• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.5 Pengaruh Upaya Pencegahan terhadap Kejadian Diare pada

Berdasarkan hasil penelitian upaya pencegahan diare diperoleh nilai Exp (B) atau Odd Rasio(OR) sebesar 8,265 pada Confidence Interval 95% yaitu antara 3,265 sampai 90,254 dengan p=0.001sehingga dapat disimpulkan bahwa yang tidak melakukan upaya pencegahan diare akan mempunyai kemungkinan 8,265 kali terkena diare dibandingkan dengan yang melakukan upaya pencegahan diare.

Upaya pencegahan diare dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh responden dalam bentuk tindakan untuk mencegah kejadian diare pada balita yang meliputi upaya pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat 1). Menggunakan air bersih, tanda-tanda air bersih secara fisik adalah ‘3 tidak’, yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa, 2).Memasak air sampai mendidih sebelum diminum untuk mematikan sebagian besar kuman penyakit, 3). Mencuci tangan dengan sabun pada waktu sebelum makan, sesudah makan dan sesudah buang air besar (BAB), 4). Menutup makanan dengan tudung saji,5). Memberikan ASI pada anak sampai berusia dua tahun, 6). Menggunakan jamban yang sehat, dan 7). Membuang tinja bayi dan anak dengan benar.

Berdasarkan hasil penelitian, responden paling banyak yang tidak melakukan kebiasaan cuci tangan pakai sabun pada kelompok kasus ada 29 responden (93,5%) sedangkan pada kelompok kontrol hanya 17 responden (54,8%) yang melakukan kebiasaan cuci tangan pakai sabun. Penelitian ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan pakai sabun dengan kejadian diare pada balita dengan hasil OR = 0,557; dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05). Tetapi karena OR < 1 maka hubungan antara cuci tangan pakai sabun dengan kejadian diare pada balita adalah protektif dimana faktor risiko merupakan faktor yang menguntungkan atau mengurangi karena bersifat mencegah penyakit diare (Cuci tangan pakai sabun merupakan faktor yang berefek positif). Nilai OR yang diperoleh 0,557 artinya responden yang tidak melakukan CTPS akan berisiko 0,557 kali lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang

Mencuci tangan pakai sabun adalah salah satu tindakan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai dikenal juga sebagai salah satu upaya tangan seringkali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabka

Cuci tangan pakai sabun dapat dilakukan di 5 penting yaitu sebelum makan, sesudah buang air besar, sebelum memegang bayi,sesudah menceboki anak, dan sebelum menyiapkan makanan. CTPS akan dapat mengurangi hingga 47% angka kesakitan karena diare. Beberapa fakta tentang mencuci tangan pakai sabun adalah tangan salah satu pengantar utama masuknya kuman penyakit ke tubuh. CPTS dapat menghambat masuknya kuman penyakit ke tubuh manusia melalui perantara tangan, tangan manusia yang kotor karena menyentuh feses mengandung kurang lebih 10 juta virus dan 1 juta bakteri, kuman penyakit seperti virus dan bakteri tidak dapat terlihat secara kasat mata sehingga sering diabaikan dan mudah masuk ke .dalam tubuh manusia, hampir semua orang mengerti pentingnya cuci tangan pakai sabun namun tidak membiasakan diri untuk melakukannya dengan benar pada saat yang penting.

berpindah dari satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk, gelas).

Penelitian ini sejalan dengan penelitianKamilla(2012) dimana ada hubungan yang signifikan praktik personal hygiene Ibu dengan kejadian diare pada balita dalam paktek mencuci tangan pakai sabun sebelum makan (RP= 1,853 ; CI 95%

1,277-2,69 ; p = 0,002 (p < 0,05) dan praktik mencuci tangan setelah BAB (RP=1,690 ; CI 95% 1,235-2313 ; p = 0,020 (p < 0,05). Begitu juga dengan penelitian Wohangara dkk,(2012) dengan hasil uji statistik diperoleh nilai pearson chi-squre dengan nilai signifikansi 0,010 berarti P-value< α (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan mencuci tangan ibu dengan kejadian diare pada balita. Dilihat dari nilai confidence interval 1,363-12,019 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan bermakna antara kebiasaan mencuci tangan ibu dengan kejadian diare pada balita. Hasil analisis juga diperoleh nilai OR sebesar 4,048 artinya ibu yang memiliki kebiasaan mencuci tangan tidak benar, balitanya akan berisiko terkena penyakit diare 4,048 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki kebiasaan mencuci tangan benar.

