• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran konsep diri anak usia sekolah di Yogyakarta yang diperoleh dari respon C.A.T - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Gambaran konsep diri anak usia sekolah di Yogyakarta yang diperoleh dari respon C.A.T - USD Repository"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

i

GAMBARAN KONSEP DIRI ANAK USIA SEKOLAH DI YOGYAKARTA

YANG DIPEROLEH DARI RESPON C.A.T

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Ni Kadek Ayu Duwi Sawitri NIM : 089114009

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Tetaplah SETIA !!

“kerjakanlan bagian kita dengan setia...Dan

lihatlah, Tuhan akan mengerjakan

(5)

v

Karya ini ku persembahkan untuk:

Ida Sang Hyang Widhi

atas Kekuatannya sampai saat ini,

Keluarga besar

My Lovely

Teman-teman

Dan semua pihak atas bantuan dan suportnya

Terima Kasih Banyak

(6)
(7)

vii

GAMBARAN KONSEP DIRI ANAK USIA SEKOLAH DI YOGYAKARTA

YANG DIPEROLEH DARI RESPON C.A.T

Ni Kadek Ayu Duwi Sawitri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran konsep diri anak usia sekolah di Yogyakarta dengan menggunakan C.A.T. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode proyektif. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 60 subjek yang berusia 6-11 tahun. Pemilihan subjek menggunakan purposive sampling, dengan karakteristik lahir dan berdomisili di Yogyakarta. Metode pengumpulan data menggunakan dokumen berupa laporan hasil praktikum tes C.A.T. Analisis data dilakukan dengan cara analisis tematik. Interpretasi awal yang dilakukan ialah mengidentifikasikan tema deskriptif, tema interpretif dan menentukan tema diagnostik. Dari pengkatagorian ragam konsep diri dan pengaktagorian

agencydancommunion, menunjukkan bahwa konsep diri yang paling banyak muncul terkait relasi keluarga mengenai kepatuhan. Selanjutnya terkait aspek kemampuan mengenai kemandirian. Kemudian, aspek sosial mengenai membantu dan menolong. Aspek fisik mengenai diri yang kuat dan aspek akademik mengenai diri yang pintar dan kemampuan memenangkan kompetisi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa gambaran diri anak usia sekolah di Yogyakarta cenderung pada kepatuhan dan kemandirian. Gambaran diri yang muncul saat ini kemungkinan adanya pergeseran gambaran diri dari tahun 60an, bahwa pada masa itu gambaran diri anak Jawa seperti patuh atau penurut, sopan, dan hormat, akan tetapi hasil penelitian ini menunjukan bahwa gambaran diri mengenai kemandirian baru terlihat, namun mengenai kepatuhan masih terlihat penting. Hal ini dapat dipngaruhi oleh pola asuh orang tua Jawa yang lebih mengarah pada pola asuh menorong. Gambaran diri menganai kepatuhan banyak muncul pada cerita C.A.T pada kartu no 10, 8, dan 7, sedangkan gambaran diri kemandirian terlihat pada kartu no 10, 6, 5 dan 7.

(8)

viii

IMAGE OF SCHOOLCHILD SELF-CONCEPT IN YOGYAKARTA FROM C.A.T RESPONS

Ni Kadek Ayu Duwi Sawitri

ABSTRACT

This research purposed to see the image of school-age children in Yogyakarta with C.A.T. This research used qualitative approach with interpretative phenomenology analyzes. Subject in this research was 60 subjects aged 6-11 years old. Subject selection used purposive sampling, with characteristic born and stays in Yogyakarta. Collecting data method used document as report of practical C.A.T test result. Data analyze was conducted with thematic analyze. Initial interpretation was identification descriptive theme, interpretive theme and determined diagnostic theme. Based from self-concept and agency and communion categorization it is known that most prominent self-concept due to family relation is obedience, follow by independent and aspect social of help and assist. Physical aspects are related to strong and academic aspect concerning smart-concept and skill to win particular competition. This indicates self-concepts hold by school-age children, in Yogyakarta, incline on obedient and independent. These self-imschool-ages may reflect displacement on self-image in 60s, which self-images of Javanese children at given time were obedient, courteousness and respectful. However, present research reveal that self-image concerning independency is arise recently, which obedience remain significant. This is influence by Javanese-parent nurturing style on help-style. Self-image related to obedience largely indicated in C.A.T on card number 10, 8 and 7, while independency is indicated in C.A.T card number 10, 6, 5 and 7.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitianGambaran KonsepDiri Anak Usia Sekolah di Yogyakarta yang Diperoleh Dari Respon C.A.T. Adapun penulisan ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat dalam mendapatkan gelar sarjana psikologi. Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis,

1. Ibu Agnes Indar Etikawati S.Psi, M.Si atas bimbingannya selama saya mengerjakan skripsi, dan untuk segala kesempatan yang pernah diberikan. 2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dosen pembimbing akademik saya. Terimakasih bu tidak pernah bosan mengingatkan saya untuk segera lulus setiap awal semester. Terimakasih juga sudah menularkan semangat yang luar biasa.

3. Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi, M.si dan Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi, Psi, Pak Toni, dan Mbak Tia yang telah memberi kesempatan dan membimbing saya dalam mengaplikasikan ilmu saya di P2TKP.

4. Semua dosen di fakultas psikologi, terutama yang pernah mengajar saya. Terimakasih untuk ilmu yang sudah diberikan dengan rela hati, pelajaran hidup, dan ketulusan dalam mendidik saya.

(11)

xi

Dharma. Terima Kasih atas bantuannya selama masa kuliah dan pengerjaan skripsi.

6. Bapak, Ibu, Kak Sinta, Kak Joni, Kak Setia, Mita dan seluruh keluarga besar untuk semua dukungan dan doa nya, untuk suport, cinta dan kasih yang luar biasa.

7. Bayu My Lovely makasih atas doa, kekuatan dan semangatnya. Makasih untuk kasih sayang yang tiada henti dan kesabarannya dalam menemani pembuatan skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuanganku Mila, Dewi, Puput, Vita, Winas, Aix, Vicke, Tiwi, Ingatsaat-saat kita galau bersama atau saat-saat saling menguatkan, menyemangati, saat-saat konyol kita. Makasih teman-teman ayo lanjutkan perjuangan kalian…

9. Ce Lisa, Cen-cen, Mbak Rani, Ayu, Dayu, dan Made menjadi keluarga kedua di kost untuk berbagi suka dan duka bersama, selalu mengingatkan dan menasehati, selalu menolong dan tentunya selalu mensuport.

10. Cory, Panji, Cahyadi, Febry sebagi teman yang selalu memberi suport untuk cepat lulus dan tempat mencurahkan keluh kesah selama ini . Terima kasih doa dan semangatnya kawan.

Akhir kata, penulis hendak menyampaikan permintaan maaf sebesar-besarnya apabila dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna untuk siapapun yang membacanya.

(12)

xii

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMANPENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

1. Manfaat Teoritis... 6

(13)

xiii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7

A. Konsep Diri... 7

1. Pengertian Konsep Diri... 7

2. Dimensi atau Cakupan Konsep Diri ... 8

3. Jenis-jenis Konsep Diri ... 11

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Konsep Diri .... 13

B. Anak Usia Sekolah... 16

1. Pengertian Anak Usia Sekolah... 16

2. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah ... 16

C. Konsep Diri Anak Usia Sekolah ... 19

D. Pola Asuh Keluarga Jawa ... 20

E. C.A.T (Children Apperception Test)... 23

F. Gambaran Konsep Diri Anak Jawa pada Usia Sekolah yang Diperoleh dari Respon C.A.T ... 24

G. Pertanyaan Penelitian... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 30

A. Metode Penelitian ... 30

B. Fokus Penelitian... 30

C. Subjek Penelitian... 32

D. Metode Pengumpulan Data... 32

1. Metode ... 32

(14)

xiv

E. Analisis Data ... 34

1. Tema Deskriptif ... 34

2. Tema Interpretif ... 35

3. Tema Diagnostik... 35

F. Keabsahan Data Penelitian ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 36

A. Pelaksanaan Penelitian... 36

B. Hasil Penelitian ... 36

1. Ragam Konsep Diri ... 36

2. Gambaran DiriAgencydanCommunion... 39

C.Pembahasan... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 47

A. Kesimpulan ... 47

B. Saran... 48

1. Orang Tua ... 48

2. Peneliti Selanjutnya ... 48

DAFTAR PUSTAKA... 49

(15)

xv

DAFTAR TABEL

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terbentuknya identitas diri merupakan hal yang cukup mendapat perhatian dari para ahli (Santrock, 2002) dan masyarakat pada umumnya. Pembentukan identitas diri dimulai sejak kecil, sejak masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak, anak mulai menyadari identitas atau siapa dirinya dari penilaian atau pandangan mengenai bagaimana dirinya dalam hal-hal tertentu. Penilaian atau pandangan ini disebut sebagai konsep diri.

Menurut Santrock (2002), konsep diri adalah pandangan mengenai diri sendiri terkait dalam beberapa domain atau aspek khusus, dapat meliputi aspek fisik, sosial, psikologis, dan akademik yang diperoleh melalui pengalaman individu saat berinteraksi dengan orang lain. Anak membentuk konsep dirinya berdasarkan interaksi dengan lingkungan (Centi, 1993) dan dari apa yang dapat dikuasainya (Erikson dalam Santrock,1995). Pada usia sekolah, konsep diri sudah terbentuk secara akurat. Konsep diri ini nantinya akan turut menentukan pola perilaku atau kepribadian individu (Rogers dalam Burns 1993).

