• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Bahan Tumbuhan

Sampel yang digunakan berupa serbuk simplisia tumbuhan rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val) yang diperoleh dari PT. Sumatera Busan (Lampiran 1 halaman 70).

4.1.1 Karakterisasi simplisia dan ekstrak

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia rimpang temu giring diperoleh bentuk keping pipih, ringan, diameter 2-4 cm dan ketebalan 1-4 mm, bagian tepi berombak atau keriput, warna kuning terang, bau khas aromatik, rasa sedikit pedas dan lama kelamaan menimbulkan rasa tebal (Lampiran 3 halaman 72). Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia rimpang temu giring terlihat adanya butir pati, tetes minyak atsiri, parenkim, rambut penutup, pembuluh kayu dan fragmen gabus(Lampiran 5 halaman 76).

Menurut Kemenkes RI (2008), suatu simplisia dan ekstrak yang akan digunakan sebagai bahan baku obat harus memenuhi persyaratan mutu yang tercantum dalam monografi. Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia rimpang temu giring dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil karakterisasi serbuk simplisiarimpang temu giring

Hasil karakterisasi serbuk simplisia memenuhi syarat berdasarkan persyaratan pada (MMI) Materia Medika Indonesia (1989), karena kadar air tidak lebih dari 10%, sedangkan kadar air simplisia yang diperoleh adalah 9,14%.

Penetapan kadar sari larut air untuk mengetahui banyaknya sari larut dalam pelarut air. Senyawa yang dapat larut dalam air adalah glikosida, gula, gom, protein, enzim, zat warna, dan asam organik. Kadar sari larut air diperoleh 17,18%. Kadar sari larut etanol yang diperoleh 24,87%, kadar tersebut sesuai dengan persyaratan yang tercantum di dalam MMI.Penetapan kadar sari dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia yang larut dalam air maupun dalam etanol. Senyawa yang dapat larut dalam etanol adalah glikosida, antrakinon, steroida, flavonoida, klorofil, dan dalam jumlah sedikit yaitu lemak dan saponin (Depkes, 1979). Penetapan kadar abu total bertujuan untuk mengetahui kadar senyawa-senyawa anorganik seperti oksida logam Mg, Ca, Pb, dan Si. Pada penetapan kadar abu tidak larut asam, senyawa anorganik yang tidak larut adalah silika. Besarnya kandungan logam tersebut, dapat membahayakan kesehatan. Hasil yang didapat untuk kadar abu total adalah 4,54% dan kadar abu tidak larut asam adalah 1,4%, kadar tersebut juga memenuhi persyaratan yang tercantum di dalam MMI.Hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak etanol rimpang temu giringdapat dilihat pada Tabel 4.2.

No Karakteristik serbuk simplisia Simplisia

Kadar (%) Persy. MMI

1 Kadar air 9,14 < 10

2 Kadar sari larut dalam air 17,18 > 16 3 Kadar sari larut dalam etanol 24,87 > 6

4 Kadar abu total 4,54 < 9

Tabel 4.2 Hasil karakterisasi ekstrak etanol rimpang temu giring (EERTG)

Hasil karakterisasi ekstrak etanol rimpang temu giring memenuhi syarat berdasarkan persyaratan pada Materia Medika Indonesia. Kadar air yang diperoleh pada hasil karakterisasi ekstrak adalah 3,97% sehingga ekstrak yang diperoleh merupakan ekstrak kental karena masih mengandung sedikit air.

Hasil penyarian 500 gram serbuk simplisia rimpang temu giring dengan pelarut etanol 96% diperoleh ekstrak kental 95,32 gram (rendemen 19,06%).

