• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek wilayah Kota Tangerang Selatan Selatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek wilayah Kota Tangerang Selatan Selatan

Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan pengobatan untuk mencapai hasil yang optimal sehingga meningkatkan mutu kehidupan pasien serta menegaskan bahwa pekerjaan kefarmasian pada pelayanan kefarmasian dilakukan oleh Apoteker (PP No.51 RI, 2009). Hal ini menunjukkan pemberi pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan informasi obat harus dilakukan Apoteker sehingga kehadiran Apoteker di Apotek sangat menentukan berjalannya pelayanan informasi obat di Apotek. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data mengenai frekuensi kehadiran dan karakteristik Apoteker yang hadir di Apotek selama penelitian. Data penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 5.1.1 Gambaran Tingkat Kehadiran Apoteker di Apotek Wilayah Kota Tangerang Selatan

No Variabel Jumlah

( n = 50 )

% 1 Kehadiran Apoteker

A. Apoteker yang hadir saat penelitian A.1. Frekuensi Kehadiran

Setiap hari kerja Tidak setiap hari kerja A.2. Waktu Kehadiran

Pagi & Sore Tidak pagi & sore

B. Apoteker yang tidak hadir saat penelitian

18 17 1 1 17 32 36 34 2 2 34 64 2 Apoteker yang hadir berdasarkan per

kecamatan

a. Kecamatan Pamulang (n = 8) b. Kecamatan Setu (n = 1) c. Kecamatan Serpong (n = 13) d. Kecamatan Serpong Utara (n = 6) e. Kecamatan Pondok Aren (n = 12) f. Kecamatan Ciputat (n = 6) g. Kecamatan Ciputat Timur (n=4)

5 1 2 3 3 3 1 10 2 4 6 6 6 2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada tabel 5.1.1 didapatkan data penelitian berupa kehadiran Apoteker di Apotek wilayah Kota Tangerang Selatan yaitu 36 % Apoteker hadir pada saat penelitian dan 64% Apoteker tidak hadir pada saat penelitian. Berdasarkan per kecamatan, 10% Apoteker hadir di Kecamatan Pamulang, 2 % Apoteker hadir di Kecamatan Setu, 4 % Apoteker hadir di Kecamatan Serpong, 6% Apoteker hadir di Kecamatan Serpong Utara, 6% Apoteker hadir di Kecamatan Pondok Aren, 6% Apoteker hadir di Kecamatan Ciputat dan 2% Apoteker hadir di Kecamatan Ciputat Timur. Hasil menunjukan hal yang sama dengan penelitian tahun 2015 di Kecamatan Tarogong Kaler oleh Rizza Pernama Suci yang menyatakan bahwa kehadiran Apoteker di Apotek hanya 30% dan masuk dalam kategori buruk. Penelitian serupa dilakukan pada 2014 oleh Rendy Ricky Kwando di wilayah Surabaya Timur yaitu 61,3% dan masuk dalam kategori sedang. Pada tahun 2009 oleh Ginting BR Adelina di Medan menunjukkan 52,49 Apoteker tidak hadir setiap hari dan tahun 2003 oleh Purwanti Angki dkk di Jakarta menunjukkan 54,7% Apoteker tidak bekerja penuh.

Hasil diatas juga menunjukkan bahwa sebanyak 32 Apotek (64%) tidak terdapat Apoteker yang hadir pada saat penelitian dimana hal ini menunjukkan bahwa Apotek tersebut tidak mematuhi Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 dimana Apoteker sebagai pelaksana pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan informasi obat.

Data tersebut menunjukkan secara jelas bahwa kehadiran Apoteker di Apotek masih sangat kurang dan seharusnya dapat menjadi perhatian lebih kepada pemangku kebijakan atau instansi profesi mengenai kehadiran Apoteker ini sehingga dapat menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek seluruh Indonesia. Hal ini dikarenakan syarat utama pelayanan farmasi klinik di Apotek dapat berjalan secara optimal jika hadirnya Apoteker di Apotek selaku pelaksana pelayanan informasi obat dan tugas ini seharusnya tidak dapat dialihkan kepada petugas Apotek yang lain termasuk Asisten Apoteker.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 5.1.2 Karakteristik Apoteker yang hadir di Apotek saat penelitian