(17)

berupa cita-cita, ispirasi, dan dambaan ingin menjadi apa dirinya nanti. Kemudian pada dimensi ketiga yaitu penilaian, individu memiliki peran sebagai penilai terhadap dirinya, seperti menilai apakah dirinya bertentangan antara harapan dan strandar yang ditetapkan bagi dirinya sendiri. Apabila individu hidup dengan standar dan harapan yang seimbang lalu individu menyukai dirinya akan memiliki rasa harga diri yang tinggi dan sebaliknya.

Beberapa sumber mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri yang positif akan lebih mengharagai dirinya, lebih yakin pada diri dan kemampuannya, tidak mengalami hambatan dalam bersosialisasi, dan pada akhirnya ia dapat berkembang secara lebih optimal. Sebaliknya, individu yang memiliki konsep diri negatif akan merasa ragu, tidak percaya diri dan menumbuhkan penyesuain diri yang kurang optimal (Jacinta F, 2002; Centi, 1993; Rakhmat, 2001).

(18)

anak akan digunakan sebagai patokan anak untuk menilai kemampuannya dalam berprestasi.

Budaya juga mempengaruhi terbentuknya konsep diri anak. Melalui orang tua, secara tidak langsung dalam percakapan dengan anaknya akan menularkan ide dan nilai-nilai maupun keyakinan budaya mengenai bagaimana mendefinisikan diri. Seperti, orang tua di Cina lebih mendorong berperilaku yang santun, kepatuhan terhadap otoritas, dan rasa memiliki terhadap masyarakat. Pada orang tua Eropa-Amerika mendorong mandiri dari diri seperti, individualitas, ekspresi diri, dan harga diri (Papalia, Old, dan Felman 2009).

Penelitian komparatif Wang (dalam Papalia, dkk, 2009) terhadap 180 anak prasekolah, TK, dan kelas 2, kulit putih dan keturunan Cina, menemukan bahwa anak menyerap gaya budaya yang berbeda mulai umur 3 atau 4 tahun dan semakin terlihat dengan meningkatnya usia. Anak yang keturuana Cina lebih banyak bicara tentang kategori dan hubungan sosial, sedangkan anak yang berkulit putih cenderung menggambarkan diri mereka dalam bentuk atribut dan keyakinan pribadi.

(19)

dalam hubungan sosial sehari-hari menggunakan bahasa Jawa Dyah Respati dan Syarifah Nazir (dalam Tarakanita dan Widiarti, 2002).

Seperti telah diketahui bahwa budaya Jawa merupakan budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai atau adat istiadat dan unggah-ungguh yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Budaya Jawa memiliki tiga ciri khas pola asuh yakni pola asuh mendorong, menghambat dan membiarkankan. Pola asuh yang mendorong seperti, membelokkan dari tujuan yang tidak diinginkan, menunda kebutuhan sesaat, mengajarkan kesopanan dan kepatuhan, memberi perintah yang terperinci tanpa emosional, dan memberi hadiah merupakan pola asuh yang dapat membentuk anak menjadi lebih baik dalam hal kemampuan umum maupun akademik (Idrus, 2011). Pola asuh menghambat seperti, menakut-nakuti melalui ancaman tentang nasibnya, memberi hukuman, dan memusuhi. Pola asuh demikian akan membentuk anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, menarik diri dan cemas. Pola asuh membiarkan seperti membebaskan anak untuk bermain dengan temannya dan membiarkan anak untuk melakukan sesuatu. Pola asuh ini akan membuat anak manja dan kurang percaya diri. Untuk itu, peneliti ingin melihat konsep diri anak usia sekolah yang dipengaruhi oleh faktor pola asuh dari budaya jawa.

(20)

tehnik proyektif lebih mempermudah seorang peneliti untuk menggali informasi dari anak-anak. Tehnik proyektif membuat anak-anak tidak merasa terancam dibandingkan jika harus mengutarakan perasaan secara langsung seperti yang ada pada metode wawancara (Wenar & Kerig, 2000). Metode proyektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes C.A.T. Respon yang dimunculkan dari cerita C.A.T dapat melihat konsep diri subjek yang dilihat dari tokoh utama dalam cerita. Biasanya tokoh utama dalam cerita memunculkan konsep fisik, peran sosialnya dan pemikirannya sebagai seseorang, yang terkait dengan aspek konsep diri.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka peneliti ingin mengetahui gambaran konsep diri anak yang tinggal di Yogyakarta, dimana masyarakatnya berbudaya Jawa. Gambaran konsep diri akan digali dengan C.A.T, salah satu tes dengan metode proyektif.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran konsep diri anak usia sekolah di Yogyakarta yang diperoleh dari CAT?

C. Tujuan Penelitian

(21)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan informasi dalam bidang psikologi perkembangan anak secara umum dan secara khusus dalam mengetahui gambaran konsep diri anak usia sekolah.

2. Manfaat Praktis

a. Orang tua khususnya orang tua di Yogyakarta

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai konsep diri anak di Yogyakarta, sehingga para orang tua dapat memahami perkembangan konsep diri pada anak. b. Psikolog

(22)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Setiap individu memiliki pengalaman dari kecil. Sejarah hidupnya dapat memunculkan gambaran atau pandangan lebih buruk maupun lebih negatif dari kenyataan yang sebenarnya (Centi 1993). Konsep diri merupakan hal yang sangat penting dalam kepribadian individu, karena konsep diri sebagai penentu individu untuk bertindak dalam situasi (Calhoun & Acocella, 1990). Individu yang berfikir akan berhasil maka akan memunculkan dorongan yang akan membuat individu sukses. Sebaliknya, jika individu berfikir akan gagal, maka individu menyiapkan kegagalannya.

(23)

seseorang menghargai diri sendiri dan lingkungannya. Konsep diri secara luas dapat diartikan sebagai persepsi kita terhadap diri sendiri. Lalu persepsi ini dibentuk selama hidupnya melalui penghargaan yang bersifat menguatkan (reward) dan hukuman (punishment) dari orang yang ada disekitarnya, terutama orang yang lebih dewasa. Persepsi ini meliputi persepsi fisik, jenis kelamin, kognisi, sosial, pekerjaan, motivasi, tujuan dan emosi Grinder (dalam Susanti, 2005).

Berdasarkan pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan gambaran, pandangan, persepsi dan penilaian individu mengenai dirinya sendiri, yang meliputi karakteristi fisik, akademik, sosial, psikologis, emosi yang diperoleh melalui pendapat dari orang lain maupun pengalaman dan peristiwa di masa lalu.

Konsep diri juga terbentuk dari bagaimana kita melihat diri sebagai pribadi, bagaiman kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan. Hal ini merupakan dimensi atau cakupan dari konsep diri.

2. Dimensi atau Cakupan Konsep Diri

(24)

menyebutkan istilah dimensi konsep diri yang pertama adalah dimensi pengetahuan, dimensi pengharapan, dan dimensi penilaian. Sebagain ahli menyebutkan dengan istilah: citra diri, harga diri, dan diri ideal. Kemudian Desmita (2009) menyimpulkan bahwa konsep diri terdiri dari tiga dimensi dengan istilah yaitu:

a. Pengetahuan Tentang Diri

Dimensi pertama dalam konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri sendiri atau penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi penjelasan mengenai gambaran tentang diri. Gambaran diri tersebut akan membentuk citra diri. gambaran diri merupakan kesimpulan dari pandangan kita dalam berbagai peran yang kita pegang, seperti anak, orang tua, mahasiswa, istri, suami, dan sebagainya. Selanjutnya, pandangan kita tentang watak yang kita rasakan pada diri sendiri, seperti bersahabat, jujur, pemalas, dan sebagainya. Kemudian, pandangan kita tentang sikap yang ada pada diri kita, seperti kemampuan yang kita miliki.

(25)

kali berusaha untuk menyembunyikan segi-segi tertentu dari diri kita untuk menciptakan kesan yang baik.

b. Harapan Terhadap Diri

Harapan atau diri yang dicita-citakan di masa depan merupakan dimensi kedua dari konsep diri. Ketika setiap individu memiliki beberapa pandangan mengenai siapa dirinya, pada saat yang bersamaan kita juga akan memiliki sejumlah pandangan lain mengenai kemungkinan menjadi apa kita dimasa mendatang. Pengharapan ini sering disebut sebagai diri-ideal (self-ideal) atau diri yang dicita-citakan. Cita-cita diri terdiri atas dambaan, aspirasi, keinginana bagi diri kita, harapan, dan seterusnya. Akan tetapi, perlu untuk diperhatikan bahwa cita-cita diri belum tentu sesuai dengan kenyataan yang ada dalam diri kita. Walaupun demikian, hal ini menjadi faktor penting dalam pembentukan konsep diri dalam menentukan perilaku. Harapan dan cita-cita yang kita miliki akan membangkitkan kekuatan yang mendorong kita menuju masa depan dan akan memandu aktivitas kita dalam perjalanan hidup. Oleh karena itu, dalam menetapkan standar diri yang ideal harus disesuaikan dengan kemampuan yang kita miliki.

c. Penilaian Terhadap Diri

(26)

kita, seperti menilai apakah diri kita bertentangan : pengharapan bagi diri sendiri (saya dapat menjadi apa) dan standar yang kita tetapkan bagi diri kita sendiri (saya seharusnya menjadi apa). Kemudian hasil dari penilaian tersebut akan membentuk rasa harga diri, yakni seberapa besar kita menyukai diri kita. Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya sendiri serta menyukai dirinya akan memiliki rasa harga diri yang tinggi dan sebaliknya.