4.1.2 Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak rimpang temu giring

Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol rimpang temu giring menunjukan hasil yang sama, dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak rimpang temu giring

4.2 Hasil pengukuran Parameter biokimia ALT dan AST

4.2.1 Aktivitas Alanin Aminotransferase (ALT)

Pengukuran aktivitas katalisator ALT dilakukan pada hari ke-8 setelah 24 jam penginduksian parasetamol. Pada pengukuran, aktivitas enzim ALT mengkatalisis reaksi alanin + 2-oxoglutarat glutamat + piruvat, menunjukkan

No Karakteristik ekstrak Simplisia

Kadar (%) Persy. MMI

1 Kadar air 3,97 < 9,6

2 Kadar abu total 0,42 < 0,5

3 Kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,10 < 0,2

No Pemeriksaan Serbuk simplisia Ekstrak

1 Alkaloida - - 2 Flavonoida + + 3 Saponin + + 4 Tanin + + 5 Glikosida + + 6 Steroid/Triterpenoid + +

46 334,4 42,6 93 62,4 49,6 35,8 0 50 100 150 200 250 300 350 400 tanpa perlakuan

kontrol - kontrol + dosis 5 mg/kg bb dosis 25 mg/kg bb dosis 125 mg/kg bb dosis 625 mg/kg bb P e n gu k u r an ak ti v itas A LT ae te lah 8 har i U/ L Kelompok perlakuan

kadar enzim tersebut di dalam darah. Hasil pengukuran secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.1.

Tabel 4.4 AktivitasALT tikus putih yang diinduksi parasetamol pada pengukuran hari ke-8 (Mean ± SD)

Ket : a berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan lain (p < 0,05)

Hasil orientasi pada tikus jantan yang diberi EERTG dosis 5, 25, dan 125 mg/kg bb menunjukkan penghambatan peningkatan aktivitas ALT dibandingkan dengan CMC-Na 0,5% sebagai kontrol negatif. Pada perlakuan, dosis EERTG ditingkatkan menjadi 625 mg/kg bb sehingga ada 4 variasi dosis yang digunakan yaitu: 5, 25, 125, dan 625 mg/kg bb (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Grafik pengukuran aktivitas ALT

Kelompok Perlakuan Jumlah

Subjek

Aktivitas ALT (U/L) I Tanpa perlakuan 5 46,00 ± 6,93 II CMC - Na 0,5% + parasetamol 5 334,40 ± 217,57a III Katekin + parasetamol 5 42,60 ± 16,88 IV EERTG 5 mg/kg bb + parasetamol 5 93 ± 9,75 V EERTG 25 mg/kg bb + parasetamol 5 62,40 ± 8,68 VI EERTG 125 mg/kg bb + parasetamol 5 49,60 ± 13,94 VII EERTG 625 mg/kg bb + parasetamol 5 35,80 ±12,11

Berdasarkan Gambar 4.1 di atas, menunjukkan bahwa aktivitasALT pada kelompok tanpa perlakuan adalah 46 U/L, pada kelompok kontrol positif (katekin 2 mg/kg bb) ditemukan aktivitas ALT adalah 42,6 U/L. Dengan nilai tersebut menunjukkan bahwa aktivitas ALT yang diperoleh sesuai dengan aktivitasnormal ALT pada tikus yaitu berkisar antara 19,3 – 68,9 U/L (Baron, 1992). Sedangkan yang diperoleh pada kelompok kontrol negatif (CMC-Na 0,5%) dan suspensi parasetamol dosis 2 g/kg bb adalah 334,4 U/L; ini jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa perlakuan dan menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan ekstrak uji (p < 0,05). Peningkatan aktivitas enzim ALT ini menjadi petunjuk bahwa telah terjadi kerusakan hepar, karena sangat sedikit kondisi selain hepar yang berpengaruh terhadap kadar enzim ini dalam serum (Widmann, 1995). Hal ini mengisyaratkan bahwa pemberian suspensi parasetamol dosis 2 g/kg bb menyebabkan kerusakan hepar yang ditandai dengan peningkatan aktivitasALT dan sesuai dengan hasil penelitian Aluko, et al., (1999) tentang aktivitas hepatoprotektor Ocimum americanum L pada tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol; Anyasor, et al., (2013) tentang aktivitas hepatoprotektor

Costus afer S pada tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol; dan Lin,et al., (2000) tentang aktivitas hepatoprotektor Solanum alatum M pada mencit yang diinduksi parasetamol.

