• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.2 Gambaran Kepuasan Pasien di Ruang Perawatan Teratai Rumah Sakit

Umum Pusat Fatmawati tahun 2016.

Menurut Soejadi (1996), pasien atau klien merupakan individu terpenting di rumah sakit sebagai konsumen sekaligus sasaran produk rumah sakit. Pasien akan senantiasa mengevaluasi produk maupun jasa yang telah diterimanya dari rumah sakit. Dari hasil evaluasi ini akan menghasilkan perasaan puas ataupun tidak puas. Rowland (1992) dalam Zaidin (2001) mengatakan bahwa kepuasan pasien merupakan aspek yang paling menonjol dalam tingkat operasional pelayanan rumah sakit. Menurut Supranto (2001), bila pelanggan tidak puas maka dia akan menghentikan hubungannya dengan pihak penyedia.

Kepuasan adalah perasaan senang atau tidak senang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi terhadap kinerja atau hasil suatu produk atau jasa dengan harapan-harapan (Kotler, 1997). Hal ini juga disepakati oleh Sumarwan (2003) yang menyatakan bahwa kepuasan adalah tingkat keadaan yang dirasakan oleh seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan atau outcome produk yang dirasakan dengan harapan yang diinginkan.

Hasil penelitian mengenai kepuasan pasien di ruang perawatan Teratai RSUP Fatmawati di dapatkan dari 81 responden, 51 diantaranya merasa puas (63%), sedangkan 30 responden lainnya merasa tidak puas (37%). Jika dibandingkan dengan standar kepuasan rawat inap yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, maka kepuasan pasien masih berada di bawah standar. Rumah sakit membuat target pencapaian kepuasan pasien yaitu 85%. Jika dibandingkan dengan indikator standar pelayanan minimal, maka kepuasan pasien di RSUP Fatmawati masih tergolong rendah, karena dalam SPM, Pemerintah menargetkan kepuasan pelayanan rawat inap adalah >90%.

Rendahnya kepuasan pasien ini terjadi karena terdapat kesenjangan antara lima kenyataan dengan harapan terhadap lima dimensi kepuasan pasien. Sebanyak 15 dari 81 pasien (18,5%) tidak puas terhadap dimensi responsiveness (kecepatan pelayanan), 34 dari 81 pasien (42%) tidak puas terhadap dimensi reliability

(kerhandalan pelayanan), 23 dari 81 pasien (28,4%) tidak puas terhadap dimensi

emphaty (perhatian pelayanan) 18 dari 81 pasien (22,2%) tidak puas terhadap

assurance (jaminan pelayanan), dan 16 dari 22 pasien (27,2%) tidak puas terhadap

tangibles (tampilan pelayanan).

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Manurung (2010), ketidakpuasan pasien terjadi akibat adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang dinilai berdasarkan dimensi tangible, responsiveness, assurance, emphaty dan reliability.

1. Responsiveness (daya tanggap)

Responsiveness (daya tanggap) yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan serta penanganan keluhan dengan cepat tanggap. Menurut Parasuraman, dkk (1985) bahwa responsiveness (daya tanggap) merupakan dimensi mutu pelayanan tentang kemauan untuk membantu pelanggan (pasien) dan menyediakan jasa / pelayanan yang cepat dan tepat.

Menurut Haffizurrachman (2004), di rumah sakit keadaan darurat dapat terjadi kapan saja terhadap pasien, untuk itu petugas harus melakukan segala sesuatu dengan cepat dan tepat. Pada penelitian yang dilakukan Rahmulyono (2008) menyatakan bahwa dimensi ketanggapan perawat memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan pasien. Apabila perawat tidak tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut maka pasien merasa terabaikan dan tidak puas dengan pelayanan

keperawatan yang diterimanya. Menurut Tjiptono (2011), respon perawat yang tanggap terhadap setiap keluhan dan keinginan pasien dengan cepat dan sesuai standar pelayanan yang ditetapkan, akan meningkatkan rasa puas kepada pasien yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat loyalitas pasien.

