yang tercantum dalam visi dan misi lembaga yang bekerja di bidang HIV dan AIDS membuat LSM memiliki kepentingan yang tinggi dalam respon ini. Namun kekuasaan yang dimiliki LSM masuk dalam kategori rendah mengingat pendanaan untuk kegiatan yang dilakukannya bergantung dari sumber dana MPI. Walaupun LSM dinilai sebagai mitra potensial dalam respon HIV namun keterlibatan dalam perencanan dan evaluasi program masih terbatas memberikan masukan dan saran. Keputusan akhir tetap berada di tangan instansi pemilik modal atau pemegang kekuasaan di daerah. Situasi ini serupa dengan yang dialami oleh Jaringan Populasi Kunci yang memiliki kepentingan tinggi karena isu HIV sangat dekat dengan kehidupannya namun kekuasaan jaringan populasi kunci dapat dikatakan rendah. Peran populasi kunci adalah sebagai organisasi perwakilan penerima manfaat yang diminta untuk memberikan masukan terkait program namum tetap dilihat sebagai bagian dari penerima manfaat dan bukan pelaku utama. Berbeda dengan ODHA sebagai penerima manfaat individu dari program HIV. Kekuasaan dan kepentingan mereka dapat dikategorikan rendah. Peran yang dilakukan lebih untuk mengakses layanan demi kepentingan individual dan sebatas menerima layanan yang tersedia. Sebagai individu, kekuasaan mereka untuk bertindak sangat terbatas dan bergantung pada pemberi layanan yang menyediakan akses.

MPI sebagai pemilik dana dapat dikategorikan memiliki kekuasan dan kepentingan yang tinggi dalam respon penanggulangan HIV di DKI Jakarta. Keberadaan MPI sebagai salah satu mitra dalam respon HIV sudah diakui dalam kebijakan terkait HIV di Indonesia. Dukungan pendanaan dan teknis program yang diberikan MPI kepada pemerintah dan LSM memposisikan organisasi ini dapat menentukan arah dan strategi program HIV di DKI Jakarta. Berbeda dengan lembaga PBB yang memiliki kepentingan tinggi namun kekuasaan rendah. Secara mandat organisasi ini berkepentingan untuk terlibat dalam respon HIV dan AIDS namun sesuai dengan posisinya maka ranah kerja lebih berfokus pada upstream policy di tingkat pusat. Kekuasaannya untuk menentukan arah respon pada tingkat provinsi dapat dikatakan rendah. Sedangkan CSR perusahaan swasta memiliki posisi sebaliknya. Sebagai pemilik modal mereka memiliki kekuasaan yang tinggi namun kepentingan yang rendah. Isu

(32)

HIV bukanlah mandat utama yang dikerjakan hanya lebih berupa bagian dari kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan. CSR dapat dengan leluasa memilih isu mana yang akan didukung, terutama yang bisa dikaitkan dengan produk perusahaan. Peta posisi kekuasaan dan kepentingan setiap pemangku kepentingan dalam respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta dapat terlihat dalam gambar 2.

Gambar 2. peta analisa pemangku kepentingan

E. Peran Perguruan Tinggi

Keterlibatan perguruan tinggi (PT) dalam respon HIV dan AIDS masih dinilai terbatas oleh informan dalam studi ini. Saat ini keterlibatan PT lebih banyak berfokus pada melakukan penelitian, baik sebagai pihak yang diminta untuk membantu kebutuhan penelitian, misalnya melakukan kajian, evaluasi program, dan/atau terlibat sebagai narasumber dalam pembuatan Renstra HIV dan AIDS, ataupun sebagai pihak yang memiliki kebutuhan untuk melakukan penelitian terkait isu HIV dan AIDS seperti skrispsi mahasiswa. Selain itu, pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan masih dianggap sebagai “menara gading” mengingat belum dapat tersosialisasikan dan termanfaatkan dengan baik untuk mendukung pelaksanaan program HIV dan AIDS di DKI Jakarta.

