• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Karakteristik Masyarakat yang Berhubungan

Tahun 2014

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan karakterisitik responden berdasarkanumur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku bangsa, karakteristik balita(usia balita, dan jenis kelamin balita) terhadap kejadian diarepada balita.

Pada penelitian ini dilakukan maching pada variabel umur responden kasus dan kontrol didapatkan 3 kelompok umur yaitu kelompok umur <20 tahun, kelompok umur (20-30 tahun)dan >30 tahun.

Pada balita faktor risiko terjadinya diare selain faktor intrinsik dan ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh perilaku ibu atau pengasuh balita karena balita masih belum bisa menjaga dirinya sendiri dan sangat tergantung pada lingkungannya, jadi apabila ibu balita atau pengasuh balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan sehat maka kejadian diare pada balita tidak dapat dihindari. Makin muda (<20 tahun) dan makin tua (>30 tahun) umur ibu rumah tangga/pengasuh balita merupakan faktor risiko kejadian diare balita (Sintha, 2006).

Variabel pendidikan responden dikategorikan 2 tingkat pendidikan yaitupendidikan tinggi (≥ SMP) dan pendidikan rendah (≤ SMP).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwaresponden paling banyakberpendidikan tinggi (≥ SMP) yaitupada kelompok kasus 83,9% sedangkan kelompok kontrol 80,6%. Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian diare pada balita dengan hasil OR = 1,248;dengan nilai p = 0,740 (p > 0,05). Tetapi karena OR > 1 maka pendidikan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kejadian diare pada balita atau benar-benar merupakan faktor risiko terjadinya penyakit.

Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Lubis (2002) menemukan tingkat pendidikan menunjukkan tingkat bermakna terhadap kepemilikan rumah sehat. Bila pendidikan rendah maka pengetahuan cara hidup sehat belum dipahami dengan baik sehingga memudahkan terjadinya penyakit diare terutama pada balita yang tubuhnya sangat rentan.

Tinggi rendahnya angka kesakitan dan kematian karena diare di Indonesia salah satunya diakibatkan faktor pendidikan yang masih rendah orangtua dalam mengatasi kejadian diare. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Simatupang (2004) menunjukan bahwa proporsi kejadian diare pada anak balita dengan ibu yang berpendidikan rendah sebanyak 69 orang (53,1%), sedangkan anak balita dengan ibu pendidikan tinggi sebanyak 53 orang (46,9%). Hasil uji statistik pada penelitian ini diperoleh nilai p < 0,05 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian diare.Nilai OR=1,8; CI 95%; (1,085-3,130) yang artinya anak balita yang menderita daire 1,8 kali dengan ibu yang berpendidikan rendah, dibandingkan anak balita yang tidak menderita diare pada tingkat

kepercayaan 95%, kita yakin nilai OR berada pada interval 1,085-3,130 (Simatupang,2004)

Responden penelitian paling banyak yang tidak bekerja yaitu sebanyak 48 responden (77,4%) pada kelompok kasus 25 responden(80,6%) dan pada kelompok kontrol 23 responden (74,2%).Tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian diare pada balita dengan hasil OR = 2,254;dengan nilai p = 0,740 (p > 0,05). Tetapi karena OR > 1 maka pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kejadian diare pada balita atau benar-benar merupakan faktor risiko terjadinya penyakit.

Jenis pekerjaan pada umumnya berkaitan dengan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Bagi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain sehingga mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar dengan penyakit diare terlebih pengasuh yang tidak berpengalaman dalam mengurus anak balita (Simatupang, 2004).

Hasil penelitian menunjukan bahwavariabel pendapatan keluarga menurut keterangan responden adalah penghasilan yang merupakan nilai rupiah dalam satu bulan didapat oleh responden berdasarkan UMP Sumatera Utara Tahun 2014 yaitu responden paling banyak berpenghasilan (>UMP Rp. 1.505.850,00)pada kelompok kasus 48,4 % maupun kelompok kontrol 90,3 %. Tidak ada hubungan antara penghasilan dengan kejadian diare pada balita dengan hasil OR = 0,632; dengan nilai p = 0,409 (p > 0,05). Tetapi karena OR < 1 maka hubungan antara penghasilan dengan kejadian diare pada balita adalah protektif dalam arti faktor yang berefek

positif (melindungi) dan faktor yang menguntungkan atau mengurangi karena bersifat menghambat penyakit diare.

Usia balita menunjukan bahwabalita paling banyak berusia 12-24 bulan. Tidak ada hubungan antara usia balita dengan kejadian diare pada balita dengan hasil OR = 1,025;dengan nilai p = 0,691 (p > 0,05). Tetapi karena OR > 1 maka usia balita merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kejadian diare pada balita atau benar-benar merupakan faktor risiko terjadinya penyakit.

Dari hasil penelitian analisa lanjut yang dilaksanakan SDKI (1995) mendapatkan bahwa usia balita(12-24 bulan) mempunyai risiko terjadi diare 2,23 kali dibanding anak (25-59 bulan) (Simatupang, 2004). Begitu pula dari hasil penelitian Sintha (2006) menunjukan bahwa faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita berdasarkan analisa multivariat adalah pada usia 0-24 bulan (OR=3,183). Hal ini menunjukan bahwa faktor risiko terjadi diare paling rentan pada usia balita 2 tahun.

Semakin muda usia balita maka semakin besar kemungkinan terkena diare karena semakin muda usia balita keadaan integritas mukosa usus masih belum baik, sehingga daya tahan tubuh masih belum sempurna. Kejadian diare terbanyak menyerang balita pada usia 7-24 bulan, hal ini terjadi karena bayi usia 7 (tujuh) bulan mulai mendapat makanan tambahan diluar ASI dimana risiko ikut sertanya kuman pada makanan tambahan tinggi terutama jika sterilisasinya kurang. Selain itu produksi ASI mulai berkurang, yang berarti juga antibodi yang masuk bersama ASI berkurang. Setelah usia 24 bulan maka tubuh anak mulai membentuk sendiri anti bodi

dalam jumlah cukup untuk defence mekanisme, sehingga serangan virus semakin berkurang.

Responden paling banyak yang memiliki sikap baik terhadap bagaimana dalam mengatasi kejadian diare terhadap balita dalam rumah tangga.Berdasarkan hasil penelitian tidak ada hubungan antara sikap dengan kejadian diare pada balita dengan hasil OR = 0,436; dengan nilai p = 0,118 (p > 0,05). Tetapi karena OR < 1 maka hubungan antara sikap dengan kejadian diare pada balita adalah faktor protektif dalam arti faktor yang berefek positif (melindungi) dan faktor yang menguntungkan atau mengurangi karena bersifat menghambat penyakit diare.

Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Fajrin dkk (2013) yang menyatakan Ada hubungan yang bermakna sikap ibu mengenai Sanitasi Total Berbasis Masyarakat terhadap kejadian diare pada balita dengan hasil 45 responden (45,0%) bersikap buruk, 30 (30,0%) sikap sedang, 25 (25,0%) sikap baik dengan p- value 0,003 (p < 0,05).

Begitu pula dengan penelitian Novie E. Mauliku dan Eka Wulansari (2009) yang menyatakan perbedaan hasil penelitian dimana hasil penelitian mereka bahwa dari 28 ibu yang memiliki sikap negatif, terdapat sebanyak 70,7% ibu yang balitanya menderita diare, sedangkan diantara 63 ibu yang sikapnya positif, ada 43,5% ibu yang balitanya menderita diare. Hasil uji statistik didapatkanp value=0,019 (p<0,05), berarti HO ditolak yang artinya ada hubungan yang signifikan antara sikap ibu dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Batujajar Kabupaten Bandung Barat.

Terbentuknya sikap dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yangdianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan itu sendiri dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. Oleh karena itu untuk meningkatkan sikap positif ibu terhadap penanganan dalam mengatasi diare pada balita dengan memberi ASI minimal ASI ekskusif, aturan pemberian makanan tambahan pada bayi, mencuci tangan pakai sabun, memasak air minum sampai mendidih, mencuci peralatan makan bayi dengan benar sebelum digunakan, penanganan makanan yang baik, penanganan balita pada saat diare sebagaimana mestinya dengan tidak memberhentikan pemberian ASI, pemberian oralit sesuai dosis dan usia balita, pemberian cairan lebih banyak dari biasanya, bawa balita ke sarana kesehatan, menjaga kesehatan lingkungan, menutup botol susu balita setelah digunakan serta membiasakan berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) seluruh anggota keluarga. Variabel Sikap positip ibu sangat mendukung penanganan dan upaya pencegahan diare di rumah tangga terutama terhadap balita yang perlu perhatian khusus dari ibu /pengasuh bayi.

5.2. Hubungan Sanitasi Dasar dengan Upaya Pencegahan Kejadian Diare

Dokumen terkait