3. Jenis-jenis Konsep Diri

Individu bisa mengembangkan konsep diri positif dan negatif. Konsep diri positif dan negatif menurut Jacinta, 2002; Centi, 1993; Rakhmat, 2001 adalah:

a. Konsep Diri Positif

(27)

b. Konsep Diri Negatif

Konsep diri negatif adalah keyakinan atau pandangan seseorang mengenai diri sendiri yang negatif dan cenderung tidak menyenangkan. Merasa tidak mampu terhadap diri sendiri, selalu merasa rendah diri, harga diri yang rendah, peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, cenderung merasa tidak disenangi dan tidak diperhatikan, pesimis, dan lain sebagainya.

Selain dari segi positif dan negatif, konsep diri menurut Shavelson, Hubner dan Stanto (dalam Zahra.A.T, Arif.M.A, Muhammad.Y.I, 2010) juga digolongkan berdasarkan aspek-aspek berikut:

a. Aspek Fisik

Aspek fisik persepsi seseorang terhadap keadaan kesehatan, penampilan diri dan gerakan motoriknya seperti merasa cantik, taman, kurus, gemuk, kuat, dan lain sebagainya.

b. Aspek Akademik

Merupakan penilaian yang berkaitan dengan ketrampilan dan prestasi akademik, biasanya digambarkan seperti pandangan bahwa dirinya pandai, rajin, cermat, bodoh, dan lain sebagainya.

c. Aspek Sosial

(28)

orang lain secara umum. Biasanya merasa diri ramah atau ketus, periang atau pendiam, dan ekstrovert atau intrivert.

d. Aspek Emosi

Lebih mengarah pada kondisi emosional tertentu seperti merasa sedih, bahagia, kecewa, marah, dan lain sebagainya.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Konsep Diri

Menurut Centi (1993) faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah orang tua, orang terdekat, budaya dalam masyarakat dan pengalaman. Ahli lain yaitu Jacinta F. (2002) menyatakan bahwa konsep diri dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, pengalaman dan kritik diri sendiri. Selanjutnya menurut Calhoun & Acocella (1990), konsep diri dipengaruhi oleh orang tua, kawan sebaya, masyarakat, dan proses belajar. Selain itu, budaya juga dapat mempengaruhi terbentuknya konsep diri (Papalia, Old, dan Felman, 2009). Dari para ahli di atas dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri yaitu:

a. Orang lain yang berpengaruh (Significant others)

(29)

tingkat keterlibatan dan keintiman, dukungan yang diberikan serta kekuatan dan otoritas yang diberikan kepadanya.

b. Pengasuhan Orang tua

Orang tua yang secara tulus dan konsisten menunjukkan cinta dan sayangnya kepada anak, maka anak akan dibantu untuk memandang bahwa mereka pantas untuk dicintai, baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Sebaliknya, jika orang tua tidak mampu memberikan kehangatan, penerimaan dan cinta kepada anak, seorang anak akan tumbuh dengan rasa ragu mengenai pantas atau tidaknya untuk diterima dan dicintai. Penilaian orangtua kepada anak, sebagain besar menjadi penilaian yang dipegang tentang diri oleh anak. Dengan banyak cara orang tua memberitahu tentang siapa diri anak tersebut. Pemberitahuan inilah yang akan mempengaruhi tentang apa yang dipikirkan oleh seorang anak. Hal ini juga didukung oleh Burns (1993), yang menyatakan banyak figur yang bermakna bagi individu yang pada intinya memberikan pengaruh pada dirinya, baik melalui umpan balik ataupun melalui perilaku yang kemudian diinternalisasikan dalam diri individu. Figur-figur tersebut memberi pengaruh yang sangat terasa dalam pembentukan dan perkembangan konsep diri.

c. Masyarakat

(30)

merupakan cita-cita diri seseorang sekaligus cita-cita masyarakat. Mampu tidaknya seseorang memenuhi norma tersebut, penerimaan masyarakan terhadap diri seseorang dan kecocokan cita-cita diri seseorang dengan cita-cita masyarakat mempunyai peran penting dalam pembentukan gambaran diri seseorang.

d. Pengalaman

(31)

e. Budaya

Budaya juga mempengaruhi terbentuknya konsep diri melalui keluarga. Melalui orang tua, anak akan belajar mengenal nilai-nilai, norma-norma, perilaku sosial, dan harapan sosial sebagai panduan hidup. Orang tua dengan cara tidak langsung melalui percakapan menularkan ide maupun keyakinan budaya mengenai bagaimana mendefinisikan diri (Papalia, Old, dan Felman 2009).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsep diri dapat dipengaruhi oleh pengasuhan orang tua, orang lain yang berpengaruh, masyarakat, pengalaman, dan budaya.

B. Anak Usia Sekolah

1. Pengertian Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah berkisar dari umur 6 sampai 11 tahun (Berk, L.E, 2008). Dalam tahap perkembangan, usia ini disebut juga masa-masa sekolah dasar. Pada usia ini anak menerima peran yang baru, berinteraksi dan menggembangkan hubungan dengan orang-orang baru, mengadopsi kelompok acuan baru dan mengembangkan standar-standar baru untuk menilai diri mereka sendiri (Santrock, 2002)

2. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah

(32)

a. Aspek fisik motorik

Pertumbuhan pada masa ini danggap lambat. Rata-rata anak perempuan mempertahankan lapisan lemak lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, mereka menghabiskan lebih sedikit waktu dalam beraktivitas yang bebas dan tidak terstruktur, seperti bermain gulat-gulatan, permainan informal, dan lebih banyak waktu dalam olahraga yang terorganisir Hofferth & Sanberg (dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008).

b. Aspek kognitif

(33)

Anak-anak juga mengalami perubahan kemampuan berpikir, dari yang sebelumnya lebih berpusat pada diri sendiri menjadi mampu untuk berpikir tentang hal lain di luar dirinya. Selain itu, anak juga mulai mampu memahami hubungan sebab akibat.

c. Aspek Emosional

Pada aspek emosional, anak usia sekolah sudah mampu menginternalisasi rasa malu dan bangga serta dapat memahami dan mengontrol emosi negatif lebih baik. Selain itu, perilaku prososial meninggkat, anak lebih berempati dan perilaku menolong semakin berkembang. Pertumbuhan emosional anak dipengaruhi oleh reaksi orang tua terhadap penampakan emosi negatif. Menurut Nuryanti (2008), anak-anak pada masa ini semakin menyadari tentang perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Anak-anak juga semakin mampu mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan mampu mereaksi kondisi stres yang dialami orang lain.

d. Aspek relasi dalam keluarga

(34)

Jadi karakteristik perkembangan anak usia sekolah terdiri dari empat aspek yaitu, aspek fisik motorik, aspek kognitif, aspek emosional, aspek relasi dalam keluarga.

C. Konsep Diri Anak Usia Sekolah

Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan yang dipelajari dan tumbuh dari pengalaman, pola asuh dan penilain orang lain dalam berhubungan dengan orang lain. Ketika individu berinteraksi, semua individu akan menerima tanggapan dari orang laian. Tanggapan tersebut digunakan sebagai cermin oleh individu untuk memandang dirinya, terutama tanggapan dari orang-orang terdekat seperti, orang tua, saudara, teman sebaya. Jadi konsep diri ini terbentuk dan berkembang karena umpan balik dari orang-orang disekitarnya. Apabila individu memperoleh tanggapan yang penuh dengan cinta kasih atau penerimaan dari orang tua dan orang di sekitarnya, maka anak akan menyukai dirinya dan cenderung memunculkan penilaian yang positif terhadap dirinya dan sebaliknya (Desmita, 2009).

(35)

Kemudian, individu mulai punya kemampuan untuk memandang ke dunia di luar dirinya dan mulai belajar merespon orang lain. Bisa dikatakan bahwa konsep diri fisik muncul lebih dahulu pada usia 5 dan 7 tahun dibandingkan konsep diri psikologis. Konsep diri fisik berubah seiring dengan pertumbuhan tubuh. Pada usia 7 atau 8 tahun perkembangan selanjutnya konsep diri psikologis terbentuk ketika individu mulai menyadari kemampuan dan ketidak mampuannya, tanggung jawab, peran, keinginan dan kebutuhannya, serta aspirasinya.