No Variabel Jumlah

(n = 18)

% 1 Status Apoteker yang hadir saat

penelitian Apoteker Penanggungjawab Apotek Apoteker Pendamping 14 4 77,77 22,22 2 Umur Apoteker < 25 tahun 25 – 30 tahun 31 – 35 tahun > 35 tahun 2 9 4 3 11,11 50 22,22 16,66 3 Jenis Kelamin Apoteker

Laki – Laki Perempuan 2 16 11,11 88,88 4 Pendidikan Terakhir Apoteker

Apoteker S-2 S-3 18 - - 100 - - 5 Status Kepemilikan Apotek

Milik Sendiri Kepemilikan bersama dengan Pemodal Milik Pemodal 1 - 17 5,55 - 94,44 6 Pengalaman menjadi Apoteker

pengelola Apotek < 1 tahun 1 – 10 tahun 11 – 20 tahun > 20 tahun 1 14 3 - 5,55 77,77 16,66 - 7 Pengalaman mengikuti

pelatihan mengenai pelayanan informasi obat Pernah Tidak Pernah 16 2 88,88 11,11 8 Pengetahuan mengenai Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek Tahu Tidak Tahu 18 - 100 -

Pada tabel 5.1.2 menunjukkan karakteristik dari Apoteker yang hadir pada saat penelitian mayoritas sebagai Apoteker Penanggungjawab Apoteker yaitu sebanyak 77,77%. Dari segi usia Apoteker yang hadir pada saat penelitian mayoritas berusia 25-30 tahun yaitu 50%. Dari segi jenis kelamin Apoteker hadir pada saat penelitian mayoritas perempuan sebanyak 88,88%. Dari segi pendidikan terakhir Apoteker yang hadir pada saat penelitian 100% Apoteker. Untuk status kepemilikan Apotek sebagai tempat kerja Apoteker sebanyak 94,44% Apotek

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

milik pemodal. Pengalaman menjadi Apoteker pengelola Apotek 77,77% 1-10 tahun. Pengalaman mengikuti pelatihan mengenai pelayanan informasi obat 88,88% pernah mengikuti. Pengetahuan mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek 100% mengetahui.

Pada penelitian ini, frekuensi kehadiran sebanyak 34% hadir pada saat jam kerja. Waktu kehadiran sebanyak 34% tidak hadir pagi & sore melainkan hanya hadir pada saat pagi hari saja dan sore hari saja. Dalam penelitian Rendy Ricky Kwando (2014) dijelaskan bahwa frekuensi kehadiran Apoteker di Apotek berkolerasi dengan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek. Semakin tinggi frekuensi kehadiran Apoteker di Apotek maka akan semakin meningkat kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek tersebut. Hal ini akan menyebabkan peningkatkan daya saing Apotek terutama dalam hal ketertarikan pelanggan. Dalam penelitian Erlin Aurelia (2013) mendukung argumen tersebut dimana konsumen akan berlangganan dengan Apotek bila Apotek tersebut dapat memberi kepuasan konsumen dalam segi kualitas pelayanan kefarmasian. Jika semakin banyak konsumen berlangganan dengan Apotek maka akan menyebabkan peningkatan gaji/upah Apoteker. Sehingga terjadi suatu kesinambungan antara kehadiran Apoteker dengan gaji/upah Apoteker. Hal tersebut dijelaskan dalam penelitian Erik Darmasaputra (2014) yang menjelaskan salah satu alasan utama ketidakhadiran Apoteker di Apotek adalah masalah gaji/upah Apoteker.

Dari pemaparan tersebut maka jelas tergambarkan bahwa akan saling berpengaruh satu sama lain jika Apoteker tidak hadir di Apotek yaitu dari aspek kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek, daya saing Apotek dalam hal ketertarikan konsumen datang ke Apotek sehingga menjadi berlangganan, kepuasan konsumen dan peningkatan gaji/upah Apoteker. Sehingga jika Apoteker Pengelola Apotek (APA) tidak hadir di Apotek maka Apoteker Pengelola Apotek wajib mengangkat seorang Apoteker pendamping untuk membantu dan juga menjamin tetap berlangsungnya pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek tersebut. Hal ini sesuai dengan PP No. 51 tahun 2009 pasal 24 mengenai keharusan Apoteker untuk melakukan hal tersebut.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat di Apotek Wilayah

