• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.5 Hubungan Professional knowledge and skill dengan kepuasan pasien d

Kategori ini terdiri dari aktivitas caring seperti melakukan tindakan keperawatan, bersikap percaya diri, menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pasein (Wolf, et al, 1994). Achmad (2000) dalam Hartati (2011) menyebutkan bahwa kepuasan pasien ditentukan oleh keyakinan pasien terhadap petugas. Keyakinan ini akan timbul ketika pasien melihat dan merasakan keterampilan dan kemampuan dari petugas yang mempuni.

Wolf (1985) menyebutkan bahwa perawat diharapkan kompeten dalam profesinya, ahli, menguasai, tangkas dan penuh percaya diri dalam melakukan prosedur perawatan, perawat diharapkan serius dalam bekerjanya, periang tetapi jelas tulus merawatnya.

Hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa perawat sudah berada pada kategori baik dalam hal pengetahuan dan keterampilan profesional. Mayoritas pasien menilai perawat selalu mengetahui bagaimana memberikan suntikan, infus, dan lain-lain, selalu bersikap percaya diri dengan pasien, selalu menggunakan gaya bahasa yang lembut terhadap pasien, menjelaskan tindakan medis yang akan dilakukan, mengelola peralatannya secara terampil, selalu memberikan obat pasien tepat waktu, menjaga kerahasiaan informasi pasien, memberitahukan rencana perawatannya kepada pasien dan keluarga, dan selalu menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti selama perawatan.

Namun, masih ada perawat yang tidak puas dengan perawat yang jarang menjelaskan rencana perawatannya kepada pasien dan keluarga pasien dengan persentase 31% atau 21 orang. Padahal salah satu hak pasien berdasarkan pasal 52 UU No. 29/2004 adalah mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis.

Gaffar (1999) dalam Hartati (2011) menyebutkan bahwa salah satu fungsi dari perawat adalah menjadi communicator. Perawat hendaknya mampu mengkomunikasikan apapun kebutuhan informasi pasien, dan yang paling penting adalah pasien atau keluarga pasien harus tau rencana keperawatan yang akan dilakukan terhadap pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Ryan (2009) menyebutkan bahwa informasi perawatan masuk kedalam keamanan pasien. Parasuraman, et al (1985) menyebutkan bahwa salah satu dimensi kepuasan pasien adalah assurance.

Dari hasil statistik diperoleh nilai probabilitas (Pvalue) < alpha 0,05. Artinya ada hubungan antara professional knowledge and skill dengan kepuasan pasien di ruang perawatan Teratai RSUP Fatmawati tahun 2016. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin baik professional knowledge and skill perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien maka tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan akan semakin baik juga.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wolf, et al (1998) didapatkan Pvalue (0,01) < alpha (0,05) yang berarti adanya hubungan antara caring perawat dengan kepuasan pasien. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Gurusinaga (2015) yang mendapatkan hubungan antara professional knowledge and skill dengan kepuasan pasien dengan nilai Pvalue 0,031< alpha 0,05.

Arquiza (1997) dalam Gurusinaga (2015) menyebutkan bahwa perawat yang mempunyai rasa menghormati manusia maka akan memandang klien sebagai individu yang unik dan menganggap bahwa klien berhak mendapatkan perlakuan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia sehingga perawat melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan prinsip etik seperti menghormati pilihan klien, tidak membeda-bedakan klien, mengijinkan klien berpartisipasi dalam perawatannya dan lain-lain. Pendapat ini diperkuat oleh Potter & Perry (2005) yang menyatakan bahwa hubungan caring yang terbentuk antara klien dan perawat membantu perawat untuk lebih mengenal klien secara individu yang unik sehingga perawat dapat menentukan tindakan keperawatan yang sesuai dan efektif bagi klien.

6.6. Hubungan Positive Connectedness dengan Kepuasan Pasien

Kategori ini terdiri dari aktivitas caring seperti meluangkan waktu bersama pasein, memberi harapan kepada pasein, memberikan kenyamanan untuk pasein dan berinteaksi dengan pasein (Wolf, et al, 1994).

Positive connectedness merupakan aspek penting dalam mewujudkan caring perawat. Positive connectedness adalah suatu kondisi dimana terjadi koneksi atau keterhubungan antara dua orang atau lebih yang disebabkan adanya komunikasi yang baik sehingga menimbulkan kenyamanan dan kepercayaan antar keduanya (Wijaya, 2010).

Hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa perawat sudah berada pada kategori baik dalam hal menciptakan hubungan yang positif. Perawat dan pasien dalam hubungannya didasarkan atas saling percaya mempercayai sebagai partner bertindak bersama-sama untuk mempertahankan dan

mengarahkan kekuatan yang ada semaksimal mungkin untuk mempertahankan kesehatannya secara menyeluruh (Depkes RI, 1996).

