• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proporsi Anggaran HIV DKI Jakarta 2012

2. Tingkat Integrasi

Dalam menilai tingkat integrasi respon HIV ke dalam sistem kesehatan, studi ini akan menggunakan definisi tingkat integrasi menurut Conseil et al. (2010) dan Desai et al. (2010) yang mengkategorikan tingkat integrasi menjadi tiga, Penuh, Terintegrasi secara parsial dan Tidak terintegrasi. Sebuah sub-sistem kesehatan dikatakan terintegrasi penuh bila intervensi dikelola secara penuh dan dikendalikan melalui sistem kesehatan yang berlaku. Sedangkan penilaian integrasi sebagian bila intervensi ini dikelola sebagian oleh sistem kesehatan yang ada dan sistem untuk intervensi tertentu. Hasil temuan studi di setiap dimensi dalam masing-masing sub-sistem dalam sistem kesehatan akan diukur tingkat integrasinya untuk setiap respon HIV, dalam konteks ini pencegahan, PDP, dan mitigasi dampak. Untuk membantu tingkat pengukuran integrasi, pertanyaan kunci disiapkan untuk dimensi sebagai indikator pengukur seperti terlihat dalam table 7.

Tabel 7. pertanyaan kunci tingkat integrasi di setiap dimensi

Dimensi Indikator pertanyaan kunci

Regulasi Apakah pemerintah daerah mengkoordinasikan dan mengelola sumber

pembiayaan penanggulangan AIDS yang berasal dari berbagai sumber?

Formulasi kebijakan Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD? (dalam bentuk

Anggaran di SKPD atau Bantuan Sosial)

Akuntabilitas Apakah JKN atau jamkesda bisa digunakan oleh masyarakat untuk memanfaatkan

layanan perawatan dan pengobatan HIV?

Pengeloaan sumber

pembiayaan

Apakah pemerintah daerah mengkoordinasikan dan mengelola sumber pembiayaan penanggulangan AIDS yang berasal dari berbagai sumber?

penganggaran,

proporsi, distribusi

dan pengeluaran

Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD? (dalam bentuk

Anggaran di SKPD atau Bantuan Sosial)

Kebijakan dan sistem manajemen

Apakah ada regulasi yang mengatur tentang SDM yang digunakan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini? (kompetensi, pengembangan

kapasitas, penempatan/mutasi, hubungan kerja dengan non pemerintah)

Pembiayaan Apakah pembiayaan pengelolaan SDM penanggulangan HIV dan AIDS

menggunakan pembiayaan di sektor kesehatan (pemerintah)?

Kompetensi Apakah standar kompetensi untuk SDM yang bekerja dalam program HIV dan AIDS

mengacu dalam peraturan tentang SDM kesehatan yang berlaku?

59

Dimensi Indikator pertanyaan kunci

daerah tersebut atau disediakan oleh JKN? (reagen, ARV, kondom, jarum suntik,

mesin CD4 dan VL)

Sumber daya Apakah sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, dan distribusi obat

dan perlengkapan medik untuk HIV dan AIDS masuk di dalam anggaran dinas kesehatan atau ditanggung oleh JKN?

Sinkronisasi sistem

informasi

Apakah program HIV dan AIDS menggunakan sistem informasi yang digunakan oleh dinas kesehatan? (surveilans, survey, monitoring dan evaluasi program

berdasarkan input, proses, output)

Diseminasi dan

pemanfaatan

Apakah hasil pengolahan data sistem informasi program HIV dan AIDS yang ada saat ini digunakan untuk perencanaan dan pengembangan program HIV di daerah tersebut?

Partisipasi masyarakat Apakah ada bentuk-bentuk kemitraan antara pemerintah dengan masayarakat sipil

atau swasta dalam proses perencanaan hingga evaluasi program HIV dan AIDS di daerah ini?

Akses dan

pemanfaatan layanan

Apakah ada upaya dari program HIV dan AIDS untuk mendorong masyarakat khususnya populasi kunci untuk memanfaatkan JKN atau bantuan sosial dalam mengakses layanan HIV dan AIDS yang tersedia di wilayah tersebut?

Ketersediaan layanan Apakah tersedia layanan penanggulangan HIV dan AIDS di fasyankes primer dan

sekunder di daerah ini?

Kordinasi dan rujukan Apakah layanan HIV dan AIDS yang ada di daerah ini dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan melalui KPAD sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan termasuk penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini?