D. Pola Asuh Keluarga Jawa

(36)

membantu anak-anak mereka supaya menjadi njawani, yaitu anak yang berperilaku sesuai etika keJawaan. Upaya orang tua Jawa untuk mejadikan anak mereka disebut sebagai orang yang njawani, pastinya tidak lepas dari peranan pola pengasuhan yang mereka terapkan kepada anak. Pola asuh orang tua memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pembentukan pribadi anak seperti yang diharapkan oleh setiap orang tua. Idrus (dalam Idrus 2004) membedakan tiga macam cara pola pengasuhan orang tua Jawa, yaitu meliputi:

1. Pola asuh yang mendorong, dengan ciri-ciri:

a. Orang tua Jawa mengalihkan perhatian anaknya dari tujuan yang tidak diinginkan seperti, hal-hal yang belum pantas untuk dilihat. b. Orang tua Jawa biasanya menunda untuk memenuhi kebutuhan

terhadap keinginan anak yang belum saatnya untuk dipenuhi.

c. Orang tua Jawa sudah mengajarkan dan mengenalkan kepada anak mengenai nilai-nilai yang harus dipatuhi sejak bayi.

d. Mengajarkan anak mengenai kesopanan yang diberlakukan untuk orang tua, orang yang lebih tua dari anak, maupun bagi orang lain sejak anak masih bayi, misalnya mengambil sesuatu dari orang lain dengan tangan kanan. Walaupun anak belum paham sepenuhnya mengenai kata-kata dan perilaku orang disekitarnya.

e. Memberi perintah terperinci tanpa emosional dan tanpa ancaman hukuman jika perintah orang tua tidak dilakukan oleh anak.

(37)

2. Pola asuh yang menghambat, dengan ciri-ciri:

a. Orang tua Jawa menakut-nakuti anaknya dengan ancaman tentang nasibnya yang mengerikan di tangan orang lain atau makhluk halus. Dengan tujuan agar anaknya selalu berbuat baik sehingga orang asing tidak akan berbuat jahat terhadapnya.

b. Orang tua Jawa memberi hukuman pada anaknya apabila anak sudah melakukan kesalahan yang berulang-ulang dan benar-benar membuat orang tua marah. Hukuman yang diberikan tidak selamanya fisik, ataupun ungkapan verbal yang kasar, dan jarang menghilangkan kasih sayang. Melainkan hukuman yang diberikan dengan tidak mengajak berbicara yang biasa disebutdisatru.

c. Memarahi atau dimusuhi dengan cara tidak diajak bicara yang biasa disebut denganmenyatru.

3. Pola asuh yang membiarkan,dengan ciri-ciri:

a. Orang tua Jawa yang membebaskan atau membiarkan anak untuk bermain dengan temannya, yang biasa disebut mengumbar.

(38)

E. C.A.T (Children Apperception Test)

C.A.T (Children Apperception Test) merupakan sebuah bentuk tes proyektif yang dirancang untuk memahami dinamika anak-anak dalam menghadapi masalah-masalah dalam perkembangannya. C.A.T merupakan penurunan langsung dari T.A.T, yang digunakan untuk anak usia 3-10 tahun (Bellak & Abrams, 1997). Gambar-gambar C.A.T dirancang untuk memunculkan respon yang terkait dengan:

1. Masalah makan secara khusus dan masalah oral secara umum. 2. Masalah persaingan antar saudara.

3. Sikap, relasi anak dengan figur orang tua dan bagaimana mempersepsikan figur tersebut.

4. Fantasi tentang agresi

5. Penerimaan terhadap dunia orang dewasa

6. Mengenai ketakutan berada sendirian dimalam hari (kemungkinan berhubungan dengan mengompol dan masturbasi).

7. Masalah perilaku toilet.

(39)

keinginan, kekurangan, karunia dan kemampuan yang tokoh utama ceritakan merupakan bagian yang ingin dimiliki oleh subjek. Ini akan menjadi penting untuk mengamati kemampuan tokoh utama dalam menangani situasi dengan cara yang memadai di masyarakat dimana tempat dia berada.

Selain itu, tokoh utama dalam cerita juga cenderung untuk memunculkan konsep tubuhnya, peran sosialnya, dan pemikiran tokoh utama sebagai seseorang yang berbahaya, kotor, jahat dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan bahwa gambaran diri subjek muncul dalam cerita tersebut yang terlihat dari tokoh utama dalam cerita. Hal ini menunjukkan bahwa cerita yang diperoleh dari subjek merupkan sebuah refleksi dari dirinya sendiri (Bellak & Abrams, 1997).

Gambaran diri adalah salah satu dimensi dari konsep diri yang merupakan kesimpulan dari pandangan subjek dalam berbagai peran yang dipegang, pandangan tentang watak yang subjek rasakan pada dirinya sendiri seperti, bersahabat, jujur dan sebagainya, dan pandanagan mengenai sikap subjek seperti, kemampuan yang dimiliki (Centi, 1993).

F.Gambaran Konsep Diri Anak Jawa pada Usia Sekolah yang Diperoleh dari

Respon C.A.T

(40)

diri. Konsep diri mulai fokus pada masa batita, akan berkembang atau menjadi lebih jelas dan lengkap ketika individu menambahkan kemampuan-kemamuan kognitifnya dan berhadapan dengan tugas-tugas perkembangannya. Pada usia sekolah, konsep diri sudah terbentuk secara akurat. Konsep diri pada anak usia sekolah dimulai dari segi fisik, seperti misalnya anak sudah mengetahui bahwa dirinya memiliki tubuh yang tinggi atau pendek, berkulit putih atau coklat, dan lain sebagainya. Setelah itu, barulah masuk pada tahap psikologis, seperti misalnya anak sudah mengetahui kemampuan, peran, sifat, kekurangannya, dan tanggung jawabnya (Feldman, Papalia, Olds, 2009).

Terbentuknya konsep diri, terdapat tiga demensi yang mendasarinya. Dimensi pertama yaitu dimensi pengetahuan merupakan pengetahuan individu mengenai dirinya seperti peran, sikap, watak, dan kemampuan yang dimiliki. Setelah individu mengetahui tentang dirinya, individu akan memiliki harapan yang termasuk dalam dimensi kedua. Harapan tersebut seperti cita-cita, aspirasi dan dambaan terhadap dirinya. Selanjutnya individu akan menilai dirinya, seperti apakah dirinya bertentangan antar harapan dan standar yang ditetapkan bagi diri sendiri. Apabila orang hidup dengan standar dan harapan yang seimbang serta menyukai dirinya akan memiliki harga diri positif atau konsep diri positif dan sebaliknya (Desmita, 2009).

(41)

diri negatif cenderung pesimis, merasa tidak berhaga, tidak mau menerima kritik dan dirinya (Jacinta, 2002; Centi, 1993; Rahkmat, 2001)

Konsep diri itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pengasuhan orang tua, orang terdekat, masyarakat, pengalaman dan budaya. Orang tua memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan orang tua merupakan orang pertama yang berelasi dengan anak. Apabila orang tua mampu menunjukkan rasa cinta dan sayang secara tulus serta menerima anak apa adanya, maka anak akan memandang bahwa dirinya pantas untuk dicintai oleh dirinya sendiri maupun orang lain dan sebaliknya. Penilaian yang orang tua berikan, sebagian besar akan menjadi penilaian tentang diri yang dipegang oleh anak (Centi, 1993; Jacinta, 2002; Calhoun & Acocella, 1990).

(42)

Selanjutnya, pengalaman keberhasilan dan kegagalan dapat mengembangkan harga diri dan menghambat perkembangan gambaran diri ke arah yang positif. Dari pengalaman yang diperoleh akan terjadi proses belajar, namun biasanya tidak disadari. Misalnya, seorang anak yang memiliki tubuh yang pendek, dari pengalamannya dulu dipanggil “udang” oleh teman-temannya dan anak tersebut tahu bahwa tubuh yang pendek bukanlah sifat yang dihargai terutama untuk anak laki-laki, sehingga dapat menurunkan harga dirinya (Centi, 1993; Calhoun & Acoxcella, 1990 ).

Dalam masyarakat memiliki norma-norma yang berlaku dan merupakan cita-cita seseorang sekaligus cita-cita masyarakat. Mampu tidaknya seseorang memenuhi norma tersebut, penerimaan masyarakat terhadap diri seseorang, dan kecocokan cita-cita seseorang dengan cita-cita masyarakat mempunyai peran penting dalam pembentukan gambaran diri seseorang.

Budaya juga mempengaruhi terbentuknya konsep diri melalui keluarga. Melalui orang tua, anak akan belajar mengenal nilai-nilai, norma-norma, perilaku sosial, dan harapan sosial sebagai panduan hidup. Orang tua dengan cara tidak langsung melalui percakapan menularkan ide maupun keyakinan budaya mengenai bagaimana mendefinisikan diri (Papalia, Old, dan Felman 2009).

(43)

aturan-atauran atau tata krama sendiri dalam hubungan antara anak dan orang tua. Dalam budaya Jawa terdapat tiga macam cara pola asuh (Idrus, 2011) yaitu pola asuh mendorong seperti mengalihkan dari tujuan yang tidak diinginkan, menunda untuk memenuhi kebutuhan yang belum saatnya, mengajarkan kesopanan dan nilai kepatuhan, memberi perintah terperinci, dan pemberian hadiah. Pola asuh menghambat seperti, orang tua menakut-nakuti dengan ancaman mengenai nasib anaknya, memberi hukuman bila melakukan kesalahan berulang, dan memarahi dengan tidak diajak berbicara. Selanjutnya, pola asuh membiarkan seperti membebaskan anak bermain dan melakukan apa yang diinginkan.