“Hasil penelitian perguruan tinggi masih menara gading, belum implementatif merespon situasi lapangan…. Keterlibatan masih bersifat tokoh/personal seperti di Bali ada Prof Wirawan, tetapi sebagai institusi UNUD belum teruji” (R15)

Tinggi

Jaringan Ponci KPAP

LSM MPI KPAK Dinkes Sudinkes Lembaga PBB Puskesmas CSR perusahaan ODHA Tinggi Rendah K e p e n ti n g a n Kekuasaan

1

3

2

4

(33)

31 Informan melihat PT sebagai potensi yang dapat berkontribusi lebih dalam respon HIV dan

AIDS di DKI Jakarta. Pihak akademisi dinilai memiliki sumber pengetahuan yang kaya terkait metodologi, hasil kajian dan pemikiran yang kritis. Maka, seharusnya peran PT bisa lebih ditingkatkan lagi dari sekedar terlibat dalam penelitian. Bila digabungkan, terlihat dua pola masukan untuk meningkatkan peran perguruan tinggi dalam isu HIV dan AIDS, pertama aktif terlibat dalam pre-service education untuk memastikan terciptanya SDM medis yang berkualitas untuk mendukung pelayanan HIV dan AIDS. Misalnya dengan memasukan kurikulum terkait HIV di fakultas kedokteran atau menempatkan residen dalam pelayanan HIV dan AIDS. Kedua, memberikan masukan strategis bagi respon HIV dari sisi akademis seperti menjadikan hasil penelitian sebagai acuan dalam pengambilan keputusan yang dapat menentukan arah respon penanggulangan HIV dan AIDS, terlibat dalam perencanaan program, ataupun keterlibatan lebih bermakna pihak akademisi dalam Musrenbang.

“…seharusnya dalam hal mempersiapkan SDM bisa tapi yang menjadi masalah apakah sdm nya mau, sejauh ini belum banyak terlibat di program penanggulangan HIV kecuali penelitian” (R10)

“sebenarnya banyak penelitian yang dilakukan PT namun sejauh ini belum ada yang menunjukkan hasilnya dimanfaatkan atau dijadikan acuan dalam mengambil keputusan misalnya oleh KPA” (R16)

Beberapa hambatan yang dinyatakan oleh Informan sebagai kendala untuk melibatkan PT lebih bermakna adalah pihak universitas memiliki kewenangan untuk menentukan prioritas kurikulumnya sendiri. Bila isu HIV tidak menjadi prioritas maka kemungkinan untuk masuk dalam kurikulum pendidikan menjadi sulit. Selain itu, pihak akademisi dinilai masih perlu untuk memperdalam pemahaman dan memperbaharui keilmuan yang dimilki terutama dalam konteks komponen implementasi program-program terkait HIV yang sedang dijalankan di lapangan. Hal lain adalah keterbatasan dana untuk melakukan penelitian mandiri yang dibiayai langsung PT berpotensi untuk mengurangi kualitas penelitian yang dilakukan. Terdapat sedikit kekhawatiran untuk menjaga populasi kunci HIV terhindari dari objek penelitian yang dilakukan oleh pihak akademisi.

(34)

F. Pola Integrasi di DKI Jakarta

Bagian ini akan menggambarkan pola intergasi sistem kesehatan terkait dengan HIV yang ada di DKI Jakarta. Pola integrasi akan dilihat dari beberapa sub-sistem yang masing-masing memiliki beberapa dimensi yang menyertai, sebagai berikut:

1. Gambaran integrasi berdasarkan sub sistem kesehatan di DKI Jakarta

a. Manajemen, Informasi dan Regulasi Kesehatan Penanggulangan HIV

i. Regulasi

Dukungan landasan hukum dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sudah cukup kuat. Provinsi ini memiliki dua regulasi utama, yaitu Perda No. 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah (SKD) dan Perda No.8 tahun 2008 tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Tersedianya dua regulasi ini lantas membuahkan dua dokumen utama yang menjadi panduan dalam memberikan respon penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kesehatan No 1234 tahun 2013 dan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013-2017. Dokumen regulasi SKD dibuat dengan tujuan untuk memberikan arah, pedoman, landasan dan kepastian hukum bagi setiap pemangku kepentingan pembangunan kesehatan daerah sehingga seluruh pemangku kepentingan dapat bekerja secara sinergis dan berdaya guna untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.6 Pemberantasan penyakin menular, dalam konteks

ini HIV, sudah termasuk sebagai salah satu program prioritas di DKI Jakarta.