AktivitasALT pada kelompok perlakuan dosis 5, 25, 125, dan 625 mg/kg bb EERTG berturut-turut adalah 93 U/L; 62,4 U/L; 49,6 U/L; dan 35,8 U/L. Pada dosis 5 mg/kg bb aktivitas ALT lebih tinggi dari aktivitas ALT pada kelompok tanpa perlakuan dan kelompok kontrol positif,walaupun aktivitasnyaberbeda signifikan (p< 0,05) dengan kontrol negatif. Hal ini disebabkan dosis yang

diberikan terlalu kecil. Aktivitas ALT yang tidak berbeda signifikan (p > 0,05) dengan kelompok tanpa perlakuan dan kontrol positif, namun berbeda signifikan (p < 0,05) dengan kontrol negatifmulai terlihat pada dosis 25, 125 dan 625 mg/kg bb. Secara keseluruhan dapat dilihat adanya penghambatan peningkatan aktivitasALT menuju normal seiring dengan peningkatan dosis EERTG, jadi fenomena ini petunjuk terjadinya hubungan dosis-daya hambat peningkatan. Hasil pengujian aktivitas hepatoprotektor kemudian dianalisis dengan uji perbedaan rata-rata antar kelompok (Uji ANAVA) dan hasil analisis data dilanjutkan dengan ujipost hoc dengan Tukey HSD.

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh F hitung aktivitas ALT (8.365) > F Tabel (2,71); ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (P<0,05) berarti terdapat perbedaan rata-rata antara variabel yang diuji.

4.2.2 Aktivitas Aspartat Aminotransferase (AST)

Pengukuran aktivitasAST dilakukan pada hari ke-8 setelah 24 jam penginduksian dengan parasetamol. Pada pengukuran, aktivitas enzim AST mengakatalisis reaksi aspartat + 2-oxoglutarat glutamat + oxaloacetic,

menunjukkan kadar enzim tersebut di dalam darah. Hasil pengukuran secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.2.

Tabel 4.5 Aktivitas AST tikus putih yang diinduksi parasetamol pada pengukuran hari ke-8 (Mean ± SD)

Kelompok Perlakuan Jumlah

Subjek

Aktivitas AST (U/L)

I Tanpa perlakuan 5 35,20 ± 4,32

II CMC - Na 0,5% + parasetamol 5 296,80 ± 78,02a III Katekin + parasetamol 5 52,00 ± 9,11 IV EERTG 5 mg/kg bb + parasetamol 5 121,60 ± 49,20 a

V EERTG 25 mg/kg bb + parasetamol 5 75,60 ± 8,36 VI EERTG 125 mg/kg bb + parasetamol 5 59,60 ± 12.03 VII EERTG 625 mg/kg bb + parasetamol 5 45,60 ±12,97

Hasil orientasi yang dilakukan pada tikus jantan yang diberikan EERTG dosis 5, 25, dan 125 mg/kg bb menunjukkan penghambatan peningkatan aktivitas AST dibandingkan dengan CMC-Na 0,5% sebagai kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis EERTG semakin besar aktivitas hepatoprotektor yang dihasilkan. Pada perlakuan, dosis EERTG ditingkatkan menjadi 625 mg/kg bb sehingga ada 4 variasi dosis yang digunakan yaitu 5, 25, 125, dan 625 mg/kg bb (Gambar 4.2).

Gambar 4.2 Grafik pengukuran aktivitas AST 35,2 296,8 52 121,6 75,6 59,6 45,6 0 50 100 150 200 250 300 350 tanpa perlakuan

kontrol - kontrol + dosis 5 mg/kg bb dosis 25 mg/kg bb dosis 125 mg/kg bb dosis 625 mg/kg bb P e ng uk ur a n a k ti v it a s A S T s e te la h 8 ha ri U/ L Kelompok perlakuan