Anak yang tumbuh dalam pola asuh mendorong, anak akan menilai dirinya lebih positif dan percaya dengan kemampuan yang dimilliki sehingga anak cenderung menjadi lebih percaya diri, optomis, dan tidak mudah putus asa. Berbeda dengan anak yang tumbuh dengan pola asuh menghambat, biasanya menilai dirinya tidak mampu melakukan sesuatu sehingga cenderung menjadi anak yang pendiam, penakut, tertutup, menarik diri, suka membantah, dan tidak berinisiatif. Kemudian pada anak yang tumbuh dengan pola asuh yang membiarkan, anak akan menilai dirinya mampu mendapatkan dan melakukan sesuatu dengan mudah karena kebebasan yang diberikan oleh orang tua, akan tetapi membuat anak menjadi bingung untuk menentukan perilaku yang sesuai dengan harapan sosial.

(44)

paling banyak memberikan pengaruh terhadap tumbuhnya kepercayaan diri yang baik pada anak, akan tetapi pada pola asuh menghambat dan membiarkan kurang menumbuhkan kepercayaan diri yang baik.

Untuk melihat gambaran konsep diri anak dalam budaya Jawa, menggunakan tehnik proyektif yang diharapkan dapat menggali aspek psikologis yang ada dalam diri subjek. Tes C.A.T merupakan salah satu tehnik proyektif yang menggunakan 10 kartu bergambar, lalu subjek diperintahkan untuk menceritakan gambar-gambar dalam kartu tersebut. Dari cerita yang diperoleh, akan dilihat isi cerita dan tokoh utamanya. Tokoh utama dalam cerita akan memunculkan bagaimana peran sosial, gambaran diri tokoh utamanya seperti (berbahaya, kotor, baik, patuh, dll), dan bagaimana bentuk tubuh tokoh utamanya seperti (besar, kuat, kecil, dll). Hal tersebut mencakup dimensi konsep diri dan digolongkan sesuai dengan jenis-jenis konsep diri, sehingga konsep diri subjek terlihat dari cerita. Konsep diri dalam cerita dapat terlihat, karena cerita subjek merupakan kisah tentang dirinya atau ada kaitannya dengan dirinya yang merupakan hasil dari pengalaman dan harapan subjek baik yang disadari atau tidak disadari (Bellak & Abrams, 1997).

G. Pertanyaan Penelitian

(45)

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode proyektif. Pendekatan kualitatif menurut Poerwandari (2005) adalah menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain sebagainya. Peneliti menggunakan metode proyektif karena metode ini memungkinkan untuk mengungkap motif, nilai, keadaan emosi, dan kebutuhan yang sulit diungkap dalam situasi wajar dengan cara individu memproyeksikan pribadinya melalui obyek di luar individu (Karmiyati, D & Suryaningrum, C, 2008).

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini akan meneliti tentang konsep diri anak usia sekolah. Konsep diri merupakan gambaran, pandangan, persepsi dan penilaian individu mengenai dirinya sendiri, yang meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi yang diperoleh melalui pendapat dari orang lain maupun pengalaman dan peristiwa di masa lalu.

(46)

diri kesimpulan dari peran yang dipegang (anak, istri, suami, mahasiswa, dll), watak yang dirasakan (jujur, pemalas, bersahabat, dll), sikap, dan kemampuan yang dimiliki. Dimensi kedua adalah harapan atau diri yang dicita-citakan di masa depan. Cita-cita diri terdiri atas dambaan, aspirasi, keinginan bagi diri kita, harapan dan sebagainya. Dimensi yang terakhir adalah penilaian terhadap diri yang merupakan pandangan tentang harga atau kewajaran kita sebagai pribadi. Hasil dari penilaian akan membentuk rasa harga diri, yaitu seberapa besar orang menyukai dirinya. Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya sendiri serta menyukai dirinya akan memiliki harga diri yang tinggi dan sebaliknya (Desmita, 2009).

Konsep diri anak dilihat dari pengaruh pola asuh budaya Jawa, karena budaya Jawa memiliki tiga cara pola asuh yang khas. Pola asuh dalam budaya Jawa adalah mendorong, menghambat, dan membiarkan.

(47)

C. Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek berusia 6-11 tahun, sesuai dengan tujuan penelitian yaitu memperoleh gambaran konsep diri pada anak usia sekolah. Pemilihan subjek dalam penelitian ini menggunakan cara purposive samplingyaitu subjek yang lahir dan berdomisili di Yogyakarta.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Metode

Penelitian ini, menggunakan metode dokumen. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan misalnya sejarah kehidupan, catatan harian, cerita, biografi, peraturan, kebijakan, gambar misalnya foto gambar hidup, sketsa dan lain-lain (Sugiyono, 2011).

(48)

2. C.A.T

Tes C.A.T merupakan tes dengan tehnik proyektif yang metodenya aperseptif yaitu mampu menyelidiki dinamika kepribadian anak usia 3-10 tahun secara menyeluruh. Awalnya tes ini menggunakan gambar-gambar hewan, namun berdasarkan perkembangan anak terdapat beberapa jenis C.A.T. Bellak mengembangkan C.A.T dengan menggunakan gambar manusia, yang dikenal dengan C.A.T-H (Children Apperception Test-Human). C.A.T-H digunakan untuk anak usia 5-10 tahun atau untuk anak yang lebih kecil dan memiliki kemampuan intelektual superior, sedangkan untuk anak berusia 3-5 tahun dan anak yang lebih besar atau remaja yang mengalami gangguan serta anak yang usia mentalnya berada pada tahap pra sekolah menggunakan C.A.T-S (Children Apperception Test-Supplement)

(49)

orang tua, sebaya dan lebih muda, konflik-konflik, asal kecemasan, mekanisme pertahanan diri, kuatnya superego, dan integrasi ego. Dari hasil tes C.A.T tersebut, akan terlihat masalah persaingan antar saudara, hubungan anak dengan orang tua, sikap terhadap figur orang tua dan cara menyikapi figur tersebut, serta fantasi mengenai orang tua yang buruk. Selain itu, terlihat juga agresi anak dan mekanisme pertahanan diri anak.

Dalam penelitian ini, respon C.A.T yang di soroti adalah respon yang terkait dengan konsep diri. Dalam 10 kategori Bellak, konsep diri diungkap melalui kategori yang kedua yaitu mengenai gambaran tokoh utama.

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis tematik dengan melakukan interpretasi terhadap tema-tema yang mengandung konsep diri. Awalnya peneliti memilih cerita sesuai dengan karakteristik penelitian, lalu membaca cerita dalam tes C.A.T dan memilih cerita yang memunculkan tema-tema konsep diri. Analisis tema-tematik terdiri dari tiga tahap yaitu tema-tema deskriptif, tema interpretif dan tema diagnostik (Bellak & Abrams, 1997)

1. Tema Deskriptif

(50)

2. Tema Interpretif

Selanjutnya, pada tema interpretif peneliti merumuskan deskripsi cerita dalam bentuk yang lebih umum.

3. Tema Diagnostik

Kemudian peneliti membatasi tema-tema konsep diri sejak tema diagnostik.

F. Keabsahan Data Penelitian

Dalam penelitian ini, keabsahan data dilakukan dengan dependabilitas. Menurut Poerwandari (2005) dependabilitas menggantikan konsep reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Diskursus merupakan bagian dari dependabilitas yang digunakan dalam penelitian ini. Diskursus adalah sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan analisisnya dengan orang lain (Sarantakos dalam Poerwandari, 2005).

(51)

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Dari cerita-cerita yang sudah dipilih dan sudah relevan dengan tujuan penelitian, kemudian diinterpretasi untuk mendapatkan ragam konsep diri anak. Dalam proses pengolahan data dan interpretasi melibatkan psikolog yang merupakan dosen pembimbing dan sudah berpengalaman dalam melakukan analisis tematik. Hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti dan didiskusikan dengan dosen pembimbing untuk menentukan kesepakatan ragam konsep diri yang muncul. Setelah menentukan ragam konsep diri yang muncul, dilakukan pengkatagorian. Tahap selanjutnya adalah mengkatagorikan gambaran diri agency dan communion.

B. Hasil Penelitian

1. Ragam Konsep Diri

(52)

Selanjutnya, dalam aspek relasi keluarga muncul ragam konsep diri seperti, diri yang berbakti, patuh pada orang tua, nakal, sopan, tidak sopan, dan malu memiliki orang tua yang tidak baik. Aspek lainnya yaitu kemampuan umum, seperti diri yang mandiri, disiplin, pantang menyerah, pintar menguasai kemampuan tertentu atau tidak mampu melakukan sesuatu . Untuk melihat lebih lengkap ragam konsep diri, dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 1. Pengkategorian Ragam Konsep Diri:

No Konsep Diri Jumlah

subjek

Kategori Aspek Konsep diri

3 Gemuk/Besar 7

4 Sehat 2 Diri yang

sehat atau sakit 5

Lemah/Sakit 1

6 Besih/segar/Rapi 1 Diri yang rapi dan tampan

7 Ganteng/tampan 2

8 Lucu 1

1

Anak yang memiliki cita-cita dengan profesi tertentu

3 2 Pintar/pandai (karena mampu

berprestasi dibidang akademik) 4

Diri yang pintar atau pandai 3 Merasa bisa pintar/pandai

(berprestasi dibidang akademik) 4

4 Anak rajin /giat belajar 1 Diri yang rajin 5 Mampu mengatur waktu untuk

belajar dan main 1

6 Mampu mengatasi rasa malas 1 7 Tidak mampu mengerjakan tugas

sekolah 1

Diri yang pesimis

1 Pintar/cerdik (karena mampu

mengatasi kesulitan) 6

Diri yang

(53)

mengurus diri sendiri & tidak tergantung orang tua)