Sedangkan ruang lingkup penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta berdasarkan Perda No.5 tahun 2008 mencakup umum, promosi, pencegahan, pengobatan dan perawatan dan dukungan. Upaya pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengetahuan tentang tata cara pencegahan, penularan dan akibat yang ditimbulkan serta penyediaan layanan kesehatan yang dapat mencegah penularan HIV7. Sedangkan pengobatan ditujukan untuk ODHA

didukung dengan pendekatan perawatan berbasis keluarga, masyarakat, serta dukungan pembentukan persahabatan ODHA. Yang termasuk pengobatan adalah tindakan pengobatan, tes HIV, yang wajib diberikan oleh setiap penyedia layanan kesehatan secara wajib dengan

(35)

33 azas kerahasiaan8. Sedangkan Perawatan dilakukan melalui pendekatan klinis, agama dan

pendekatan berbasis keluarga dan masyarakat tanpa diskriminasi. Bentuk dukungan dapat dilakukan oleh masyaratak dan sector terkait memalui pemberdayaan ODHA9. Perda ini juga

melegitimasi peran KPAP sebagai leading sector dalam kordinasi seluruh program HIV dan AIDS di DKI Jakarta10.

Tabel 4. Daftar Kebijakan terkait HIV di DKI Jakarta

Kategori Daftar Regulasi terkait HIV di DKI Jakarta

Kepemimpinan 1. SK Walikota Jakarta Utara No.15/2008 ttg Susunan Organisasi KPAK 2. Pergub No.162/2009 ttg KPAP DKI Jakarta

3. SU Walikota Jakarta Barat No.48.2009 ttg Organisasi dan Tata Kerja KPAK Jakarta Barat

4. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 175 Tahun 2009 tanggal 19 Mei 2009 Tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara

5. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 782 Tahun 2010 tanggal 1 November 2010 tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara

6. Surat Keputusan Gubernur No. 954 tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Ketua kepada Sekretaris KPAP

7. Surat Keputusan Gubernur No. 321 tahun 2010 tentang Penunjukan Sekretaris KPAP

8. Peraturan Gubernur No. 26 tahun 2012 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS Kota

Pencegahan Pengurangan Dampak Buruk

1. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan tentang Kemandirian Penganggaran Program Harm Reduction No 3884/1.778/2009

2. Peraturan Gubernur No. 183 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat

3. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta No. 63/SE/2012 tentang Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril di DKI Jakarta

PMTS

1. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 174 tahun 2003 tentang Penetapan Kelurahan Maphar Sebagai Pilot Proyek Penggunaan Kondom 100%

2. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 1 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS di Jakarta Barat

3. Surat Edaran Kepala Sudin Kesehatan Jakarta Barat No. 2522/SE/2011 tanggal 16 Juni 2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual

4. Surat Edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 19/SE/2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV dan AIDS Melalui Transmisi Seksual untuk Pimpinan Usaha Industri Pariwisata di DKI Jakarta

5. Surat edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 983/1.858.25/2011 tentang Program Pencegahan Penanggulangan IMS dan HIV Pada Tempat Hiburan di wilayah DKI Jakarta

8 Lihat pasal 17 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 99 Lihat pasal 19 bagain 6 Perda DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 10 Lihat pasal 22 Perda DKI Jakarta No.5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konseptual
Tabel 1. Karakteristik Informan Penelitian.
Tabel 2. Data Prevalensi HIV dan IMS DKI Jakarta
Tabel 3. Layanan terkait HIV per kotamadya di DKI Jakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

AT Oceanic Offshore adalah perusahaan asing yang bergerak di bidang alat angkat, perusahaan asing ini di setiap proses produksinya dari awal proses sampai proses

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara bimbingan belajar terhadap motivasi belajar

Mencermati Dugaan Kasus Manipulasi Pajak Asian Agri, (Jawa Pos Online, tanggal 8 November 2007), internet, diunduh tanggal 4 April 2008 Dali Bouzoraa, Transfer Pricing

MA'HADUT THOLABAH Sejarah Kebudayaan Islam KAB.. LEBAKSIU Sejarah Kebudayaan

c. Peraturan Rektor Universitas Tidar Nomor 19/UN57/HK.01/2019 tentang Fungsi Jabatan dan Rincian Tugas Pimpinan di lingkungan Universitas Tidar d. Peraturan Inspekturat

Berdasarkan analisis yang dilakukan tentang penerapan peak clipping dan strategic conservation televisi, maka didapatkan penerapan gabungan strategic conservation dan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di sekitar pantai Pulau Pari maka dapat disimpulkan bahwa pada lokasi tersebut ditemukan dua jenis bintang laut yang

Selain itu adanya kontaminasi total bakteri yang tinggi juga dapat disebabkan oleh penanganan yang kurang hegienis dimana kontaminasi berasal dari tangan pekerja, alat