Berdasarkan Gambar 4.2 di atas, aktivitas AST pada kelompok normal adalah 35,2 U/L, pada kelompok kontrol positif (katekin 2 mg/kg bb) ditemukan aktivitas AST adalah 52 U/L. Dengan nilai tersebut menunjukkan bahwa aktivitas AST yang diperoleh sesuai dengan aktivitas normal pada tikus, yaitu berkisar antara 29,8 – 77,0 U/L (Baron, 1992). Sedangkan yang diperoleh pada kelompok kontrol negatif (CMC Na 0,5%) dan suspensi parasetamol dosis 2 g/kg bb adalah 296,8 U/L; ini jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa perlakuan dan menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) antar kelompok perlakuan EERTG. Dengan demikian disimpulkan bahwa pemberian suspensi parasetamol dosis 2 g/kg bb dapat merusak hepar yang ditandai dengan peningkatan aktivitasAST dan ini sesuai dengan hasil penelitian Aluko, et al., (1999) tentang aktivitas hepatoprotektor Ocimum americanum L pada tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol; Anyasor, et al., (2013) tentang aktivitas hepatoprotektor

Costus afer S pada tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol; dan Lin,et al., (2000) tentang aktivitas hepatoprotektor Solanum alatum M pada mencit yang diinduksi parasetamol.

Aktivitas AST pada kelompok perlakuan dosis 5, 25, 125, dan 625 mg/kg bb berturut-turut adalah 121,60 U/L; 75,60 U/L; 59,60 U/L; dan 45,60 U/L. Pada dosis 5 mg/kg bb, aktivitasAST berbeda signifikan (p < 0,05) dengan kelompok tanpa perlakuan, kontrol positif, dan EERTG dosis 625 mg/kg bb. Hal ini disebabkan dosis yang diberikan terlalu kecil sehingga tidak menimbulkan efek hepatoprotektor. Aktivitas AST yang tidak berbeda signifikan (p > 0,05) dengan kelompok tanpa perlakuan dan kontrol positif, namun berbeda signifikan (p < 0,05) dengan kontrol negatif mulai terlihat pada dosis 25, 125 dan 625 mg/kg bb.

Ini menunjukkan adanya aktivitas kurkumin sebagai antioksidan yang terkandung di dalam EERTG, sehingga mampu menghambat pembentukan metabolit NAPQIdari parasetamol dengan cara meningkatkan aktivitas glutation untuk mengkonjugasi metabolit NAPQI tersebut, yang dapat dilihat dari penghambatan peningkatan aktivitas enzim ALT dan AST menuju aktivitas normal seiring dengan peningkatan dosis EERTG yang diberikan. Pada enzim AST, aktivitas normal sedikit lebih tinggi dibandingkan enzim ALT, hal ini disebabkan karena peningkatan enzim AST bukan merupakan indikasi utama kerusakan hepar. AST banyak terdapat di jantung, otot rangka, ginjal dan pankreas (Husadha, 1996). Hal tersebut yang menyebabkan AST bukan parameter utama pada kerusakan hepar tanpa didukung pemeriksaan ALT yang lebih spesifik untuk kerusakan hepar. Beberapa enzim lain juga dapat dijadikan parameter pada kerusakan hepar, seperti alkalin pospatase (AP) yang lebih dominan bila terjadinya obstruksi pada saluran empedu dan meningkat bila ada gangguan pada tulang, gamma glutamil transpeptidase (GGT) yang meningkat pada obtruksi pada saluran empedu dan hepatitis, 5 – nukleotidase yang interpretasinya sama dengan alkali pospatase, hanya saja enzim ini lebih spesifik pada obstruksi bilier. Enzim-enzim tersebut merupakan parameter pendukung pada kerusakan hepar (Baron, 1992).

Hasil pengujian aktivitas hepatoprotektor kemudian dianalisis dengan uji perbedaan rata-rata antar kelompok (Uji ANAVA) dan hasil analisis data dilanjutkan dengan ujipost hoc menggunakan Tukey HSD.

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh F hitung aktivitasAST (32.994) > F Tabel (2,71) menunjukkan hubungan yang bermakna (P<0,05) berarti terdapat perbedaan rata-rata antara variabel yang diuji.

P1 P2 P3

P4 P5 P6 P7

Dokumen terkait