Kota Tangerang Selatan

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal. Dalam penelitian ini adalah terkait pelayanan informasi obat terhadap obat resep. Pelayanan informasi obat yang harus dilakukan Apoteker adalah terkait informasi tujuan penggunaan obat, waktu penggunaan obat (pagi/siang/malam), waktu penggunaan obat (sebelum/sedang/setelah makan), jumlah frekuensi penggunaan obat, jumlah obat sekali minum, nama obat, indikasi obat, interaksi obat (jika terdapat lebih dari 1 obat dalam resep), pencegahan interaksi obat, efek samping obat, pencegahan efek samping obat, gejala efek samping obat dan cara penyimpanan obat.

Pelayanan Informasi Obat sangat diwajibkan dilakukan oleh Apoteker di Apotek yang menjadi tanggung jawabnya dikarenakan hal ini akan mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat yang digunakan. Peneliti memberikan kuisioner yang berisi kegiatan pelaksanaan pelayanan informasi obat kepada Apoteker yang hadir pada saat penelitian. Berikut tabel yang menggambarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan berdasarkan kuisioner yang diberikan kepada Apoteker :

Tabel 5.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat yang diberikan Apoteker di Apotek Wilayah Kota Tangerang Selatan

No Variabel Kategori

Diterapkan Tidak Diterapkan 1 Menjelaskan tujuan penggunaan obat

kepada pasien

72,22% 27,77%

2 Menjelaskan waktu penggunaan obat (pagi/siang/malam) kepada pasien

66,66% 33,33%

3 Menjelaskan waktu penggunaan obat (sebelum/sedang/setelah makan) kepada pasien

66,66% 33,33%

4 Menjelaskan frekuensi penggunaan obat kepada pasien

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 Menjelaskan jumlah obat yang

diminum pasien saat sekali minum kepada pasien

61,11% 38,88%

6 Menyebutkan nama obat yang diberikan kepada pasien

44,44% 55,55%

7 Menjelaskan indikasi dari obat yang diberikan kepada pasien

38,88% 61,11%

8 Menjelaskan jika ada interaksi dari obat yang diberikan kepada pasien

5,55% 94,44%

9 Menjelaskan pencegahan interaksi dari obat yang diberikan kepada pasien

5,55% 94,44%

10 Menjelaskan efek samping obat dari obat yang diberikan kepada pasien

22,22% 77,77%

11 Menjelaskan cara penyimpanan obat yang diberikan kepada pasien

38,88% 61,11%

Berdasarkan hasil dari penelitian, pelayanan informasi obat yang dilakukan Apoteker kepada pasien yaitu tujuan penggunaan obat sebanyak 72,22% selalu dilakukan ; waktu penggunaan obat (pagi/siang/malam) sebanyak 66,66% selalu dilakukan ; waktu penggunaan obat (sebelum/sedang/setelah 66,66% selalu dilakukan ; frekuensi penggunaan obat sebanyak 61,11% selalu dilakukan ; jumlah obat yang diminum saat sekali minum sebanyak 61,11% selalu dilakukan ; menyebutkan nama obat 44,44% selalu dilakukan ; indikasi dari obat yang diberikan sebanyak 38,88% selalu dilakukan ; menjelaskan jika ada interaksi hanya 5,55% selalu dilakukan ; pencegahan jika ada interaksi hanya 5,55% selalu dilakukan ; efek samping dari obat yang diberikan hanya 22,22% selalu dilakukan ; dan yang terakhir cara penyimpanan obat hanya 38,88% selalu dilakukan.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 35 tahun 2014 mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dalam hal dispensing obat setelah penyiapan obat, Apoteker wajib menyerahkan obat disertai dengan memberikan informasi obat yaitu memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal terkait dengan obat. Hal ini seharusnya menjadi hal yang selalu dilakukan Apoteker di setiap Apotek. Namun dalam hasil penelitian ini hal ini tidak terjadi. Padahal kegiatan pelayanan farmasi klinik di Apotek ini sudah distandarisasi oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan mutu/kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam hasil penelitian ini penerapan pelayanan informasi obat di Apotek adalah 38,37 % dan hasil tersebut dikategorikan buruk.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 6

Dokumen terkait