3 Mampu disiplin (karena berusaha menjalani kegiatan sesuai

waktunya)

1

Diri yang disiplin

4 Pintar (Mampu memenangkan

kompetisi) 6 5 Merasa bisa memenangkan

kompetisi 4

6 Pintar (karena menguasai kemampuan tertentu:lari cepat, memanjat pohon, berspeda)

2

7 Gagal melakuan kemampuan tertentu (tidak bisa turun dari pohon)

1

8 Tidak mampu memenangkan

kompetisi 1

9 Tidak pernah putus asa 1 Diri yang pantang menyerah 10 Mau bekerja keras 1

11 Merasa bisa sukses/kaya 5

1 Baik/ hebat (karena membantu

orang lain) 8

Diri yang 2 Bisa mengalah dengan teman) 1

3 Baik (karena hormat pada orang

yang lebih tua) 1

4 Baik 6

5 Pandai (karena sudah

mengingatkan hal yang baik pada orang sekitar)

Sabar dalam menghadapi sesuatu 1

Diri yang sabar 8 Sportif (karena mendukung teman) 1 Diri yang

sportif

9 Tidak sombong 1

10 Tidak punya teman (kesepian)

1

1 Baik/rajin/pintar/berbakti pada ortu (karena membantu orang tua dan membahagiakan orang tua)

7

Merasa bisa membahagiakan orang

(54)

2 Anak yang

baik/patuh/disiplin/menurut dengan perintah orang tua

6

3 Baik (karena sopan dengan

keluarga) 3

Diri yang sopan pada ortu 4 Baik (karena mengalah pada orang

tua) 1

5 Tidak sopan dengan orang tua 2 5 Nakal/bandel/bawel/rewel/jahil

(karena melanggar aturan dalam keluarga dan tidak patuh)

19

Diri yang nakal

6 Malu memiliki orang tua yang

tidak baik 1

Diri yang malu

Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa aspek yang sering muncul dari 60 subjek terdapat di dalam aspek relasi keluarga dengan jumlah kemunculan 43. Ragam yang paling sering muncul dalam aspek relasi keluarga seperti diri yang nakal karena tidak patuh sebanyak 19 kali. Aspek kedua adalah aspek kemampuan umum berjumlah 38 dan ragam yang sering muncul dalam hal diri yang mandiri berjumlah 16. Selanjutnya, aspek sosial yang sering muncul berjumlah 27, dengan ragam seperti diri yang baik menolong orang sekitar sebanyak 17 kali. Pada aspek fisik dengan jumlah 23, ragam yang sering muncul adalah diri yang besar dan kuat sebanyak 16 kali kemunculan. Kemudian pada aspek kemampuan akademik berjumlah 15, ragam yang sering muncul seperti diri yang pintar atau pandai.

2. Gambaran DiriAgencydanCommunion

(55)

keinginan untuk menguasai, merasa kuat, perlindungan diri, dan menyatakan diri. Communion lebih fokus pada relasi sosial yakni sikap hangat, interaksi yang dekat dan komunikatif dengan orang, biasanya memanifestasikan dirinya dengan saling bekerja sama, keterbukaan, dan merasa dekat dengan orang-orang di sekitarnya. Dari hasil penelitian yang diperoleh, dapat dikelompokkan menjadi agency, communion, dan gabunganagency dancommunion. Untuk lebih lengkap, dapat terlihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Gambaran DiriAgencydanCommunion

Agency Jumlah

subjek

Non Fisik:

Diri yang Mandiri Pantang menyerah, melakukan sesuatu sendiri, bisa mengatasi kesulitan, rajin, sporti, tidur sendiri.

8

Diri yang

memiliki cita-cita

Pandai, memiliki cita-cita, memenangkan kompetisi

3

Jumlah 11

Fisik

Diri yang kuat Kuat, besar 3

Diri yang kuat dan mampu

Kuat dan besar berhubungan dengan kemampuan untuk memenangkan kompetisi.

3

Fisik yang tampak dari luar

Rapi, tampan, bersih, segar 2

Jumlah 8

(56)

Communion Jumlah

subjek

Kepatuhan negatif Diri yang nakal karena tidak patuh pada orang tua dan tidak sopan pada orang tua.

12

Diri yang baik Membantu orang tua, menolong orang lain, membantu orang lain, dan menolong teman.

6

Kepatuhan positif Sopan dengan orang tua 1

Jumlah 19

GabunganAgencydanCommunion Jumlah

subjek

Diri yang mandiri dan patuh

Berbakti pada orang tua, mandiri, pantang menyerah, rajin, sopan dengan orang tua, dan menguasai kemampuan. Selain itu, terdapat juga 3 subjek yang memunculkan agency fisik yaitu rapi, besar, kuat dan sehat

7

Diri mandiri tetapi tidak patuh

Mengurus diri sendiri, memenangkan kompetisi, nakal karena tidak patuh pada orang tua, mampu menghadapi kesulitan, rajin, dan pintar.

7

Diri yang baik dan diri yang kuat dan mampu

Kuat, besar, pintar, memiliki cita-cita, menguasai kemampuan, sopan, menolong dan membantu orang lain dan teman, pantang menyerah.

4

(57)

Gambaran diri

yang problematis

Merasa kesepian, malu memiliki orang tua yang tidak baik, pesimis karena tidak mampu mengerjakan PR dan tidak mampu melakukan sesuatu

4

Jumlah 4

Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa dari 60 subjek terdapat 27 subjek yang memiliki gambaran diri terkait aspek relasi keluarga yaitu kepatuhan. Hal ini menunjukan bahwa anak usia sekolah cenderung memiliki gambaran diri terkait dengan kepatuhan baik positif maupun negatif terhadap orang tua. Anak lebih banyak memiliki gambaran diri mengenai kepatuhan yang negatif, seperti diri yang nakal karena tidak patuh dan tidak sopan dengan orang tua. Walaupun demikan terdapat juga anak yang patuh terhadap orang tua. Selanjutnya, gambaran diri yang dimunculkan terkait dengan kemandirian sebanyak kurang lebih 24 subjek. Gambaran diri mengenai kemandirian seperti, diri yang mampu mengatasi kesulitan, mampu melakukan sesuatu sendiri, rajin, dan pantang menyerah.

(58)

memiliki kemampuan tertentu. Gambaran diri terkait aspek fisik yang tampak dari luar seperti, diri yang rapi, tampan, dan bersih. Diri yang pintar dan memiliki cita-cita merupakan gambaran diri yang terkait dengan aspek akademik.

C. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak usia sekolah memiliki konsep diri yang terkait dengan aspek relasi keluarga, kemampuan umum, sosial, fisik, dan akademik. Aspek relasi keluarga muncul paling banyak dan cenderung negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia sekolah, gambaran diri anak cenderung dipengaruhi oleh keluarga, dimana pada masa ini hubungan anak dengan keluarga masih sangat dekat sehingga penilaian dan respon yang diberikan akan mempengaruhi penilaian anak terhadap dirinya (Jacinta, 2002; Centi, 1993).

(59)

Walaupun demikian, gambaran diriagency yaitu individu yang fokus terhadap dirinya juga sudah muncul.

Gambaran diri communion lebih banyak terkait dengan aspek relasi keluarga yaitu kepatuhan anak dengan orang tuanya baik positif maupun negatif, sedangankan gambaran diri agency terkait aspek kemampuan yaitu kemandirian. Kepatuhan dan kemandirian merupakan gambaran diri yang banyak dimunculkan dalam penelitian ini. Subjek lebih banyak menggambarkan dirinya mengenai kepatuhan yang cenderung negatif yaitu diri yang nakal karena tidak mematuhi perintah orang tua, akan tetapi subjek juga menggambarkan bahwa dirinya mandiri. Hal ini kemungkinan adanya pergeseran gambaran diri, bahwa zaman dulu menurut Geertz (1983), gambaran diri anak Jawa lebih pada diri yang penurut atau patuh, hormat, dan sopan. Hal ini dikarenakan pola asuh orang tua saat itu termasuk dalam pola asuh menghambat atau otoritas yaitu orang tua cenderung memberikan ancaman, hukuman, dan memarahi apabila anak tidak menurut (Idrus, 2011). Akan tetapi, saat ini gambaran diri mengenai kemandirian mulai muncul. Hal ini menunjukkan bahwa gambaran diri mengenai kepatuhan masih terlihat sampai saat ini dan adanya gambaran diri terkait kemandirian yang baru terlihat.

(60)

demokratis sehingga membuat anak lebih fokus pada apa yang diinginkan pada dirinya, seperti anak menggambarkan diri yang mandiri yaitu mampu melakukan sesuatu sendiri dan mengatasi kesulitan sendiri atau tidak melibatkan banyak orang. Akan tetapi, keinginan untuk menjadi mandiri mungkin terlihat memberontak aturan dalam keluarga, sehingga kadang salah diartikan dan orang tua memberikan penilaian anak yang tidak patuh atau nakal.