Jaminan kualitas

layanan

Apakah ada mekanisme supervisi dan evaluasi untuk menjamin kualitas layanan penanggulangan HIV dan AIDS seperti halnya mekanisme dalam pelayanan kesehatan lainnya? (penerapan SOP layanan, ketaatan terhadap petunjuk

pelaksanaan, akreditasi, survei kepuasan klien, dll)

Sub-sistem manajemen dan regulasi terdiri dari tiga dimesi yaitu regulasi, formulasi kebijakan dan akuntabilitas. Untuk dimensi regulasi tingkat intergasi pencegahan dan PDP sudah terjadi secara penuh, sedangkan mitigasi dampak tidak terinterintergasi sama sekali. Dalam respon promosi dan pencegahan HIV dan AIDS sudah terdapat tiga kebijakan pendukung yang dapat memastikan baik pencegahan penasun dan transmisi seksual dapat berjalan. Kebijakan krusial untuk pencegahan melalui penasun adalah surat edaran Kadinkes No 3884/1.778/2009 tentang kemandirian penganggaran HR yang mengusulkan agar setiap puskesmas dapat mengeluarkan anggaran untuk alkes jarum steril, pertemuan penasun dan kader muda melalui BLUD. Sedangkan untuk pencegahan tranmisi seks, adanya kebijakan untuk program PMTS yang memastikan distribusi kondom dan outlet kondom dapat dilakukan di setiap kotamadya. Sayangnya tidak ada satupun regulasi terkait mitigasi dampak yang tersedia. Sedangkan hasil pengolahan data untuk dimensi formulasi kebijakan tidak bisa secara detil melihat sesuai masing-masing respon program karena keterbatasan data. Namun secara garis besar sudah ada upaya untuk melakukan pengumpulan data melalui surveillance dan survei perilaku dan data capaian bulanan, namun tidak ada informasi yang memastikan bahwa data tersebut digunakan untuk perencanaan kebijakan. Ketidaktersediaan data untuk memilah

pengukuran per respon HIV dan AIDS juga ditemukan dalam dimensi akuntabilitas. Secara umum bentuk akutabilitas pemerintah dalam respon HIV dan AIDS lebih mengarah pada pemberian informasi dan belum merujuk pada perencanaan dan penggunaan anggaran. Terdapat tiga dimensi dalam sub-sistem pembiayaan, yaitu pengeloaan sumber pembiayaan, penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran, serta mekanisme pembayaran layanan. Bila dilihat secara umum, dimensi sumber pembiayaan dapat dikatakan sudah terintegrasi secara penuh. Hal ini terlihat dari adanya dukungan APBD untuk program HIV sebesar 64% dan penggunaan e-catalogue untuk mengajukan perencanaan anggaran, sesuai dengan ketentukan pemerintah daerah DKI Jakarta. Namun, informasi terpilah sesuai dengan respon intervensi (Pencegahan, PDP, mitigasi dampak) tidak tersedia untuk dinilai lebih lanjut. Sedangkan dalam dimensi penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran, tingkat integrasi untuk PDP dan pencegahan dapat dikategorikan sebagai terintegrasi penuh. Penilaian ini didapat mengingat sudah ada mata anggaran untuk program HIV dan AIDS. Data yang ada menunjukan bahwa anggaran untuk pencegahan yang berasal dari APBD berjumlah 41% dari total APBD 2012 dan 12% untuk PDP. Dana ini dapat dikeluarkan dari BLUD puskesmas. Walaupun persentasi anggaran untuk PDP tergolong kecil namun hal ini diasumsikan karena anggaran ARV sudah ditanggung oleh pemerintah pusat. Untuk respon mitigasi dampak dinilai terintegrasi secara parsial mengingat jumlah anggaran yang dikeluarkan dari APBD sangat kecil (0.23%). Kemungkinan dana yang dialokasikan untuk mitigasi berupa bantuan gizi untuk ODHA dan belum dilakukan secara merata oleh setiap UPT. Dimensi ketiga, yaitu mekanisme pembayaran memiliki penilaian yang berbeda-beda. Pencegahan dinilai terintegrasi sebagaian mengingat dana JKN dapat digunakan untuk membayar biaya PTRM namun tidak dapat digunkan untuk membeli jarum suntik dan kondom. Sedangkan PDP dinilai sudah terintegrasi karena biaya perawatan terkait HIV dapat dibayar menggunakan JKN. Walaupun hasil pengolahan data mengatakan bahwa masih ada beberapa biaya yang tidak tercakup seperti biaya lab dan obat, namun hal ini juga ditemukan bila masyarakat lain mengakses JKN untuk penyakit lain.