Dari hasil statistik diperoleh nilai probabilitas (Pvalue) < alpha 0,05. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wolf, et al (1998) didapatkan Pvalue (0,001) < alpha (0,05) yang berarti adanya hubungan antara caring perawat dengan kepuasan pasien. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Gurusinaga (2015) yang mendapatkan hubungan antara Positive Connectedness dengan kepuasan pasien dengan nilai Pvalue 0,023< alpha 0,05.

Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, hubungan baik antara perawat dan pasien harus senantiasa dapat dipertahankan dan perawat harus selalu memberikan perhatian yang cukup kepada pasien secara pribadi menampung dan mendengarkan semua keluhan pasien serta menjawab dan memberikan keterangan sejelas-jelasnya tentang segala hal yang ingin diketahui oleh pasien (Bagindo, 1994).

Hasil penelitian tentang positive connectedness ini secara umum sudah baik, karena pasien mempercayai perawat, perawat selalu bersikap sabar atau tidak kenal lelah terhadap pasien, perawat sering bercanda dengan pasien, pasien merasa nyaman untuk berbicara kepada perawat, perawat memberikan harapan pasien untuk sembuh dan selalu membiarkan pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang penyakitnya.

Namun, masih ada beberapa pasien yang belum puas karena mereka menilai perawat jarang perawat yang meluangkan waktu dengan pasien, yaitu sebanyak 18% atau 12 orang. Hal ini karena pasien merasa perawat hanya menjalankan tugas saja kemudian pergi.

Hasil diskusi peneliti dengan kepala ruangan anggrek, diketahui bahwa kurangnya dimensi caring di ruangan tersebut selain karena banyaknya tuntutan pekerjaan yang lain, juga karena motivasi untuk menjalankan caring itu sendiri. Hal ini terlihat dari observasi peneliti di ruang anggrek, ketika ada panggilan pasien di nurse station, perawat yang sedang mengobrol tidak langsng melaksanakan permintaan keluarga pasien, namun tetap melanjutkan obrolannya, padahal seharusnya pasien adalah prioritas utama dari profesi keperawatan. Hal ini menandakan keinginan perawat untuk berperilaku caring masih kurang dan tidak didasari dari hati perawat tersebut. Hasil penelitian Indrastuti (2010) menyebutkan bahwa perilaku caring perawat berasal dari dalam hati perawat itu sendiri. Menurut Darlington, et al (2011), semua perawat mampu berperilaku caring dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien, dan jika perawat berperilaku caring dalam memberikan pelayanan keperawatan maka akan terjalin hubungan interpersonal yang baik antara perawat dengan pasien, perawat dengan tenaga kesehatan lainnya, sehingga akan tercapai pelayanan keperawatan yang baik dan berkualitas (Darlington, et al, 2011). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Sobirin (2006) menyebutkan bahwa ada hubungan secara signifikan antara motivasi dengan perilaku caring perawat (p value = 0,000).

6.7. Hubungan Attentive to other’s experiencedengan Kepuasan Pasien

Attentive to other’s experience (perhatian terhadap pengalaman orang lain) terdiri dari aktivitas mengutamakan kepentingan pasein, memiliki sikap empati, dan membiarkan pasein mengekspresikan perasaannya (Wolf, et al, 1994).

Dari hasil statistik diperoleh nilai probabilitas (Pvalue) < alpha 0,05. Artinya ada hubungan antara attentive to other’s experience dengan kepuasan pasien di

ruang perawatan Teratai RSUP Fatmawati tahun 2016. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wolf, et al (1998) didapatkan Pvalue (0,029) < alpha (0,05) yang berarti adanya hubungan antara caring perawat dengan kepuasan pasien. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Gurusinaga (2015) yang mendapatkan hubungan antara attentive to other’s experience dengan kepuasan pasien dengan nilai Pvalue 0,003 < alpha 0,05.

Hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa perawat sudah berada pada kategori baik dalam hal perhatian terhadap yang dialami orang lain. Hasil penelitian tentang perilaku caring perawat ini terdapat pada tindakan perawat yang mayoritas selalu menjadikan pasien sebagai prioritas utama, mendengarkan pengalaman-pengalaman pasien, memiliki sikap empati terhadap pasien, mempersilakan pasien mengekspresikan perasaannya dan menanyakan perkembangan kesembuhan pasien.