Berdasarkan hasil penelitian, responden paling banyak yang memasak air sampai mendidih pada kelompok kasus ada 18 responden (58,1%) sedangkan pada kelompok kontrol 19 responden (61,3%). Tidak ada hubungan antara memasak air sampai mendidih dengan kejadian diare pada balita dengan hasil OR = 0,879;dengan nilai p = 0,796 ( p > 0,05). Tetapi karena OR < 1 maka hubungan antara memasak air sampai mendidih dengan kejadian diare pada balita adalah protektif bahwa apabila dengan memasak air sampai mendidih merupakan faktor yang berefek positip upaya pencegahan dari kejadian diare.Nilai OR yang diperoleh 0,879 artinya responden yang tidak memasak air sampai mendidih akan berisiko 0,879 kali lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang memasak air sampai mendidih.

Salah satu mendapatkan air minum yang aman dengan sederhana adalah dengan cara memasak air dengan mendidih dan sering disebut desinfeksi cara sederhana menghilangkan kuman dari air minum. Desinfeksi atau menghilangkan kuman dari air minum sangat penting dilakukan sebelum air tersebut diminum atau dikonsuumsi. Air yang diperoleh dari sumur, hasil penyaringan sederhana atau sumber air lainnya mungkin akan terlihat bening, tidak berasa dan tidak berbau tetapi hal itu tidak menandakan bahwa air tersebut bersih dari kuman penyakit.

Memasak air sampai mendidih adalah cara yang paling efektif untuk mematikan semua kuman patogen yang ada dalam air seperti virus, bakteri, spora, fungi, dan protozoa. Lama waktu mendidih yang dibutuhkan adalah berkisar 5 menit, namun lebih lama lagi waktunya akan lebih baik, diperkirakan 20 menit. Walaupun mudah dan sering kita lakukan kendala utama dalam memasak air hingga mendidih adalah bahan bakar, baik itu kayu bakar, batu bara, minyak tanah, gas elpiji ataupun bahan bakar lainya.

Dari hasil pengamatan dan wawancara kebanyakan responden menggunakan air minum isi ulang yang belum tentu steril baik dalam proses pengemasan, pencucian tabung botol isi, serta pada saat pengisian air minum akan tetap menjadi risiko pencemaran. Alangkah baik dan efektif apabila sumber air yang akan dijadikan air minum tetap dimasak sampai mendidih untuk mencegah kejadian diare terutama pada balita.

Penelitian ini mempunyai hasil penelitian yang sama dengan penelitian Hannif dkk (2011) di Kecamatan Umbulharjo dan Kota Gede Yokyakarta, dimana ada

hubungan memasak air sampai mendidih dengan kejadian diare pada balita yang hasil analisa bivariat OR = 2,62 ; CI95% 1,10 – 6,24 ; p = 0,042 (p < 0,05).