Pernyataan dalam kuesioner yang paling banyak menyatakan ketidak `puasan responden adalah pada petugas tanggap melayani pasien, yaitu sebanyak 28% atau 20 orang. Hal ini sesuai dengan Sarafino (1998) mengungkapkan bahwa pasien sering kali mendapatkan pengalaman negatif baik berupa perilaku perawat yang tergesa-gesa, tidak sensitif, kurang tanggap atau tidak mampu menjelaskan masalah- masalah medis.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa pasien mengenai responsiveness ini, didapat bahwa pelayanan serta penanganan keluhan belum cepat dan tanggap. Beberapa pasien mengaku telah menyuruh keluarganya ke nurse station untuk memanggil suster atau perawat, namun beberapa kali harus menunggu lama dan harus memanggil untuk kedua bahkan ketiga kalinya untuk menyelesaikan permasalahan seperti cairan infus kosong, jarum infus lepas ataupun masalah- masalah pasien lainnya.

Berdasarkan diskusi dengan koordinator keperawatan ruang anggrek, jumlah tempat tidur tiap ruang adalah 60 unit. Selama dua tahun terakhir, menurutnya tempat tidur diruang teratai sangat jarang kosong, jika ada yang kososng pasti langsung diisi oleh pasien baru. Bahkan ada yang mengantri demi mendapatkan tempat tidur di ruang perawatan ini. Dengan demikian, jumlah tempat tidur yang ada sama dengan jumlah pasien.

Peraturan Menkes RI No. 262/Menkes/Per/VII/1979 mengenai perhitungan kebutuhan tenaga berdasarkan perbandingan antara jumlah tempat tidur dengan jenis kategori tenaga tertentu, disebutkan bahwa perbandingan antara jumlah tempat tidur dengan jumlah perawat untuk rumah sakit tipe A seperti RSUP Fatmawati adalah 4- 7 tempat tidur : 1 perawat.

Jumlah perawat yang shift untuk pagi dan siang adalah 7 perawat. Jumlah tempat tidur yang tersedia sebanyak 60 unit. Dengan demikian perkiraannya adalah satu perawat akan bertugas untuk 8-10 orang yang artinya melebihi standar yang telah ditentukan. Sedangkan shift malam perawat yang berjaga lebih sedikit, yaitu hanya 5 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah tempat tidur, maka satu perawatnya akan bertugas untuk 12 orang. Hal ini dapat meningkatkan beban kerja perawat. Hasil penelitian Minarsih (2011) menyebutkan bahwa jumlah tenaga yang kurang menyebabkan beban kerja perawat pelaksana di rumah sakit meningkat.

Handoko (2006) menyebutkan bahwa pekerjaan perawat tidak hanya merawat pasien, namun juga administrasi yang mengerjakan pencatatan dan pelaporan pasien. Berdasarkan Penelitian Julianti (2009) tentang hubungan beban kerja perawat pelaksana dengan penerapan perilaku caring perawat, menyebutkan perawat dengan perilaku caring tinggi rata rata beban kerjanya lebih sedikit dan perawat dengan perilaku caring rendah rata-rata beban kerjanya lebih tinggi.

Sedarmayanti (2009) menyebutkan bahwa akibat tingginya beban kerja perawat diantaranya adalah lambatnya respon pelayanan dan terkadang timbulnya emosi perawat. Timbulnya emosi dari perawat akan mempengaruhi dimensi lain seperti empati.

2. Empathy

Parasuraman, dkk (1985) menyebutkan bahwa Empaty (empati) merupakan dimensi mutu pelayanan yang meliputi pemahaman pemberian perhatian secara individual kepada pelanggan, kemudahan dalam melakukan komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan pelanggan. Philip Kolter 1994 dalam Supranto (2001) menyebutkan bahwa empati (emphaty) merupakan syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan yang mendatanngkan hubungan baik antar pasien dan perawat.

