• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Konsep Diri Anak Jawa pada Usia Sekolah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

F. Gambaran Konsep Diri Anak Jawa pada Usia Sekolah yang

Pada masa kanak-kanak, anak mulai menyadari identitas atau siapa dirinya dari penilaian atau pandangan orang lain mengenai bagaimana dirinya dalam hal-hal tertentu. Pandangan dan penilain mengenai diri sendiri yang meliputi karakteristik fisik, sosial, emosi, dan akademik disebut sebagai konsep

diri. Konsep diri mulai fokus pada masa batita, akan berkembang atau menjadi lebih jelas dan lengkap ketika individu menambahkan kemampuan-kemamuan kognitifnya dan berhadapan dengan tugas-tugas perkembangannya. Pada usia sekolah, konsep diri sudah terbentuk secara akurat. Konsep diri pada anak usia sekolah dimulai dari segi fisik, seperti misalnya anak sudah mengetahui bahwa dirinya memiliki tubuh yang tinggi atau pendek, berkulit putih atau coklat, dan lain sebagainya. Setelah itu, barulah masuk pada tahap psikologis, seperti misalnya anak sudah mengetahui kemampuan, peran, sifat, kekurangannya, dan tanggung jawabnya (Feldman, Papalia, Olds, 2009).

Terbentuknya konsep diri, terdapat tiga demensi yang mendasarinya. Dimensi pertama yaitu dimensi pengetahuan merupakan pengetahuan individu mengenai dirinya seperti peran, sikap, watak, dan kemampuan yang dimiliki. Setelah individu mengetahui tentang dirinya, individu akan memiliki harapan yang termasuk dalam dimensi kedua. Harapan tersebut seperti cita-cita, aspirasi dan dambaan terhadap dirinya. Selanjutnya individu akan menilai dirinya, seperti apakah dirinya bertentangan antar harapan dan standar yang ditetapkan bagi diri sendiri. Apabila orang hidup dengan standar dan harapan yang seimbang serta menyukai dirinya akan memiliki harga diri positif atau konsep diri positif dan sebaliknya (Desmita, 2009).

Orang yang memiliki konsep diri positif cenderung menerima dirinya, lebih terbuka, optimis, lebih percaya diri, dan menganggap kegagalan sebagai pelajaran untuk menjadi lebih baik, sedangkan orang yang memiliki konsep

diri negatif cenderung pesimis, merasa tidak berhaga, tidak mau menerima kritik dan dirinya (Jacinta, 2002; Centi, 1993; Rahkmat, 2001)

Konsep diri itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pengasuhan orang tua, orang terdekat, masyarakat, pengalaman dan budaya. Orang tua memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan orang tua merupakan orang pertama yang berelasi dengan anak. Apabila orang tua mampu menunjukkan rasa cinta dan sayang secara tulus serta menerima anak apa adanya, maka anak akan memandang bahwa dirinya pantas untuk dicintai oleh dirinya sendiri maupun orang lain dan sebaliknya. Penilaian yang orang tua berikan, sebagian besar akan menjadi penilaian tentang diri yang dipegang oleh anak (Centi, 1993; Jacinta, 2002; Calhoun & Acocella, 1990).

Selain itu, perlakuan orang terdekat seperti saudara kandung, teman sebaya, pacar, atau yang dekat dengan anak juga mampu mempengaruhi pembentukan konsep diri anak. Hal ini disebabkan anak mulai menerima pendapat, penilaian, dan perlakuan dari orang terdekatnya saat berinteraksi. Akan tetapi, pengaruh mereka sangat tergantung dari tingkat keterlibatan, keintiman, dukungan, kekuatan, dan otoritas yang diberikan (Centi, 1993). Apabila dalam berinteraksi anak memperoleh banyak kritikan negatif, larangan, dan diberi cap negatif akan menyebabkan anak mengarah pada hal-hal yang kurang kreatif dan sebaliknya. Hal ini karena anak ingin diterima dan berproses sesuai standar yang disetujui oleh kelompok dilingkungannya.

Selanjutnya, pengalaman keberhasilan dan kegagalan dapat mengembangkan harga diri dan menghambat perkembangan gambaran diri ke arah yang positif. Dari pengalaman yang diperoleh akan terjadi proses belajar, namun biasanya tidak disadari. Misalnya, seorang anak yang memiliki tubuh yang pendek, dari pengalamannya dulu dipanggil “udang” oleh teman-temannya dan anak tersebut tahu bahwa tubuh yang pendek bukanlah sifat yang dihargai terutama untuk anak laki-laki, sehingga dapat menurunkan harga dirinya (Centi, 1993; Calhoun & Acoxcella, 1990 ).