Responden paling banyak pada kelompok kasus ada 16 responden (51,6%)yang tidak memberikan ASI hingga dua tahunsedangkan pada kelompok kontrol jauh lebih banyak yaitu 28 responden (90,2%)yang memberikan ASI hingga dua tahun.Hasil dari analisis bivariat ada hubungan antara pemberian ASI hingga dua tahun dengan kejadian diare pada balita dengan hasil OR = 0,100; CI 95%; 0,025<OR<0,401 dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05). Tetapi karena OR < 1 maka hubungan antara pemberian ASI hingga dua tahun dengan kejadian diare pada balita adalahprotektif faktor risiko merupakan faktor yang menguntungkan atau mengurangi karena bersifat mencegah penyakit diare ( Pemberian ASI hingga 2 tahun merupakan faktor yang berefek positif ). Nilai OR yang diperoleh 0,100 artinya balita yang tidak diberikan ASI hingga dua tahun akan berisiko 0,100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI hingga dua tahun. Setelah dilakukan analisa multivariat maka didapatkan hasil bahwa variabel pemberian ASI hingga usia 2 tahun merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya diare pada balita di Kelurahan Sei Sekambing C-II Medan Helvetia dimana hasil analisa multivariat menunjukan bahwa variabel Pemberian ASI hingga 2 (dua) tahun diperoleh nilai p- value 0,009 (p < 0,05), nilai Exp (B) atau Odd Rasio(OR) sebesar 2,392 pada Confidence Interval 95% yaitu antara 0,955 sampai 63,623 sehingga dapat disimpulkan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI hingga berusia dua tahun

akan mempunyai kemungkinan 2,392 kali terkena diare dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI hingga usia 2(dua) tahun.

ASI mengandung antibodi yang dapat melindungi Balita terhadap berbagai kuman penyakit diare seperti Shigella dan V.Cholerae. ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu bayi baru lahir sampai usia 6 bulan, tanpa diberikan makanan tambahan lainnya. Brotowasisto (1997), menyebutkan bahwa insiden diare meningkat pada saat anak untuk pertama kali mengenal makanan tambahan dan makin lama makin meningkat. Pemberian ASI penuh akan memberikan perlindungan diare 4 kali daripada bayi dengan ASI disertai susu botol. Bayi dengan susu botol saja akan mempunyai resiko diare lebih besar dan bahkan 30 kali lebih banyak daripada bayi dengan ASI penuh (Sutoto, 1992).

Depkes RI didukung oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDAI) telah mencanangkan panduan terbaru tatalaksana diare pada anak, yaitu Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS DIARE),yangsalah satunya adalah meneruskan pemberian ASI dan makanan. Pada waktu lahir sampai beberapa bulan sesudahnya, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. ASI memberikan zat-zat kekebalan yang belum dapat dibuat oleh bayi tersebut, sehingga bayi yang minum ASI lebih jarang sakit, terutama pada awal dari kehidupannya. Komponen zat anti infeksi yang banyak dalam ASI akan melindungi bayi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan antigen lainnya ( Suraatmaja S,2007)

Dari hasil wawancara ke lapangan, sikap responden dalam menanggapi pemberian ASI dapat memperkecil risiko terkena diare pada dasarnya mereka

kebanyakan “setuju” dan ditanya apakah pada saat diare ASI tetap diberikan, sikap responden menyatakan kebanyakan” setuju” tetapi setelah ditanya apakah responden memberikan ASI sampai bayi berusia 2 (dua) tahun, kebanyakan responden menyatakan” ya ” ada 43 responden (69,4%) dan menyatakan” tidak” hanya 19 responden (30,6%). Hal ini berbagai alasan responden menyatakan ASI sudah kering, karena bekerja, anak tidak mau minum ASI lagi dan sebagainya. Dari hasil analisa bivariat terlihat bagaimana responden sebagai ibu yang tidak memberikan ASI hingga 2 tahun mempunyai risiko balita terkena diare lebih besar.

Peningkatan kualitas anak kedepan salah satunya sangat dipengaruhi aspek pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif. Seperti pada hasil penelitian ini bahwa responden kurang mengetahui tentang ASI tetapi semua reponden sudah berusaha memberi ASI anaknya sejak lahir namun lama pemberian ASI masih kurang dari dua tahun tidak sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Ibu memberi ASI merupakan makanan terbaik dan alamiah serta merupakan makanan bergizi seimbang bagi bayi dan diberi sejak usia 0-6 bulan (ASI eksklusif) dan diberikan hingga bayi usia 24 bulan, Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.Dalam hal ini tidak terbukti dalam penelitian ini pengetahuan berhubungan dengan pemberian ASI Eksklusif, dan benar bahwa menyusui adalah suatu proses alamiah. Tetapi ada banyak ibu-ibu berhasil menyusui bayinya tanpa membaca buku tentang ASI dan proses menyusui, bahkan ibu yang buta huruf sekalipun dapat menyusui anaknya dengan baik