Munculnya gambaran diri mengenai kemandirian, dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua Jawa saat ini lebih mengarah pada pola asuh mendorong. Hal ini dikarena pola asuh mendorong lebih objektf seperti membimbing anak dengan cara mengalihkan perhatian dari tujuan yang tidak diinginkan atau belum layak untuk disaksikan, menunda untuk memenuhi kebutuhan terhadap keinginan anak yang belum saatnya dengan cara memberikan alasan yang tepat pada anak, mengajarkan nilai-nilai yang seharusnya dipatuhi, mengajarkan mengenai kesopanan, memberi perintah terperinci tanpa emosi seperti, mendengarkan dan menasehati anak tanpa emosi, dan memberi hadiah sebagai penghargaan agar memunculkan perilaku yang diharapkan (Idrus, 2011). Pengasuhan seperti ini mirip dengan pola asuh demokratis, yang berpengaruh terhadap pembentukan kontrol diri yang kuat, kompetensi, dan mandiri (Atkinson dkk, dalam Sunarno, 1991, dalam Widiana, A.A, Nugraheni, H, 2009)

(61)

pola asuh demokratis terhadap kemandirian anak. Semakin tinggi pola asuh demokratis terhadap anak, maka makin tinggi juga kemandirian anak dan sebaliknya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pola asuh dalam budaya Jawa mempengaruhi terbentuknya konsep diri anak. Pola asuh yang cenderung diterapkan saat ini yaitu pola asuh mendorong dan menghambat.

(62)

47

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

(63)

B. Saran

1. Orang Tua

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa munculnya konsep diri negatif yang banyak terkait aspek relasi keluarga mengenai kepatuhan. Untuk itu, peneliti memberi saran pada pembaca terutama orang tua yang berada di jawa, untuk lebih memperhatikan cara berelasi, memberi respon terhadap anak, tidak cepat memberikan judgementseperti, anak dinyatakan nakal apabila tidak mendengarkan perkataan orang tua karena anak bisa saja memiliki tujuan untuk menjadi diri yang mandiri.

2. Peneliti Selanjutnya

(64)

49

DAFTAR PUSTAKA

Bellak, L., & Abrams, David M. (1997).The TAT, The CAT, and The SAT in clinical use. 6th ed. Boston: Allyn and Bacon.

Berk, L.E. (2008). Infant and Children, 6th ed. USA: Pearson Education, Inc.

Burns, R.B. (1993). Konsep diri: teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku; alih bahasa Eddy; editor, Surya Satyanegara. Jakarta: Arcan.

Calhoun, J.F. & Aocella, J.R. (1990). Psychology Of Adjusment And Human Relationship(3rd ed). New York: McGraw-Hill. Centi, P. J. (1993).Mengapa Rendah Diri. Yogyakarta: Kanisius.

Desmita, Msi. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Ferdiansyah, M. (2010, 26 Februari). Latar Belakang Perkembangan Konsep Diri Negatif “D” Siswa Kelas IX.1 Sekolah Menengah Pertama Negeri 43 Palembang. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2012, pukul 20.00 dari http://wwwferdibk06unsri.blogspot.com/ 2010/02/blog-post.html

Geertz, H. (1983).Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti

Ginting, L., & Sukmarini, L. (2009, 17 Agustus). Pola Asuh Orang Tua Berpengaruh Terhadap Pembentukan Konsep Diri: Harga Diri Pada Remaja. Diunduh pada tanggal 30 Mei 2012 pukul: 23.31 dari hhtp://leoginting.blogspot.com/ 2009/08/pola-asuh-orang-tua berpengaruh.html

Hurlock, E.B. (1990). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Ruang Kehidupan. Alih bahasi:Istiwidayanti & Soedjarwo. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga.

(65)

Jacinta, F. R. (2005, 16 Mei). Konsep Diri. Diunduh pada tanggal 31 Mei 2012, pukul 10.16 dari http://www.e-psikologi.com/ epsi/search.asp

McAdams, Dan. P. (1988). Power, Intimacy, and The Life Story Personological Inquiries Into Identity. New York: Guilford Press.

Nuryanti Lusi. (2008).Psikologi Anak. Jakarta: PT Indeks

Papalia, Old & Felman. (2009). Human Development. Jakarta: Selemba Humanika.

Poerwandari, K. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : LPSP3 Universitas Indonesia.

Rakhmat, Jalaluddin. (2001). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Santrock, J.W. (2002). Live-Span Development: Perkembangan Masa Hidup (edisi 5). Jakarta: Erlanga

Sing Lau, Carol k.k, Siu., & Maria P.Y. Chik. (1998). The Self-Concept Development of Chinese Primary School Children: A Longitudinal Study. Journal Childhood. Vol. 5(1): 69-97

Susanti, R. (2005). Konsep Diri pada Pedagang Berusia Lanjut di Padar Beringharjo. Skripsi: Universitas Sanata Dharma (Tidak dupublikasikan)

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&B. Bandung: Alfa Beta

Tarakanita, I., & Widiarti, P.W. (2002). Gambaran Konsep Diri Mahasiswa Kelompok Etnik Sunda, Kelompok Etnik Cina Dan Kelompok Etnik Jawa. Jurnal Psikologi. Vol. 10, No. 2.

(66)

Zahra, A.T., Arif, M.H., & Muhammad, Y.I. (2010, 19 Juni). Hubungan Dari Konsep Diri Akademik, Fisik Dan Sosial Pelajar Dengan Prestasi Akademik Mereka. Diunduh pada tanggal

10 Juni 2012, pukul 10.30 dari

(67)
(68)

Subjek 9

Tema Deskriptif Tema Interpretif Tema Diagnostik

Kartu 1

Anak-anak dengan bapak ibunya sedang makan, ini sedang makan sup, supnya bergizi untuk anak-anak dan orang tua.

Ini sedang makan siang, habis makan siang mandi belajar, makan mandi,terus berangkat sekolah habis berangkat sekolah mereka belajar. Habis itu mereka pulang terus mereka mengerjakan PR yang diberikannya oleh guru kemudian ada anak yang bolos dan tidak mengerjakan PR nya kemudian mereka dihukum 800 kata sekaligus. Setelah membuat 800 kata dia ngangis terus kerena dia tidak mengerjakan ulangan dari gurunya, yang dipikirkan ada satu anak itu berusaha mengerjakan PRnya satunya anak yang bolos tadi dia tidak mengerjakan PR karena ngantuk menulis 150 kata terus habis itu anaknya itu yang ngerjain PR itu diberikan pada gurunya. Yang dipikirkan apa ya 800 kata mereka dia nangis karena dia tdak mau mengerjakan PR

Seorang anak yang bolos dan tidak mengerjakan PR, sehingga dihukum membuat 800 kata dan menangis karena tidak mampu mengerjakan PR dan hukumannya

 Anak tidak mampu

mengejakan tugas sekolah

(Akademik)

Kartu 2

Ada dua anak mereka sedang main tarik tambang , anak yang kecil ini tidak kuat karena dia ini masih kelas satu SD terus yang besar ini adalah sudah kelas 6 SMP. jadi dia tidak bisa melawan yang tenaga kuat terus mereka menangis karena

Seorang anak yang bermain tarik tambang, namun menangis karena kalah dan bertengkar ketika bermain, tetapi akhirnya saling memaafkan karena di lerai oleh orang tuanya.

(69)

tidak menang tarik tambang terus ibunya memberikan kado pada anaknnya remot control dengan kekuatan ekologi 400 volt. Yang dipikirkan mereka menangis terus marah karena kedua orang itu tidak mau mengalah terus dia berantem terus kalo ketemu dia akan berantem. Saat main tarik tambang terus berantem, terus ibu yang lainnya datang terus ibunya bilang kenapa seperti itu. Akhirnya anak itu meminta maaf antara yang kalah sama yang menang.

Subjek 13

Tema Deskriptif Tema Interpretif Tema Diagnostik

Kartu 2

Ini anak bertiga sedang lomba tarik tambang. Anak bertiga bermain bersama sekuat tenaganya. Anak tiga ini rukun, tidak pernah bertengkar dan saling membantu. Anak bertiga mengerahkan semua tenaganya untuk menjadi pemenang. Anak bertiga terus lelah. Terus anak bertiga ini duduk dan beristirahat. Sudah beristirahat, anak bertiga bermain lagi. Anak bertiga terus berlomba sekeras

tenaganya dan

kemampuannya. Anak bertiga bermain di sebuah pasir. Anak yang sendiri jatuh, anak berdua memenangkan perlombaan. Anak satu ini duduk dan menangis karena kalah berlomba. Yang dirasakan harus tetap menang dan senang hatinya. Mereka

Seorang anak yang mencari kegiatan bermain bersama temannya agar tidak merasa malas. Walaupun ia kalah dalam lomba dari permainan tersebut dan mereka rukun, saling membantu dan tidak pernah bertengkar.