Pasien yang merasa tidak puas dengan dimensi empathy yaitu 20 responden (23%). Berdasarkan jawaban responden, ketidakpuasan pasien terhadap dimensi empati adalah karena pasien banyak yang merasa petugas jarang memperhatikan pesien dengan sungguh-sungguh dan jarang pula memberikan motivasi untuk sembuh serta terkadang beberapa petugas bersikap kurang ramah terhadap pasien.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Damayanti (2000), yang menyebutkan bahwa empati dipengaruhi oleh sikap petugas yang ramah dan mengerti terhadap kebutuhan pasien, serta senantiasa menyemangati pasien untuk segera sembuh dari sakitnya. Hal ini menandakan bahwa empati sangat bergantung pada komunikasi antara perawat dan pasien (Handoko, 2003).

Pelayanan profesional yang diberikan oleh perawat dalam sebuah rumah sakit membuat perawat sering berinteraksi dengan pasien. Oleh karena itu, seharusnya perawat dapat menjalin komunikasi yang baik dengan pasiennya dan tidak hanya sekedar melakukan tugas rutin, seperti memberi obat atau memandikan pasiennya Nurachmati (2004). Gunarsa (2008) menyebutkan bahwa keberhasilan perawat

dalam membentuk hubungan dan situasi perawatan yang baik antara lain ditentukan oleh kemampuannya berhubungan dengan orang lain, berkomunikasi dan bekerja sama.

Nursalam (2002) menyatakan bahwa dari sejarah diketahui perawat sangat kurang diberi pemahaman terkait dengan pasien sebagai manusia. Perawat lebih banyak dididik untuk sekedar melaksanakan tugas dari dokter dan kurang melakukan komunikasi dengan pasien. Komunikasi yang kurang baik antara perawat dengan pasien akan menghasilkan kesalahpahaman antara kedua belah pihak, sehingga berakibat memburuknya hubungan mereka dan menjadi sumber ketidakpuasan pelayanan rumah sakit. Supranto (2005) menyebutkan bahwa adanya ketidakpuasan pasien tentang sikap dan perilaku perawat merupakan indikasi kurangnya kemampuan empati perawat. Adanya keluhan walaupun dalam jumlah yang kecil dapat memperburuk citra rumah sakit dan akan menimbulkan kerugian Sumarwan (2003).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Proborani (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kemampuan koping terhadap stres dengan kemampuan empati perawat di Rumah Sakit Telogorejo. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan angka koefisien korelasi (r xy ) sebesar 0,731 (p < 0,05) yang artinya semakin tinggi kemampuan koping terhadap stres maka semakin tinggi pula kemampuan empati perawat, dan sebaliknya semakin rendah kemampuan koping terhadap stres maka semakin rendah pula kemampuan empati perawat. Berdasarkan hasil penelitian ini, kemampuan empati perawat di Rumah Sakit Telogorejo dipengaruhi oleh kemampuan koping terhadap stresnya. Eisenberg dan Damon (1998) dalam Munir (2006) menyebutkan salah satu faktor yang mempengaruhi

kemampuan empati adalah temperamen dan kepribadian, termasuk di dalamnya adalah pengaturan emosi yang merupakan bagian dari kemampuan koping terhadap stres.

Menurut Damon (1998) Munir (2006), terjadinya stres adalah akibat dari adanya stresor atau pemicu stres. Banyaknya pekerjaan serta tuntuan bagi seorang perawat dapat menjadi salah satu pemicu perawat untuk stres. Hal ini kembali lagi ke beban kerja perawat di RSUP Fatmawati. Berdasarkan wawancara dengan bagian kepegawaian, diketahui bahwa perhitungan jumlah tenaga keperawatan memang belum sesuai dengan standar. Namun hal itu terjadi karena beberapa kendala seperti pembatasan jumlah tenaga dan keterbatasan kemampuan rumah sakit dalam hal anggaran. Namun menurut koordinator bagian kepegawaian ini, hal ini dapat diatasi karena RSUP Fatmawati juga mewadahi para peserta didik dari berbagai institusi untuk bekerjasama dalam merawat pasien. Hal ini membantu rumah sakit dalam menangani keterbatasan jumlah perawat.