Sub-sistem ketiga adalah sumber daya manusia yang dikategorikan dengan dimensi kebijakan dan sistem manajemen, pembiayaan serta kompetensi. Dalam dimensi kebijakan dan sistem

61 dikatakan tidak terintegrasi mengingat DKI Jakarta belum memiliki aturan tertulis terkait

pengelolaan SDM untuk program HIV, baik yang PNS, non-PNS ataupun masyarakat sipil.

Dimensi pembiayaan juga tidak dapat dinilai sesuai respon penanggulangan HIV mengingat

keterbatasan data yang terkumpul. Walaupun secara umum petugas di UPT baik yang bersifat PNS ataupun kontrak yang memberikan pelayanan HIV sudah dibayar melalui APBD. Untuk

dimensi kompetensi, hanya PDP yang dinilai sudah terintegrasi secara penuh. Permenkes

No.5 tahun 2014 mengatur standar pelayanan klinis yang harus diberikan oleh dokter terkait HIV. Sayangnya tidak ada data yang tersedia untuk menilai kategori pencegahan dan mitigasi dampak.

Sub-sistem keempat adalah Penyediaan farmasi dan alkes yang dikategorikan melalui dimensi regulasi penyediaan penyimpanan diagnostik dan terapi, serta sumber daya. Dalam dimensi

penyediaan farmasi dan alkes, respon pencegahan dikategorikan tidak terintegrasi karena

masih dilakukan melalui KPAP dan KPAK, sedangkan respon PDP dinilai sudah terintegrasi penuh mengingat pengadaan ARV sudah berada di bawah tanggung jawab bidang farmasi Kemenkes dan sudah proses distribusinya sudah dilakukan melalui Dinkes untuk diteruskan ke UPT yang memberikan pelayanan. Pencatatan ARV juga sudah mengacu pada pedoman pemberian ARV yang tertera dalam Permenkes No. 87 tahun 2014. Respon mitigasi dampak tidak dapat diukur lebih lanjut karena ketidaktersediaan data. Dalam dimensi sumber daya, respon pencegahan dinilai terintegrasi sebagian karena masih ada alat kesehatan jarum suntik untuk mendukung program pengurangan dampak buruk yang masih didukung oleh donor. Namun dengan adanya surat edaran Ka. Dinkes No. 3884/1.778/2009, UPT dapat menganggarkan jarum suntik melalui dana APBD. Respon PDP dinilai sudah terintegrasi penuh karena pembelian ARV sudah menggunakan dana APBD dan sebagian besar beban logistik sudah ditanggung oleh APBD. Tidak ada data yang dapat digunakan untuk mengukur respon mitigasi dampak.

Sub-sistem kelima adalah informasi strategis yang dipilah berdasarkan dimensi sinkronisasi sistem informasi, dan diseminasi dan pemanfaatan. Respon pencegahan dan PDP dinilai sudah terintegrasi secara penuh dalam dimensi sinkronisasi sistem informasi karena sudah ada survei perilaku dan biologis yang dilakukan untuk melihat prevalensi HIV pada populasi kunci. Dalam dimensi diseminasi dan pemanfaatan, tidak ada data data yang dapat digunakan untk menilai secara spesifik respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak. Namun

secara umum, pemanfaatan dari laporan rutin yang terkumpul masih perlu dimaksimalkan terutama untuk perencanaan dan desain program. Sedangkan respon mitigasi dampak tidak memiliki informasi yang cukup untuk dapat dinilai.

Sub-sistem keenam adalah pemberdayaan masyarakat yang dilihat melalui dimensi partisipasi masyarakat dan akses serta pemanfaatan layanan. Dari hasil pengolahan data, tidak ada data yang dapat digunakan untuk menilai secara spesifik respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak untuk kedua dimensi dalam sub-sistem pemberdayaan masyarakat. Namun secara umum dimensi partisipasi masyarakat dapat dikategorikan sebagai terintegrasi sebagian mengingat sudah ada pelibatan unsur masyarkaat sipil dalam perencanaan dan evaluasi program walaupun belum merata. Sedangkan dalam dimensi

pemanfaatan layanan juga dapat dikatakan sudah terintegrasi sebagian karena UPT dan LSM