Namun, dari wawancara peneliti dengan pasien diketahui bahwa masih ada beberapa pasien yang merasa tidak puas dengan dengan attentive to other’s experience ini. Pasien menilai bahwa perawat sangat jarang datang dan bertanya mengenai keadaannya. Menurut mereka justru profesi dokter yang lebih dekat dan sering bertanya mengenai pengalaman mereka ini. Sedangkan perawat hanya datang sekedar memeriksa tensi, cek infus, menyuntik dan sebagainya, sehingga beberapa pasien mengaku enggan untuk bertanya kepada perawat yang sedang bertugas.

Pernyataan dalam kuesioner yang paling banyak menilai attentive to other’s experience buruk terdapat pada pernyataan perawat memiliki sikap empati terhadap pasien yaitu sebanyak 18% atau 12 orang. Menurut beberapa pasien yang

diwawancarai, perawat kurang peka dan kurang paham keinginan dan kebutuhan pasien. Diantaranya ada yang mengaku sudah meminta perawat untuk menggannti cairan infus yang habis, namun perawat tidak segera menggantinya. Beberapa diantara pasien juga mengaku ketika sudah dipasang cairan infus, beberapa kali jarum terlepas bahkan berdarah, setelah keluarga pasien melapor ke nurse station, perawat malah dinilai menunda-nunda permintaan mereka tersebut. Hal ini menandakan perawat belum merasa peduli dan paham akan kebutuhan pasien. Peduli dan paham kebutuhan pasien bahkan tanpa harus ada keluhan atau aduan dari klien merupakan salah satu bentuk dari sikap empati (Supranto, 2015).

Philip Kolter 1994 dalam Supranto (2015) bahwa empati (emphaty) merupakan

syarat untuk peduli (caring), memberi perhatian pribadi bagi pelanggan yang mendatanngkan hubungan baik antar pasien dan perawat.

6.8. Hubungan Respectful deference dengan Kepuasan Pasien

Kategori ini terdiri dari aktivitas caring seperti bersikap mendengarkan pasein, menghormati pasein, memberikan dukungan, mempersilakan pasein mengutarakan keluhannya dan menyapa pasein (Wolf, et al, 1994). Respectful deference merupakan pengembangan hubungan saling percaya dan saling membantu, meningkatkan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif pasien (Gurusinaga, 2015).

Dari hasil statistik diperoleh nilai probabilitas (Pvalue) < alpha 0,05. Artinya ada hubungan antara respectful difference dengan kepuasan pasien di ruang perawatan Teratai RSUP Fatmawati tahun 2016. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin baik respectful difference perawat dalam memberikan

pelayanan keperawatan kepada pasien maka tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan akan semakin baik juga.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wolf, et al (1998) didapatkan Pvalue (0,005) < alpha (0,05) yang berarti adanya hubungan antara caring perawat dengan kepuasan pasien. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Gurusinaga (2015) yang mendapatkan hubungan antara respectful difference dengan kepuasan pasien dengan nilai Pvalue 0,009< alpha 0,05.

Hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa perawat sudah berada pada kategori baik dalam hal menanggapi pasien dengan rasa hormat. Namun masih ada beberapa pasien yang tidak puas terhadap perilaku perawat pada dimensi ini. Hal ini terjadi karena beberapa pasien merasa perawat jarang memberikan dukungan dan motivasi untuk sembuh, jarang mendengarkan keluhan pasien dengan sungguh-sungguh, kurang menghormati pasien dan keluarga pasien, jarang mempersilakan pasien untuk mengungkapkan keluhan-keluhannya¸dan beberapa jarang menyapa pasien.

Hasil penelitian tentang perilaku caring perawat ini sejalan dengan teori keperawatan yang diterbitkan oleh Watson (1979), The Phylosophy and Science of Caring. Watson menyatakan bahwa caring adalah suatu karakteristik interpersonal yang tidak diturunkan melalui genetika, tetapi dipelajari melalui pendidikan sebagai budaya profesi. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam konteks keperawatan caring bukan merupakan suatu hal yang unik tetapi caring merupakan suatu bentuk pendekatan seni dan ilmu dalam merawat klien yang merupakan sentral praktik keperawatan, dan juga merupakan suatu cara pendekatan yang dinamis, dimana

perawat bekerja untuk lebih meingkatkan kepeduliannya terhadap pasien. (Watson, 1979).