3. Reliability

Berdasarkan dimensi Reliability yaitu kemampuan untuk memberikan dan melaksanakan jasa atau pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat, tepat dan dapat diandalkan. Perusahaan harus mampu memberikan pelayanan secara tepat semenjak pertama dan memenuhi janjinya (Moenir, 2002). Hasil penelitian Rahmulyono (2008), salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan adalah mutu informasi yang diterima seperti apa yang dikerjakan dan apa yang dapat diharap.

Hasil statistik menyebutkan kepuasan pasien dimensi realibility masih rendah, yaitu sebanyak 34% pasien tidak puas. Banyak pasien yang tidak puas dengan petugas dan pelayanan yang tidak tepat waktu sesuai dengan yang di janjikan. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh Astuti (2003) kepuasan pasien di Rumah Sakit Orthopedi Prof. DR. R. Soeharso Surakarta yang menunjukkan bahwa pada dimensi reliability adalah dimensi paling rendah diantara yang lainnya, yaitu hanya 43% pasien yang puas. Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Ryan (2009), bahwa sebanyak 48,6% responden menyatakan tidak puas dengan dimensi realibility.

Berdasarkan skor jawaban responden mengenai dimensi realibility ini, yang termasuk kategori rendah adalah petugas dan pelayanan yang sering tidak tepat waktu sesuai dengan yang telah di janjikan. Auliya (2006) menyebutkan bahwa jadwal yang tidak pasti membuat costomer atau klien merasa kecewa, kekecewaan ini akan meningkatkan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan. Priyono (2004) melihat adanya hubungan kepuasan dari sudut kesinambungan pelayanan dengan adanya petugas tertentu dan jarak waktu menemuinya.

Hasil penelitian Carey dan Posavar (1982) dalam Wijaya (2011) tentang kepuasan pasien terhadap perawat rumah sakit pendidikan Mid West mengembangkan 4 kategori kepuasan yaitu dukungan dan kebaikan perawat, persepsi terhadap kemampuan perawat, respon yang cepat terhadap keluhan pasien dan jawaban yang jelas bila pasien mengajukan pertanyaan (Wijaya, 2011).

4. Assurance

Berdasarkan dimensi Assurance (kepastian / jaminan), Zaidin (2001) menyebutkan bahwa Assurance atau kepastian pelayanan, yaitu bentuk layanan langsung dalam membantu pasien, yang didukung dengan pengetahuan dan keterampilan. Moenir (2002) menambahkan assurance berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan dan kemampuan karyawan dalam menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan.

Hasil penelitian menunjukkan pasien yang merasa tidak puas dengan dimensi assurance yaitu 15 responden (18,5%). Ketidakpuasan ini karena masih ada pasien yang jarang dijelaskan rencana keperawatannya. Padahal menurut Priharjo (1995) bahwa keprofesionalan tenaga medis dalam memberikan pelayanan dilihat dari kapabilitas tenaga medis dalam melayani pasien, kemampuan menyampaikan informasi dengan baik dan memiliki pengetahuan yang memadai demi terjaminnya mutu yang diberikan.

Pelayanan yang bermutu adalah hak pasien. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 mengatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Juga memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Selain itu Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam pasal 32 undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Hal ini membuktikan betapa pemerintah Indonesia berusaha untuk terciptanya keamanan bagi pasien.

Secara umum pasien di ruang perawatan Anggrek RSUP Fatmawati sudah puas terhadap dimensi assurance. Berdasarkan hasil penelitian Ryan (2009), bahwa pengalaman pasien terhadap asuhan keperawatan, terutama keterampilan petugas dalam melayani pasien menyatakan puas/sangat puas sebanyak 77 responden (63,6%).