(2006) yang menyatakan bahwa meskipun pengetahuan ibu cukup atau kurang namun hal itu tidak mempengaruhi ibu untuk tetap memberikan ASI Eksklusif pada bayinya. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASl secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASl yang disertai dengan susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh pada 6 bulan pertama kehidupan, mempunyai risiko terkena diare 30x lebih besar (Depkes RI, 2007).

Perilaku kesehatan seseorang dalam hal ini pemberian ASI sangat berkaitan dengan aspek sosial budaya diantaranya pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya (Kalangie, 1994).

Responden palingbanyak pada kelompok kasus ada 28 responden (90,3%) yang tidak membuang tinja balita dengan benar sedangkan kelompok kontrol ada 16 responden (51,6%) . Hasil dari analisis bivariat ada hubungan antara pembuangan tinja balita yang benar dengan kejadian diare pada balita dengan hasil OR = 0,114;CI 95%; 0,029<OR<4,560 dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05). Tetapi karena OR < 1 maka hubungan antara pembuangan tinja balita yang benar dengan kejadian diare pada balita adalah protektif. Nilai OR yang diperoleh 0,114 artinya balita yang tinjanya tidak dibuang dengan benar akan berisiko 0,114 kali lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang tinjanya dibuang dengan benar.Variabel pembuangan tinja balita yang benar diperoleh p value = 0,028 (p value < 0,05), nilai Exp (B) atau Odd Rasio(OR) sebesar 7,391 pada Confidence Interval 95% yaitu antara 2,542 sampai 88,254 sehingga dapat disimpulkan bahwa yang tidak melakukan cuci tangan pakai

sabun sebelum melakukan aktivitas maka akan mempunyai kemungkinan 7,391 kali terkena diare dibandingkan dengan yang melakukan cuci tangan pakai sabun

Pembuangan tinja balita yang benar dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit diare karena tinja balita dapat menularkan penyakit pada anak-anak serta orangtuanya. Tinja balita haruslah dibuang secara bersih dan benar. Hal yang harus diperhatikan dalam membuang tinja balita sebaiknya tinja bayi dan anak dibuang ke jamban bukan ke selokan atau aliran air kamar mandi, dan setelah membuang tinja balita sebaiknya mencuci tangan dengan memkai sabun agar tinja yang melekat sehabis menceboki balita tidak menularkan penyakit diare.

Penyakit dapat disebarkan lewat pembuangan kotoran/tinja manusia yang kurang baik dan umumnya penyakit-penyakit tersebut merupakan penyakit yang disebarkan lewat air (water borne disease). Antaralain disebabkan bakteri dan virus, yaitu demam tifus, disentri basiler, poliomielitis, dan penyakit parasit pada saluran pencernaan. Infeksi cacing gelang (askaris), cacing pita (taenia), cacing gelang (ringworm) ditularkan secara langsung maupun tidak langsung akibat cara pembuangan kotoran/tinja manusia yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Pembuangan kotoran/tinja manusia, apabila tidak dikelola dengan baik sering kali mencemarkan air bersih, sehingga air tersebut dapat menyebarkan penyakit, atau dapat juga langsung mencemarkan permukaan tanah. Perilaku pencegahan diare anak balita dalam penggunaan jamban saniter sangat efektif mencegah kontaminasi kuman terhadap manusia dan pembuangan tinja yang tidak baik sertasembarangan dapat

Dari hasil penelitian, responden mempunyai jamban 100 %, telah membuang air besar di jamban/wc dengan alasan tinja berbahaya,sebagai sumber penyakit dan menimbulkan bau sedangkan pada observasi terlihat kurangnya kebersihan jamban.