Upaya peningkatan perilaku caring perawat dengan pendekatan individu dapat dilakukan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan caring melalui pelatihan, seminar, workshop maupun melalui pendidikan formal keperawatan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan caring tidak serta akan dapat membuat perawat berperilaku caring lebih baik, oleh karena itu perlu adanya upaya dengan pendekatan psikologis maupun organisasi untuk mendukung seorang perawat untuk menerapkan kompetensi caring yang dimilikinya dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien. Upaya dengan menggunakan pendekatan psikologis yaitu melalui supervisi dan pembinaan serta role model yang baik dari atasan dalam berperilaku caring. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutriyanti (2009) untuk melihat pengaruh pelatihan perilaku caring perawat terhadap kepuasan pasien dan keluarga yang mendapatkan hasil bahwa adanya perbedaan yang bermakna pada kepuasan pasien antara kelompok perawat yang diberi pelatihan dan bimbingan sebanyak 6x dibanding kelompok perawat yang diberi pelatihan dan bimbingan sebanyak 3x.

Sedangkan upaya melalui pendekatan organisasi sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriatin (2009) yang menyatakan ada hubungan antara faktor organisasi dengan perilaku caring perawat, dalam hal ini faktor kepemimpinan, struktur organisasi, imbalan dan desain kerja makaupaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku caring perawat antara lain dengan perencanaan pengembangan SDM perawat, imbalan atau yang terkait dengan kepuasan kerja perawat melaui sistem penghargaan serta adanya effective leadership dalam

keperawatan. Peran organisasi (rumah sakit) adalah menciptakan iklim kerja yang kondusif dalam keperawatan melalui kepemimpinan yang efektif, perencanaan jenjang karir perawat yang terstruktur, pengembangan sistem remunerasi yang seimbang dan berbagai bentuk pencapaian kepuasan kerja perawatdalam pekerjaan melalui pengayaan tugas dan tanggung jawab kerja yang diharapkan dapat memotivasi perawat agar berperilaku caring yang lebih baik.

Menumbuhkan perilaku caring juga penting untuk dilakukan sejak mahasiswa calon perawat mengenyam pendidikan di akademi maupun perguruan tinggi karena perubahan perilaku membutuhkan waktu yanglama sehingga akan lebih efektif jika caring sudah ditumbuhkan semenjak masih sebagai mahasiswa perawat. Pendidikan Keperawatan di Amerika bekerja sama dengan American Nursing Association (ANA) melakukan revisi kurikulum pendidikan keperawatan yang berfokus pada caring dan pengetahuan caring sejak tahun 1980 (Duffy, 2005).

Pendidik perawat dituntut agar dapat mengajarkan, menjadi role model dan mengembangkan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan perilaku caring mahasiswa perawat. Hal ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah, mengingat walaupun caring tercantum dalam kurikulum akan tetapi biasanya jarang tercakup dalam penerapan keterampilan yang nyata dalam praktik laboratorium atau pelajaran berbasis kompetensi lainnya (Duffy, 2005).

Strategi pembelajaran yang efektif menumbuhkan perilaku caring adalah berdasarkan persepsi mahasiswa perawat yaitu dengan pengenalan konsep caring yang dilakukan pada masa awal pendidikan bersamaan dengan pengenalan konsep kesehatan, adanya komunitas caring di sekolah yang dapat dijadikan ajang untuk

melatih perilaku caring di antara sesama teman, dan adanya role model serta metode pembelajaran yang memberikan gambaran nyata penerapan caring kepada klien yang dapat diwujudkan dalam bentuk role play atau studi kasus (AACN, 1998 dalam Duffy, 2005). Pribadi caring mahasiswa perawat diharapkan dapat muncul dari institusi yang secara terus menerus melakukan pengembangan mutu yang selaras dengan hal tersebut, dimana hal ini harus diperkuat tidak hanya institusi pendidikan melainkan juga institusi tempat tempat praktik serta sarana praktik yang sesuai dengan laju perkembangan pendidikan keperawatan.

Peneliti berharap, dengan teridentifikasinya perilaku caring perawat pelaksana di ruang Teratai RSUP Fatmawati yang tergolong baik, maka potensi untuk pelaksanaan pelayanan keperawatan di RSUP Fatmawati akan semakin baik juga. Hal ini perlu menjadi pertimbangan pihak manager keperawatan dan manager rumah sakit untuk mempertahankan perilaku caring yang baik dengan cara menciptakan lingkungan yang mendukung dan dapat menimbulkan budaya perilaku caring. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan role model atasan dalam berperilaku caring, perencanaan dan pelaksanaan seminar dan pelatihan tentang caring bagi perawat pelaksana maupun kepala ruang dan wakil kepala ruang, membuat standar aturan baku dan instrumen baku penilaian pelaksanaan perilaku caring perawat, melibatkan kepala ruang dalam proses evaluasi perilaku caring perawat pelaksana sebagai dasar penilaian kinerja yang menjadi pertimbangan sistem pemberian penghargaan bagi perawat.

Dokumen terkait