Dalam masyarakat memiliki norma-norma yang berlaku dan merupakan cita-cita seseorang sekaligus cita-cita masyarakat. Mampu tidaknya seseorang memenuhi norma tersebut, penerimaan masyarakat terhadap diri seseorang, dan kecocokan cita-cita seseorang dengan cita-cita masyarakat mempunyai peran penting dalam pembentukan gambaran diri seseorang.

Budaya juga mempengaruhi terbentuknya konsep diri melalui keluarga. Melalui orang tua, anak akan belajar mengenal nilai-nilai, norma-norma, perilaku sosial, dan harapan sosial sebagai panduan hidup. Orang tua dengan cara tidak langsung melalui percakapan menularkan ide maupun keyakinan budaya mengenai bagaimana mendefinisikan diri (Papalia, Old, dan Felman 2009).

Dalam penelitian ini, konsep diri anak yang hendak diungkap adalah konsep diri dikalangan anak-anak yang tinggal di Yogyakarta merupakan kota dimana masyarakatnya masih berbudaya Jawa (Dyah Respati dan Syarifah Nazir dalam Tarakanita dan Widiarti, 2002). Budaya Jawa, masih memiliki

aturan-atauran atau tata krama sendiri dalam hubungan antara anak dan orang tua. Dalam budaya Jawa terdapat tiga macam cara pola asuh (Idrus, 2011) yaitu pola asuh mendorong seperti mengalihkan dari tujuan yang tidak diinginkan, menunda untuk memenuhi kebutuhan yang belum saatnya, mengajarkan kesopanan dan nilai kepatuhan, memberi perintah terperinci, dan pemberian hadiah. Pola asuh menghambat seperti, orang tua menakut-nakuti dengan ancaman mengenai nasib anaknya, memberi hukuman bila melakukan kesalahan berulang, dan memarahi dengan tidak diajak berbicara. Selanjutnya, pola asuh membiarkan seperti membebaskan anak bermain dan melakukan apa yang diinginkan.

Anak yang tumbuh dalam pola asuh mendorong, anak akan menilai dirinya lebih positif dan percaya dengan kemampuan yang dimilliki sehingga anak cenderung menjadi lebih percaya diri, optomis, dan tidak mudah putus asa. Berbeda dengan anak yang tumbuh dengan pola asuh menghambat, biasanya menilai dirinya tidak mampu melakukan sesuatu sehingga cenderung menjadi anak yang pendiam, penakut, tertutup, menarik diri, suka membantah, dan tidak berinisiatif. Kemudian pada anak yang tumbuh dengan pola asuh yang membiarkan, anak akan menilai dirinya mampu mendapatkan dan melakukan sesuatu dengan mudah karena kebebasan yang diberikan oleh orang tua, akan tetapi membuat anak menjadi bingung untuk menentukan perilaku yang sesuai dengan harapan sosial.

Pengaruh pola asuh terhadap pembentukan konsep diri didukung dalam hasil penelitian Idrus (2011) yang menyatakan bahwa pola asuh mendorong

paling banyak memberikan pengaruh terhadap tumbuhnya kepercayaan diri yang baik pada anak, akan tetapi pada pola asuh menghambat dan membiarkan kurang menumbuhkan kepercayaan diri yang baik.

Untuk melihat gambaran konsep diri anak dalam budaya Jawa, menggunakan tehnik proyektif yang diharapkan dapat menggali aspek psikologis yang ada dalam diri subjek. Tes C.A.T merupakan salah satu tehnik proyektif yang menggunakan 10 kartu bergambar, lalu subjek diperintahkan untuk menceritakan gambar-gambar dalam kartu tersebut. Dari cerita yang diperoleh, akan dilihat isi cerita dan tokoh utamanya. Tokoh utama dalam cerita akan memunculkan bagaimana peran sosial, gambaran diri tokoh utamanya seperti (berbahaya, kotor, baik, patuh, dll), dan bagaimana bentuk tubuh tokoh utamanya seperti (besar, kuat, kecil, dll). Hal tersebut mencakup dimensi konsep diri dan digolongkan sesuai dengan jenis-jenis konsep diri, sehingga konsep diri subjek terlihat dari cerita. Konsep diri dalam cerita dapat terlihat, karena cerita subjek merupakan kisah tentang dirinya atau ada kaitannya dengan dirinya yang merupakan hasil dari pengalaman dan harapan subjek baik yang disadari atau tidak disadari (Bellak & Abrams, 1997).

Dokumen terkait