5. Tangible

Dimensi Tangibles merupakan kualitas jasa yang ditentukan dengan melihat penampilan fisik, peralatan, penampilan karyawan dan sarana komunikasi yang ada. Dimensi ini merupakan dimensi yang pertama kali disadari oleh pelanggan dan menjadi hal paling penting, kekurangan atau keburukan dari dimensi ini akan cepat terlihat (Moenir, 2002). Perawat dengan penampilan yang bersih, seragam yang bersih, dengan penampilan yang segar dalam melakukan tugas-tugas perawatan diharapkan mampu mengubah suasana hati pasien (Gunarsa, 1995). Menurt Philip Kolter (1994) dalam Supranto (2015), menyatakan tangible berkaitan dengan penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan media komunikasi.

Hasil penelitian menunjukkan didapat pasien yang merasa tidak puas dengan dimensi tangible yaitu 22 responden (27%), ketidakpuasan ini berdasarkan hasil skor minus pada pernyataan RS memiliki ruang tunggu & ruang perawatan yang cukup nyaman dan Ruangan di RS memiliki peralatan yang lengkap.

Berdasarkan wawancara dengan pasien, banyak pasien mengeluhkan kepanasan baik siang maupun malam sehingga menjadikan pasien tidak nyaman. Ada pula kamar yang memiliki kipas angin di langit-langit kamar, namun posisinya berada dibawah lampu. Sehingga kipas yang bergerak menghalangi cahaya lampu dan

mengakibatkan efek bayangan yang bergerak didalam ruangan. Beberapa pasien merasa pusing karena bayangan kipas angin ini. Padahal menurut Supranto (2015) desain dan tata letak ruangan berpengaruh terhadap kenyamanan pasien. Kenyamanan pasien terhadap ruang perawatan mempengaruhi lama waktu kesembuhan pasien (Randi, 2011).

Dari kelima dimensi kepuasan pasien ini, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kepuasan pasien terhadap layanan. Menurut Wijaya (2011), upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepuasan pasien yang cocok di institusi rumah sakit adalah Penerapan Quality Function Deployment (QFD). QFD adalah metode perencanaan dan pengembangan secara terstruktur yang memungkinkan tim pengembangan mendefinisikan secara jelas kebutuhan dan harapan pelanggan, dan mengevaluasi kemampuan produk atau jasa secara sistematik untuk memenuhi kebutuhan dan harapan tersebut. Dengan QFD, operasional perusahaan didorong oleh suara pelanggan dan bukan oleh perintah manajemen ataupun opini/keinginan dari para ahli. Penggunaan QFD berfokus pada penyebab-penyebab utama kepuasan serta ketidakpuasan pelanggan, sehingga menjadikannya alat yang berguna untuk analisis kompetitif kualitas produk oleh manajemen (Wijaya (2011).

Berdasarkan wawancara peneliti dengan kepala ruang teratai, di ketahui bahwa selama ini rumah sakit sudah melakukan banyak upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan meningkatkan kepuasan konsumen, termasuk QFD. Usaha yang telah dilakukan diantaranya adalah renovasi ruangan perawatan, penyediaan kotak saran, sms pengaduan, survei kepuasan tiap semester hingga pelatihan service exellence yang dilakukan tiap tahunnya untuk perawat baru. Menurutnya pencapaian kepuasan pasien hampir pada angka 70% sudah merupakan prestasi besar mengingat fatmawati

adalah rumah sakit yang tidak pernah sepi pengunjung yang tentunya memiliki masalah-masalah yang sangat kompleks.

6.3. Hubungan Perilaku Caring Perawat dengan Kepuasan Pasien di Ruang Perawatan Teratai RSUP Fatmawati tahun 2016.

Pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat diwujudkan melalui pemberian asuhan keperawatan dengan didasari oleh perilaku caring perawat (Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik DepKes RI, 2008). Caring secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk berdedikasi bagi orang lain, pengawasan dengan waspada, perasaan empati pada orang lain dan perasaan cinta atau menyayangi. Dalam keperawatan, caring merupakan bagian inti yang penting terutama dalam praktik keperawatan dan merupakan esensi dari profesi keperawatan (Wiyana, 2008).