Dalam wawancara kepada responden dalam upaya pencegahan, kebanyakan responden membuang kotoran/tinja balita ke aliran air kamar mandi/selokan, bukan ke jamban atau membuang pempers balita dengan membungkus plastik lalu membuang ke tempat sampah dimana tempat sampah responden kebanyakan memakai kantongan pelastik dan membuangnya begitu saja di tempat pembuangan sampah sementara sebelum dibakar atau diangkat petugas kebersihan. Hal ini dapat menyebabkan penyebaran penyakit apabila pemusnahan/pengangkutan sampah tidak dilakukan segera minimal 1x24 jam karena akan menjadi tempat bersarangnya vektor penyakit seperti lalat, kecoa, serangga, tikus, ternak ayam, anjing dan binatang lainya yang senang dengan kotoran/tinja manusia maka akan terjadilah penularan penyakit secara langsung maupun tidak lansung kepada manusia terutama balita yang usianya masih rentan dan belum mengetahui bahaya akibat dari kurangnya kesadaran orangtua terutama ibu rumah tangga/pengasuh balita dalam membuang kotoran/tinja dengan benar.

Pembuangan tinja balita yang benar dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit diare karena tinja balita dapat menularkan penyakit pada anak-anak serta orangtuanya. Tinja balita haruslah dibuang secara bersih dan benar. Hal yang harus diperhatikan dalam membuang tinja balita sebaiknya tinja bayi dan anak dibuang ke jamban bukan ke selokan atau aliran air kamar mandi, dan setelah membuang tinja

balita sebaiknya mencuci tangan dengan memakai sabun agar tinja yang melekat sehabis menceboki balita tidak menularkan penyakit diare.

Penyakit dapat disebarkan lewat pembuangan kotoran/tinja manusia yang kurang baik dan umumnya penyakit-penyakit tersebut merupakan penyakit yang disebarkan lewat air (water borne disease). Antaralain disebabkan bakteri dan virus, yaitu demam tifus, disentri basiler, poliomielitis, dan penyakit parasit pada saluran pencernaan. Infeksi cacing gelang (askaris), cacing pita (taenia),cacing gelang (ringworm) ditularkan secara langsung maupun tidak langsung akibat cara pembuangan kotoran/tinja manusia yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Pembuangan kotoran/tinja manusia, apabila tidak dikelola dengan baik sering kali mencemarkan air bersih, sehingga air tersebut dapat menyebarkan penyakit, atau dapat juga langsung mencemarkan permukaan tanah. Perilaku pencegahan diare anak balita dalam penggunaan jamban saniter sangat efektifmencegah kontaminasi kuman terhadap manusia dan pembuangan tinja yang tidak baik sertasembarangan dapat mengakibatkan pencemaran pada air, tanah, atau menjadi sumber penyakit.

Responden lebih banyak menutup makanan atau menyimpan di lemari makan makanan yang sudah di olah sekitar 57 responden (91,9%). Adapun perilaku menutup makanan yang sudah dimasak adalah hal umum yang dilakukan pada keluarga untuk menghindari debu, kuman dan serangga seperti lalat hinggap pada makanan yang dapat menyebabkan penyakit diare anak balita. Dari hasil penelitian, informan telah menutup makanan yang sudah dimasak dengan menggunakan kain penutup,

kedalam lemari, menyimpan makanan menggunakan peralatan seperti pakai piring atau makanan tetap disimpan didalam panci dan diatas kompor. Penyajian makanan yang sudah dimasak, dari hasil penelitian responden menyajikan makanan diatas meja makan, menyimpan makanan ditempat yang bersih meletakkan makanan dalam wadah yang bersih dan tertutup, menyiapan makanan dalam ditempat yang dingin dan terhindar dari matahari langsung, menjaga makanan agar tidak dijamah oleh hewan, menjaga piring, panci masak dan peralatan makanan agar selalu tetap bersih, mencuci tangan pakai sabun dan menyajikan makanan. Cara-cara terjadinya pengotoran terhadap makanan berhubungan dengan kejadian diare adalah dalam mengolah atau menjamah makanan (Depkes RI, 2001)

Dokumen terkait