secara aktif berusaha untuk memastikan populasi kunci dan terdampak HIV untuk teregistrasi dalam JKN, walaupun masih ada beberapa hambatan seperti kesulitan administrasi dan perbedaan pemahaman antar UPT dalam memaknai kegunaan JKN bagi populasi kunci. Dimensi ketujuh yaitu penyediaan layanan yang dinilai melalui dimensi ketersediaan layanan, kordinasi dan rujukan serta jaminan kualitas layanan. Dalam dimensi ketersediaan layanan, respon pencegahan dan PDP dinilai sudah terintegrasi secara penuh. Sekitar 38 puskesmas kecamatan di DKI Jakarta sudah dapat melakukan tes HIV, 30 puskesmas melakukan program LASS, 6 puskesmas menjadi satelit ARV dan 8 puskesmas menjalankan PTRM. Namun tidak ada data yang tersedia untuk mengukur mitigasi dampak. Dalam dimensi kordinasi dan

rujukan, tidak ada data yang tersedia untuk mengukur secara spesifik respon pencegahan,

PDP dan mitigasi dampak. Namun secara umum sudah ada kordinasi antar lembaga yang bergerak di bidang HIV yang dilakukan oleh KPAP dan Dinkes. Selain itu, alur rujukan sudah tersedia untuk program HIV baik dari LSM ke UPT ataupun antar UPT. Begitupun dengan dimensi jaminan kualitas layanan, hasil pengolahan data tidak dapat digunakan untuk mengukur respon HIV secara spesifik dikarenakan keterbatasan data. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa dimensi jaminan kualitas layanan sudah terintegasi sebagian mengingat mekanisme monitoring dan supervisi sudah menggunakan jalur yang sama dengan penyakit lain yaitu dari Sudinkes ke puskesmas, untuk kemudian disampaikan kepada Dinkes. Sayangnya program HIV belum masuk dalam daftar akreditasi Pukesmas. Rangkuman

63

Tabel 8. Tingkat Integrasi sub-sistem dalam setiap dimensi sistem kesehatan

Sub-sistem Dimensi Pencegahan PDP Mitigasi

Dampak Manajemen &

Regulasi

Regulasi ††† †††

Formulasi Kebijakan n/a n/a n/a

Akuntabilitas n/a n/a n/a

Pembiayaan Kesehatan

Pengelolaan sumber pembiayaan n/a n/a n/a Penganggaran, proporsi, distribusi dan

pengeluaran

††† †††

Mekanisme pembayaran layanan †† †††

SDM Kebijakan dan sistem manajamen n/a n/a n/a

Pembiayaan n/a n/a n/a

Kompetensi n/a ††† n/a

Penyediaan farmasi dan alkes

Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi

††† n/a

Sumber daya †† ††† n/a

Sistem informasi Sinkronisasi sistem informasi ††† ††† n/a Diseminasi dan pemanfaatan n/a n/a n/a Pemberdayaan

Masyarakat

Partisipasi Masyarakat n/a n/a n/a

Akses dan pemanfaatan layanan n/a n/a n/a Penyediaan layanan Ketersedian Layanan ††† ††† n/a

Kordinasi dan Rujukan n/a n/a n/a

Jaminan Kualitas Layanan n/a n/a n/a

Keterangan:

†††: Terintergasi penuh; ††: Terintergasi secara parsial; † Tidak terintegrasi; n/a tidak ada informasi tersedia

a. Hubungan tingkat integrasi dengan Kinerja Program HIV dan AIDS di DKI Jakarta

Bila merujuk pada table 8 dapat terlihat bahwa banyak data yang tidak tersedia untuk mengukur setiap dimensi dalam sub-sistem kesehatan. Hasil pengukuran tingkat integrasi dapat disimpulkan bahwa PDP adalah respon HIV AIDS terbanyak yang dimensinya sudah terintegrasi. Sub-sistem penyediaan farmasi dan alkes sudah terintegrasi secara penuh di kedua dimensinya. Sedangkan dalam sub-sistem lain ada beberapa dimensi yang sudah teringrasi secara penuh seperti dimensi regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem pembayaran layanan, kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Sedangkan dalam respon pencegahan dimensi dalam sub-sistem yang sudah teringrasi baru dalam tataran regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Beberapa dimensi seperti mekanisme pembayaran dan sumber daya baru terintegrasi secara parsial. Sayangnya, dari keseluruhan dimensi yang diukur dalam respon mitigasi dampak hanya tiga dimensi yang tersedia datanya, yaitu regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dengan hasil pengukuran bahwa dimensi tersebut tidak terintegrasi dengan sistem kesehatan di DKI Jakarta.