Perilaku caring merupakan suatu sikap, rasa peduli, hormat dan menghargai orang lain, artinya memberikan perhatian yang lebih kepada seseorang dan bagaimana seseorang itu bertindak. Tomey, et al (1994) dalam Nursalam (2002) menyatakan bahwa caring adalah komponen penting dalam keperawatan dan merupakan inti dari praktek keperawatan karena mengandung nilai-nilai humanistik, menghormati kebebasan manusia terhadap suatu pilihan, menekankan pada peningkatan kemampuan dan kemandirian, peningkatan pengetahuan dan menghargai setiap manusia. Perawat yang mempunyai nilai dan jiwa caring akan mempunyai perilaku kerja yang sesuai dengan prinsip etik dikarenakan kepedulian perawat yang memandang klien sebagai makhluk humanistik sehingga termotivasi untuk memberikan pelayanan keperawatan yang bermutu tinggi (Nursalam, 2002).

Perawat merupakan tokoh penting dalam perawatan pasien dan berinteraksi dengan pasien lebih sering daripada tokoh kesehatan lainnya, Perawat memiliki kepedulian dan peran yang besar (Sunaryo, 2004). Perawat hadir 24 jam sehari selama 7 hari dalam seminggu. Oleh karena itu perawat memiliki dampak yang signifikan terhadap persepsi pasien tentang pengalaman mereka di rumah sakit. Nursalam (2002) menyebutkan perilaku peduli perawat memberikan kontribusi untuk pasien kepuasan, kesejahteraan dan kemudian untuk kinerja organisasi kesehatan (Gunarsa, 2003).

Setelah dilakukan uji statistik mengenai perilaku caring perawat dirawat ruang rawat inap ruang Teratai RSUP Fatmawati diperoleh bahwa penilaian perilaku caring perawat buruk yaitu sebesar 26% dan perilaku caring baik sebesar 74%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan penelitian yang dikukan Damayanti (2000), bahwa perilaku caring perawat hanya 53,3%. Angka tersebut menunjukkan prestasi yang baik dari perawat dengan peningkatan mencapai 20%. Hal ini menandakan kelima dimensi caring perawat telah dilakukan dengan baik oleh seluruh perawat di ruang perawatan Anggrek RSUP Fatmawati.

Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, didapat bahwa dimensi caring respectful deference dikategorikan baik dengan persentase 72%, assurance of human presence dikategorikan baik dengan persentase 74%, positive connectidness dikategorikan buruk dengan persentase 73%, dan profesional skill and knowladge dikategorikan baik dengan persentase 85% , dan Attentive to other’s experience dikategorikan baik dengan persentase 77%.

Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaur, et al., (2015) di beberapa rumah sakit pemerintah Malaysia, didapat bahwa dimensi caring respectful deference dikategorikan baik dengan persentase 87%, assurance of human presence dikategorikan baik dengan persentase 76%, positive connectidness dikategorikan baik dengan persentase 81%, dan profesional skill and knowladge dikategorikan baik dengan persentase 73% dan Attentive to other’s experience dikategorikan baik dengan persentase 77%.

Hasil analisis data mengenai perilaku caring perawat di ruang teratai RSUP Fatmawati ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wolf, et al (1998) tentang Relationship Between Nurse Caring and Patient Satisfaction di Philadelphia didapatkan data bahwa rata-rata perilaku caring perawat 203.92 (SD = 34,35) berada pada kategori baik,dengan ketentuan rentang skor 42 - 252.

Penelitian Palese, et al (2011) tentang Surgical Patient Satisfaction as an Outcome of Nurses Caring Behaviour di 6 negara bagian Eropa yang mendapatkan data bahwa rata-rata perilaku caring 4.9 (SD=0.8) berada pada kategori baik, dengan ketentuan rentang skor 1–6. Penelitian ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Becker,et al (2008) tentang Nursing Student Caring Behaviours During Blood Pressure Measurement di Minnesota, mendapatkan data perilaku caring perawat 2.36 (SD=0.50) berada pada kategori baik, dengan ketentuan rentang skor 1– 3.

Untuk mengetahui hubungan antara caring perawat dengan kepuasan, maka peneliti telah melakukan uji bivariat dengan pembahasan sebagai berikut:

Dokumen terkait