• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Gambaran kerusakan Organ Hepar

4.3.1 Gambaran makroskopik organ hepar

Setelah pembedahan dan pengamatan organ hepar, secara makroskopik dapat dilihat perbedaan organ hepar antara kelompok tanpa perlakuan, kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok EERTG dosis 5, 25, 125, dan 625 mg/kg bb yaitu meliputi warna dan tekstur hepar (Gambar 4.3 dan Tabel 4.6).

Gambar 4.3 Makroskopik hepar tikus Keterangan :

P1 : Hepar tikus kelompok normal

P2 : Hepar tikus kelompok kontrol negatif P3 : Hepar tikus kelompok kontrol positif

P4 : Hepar tikus kelompok EERTG dosis 5 mg/kg bb P5 : Hepar tikus kelompok EERTG dosis 25 mg/kg bb P6 : Hepar tikus kelompok EERTG dosis 125 mg/kg bb P7 : Hepar tikus kelompok EERTG dosis 625 mg/kg bb

Tabel 4.6 Pengamatan secara morfologi organ hepar tikus padahari ke-8

4.3.2 Gambaran mikroskopik hepar (Histopatologi hepar)

Pengamatan histopatologi dilakukan pada hari ke-8 setelah 24 jam pemberian parasetamol. Tikus yang masih hidup dikorbankan dengan cara dislokasi leher kemudian dibedah untuk diambil heparnya. Hasil pengamatan ini digunakan untuk menentukan derajat kerusakan sel-sel hepar akibat pemberian parasetamol dan efek hepatoprotektor dari ekstrak uji yang diberikan yaitu EERTG. Melalui pengamatan histopatologi ini dapat dilihat kerusakan organ pada tingkat yang tidak terlihat bila hanya diamati secara makroskopik (Tabel 4.7).

Tabel 4.7 Hasil histopatologi jaringan hepar tikus pada hari ke-8 berdasarkan kerusakan hepatosit

Kelompok Jenis Kerusakan Hepatosit Degenerasi Hidropik Nekrosis

P1 - -

P2 + +

P3 - -

Perlakuan Hepar

Warna Tekstur

Normal (P1) Merah Licin

Kontrol negatif (P2) Merah pucat sekali, bercak hitam

Licin, bintik-bintik hitam Kontrol positif (P3) Merah pekat Licin

Dosis 5 mg/kg bb (P4) Merah pekat Licin, bintik-bintik coklat kehitaman Dosis 25 mg/kg bb (P5) Merah pekat Licin, bintik-bintik

merah Dosis 125 mg/kg bb (P6) Merah Licin Dosis 625 mg/kg bb (P7) Merah Licin

P4 - -

P5 - -

P6 - -

P7 - -

Keterangan : P=perlakuan; 1=tanpa perlakuan;2=kontrol negatif;3=kontrol positif;4,5, 6, dan 7 = dosis 5, 25, 125, dan 625 mg/kg bb; (-) = normal;(+) = terjadi kerusakan.

Pada Tabel 4.7 terlihat pada kelompok tanpa perlakuan, kontrol positif, EERTG dosis 5, 25, 125, dan 625 mg/kg bb tidak terjadi kerusakan hepatosit, sedang pada kelompok kontrol negatif terjadi kerusakan hepatosit yaitu degenerasi hidropik dan nekrosis.

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian paresetamol dosis 2 g/kg bb dapat menyebabkan kerusakan hepar melalui mekanisme pembentukan metabolit NAPQI dan penurunan muatan glutation hepar sehingga terjadi pengikatan makrmolekul sel hepar oleh metabolit NAPQI yang dapat menyebabkan kerusakan sel hepar (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Histopatologi jaringan hepar tikus (perbesaran 10x10)

Keterangan : (a) vena sentralis normal; (b) hepatosit normal; (c) sinusoid normal P1 : Hepar tikus kelompok normal

P2 : Hepar tikus kelompok kontrol negatif P3 : Hepar tikus kelompok kontrol positif

P4 : Hepar tikus kelompok EERTG dosis5 mg/kg bb P5 : Hepar tikus kelompok EERTG dosis 25 mg/kg bb P6 : Hepar tikus kelompok EERTG dosis 125 mg/kg bb P7 : Hepar tikus kelompok EERTG dosis 625 mg/kg bb

(b) (c) (a)

Gambar 4.4 (lanjutan)

Keterangan : (a) vena sentralis yang mengalami kongesti; (b) hepatosit yang mengalami nekrosis yang dilihat dari inti sel piknotik, karyolisis dan karyoreksis; terjadi degenerasi hidropik pada hepatosit; (c) sinusoid tidak teratur; (d) terjadi infiltrasi sel radang; (e) terjadi hemorrage (b) (e) (d) (a) P2a (c) P2a P2b

Keterangan: (a) vena sentralis normal; (b) hepatosit normal, namun beberapa mengalami piknotik; (c) sinusoid normal.

Gambar 4.4 (lanjutan)

Keterangan: (a) vena sentralis normal; (b) hepatosit normal; (c) sinusoid normal.