Dengan tingkat integrasi yang ada, hasil cakupan respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta masih sangat jauh dari capaian ideal. Pada table 9 dipetakan estimasi populasi beresiko tinggi yang menjadi sasaran utama dalam respon HIV di DKI Jakarta. SRAP DKI Jakarta mensyarakatkan agar 80% dari target setiap populasi kunci dapat terjangkau oleh respon HIV. Dari hasil kerja pada 2012 terlihat bahwa populasi kunci yang terjangkau sesuai target hanya waria (81%). Sedangkan populasi kunci lain hanya terjangkau kurang dari 45%. Untuk kelompok penasun yang mendapatkan akses pencegahan hanya 47% menerima PTRM dan 13.8% menerima program LASS. Bila dihubungkan dengan akses terhadap PDP, hanya kelompok penasun yang memiliki cakupan tes HIV mendekati setengah dari target SRAP (46.4%), sisanya hanya mendapatkan akses terhadap tes HIV kurang dari 25 persen.

Tabel 9. Capaian respon HIV di DKI Jakarta per populasi kunci

Populasi Kunci Estimasi (2012) Target 80% (SRAP) Terjangkau (2012) % terjangkau Tes HIV % Capaian WPS 12,560 10,048 12,238 44.2% 1,845 15% WPS TL 22,030 17,624

Pelanggan WPS 246,830 197,464 69,279 35% n/a n/a

LSL 46,900 37,520 8,705 23.2% 1,848 21.2%

Waria 2,050 1,640 1,336 81% 327 24.4%

Penasun 34,900 27,920 3,878 13.8% 12,973 46.4%

Aktif LASS 1,831 47.2% n/a -

Aktif PTRM 1,115 28.5% n/a -

Sumber: SRAP KPAP DKI (2013)

Tentunya akses populasi kunci terhadap tes HIV berkontribusi terhadap capaian Dinkes terkait target HIV AIDS. Dalam rencana strategis Dinkes 2013-2017 indikator kinerja program terkait HIV adalah presentase akses layanan kesehatan pada ODHA dengan peningkatan 5% setiap tahun sampai mencapai 60% pada tahun 2017. Data estimasi dari Kemkes (2012) menyatakan bahwa estimasi ODHA di DKI Jakarta berjumlah sekitar 87 ribu orang. Bila mengacu pada renstra Dinkes maka target cakupan layanan adalah 45% atau sekitar 39 ribu ODHA yang mendapatkan akses layanan kesehatan. Dari data laporan twiwulan HIV Kemkes (2014) tercatat bahwa Dinkes hanya bisa mencapai 82% dari target kinerja yang disyaratkan. Itupun hanya 44% ODHA yang dalam perawatan ART dari 23 ribu ODHA yang memenuhi syarat untuk ART. Angka loss to follow up dan kematian ODHA cukup tinggi di DKI Jakarta. Hal ini perlu menjadi perhatian bila kinerja Dinkes diukur dari jumlah ODHA yang mendapatkan akses layanan kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa tingkat intergasi sub-sistem yang sekarangpun belum mampu meningkatkan kualitas PDP dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta.

65

Gambar 4. Cascade HIV di DKI Jakarta

IV. DISKUSI

Terdapat beberapa temuan penting dalam studi ini yang layak untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertama, dalam analisa pemangku kepentingan terungkap bahwa terdapat banyak pemangku kepentingan dalam HIV AIDS dengan posisi kekuasaan dan kepentigan yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan temuan dari Ancker dan Rechel (2015) yang menemukan tingkatan kepentingan berbeda antara pemangku kepentingan dalam program HIV dan AIDS Di Kyrgyzstan. Disebutkan bahwa lembaga pemerintahan dan lembaga donor memiliki kepentingan dan kekuasaan yang tinggi, sesuai dengan temuan dalam studi ini dimana Dinkes, KPAP, Puksesmas dan MPI masuk dalam kateori kepentingan dan kekuasaan tinggi. Tiga aktor pertama berkaitan dengan unsur pemerintahan, walaupun Dinkes dan Puskesmas adalah instansi struktural dari pemerintah daerah dan KPAP merupakan lembaga non-struktural. Sedangkan MPI walaupun “lembaga luar” pemerintahan namun dapat masuk dalam kategori ini. Menurut Peters, Paina & Schleimann (2013) hal ini dikarenakan MPI masuk melalui isu inisiatif global untuk bekerja di dalam negeri. Kesamaan yang membuat keempat actor ini memiliki kepentingan dan kekuasaan tinggi dalam respon HIV adalah adanya modal dan legitimasi melalui payung hukum mengenai peran dan tanggungjawab dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta. Menurut Gore dan rekan (2014), peran pemerintah sangat penting dalam analisa politik program HIV mengingat pemerintah adalah peramu kebijakan, penyedia sumber daya terbesar, dan seharusnya memiliki kapasitas untuk bernegosiasi atas keterlibatan donor dalam respon HIV dan AIDS di dalam negeri.

Selain itu, data dan tingkat integrasi dalam respon mitigasi dampak sangat terbatas bila dibandingkan dengan respon HIV dan AIDS di pencegahan dan PDP di DKI Jakarta. Menurut Husain dan Badcock-Walters (2002) minimnya program mitigasi dampak umumnya terjadi ketika respon HIV lebih berfokus pada masalah kesehatan masyarakat dan melupakan tantangan pembangunan dan managerial yang melingkupi permasalah HIV dan AIDS. Ketidaktersedianya data terkait dampak epidemi HIV terhadap ekonomi dalam jangka panjang mengakibatkan ketidakpastian dalam merancang program terkait mitigasi dampak. Hal ini biasanya terjadi bila respon HIV hanya dilihat sebagai masalah kesehatan saja sehingga fokus solusi terhadap masalah tidak dapat keluar dari lingkup kesehatan, dan melihat aspek sosial dan ekonomi. Situasi ini serupa dengan respon HIV yang terjadi di Jakarta di mana data dan respon lebih banyak terlihat pada komponen program pencegahan dan PDP. Dalam

67 respon mitigasi dampak yang berhasil diukur tingkat integrasinya menunjukan bahwa dimensi

regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran serta mekanisme pembayaran layanan menunjukan tidak terintegrasi dalam sistem kesehatan daerah.

Sedangkan tingkat integrasi sub-sistem pada respon pecegahan dan PDP berbeda-beda. Dapat dikatakan hanya lima dari tujuh sub-sistem dimana terdapat dimensi yang dapat terukur tingkat intergasinya. Sub-sistem pemberdaan masyarakat dan sumber daya manusia (kecuali dimensi kompetensi) sama sekali tidak dapat terukur tingkat integrasinya. Menurut Mugavero, Norton, & Saag (2011) level integrasi yang berbeda dalam pemberian layanan umumnya terjadi berkaitan dengan ketersediaan anggaran, kurangnya kordinasi dan pendekatan yang berbeda dalam monitoring/surveillance program. Tingkat integrasi penuh dari kedua respon terlihat dalam dimensi regulasi, pengganggaran proprosi distribusi dan pengeluaran, sinkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Hal ini serupa dengan temuan studi Desai et al (2010) di mana tingkat integrasi secara penuh ditemukan pada infratstuktur layanan kesehatan dan proses procurement pada implementasi program dukungan Global Fund di Indoensia. Pada sub-sistem sistem informasi dimensi pemanfaatan dan diseminasi terhadap data yang sudah terkumpul belum dilakukan secara maksimal karena masih adanya kebingungan kepemilikan data antara nasional atau daerah. Untuk respon pencegahan, dimensi mekanisme pembayaran layanan dan sumber daya baru terintegrasi sebagian, sedangkan dalam respon PDP dimensi tersebut sudah terintegrasi secara penuh. Menurut Atun, Bennet & Duran (2008) adanya perbedaan tingkat integrasi dalam sub-sistem kesehatan terjadi karena adanya dorongan program dari komitmen global yang menfokuskan dukungan dana dan teknis untuk mengentaskan masalah kesehatan spesifik seperti AIDS, malaria atau tuberculosis. Selanjutnya menurut Atun dan rekan (2010) hasil sistematik review terhadap bukti integrasi intervensi kesehatan ke dalam sistem kesehatan menyimpulkan bahwa program kesehatan yang efektif ada yang dihasilkan dari intervensi yang terintegrasi penuh, sebagian dan tidak terintegrasi. Pada prakteknya sistem kesehatan mengkombinasikan intervensi yang terintegasi penuh dan tidak terintegrasi. Hal yang penting adalah apakah tingkat integrasi suatu intervensi kesehatan terhadap sistem kesehatan tersebut seberapa berhasil mengatasi masalah kesehatan yang ada.

69

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari studi ini adalah, pertama DKI Jakarta telah

Dokumen terkait