 Mampu mengatasi rasa malas dengan mencari kegiatan yang

menyenangkan (Kemampuan Umum)

(70)

lomba supaya tidak malas di rumah. Dan ditantang sama anak yang sendiri ini

Kartu 5

Ini kakak dan adiknya tidur di kamar tidur. Ayah dan ibunya bekerja. Neneknya baru membikinkan susu. Terus adiknya ini mau pergi ke rumah temannya mau garap PR. Kan besok ulangan, kita harus mengerjakan PR, Yusuf. Ya, kita harus mengerjakan yang baik dan mungkin dan mendapat nilai 100. Bisakah kamu mendapat nilai 100? Bisa, aku bisa mendapatkan nilai 100, kata Andi ini, kakaknya. Terus kakaknya bermain. Kan besok semesteran, lupa kalau semesteran, kakaknya bermain, bermain sampai malam. Bermainnya itu bermain sepak bola dan balapan sepeda. Terus temannya kakaknya itu balapan sepeda sama Andi ini, kakaknya itu, temannya menabrak mobil. Terus temannya jatuh dibawa ke rumah sakit. Terus kepalanya itu dijahit dan kakaknya ini gak apa-apa. Terus orang tua yang kepalanya tadi dijahit, memarahi Andi kakaknya. Terus Andi menangis tidak ingin tinggal di sini lagi. Terus Andi pergi meninggalkan adiknya dari rumah ini, Andi pergi ke tempat neneknya. Terus ada gempa bumi. Terus semua penduduk di kota sini keluar semua. Rumah roboh semua dan semuanya keluar mengungsi tempatnya ketua

Seorang anak yang mengerjakan PR bersama temannya dan

yakin mampu

mengerjakan dengan baik dan memperoleh nilai yang baik. Lalu tiba2 ada bencana alam dan rumahnya roboh, namun pak dukuh memberikan rumah, akhirnya bisa berkumpul bersama

keluarga dan

berbelanja.

 Anak memiliki keyakinan mampu mencapai prestasi

di bidang

(71)

RT. Terus pak dukuh membantu para pengungsi. Terus pak dukuh itu membangun rumah untuk penduduk yang rumahnya roboh. Terus pak dukuh, kakaknya ini bilang terimakasih kepada pak dukuh.Terus pak dukuhnya menjawab, iya sama-sama. Terus adik ini, kakak ini tinggal di rumah yang baru. Adik ini, kakak ini, bisa berenang di kolam renang. Terus kakak, adik, ayah dan ibu, pergi ke mall, dia belanja apa saja yang dibutuhkan dan pakaian. Ayahnya membeli baju koko, sedangkan adiknya membeli mainan. Kakaknya, membeli buah-buahan, neneknya membeli buah mangga. Sehabis itu, adik meminta roti, rotinya yang dikasih strawberry. Kakaknya mau yang strawberry, tapi sudah habis. Kakaknya marah, marah terus kakaknya ingin main game di timezone.

Subjek 15

Tema Deskriptif Tema Interpretif Tema Diagnostik

Kartu 2

Ini kan ada anak-anak yang main tarik tambang, pertamanya tu ininya pikir-pikir mau maen apa ama temen-temen gitu, sedangkan dia punya tali yang panjang, ga punya apa-apa cuman punyanya tali gitu, trus akhirnya aku berpikir maen tarik tambang aja ah..gitu. Temennya yang ini namanya mestinya vika ini perempuan sendiri soalnya. Vika....vika apa? Dia bilang gitu,

Seorang anak yang bermain tarik tambang bersama temannya, namun kalah karena sombong merasa dirinya lebih kuat, pintar dan sudah sering memenangkan lomba tarik tambang.

 Badan besar (Fisik)

 Pintar (Akademik)  Sombong karena

(72)

terus “ayo kita maen tarik tambang, terus...”ayuk..sekarang ngampirin doni dulu” gitu.. doni...”iya ada apa??” “mau maen tarik tambang gak??” “ayuk” . Terus pas dilapangan pada jenguk...”mau....mau maen

dimana?? rumahku

sempit..rumahku nggak luas..gimana kalo dilapangan”. “Oh iya..lapangan kan luas banget” gitu. Trus akhirnya ke lapangan, sek ini tu hompimpah yang beda sendiri nanti keluar duluan. Nanti ini kan pingsut dulu yang menang nanti sama ini, yang kalah sendirian. Ternyata yang kalah tu yang ngajak main tarik tambang. Trus akhirnya tu ditarik terus kan inikan purak-purak sombong “hu pasti kalian kalah” terus huu...sombong...pada

nyoraki..sombong-sombong. Akhirnya dia kan mentang-mentang paling besar dia kan paling pinter, paling jago pialanya ada dirumah itu sampe lebih dari lemari satu lomba maen tarik tambang, gara-gara kesombongannya terus lama

kelamaan ini udah

narik,,ternyata, yang ini nengok kebelakang..ayo cepet tarik yang kuat lagi. Terus ditarik-tarik akhirnya ini yang menang Ho’oh..gara-gara ini tu kesombongannya..jadi kan ini sombong..pura-pura,,huuu..kecil lah ini. Padahal gara-gara kesombongannya kan jadi menang ini..gitu...

Kartu 7

Nah ini pertamanya sehari sebelumnya mereka di sekolah, gurunya itu kan ngumumin,

Seorang anak yang berkemah dan satu kelompok dengan teman yang jahat, akan

 Baik mw

(73)

besok tu ada kegiatan camping, berkemah, jadi kalian tu harus menyiapkan peralatan yang kalian butuhkan disitu. Nah, sesuai dengan kelompok-kelompok kalian. Terus akhirnya kan ada satu orang yang gak dapat kelompok. Terus ini tuh maju ke depan “Bu, saya gak punya kelompok. Hmm...gimana ya?” Nah, dia tu ternyata ditunjuk kelompok yang musuhnya dia ini. Tapi ini baik tapi kelompok itu yang dimasukkan tuh jahat-jahat. Ya, akhirnya dia dimasukkin. Dia mikir takut, pada mikir semua, besok pake apa..pake apa..gitu. Nah bedanya tu kelompoknya ini tu “biarin, biarin, dia yang bawa aja, biar Rino aja yang membawa. Itu kan gak perlu, kita kan orang kaya sombong gitu”. “Ya sana cepet! Besok kamu yang bawa perlengkapan”. “Iya iya...” Kan dia kan takut banget ya. Terus, “Iya iya, aku besok bawa perlengkapan itu kok.” Terus akhirnya besok pada siap-siap, gurunya bertanya ”loh, kamu kenapa bawa barang banyak banget? Kok gak kelompokmu?” Terus dia tuh yang kelompok yang jahat-jahat itu “ah enggak bu, dia yang mau sendiri kok bu”. “Oh ya udah, kalo gitu gak pa-pa. Kalian gak musuhan kan?” “Enggak.” Terus akhirnya yang ini tuh sampe ke perkemahan. Nah terus, “Sana kamu tidur sendiri, biar kita yang tidur bareng. Kamu tidur sendiri aja sana.” Kan hutannya ngerasa bersih terus, “Eh sini kamu...sini...sini kamu..” “Ada apa?” “Sana

(74)

kamu masakin mie rebus sama air hangat.” “Iya iya, sebentar ya.” “Cepet, jangan lama!” Berasa lelet gitu..terus masakin tu tiba-tiba tu merinding gitu..apa..dia tu baca doa kan? Terus akhirnya tuh “ini udah, ini mie-nya”. Akhirnya tuh “Oiya, makasih.” Nah temennya yang bosnya itu kan ngasih piring kesini, mau lihat airnya udah mendidih belum. Gara-gara dia tuh sok kaya, sok sombong, terus nyuruh-nyuruh orang, ya akhirnya tuh tiba-tiba yang jahat merinding banget “aduh, gimana ne...aduh, jangan-jangan ada setan. Aduh,,,tolong...”. Gitu kan, temennya “aduh uda pada di kemah semua, aduh kok aku tinggal sendirian sih..Aduh, gimana neh.” Ternyata tuh gak sadar tuh ada raksasa kan, “Aaaa...tolong-tolonggg...”. Ternyata temennya tu gak pada ngrasa, soalnya pada tidur. Tidurnya tu nyenyak, soalnya kan kalo di luar itu udaranya dingin, sejuk, pas pokoknya. Gitu... “tolong-tolong...” sampe...sampe di apa...di pohon itu naik-naik gak bisa. Soalnya gak ada panjatnya. Nah, ternyata tuh kakinya raksasa juga kan. “Aduh gimana ini...gimana...” Terus akhirnya dia lari kesana dikepung sama raksasanya. Kan kalah larinya. Akhirnya “aduh, gimana ne..”. Eee...ternyata diselametin sama yang baik itu. Wahhh...aduhh...terus

diselametin, terus dihentikan.

“Kamu uda jahatin

Gambar

Tabel 2.Gambaran Diri Agency dan Communion ............................................
tabel berikut:
tabel berikut:
Gambar ini, Ini si doni. Umur

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada maka perilaku informasi SAM yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan kinerja manajerial adalah pada saat PEU tinggi

Landasan teori dari raneang bangun lensa magnetik selenoid untuk pemfokus berkas elektron adalah interaksi yang terjadi apabila elektron bergerak melalui medan magnet yang

[r]

PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN EDUTAINMENT PADA PEMBELAJARAN PSYCHROMETRIC UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Namun dari dua rumusan masalah tersebut terdapat sebuah pembahasan didalamnya, antara lain tentang penguasaan santri- mahasiswa terhadap ilmu agama dan ilmu pengetahuan

It was expected that the city branding development of Malang (city) discussed in the study developed Malang into a modern yet comfortable city where everyone

Tak ketinggalan fitur keselamatan terlengkap di kelasnya juga disematkan pada model ini seperti Combi Brake System yang menambah kepakeman pengereman, standar samping otomatis

Alur Penelitian Analisis Kurikulum S 1 Pendidikan IPA Penetapan mata kuliah prasarat IPA Terintegrasi Deskripsi mata kuliah subject Deskripsi mata kuliah pedagogy