(c) (a) (b) P3 P4 (a) (c) (b)

Keterangan: (a) vena sentralis normal; (b) hepatosit normal; (c) sinusoid normal

Gambar 4.4 (lanjutan)

Keterangan : (a) vena sentralis normal; (b) hepatosit normal; (c) sinusoid normal P5 (a) (b) (c) P6 (c) (b) (a)

c

Gambar 4.4 (lanjutan)

Keterangan : (a) vena sentralis normal; (b) hepatosit normal; (c) sinusoid normal

Berdasarkan Gambar 4.4 di atas, pada keadaan normal (P1), vena sentralis merupakan sebuah pembuluh vena yang dikelilingi oleh sel endothelium yang tersusun rapat (Flore, 1981) dan terletak pada pusat lobulus dengan hepatosit tersusun secara teratur ke arah vena sentralis (Price, 1997). Di dalam hepatosit terdapat sitoplasma yang masih utuh dengan nukleus yang bulat. Di sepanjang hepatosit terdapat sinusoid tempat mengalirkan darah yang akan ditampung oleh vena sentralis (Junqueira, 1992; Fawcett, 2002). Pada kelompok kontrol negatif (P2) terlihat adanya indikasi kerusakan struktur hepar yang ditandai dengan kongesti vena sentralis yang diakibatkan oleh lisisnya sel endothelium sehingga lingkaran tidak utuh dan akhirnya lingkaran menjadi tidak jelas. Vena sentralis menerima darah dari sinusoid sebanyak 25% yang berasal dari arteri hepatika,

P7

((a) ((b) ((c)

sedangkan 75% berasal dari vena porta yang mengalirkan darah dari saluran cerna hasil absorbsi usus. Jadi, vena sentralis akan banyak menampung zat-zat hasil metabolisme yang dapat bersifat toksik maupun nontoksik. Banyaknya darah yang ditampung oleh vena sentralis akan menyebabkan konsentrasi zat yang bersifat toksik jauh lebih besar sehingga hal inilah yang memperjelas kerusakan vena sentralis (Price dan Wilson, 1997; Underwood, 1997). Pada inti sel hepatosit nampak sel hepar juga mengalami nekrosis ditandai dengan inti sel mengecil dan berwarna kehitaman (inti piknotik), inti sel pecah (karyoreksis) dan inti sel menghilang (karyolisis) (Price dan Wilson, 1997). Pada gambar (P2) menunjukkan adanya sel yang mengalami degenerasi hidropik. Di sini terlihat sel membengkak dan vakuola membesar. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa degenerasi hidropik merupakan pertanda awal kerusakan sel akibat terganggunya permeabilitas membran sel akibat penurunan jumlah ATP, sehingga memudahkan molekul air masuk dari ekstrasel ke intrasel secara berlebihan akibatnya terjadi pembengkakan sel dan vakuola membesar (Underwood, 1997). Adanya infiltrasi sel radang berupa monosit dan limfosit akibat peradangan sel hepar sebagai respon imun sel kuppfer yang terdapat di sepanjang sinusoid.

Gambaran histopatologi hepar pada kelompok kontrol positif (P3), EERTG dosis 5, 25, 125, dan 625 mg/kg bb (P4, P5, P6, P7) tidak menunjukkan kerusakan yang signifikan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini membuktikan bahwa dengan pemberian EERTG dapat melindungi hepar dari kerusakan dan EERTG mempunyai aktivitas hepatoprotektor terhadap hepar tikus yang diinduksi

parasetamol dengan cara peningkatan glutation di hepar sehingga mampu mengkonjugasi metabolit NAPQI yang terbentuk akibat pemberian parasetamol.

Berdasarkan uraian diatas, pemberian parasetamol dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hepar dengan cara penurunan proses konjugasi dengan asam glukoronat dan asam sulfat hepar sehingga menigkatkan oksidasi yang dikatalisis Sitokrom P-450 sehingga terjadi peningkatan pembentukan NAPQI dan simpanan glutation hepar menjadi berkurang (James, et al., 2003).Terbentuknya metabolit NAPQI dalam jumlah banyak dan penurunan jumlah glutathion hepar, akan berakibat terbentuknya ikatan kovalen antara metabolit dengan makromolekul sel-sel hepar sehingga terjadi nekrosis atau kerusakan hepar (Husadha, 1996). Nekrosis dapat dilihat dengan berkurangnya jumlah inti pada sel atau hilangnya inti sama sekali dan pengeruhan pada sitoplasma (Thomas, 1998). Hepatosit yang rusak melepaskan faktor-faktor penarik yang mengaktivasi makrofag hepar, menyebabkan nekrosis dengan melepaskan enzim proteolitik dan oksigen reaktif. Sel-sel hepar yang rusak akan melepaskan enzim-enzim yang menandai kerusakan tersebut di antaranya peningkatan aktivitas ALT dan AST (Damjanov, 2000).

Pemberian EERTG sebelum tikus diinduksi dengan parasetamol dosis tinggi, dapat mencegah kerusakan hepar yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI dari pemberian parasetamol dosis tinggi. Rimpang temu giring mengandung senyawa yang berkhasiat obat yaitu kurkuminoid, terdiri atas kurkumin, desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Senyawa kurkumin yang terkandung pada rimpang temu giring sekitar 0,98 – 3,21% (Windono, 2007). Senyawa ini yang diduga melindungi sel-sel hepar dari bahan toksik (Aggarwal, et

al., 2006). Kurkumin yang terkandung di dalam EERTG melindungi hepar dengan cara peningkatan aktivitas enzim glutation peroksidase yang merupakan antioksidan endogen yang mengkatalisis reaksi konjugasi glutation dengan sejumlah besar xenobiotika endogen maupun eksogen, sehingga kebutuhannya untuk mengkonjugasi NAPQI akan tercapai, dengan demikian NAPQI tidak berikatan dengan makromolekul hepatosit dengan demikian terhindar dari kerusakan (Suyatna, dkk., 2010).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait