• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Laboratorium

Dalam dokumen Laporan Tutorial (Halaman 52-62)

H. Manifestasi Klinis

I. Gambaran Laboratorium

Anemia pada malaria dapat terjadi akut maupun kronis; pada keadaan akut penurunan hemoglobin terjadi dengan cepat. Anemia pada malaria disebabkan kerusakan eritrosit oleh parasit, penekanan eritropoesis dan terjadinya hemolisis oleh proses imunologis. Pada malaria akut juga akan terjadi penghambatan eritropoesis pada sumsum tulang, tetapi bila parasitemia menghilang, sumsum tulang menjadi hipermik, pigmentasi aktif dengan hiperplasia dan normoblast. Pada darah tepi dapat dijumpai poikilositosis, anisosisotis, polikromatosis dan bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia pernisiosa. Dijumpai pula trombositopenia sehingga dapat mengganggu proses koagulasi. Pada malaria tropika yang berat maka plasma fibrinogen dapat menurun disebabkan peningkatan konsumsi fibrinogen karena terjadinya koagulasi intravaskular. Terjadi ikterus ringan dengan peningkatan bilirubin indirek dan tes fungsi hati yang abnormal seperti meningkatnya transaminase, kadar glukosa dan fosfatase alkali menurun. (3)

Plasma protein menurun terutama albumin, walaupun globulin meningkat. Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh demam semata melainkan juga karena meningkatnya fungsi hati. Hipokolesterolemia juga dapat terjadi pada malaria. Glukosa penting untuk respirasi plasmodia, yang berakibat penurunan glukosa darah dijumpai pada malaria tropika dan tertiana; hal ini mungkin berhubungan dengan kelenjar suprarenalis. Kalium dalam plasma meningkat pada saat demam, mungkin karena destruksi dari sel-sel darah merah. Laju endap darah meningkat pada malaria namun kembali normal setelah diberi pengobatan. Dapat juga terjadi asidosis walaupun sangat jarang. Nefritis akut jarang dijumpai, oleh karena perubahan pada ginjal terutama akibat proses degeneratif bukan karena peradangan. Sering dijumpai proteinuria dan gangguan ginjal sehingga menyebabkan terjadinya nefrosis kronik dengan retensi air, natrium dan azotemia

edematous dengan giri yang melebar dan pipih. Terlihat pembendungan pada daerah giri dan pada substansi kelabu terlihat pembendungan dan petekia. Pendarahan disekeliling kapiler dan arteriol terjadi sebagai akibat penyumbatan eritrosit yang mengandung parasit. (3)

Plasmodium falciparum menyerang semua bentuk eritrosit mulai dari retikulosit sampai eritrosit yang telah matang. Pada pemeriksaan darah tepi baik hapusan maupun tetes tebal terutama dijumpai parasit muda bentuk cincin (ring form). Juga dijumpai gametosit dan pada kasus berat yang biasanya disertai komplikasi, dapat dijumpai bentuk skizon. Pada kasus berat parasit dapat menyerang sampai 20% eritrosit. Bentuk seksual/gametosit muncul dalam waktu satu minggu dan dapat bertahan sampai beberapa bulan setelah sembuh. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan tipis, gametositnya berbentuk pisang dan terdapat bintik Maurer pada sel darah merah. Pada sediaan darah tebal dapat dijumpai gametosit berbentuk pisang, banyak sekali benuk cincin tanpa bentuk lain yang dewasa (stars in the sky), terdapat balon merah di sisi luar gametosit. (3)

Plasmodium vivax terutama menyerang retikulosit. Pada pemeriksaan darah tepi baik hapusan tipis maupun tetes tebal biasanya dijumpai semua bentuk parasit aseksual dari bentuk ringan sampai skizon. Biasanya menyerang kurang dari 2% eritrosit. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan darah tipis, dijumpai sel darah merah membesar, terdapat titik Schuffner pada sel darah merah dan sitoplasma amuboid. Pada sediaan darah tebal dijumpai sitoplasma amuboid (terutama pada tropozoit yang sedang berkembang) dan bayangan merah di sisi luar gametosit. (3)

Plasmodium malariae terutama menyerang eritrosit yang telah matang. Pada sediaan hapus darah perifer tipis maupun tebal dapat dijumpai semua bentuk parasit aseksual. Biasanya parasit menyerang kurang dari 1% dari jumlah eritrosit. Parasit pada sediaan darah tepi tipis berbentuk khas seperti pita (band form), skizon berbentuk bunga ros (rosette form), tropozoit kecil bulat dan kompak berisi pigmen yang menumpuk, kadang-kadang menutupi sitoplasma/ inti atau keduanya. (3)

Gambar 4. Sediaan darah apus plasmodium

J.

Diagnosis

Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala serta tanda klinis. Tetapi walaupun di daerah bukan endemis malaria, diagnosis banding malaria harus dipikirkan pada riwayat demam tinggi berulang, apalagi disertai gejala trias yaitu demam, splenomegali dan anemia. Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil pertimbangan klinis dan tidak selalu disertai hasil laboraturium oleh karena beberapa kendala pada pemeriksaan laboraturium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan darah seorang anak penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak selalu harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak berobat untuk penyakit lain. Di lain pihak, dapat saja tidak ditemukan parasit pada pemeriksaan darah pada anak yang sedang sakit malaria. Maka untuk menemukan parasit di dalam darah harus di perhatikan waktu pengambilan spesimen darah dan apakah pasien sedang minum obat anti

Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tes tebal merupakan metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi dapat dijumpai trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar ureum, kreatinin, bilirubin dan enzim seperti aminotransferase dan 5’-nukleitidase. Pada penderita malaria berat yang mengalami asidosis, dijumpai pH darah dan kadar bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat dalam darah dan likuor serebrospinal juga meningkat. (3)

Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect luorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk studi epidemiologi. Pada daerah endemis atau pernah endemis, tes serologi berguna untuk: (3)

(1) menentukan berapa lama endemisitas berlangsung, (2) menentukan perubahan derajat transmisi malaria, (3) menentukan daerah malaria dan fokus transmisi.

Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan untuk: (1) skrining donor darah,

(2) menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada pemeriksaan darah tidak ditemukan parasit,

(3) menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria bila cara lain tidak berhasil.

Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di bawah mikroskop fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe untuk mendeteksi antigen. (3)

Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan dengan demam oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis, gastroenteritis atau hepatitis. Malaria dengan manifestasi klinis yang lebih ringan, harus dibedakan dengan influenza atau penyakit virus lainnya. (3)

K. Penatalaksanaan

Pengobatan malaria menurut keperluannya dibagi menjadi pengobatan pencegahan bila obat diberikan sebelum infeksi terjadi, pengobatan supresif bila obat diberikan untuk mencegah timbulnya gejala klinis, pengobatan kuratif untuk pengobatan infeksi yang sudah terjadi terdiri

dari serangan akut dan radikal, dan pengobatan untuk mencegah transmisi/penularan bila obat digunakan terhadap gametosit dalam darah. Sedangkan dalam program pemberantasan malaria dikenal 3 cara pengobatan, yaitu pengobatan presumtif dengan pemberantasan skizontisida dosis tunggal untuk mengurangi gejala klinis malaria dan mencegah penyebaran, pengobatan radikal diberikan untuk malaria yang menimbulkan relaps jangka panjang, dan pengobatan massal digunakan pada setiap penduduk di daerah endemis malaria secara teratur. Saat ini pengobatan massal hanya diberikan pada saat terjadi wabah. (3)

1. Malaria Tanpa Komplikasi

Malaria tanpa komplikasi dapat diberikan obat anti malaria dengan rawat jalan. Berdasarkan hasil penelitian, resistensi malaria vivaks terhadap klorokuin ditemukan sangat tinggi di berbagai daerah di Indonesia sehingga Departemen Kesehatan RI merekomendasikan pengobatan malaria vivaks sama dengan malaria falsiparum, yaitu dengan menggunakan kombinasi anti malaria yang mengandung derivate artemisinin (Artemisinin based combination therapy- ACT) (6)

a. Untuk daerah yang sudah resistensi terhadap obat malaria yang biasa digunakan, saat ini WHO merekomendasikan penggunaan kombinasi antimalaria terutama yang mengandung artemisin. Obat-obat antimalaria kombinasi yang direkomendasikan oleh WHO antara lain:

Artemeter/lumefantrin (Co-artem) diberikan dengan dosis Artemeter 2 mg/kgBB 2 kali sehari selama 3 hari dan lumefantrin 12 mg/kgBB 2 kali sehari selama 3 hari. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet kombinasi 20 mg artemeter + 120 mg lumefantrin

Artesunat + amodiakuin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan amodiakuin dosis standar 25 mg basa/kgBB selama 3 hari. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet terpisah artesunat 50 mg/tablet dan amodikuin basa 153 mg/tablet. Artesunat + meflokuin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan

meflokuin basa 15-25 mg/kgBB dosis tunggal atau dibagi dalam dosis 2 – 3 kali. Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari

selama 3 hari dan sulfadoksin-pirimetamin 25 mg/kgB dosis tunggal.

Dihidroartemisinin + piperakuin, dengan dosis dehidroartemisinin 6,4 mg/kgBB dan piperakuin 51,2 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari.

Artesunat + klorokuin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan klorokuin basa dosis standar 25 mg/kgBB selama 3 hari.

Artesunat + atovokuon-proguanil (Malaron) tablet film coated untuk anak dosis dari artesunat 4 mg/kgBB/hari dan 62,5 mg atovakuon dan 25 mg proguanil.

Artesunat + klorproguanil-dapson (Lapdop), dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan klorproguanil-dapson.

Artemisinin + piperakuin, dengan dosis artemisinin 20 mg/kgBB 2 kali sehari pada hari pertama, selanjutnya 1 kali sehari pada hari kedua dan ketiga, dan piperakun 51,2 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari.

Artesunat + pironaridin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan pironaridin.

Naftokuin + dehidroartemisinin, terdiri dari naftokuin dan dihidroartemisinin 6,4 mg/kgBB selama 3 hari. (6)

b. Untuk daerah yang belum ada resisten terhadap obat malaria yang biasa digunakan atau obat-obat tersebut di atas belum tersedia, pengobatan malaria adalah:

Klorokuin dosis standar (25 mg basa/kgBB) untuk 3 hari dan sulfadoksin pirimetamin dosis tunggal (25 mg/1,25 mg/kgBB).

Sulfadoksin/pirimetamin dosis tunggal dan kina (10 mg garam/kgBB/dosis) 3 kali sehari selama 7 hari.

Amodikuin dosis standar (25 mg basa/kgBB untuk 3 hari) dan sulfadoksin dosis tunggal.

Kombinasi klorokuin dosis standard dan primakuin dosis harian tunggal 0,75 mg basa/kgBB tunggal untuk malaria falsiparum atau 0,25 mg basa/kgBB/hari selama 14 hari.

Klorokuin dosis standard dan doksisiklin (2 mg/kgBB/dosis) 2 kali sehari selama 7 hari.

Kina (10 mg garam/kgBB/dosis) 3 kali sehari selama 7 hari dan doksisiklin (2 mg/kgBB/dosis) 2 kali sehari selama 7 hari.

Kina (10 mg garam/kgBB/dosis) 3 kal sehari selama 7 hari dan klindamisin (10 mg/kgBB/dosis) 3 kali sehari selama 7 hari. (6)

2. Malaria Berat

Anak dengan malaria berat harus dirawat inap dan diberikan pengobatan dengan artesunat intravena atau kina HCl intravena per infus. Terapi suportif harus diberikan sesuai dengan gejala komplikasinya:

a. Malaria serebral

Diberikan infus kina dihiroklorida, dosis 10 mg/kgBB/kali dilarutkan dalam 50 – 100 ml infus garam fisiologis atau cairan 2 a atau dekstrose 5% dan diberikan selama 2 – 4 jam, 3 kali sehari selama pasien belum sadar. Pemberian tidak boleh terlalu cepat (<10 menit) oleh karena tekanan darah dapat turun mendadak disertai aritmia jantung. Apabila pasien sudah sadar kina dilanjutkan per-oral hingga total intravena + oral selama 7 hari. Dapat ditambahkan fansidar atau suldox dengan dosis seperti diatas (melalui sonde). Apabila disertai kejang berikan diazepam 0,5 mg/kgBB intravena perlahan-lahan. (3)

Anemia berat ditandai dengan kepucatan yang sangat pada telapak tangan, sering diikuti dengan denyut nadi cepat, kesulitan bernafas, kebingungan atau gelisah. Tanda gagal jantung seperti irama derap, pembesaran hati dan terkadang edema paru (nafas cepat, fine basal crackles dalam pemeriksaan auskultasi) bisa ditemukan. (4)

Berikan transfusi darah sesegera mungkin kepada:

Semua anak dengan hematokrit ≤ 15% atau Hb ≤ 5 g/dl

Anak yang anemianya tidak berat (hematokrit > 15%; Hb > 5 g/dl) dengan tanda berikut: - Dehidrasi - Syok - Penurunan kesadaran - Pernafasan Kusmaull - Gagal jantung

- Parasitemia yang sangat tinggi (>10% sel darah merah mengandung parasit). Berikan packed red cells (10 ml/kgBB), jika tersedia, selama 3 – 4 jam. Jika tidak

tersedia berikan darah utuh segar 20 ml/kgBB selama 3 – 4 jam.

Periksa frekuensi nafas dan denyut nadi setiap 15 menit. Jika salah satunya mengalami kenaikan, berikan transfusi dengan lebih lambat. Jika ada bukti kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan furosemid intravena (1 – 2 mg/kgBB) hingga jumlah maksimal 20 mg/kgBB.

Setelah transfusi, jika Hb tetap rendah, ulangi transfusi.

Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi yang umum dan serius. Berikan fresh whole blood 10 ml/kgBB hanya sekali. (4)

c. Dehidrasi, gangguan asam basa dan elektrolit

Lactic acidosis sering terjadi sebagai penyulit malaria berat, ditandai dengan peningkatan kadar asam laktat darah atau dalam likuor serebrospinal. Larutan garam fisiologis isotonis atau glukosa 5% segera diberikan dengan hati-hati dan awasi tekanan darah. Di rumah sakit dengan fasilitas pediatrik gawat darurat, dapat dipasang central venous pressure (CVP) untuk mengetahui kebutuhan cairan lebih cermat. Apabila telah tercapai rehidrasi, tetapi jumlah urin tetap < 1 ml/kgBB/jam makan dapat diberikan furosemid inisial 2 mg/kgBB kemudian dilanjutkan 2 x dosis dengan maksimal 8 mg/kgBB (diberikan dalam waktu 15 menit). Untuk memperbaiki oksigenasi, bersihkan jalan nafas, beri oksigen 2 – 4 liter/menit, dan apabila diperlukan dapat dipasang ventilator mekanik sebagai penunjang. (3)

d. Hipoglikemia

Hipoglikemia (gula darah: < 2,5 mmol/liter atau < 45 mg/dl) lebih sering terjadi pada pasien umur < 3 tahun, yang mengalami kejang dan/atau hiperparasitemia dan pasien koma. (4)

Berikan 5 ml/kgBB glukosa 10% intravena secara cepat. Periksa kembali glukosa darah dalam waktu 30 menit dan ulangi pemberian glukosa (5 ml/kgBB) jika kadar glukosa

Cegah agar hipoglikemia tidak sampai parah pada anak yang tidak sadar dengan memberikan glukosa 10% intravena. Jangan melebihi kebutuhan cairan rumatan untuk berat badan anak. Jika anak menunjukan tanda kelebihan cairan, batasi cairan parenteral; ulangi pemberian glukosa 10% (5 ml/kgBB) dengan interval yang teratur. Bila anak sudah sadar dan tidak ada muntah atau sesak, stop infus dan berikan makanan/minuman per oral sesuai umur. Teruskan pengawasan kadar glukosa dan obati sebagaimana mestinya. (4)

L. Prognosis

Prognosis malaria yang disebabkan oleh P.vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat berlangsung 3 bulan atau lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps. Sedangkan P.malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps, pernah dilaporkan sampai 30 – 50 tahun. Infeksi P.falciparum tanpa penyulit berlangsung sampai satu tahun. Infeksi P.falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama pada gizi buruk. (3)

WHO mengemukakan indikator prognosis buruk (klinis dan laboratorium) apabila, Indikator klinis:

Umur < 3 tahun Koma berat Kejang berulang Refleks kornea negatif Deserebrasi

Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru) Terdapat perdarahan retina(6)

Indikator laboratorium:

Hiperparasitemia (> 250.000/ml atau > 5%) Skizontemia dalam darah perifer

Leukositosis

PCV (packed cell volume) < 20% Kadar hemoglobin < 7,1 g/dl Kadar glukosa darah < 40 mg/dl Kadar ureum > 60 mg/dl

Kadar glukosa likuor serebrospinal meningkat Kadar kreatinin > 3 mg/dl

Kadar laktat dalam likor serebrospinal meningkat Kadar SGOT meningkat > 3 kali normal

Antitrombin rendah

M. Pencegahan

1. Pemakaian obat antimalaria

Semua anak dari daerah non-endemis malaria apabila masuk ke daerah endemis malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari daerah endemis malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.

a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB basa (8,3 mg garam, maksimal 300 mg basa), sekali seminggu atau

b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau sulfadoksin 10 – 15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur > 6 bulan). (6)

2. Menghindari dari gigitan nyamuk

a. Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk b. Menggunakan obat pembunuh nyamuk(6)

3. Vaksin malaria

Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam stadium pada perjalanan penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu:

a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit:

Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan menimbulkan infeksi pada manusia Merozoit yang menyerang eritrosit

Gametosit yang menyebabkan infeksi pada nyamuk b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan

Gambar 5. Vaksin malaria

Jadi pendekatan pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit P.falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah berhasil, dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria tropika terutama anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan rekayasa genetika. (6)

3. PEMERIKSAAN FISIK

Teknik pemeriksaan fisik dilakukan dengan 4 cara : Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

1.

Inspeksi

Adalah memeriksa dengan melihat dan mengingat . Langkah kerja :

 Atur pencahayaan yang cukup

 Atur suhu dan suasana ruangan nyaman  Posisi pemeriksa sebelah kanan pasien  Buka bagian yang diperiksa

 Perhatikan kesan pertama pasien : perilaku, ekspresi, penanmpilan umum, pakainan, postur tubuh, dan gerakan dengan waktu cukup.

 Lakukan inspeksi secara sistematis, bila perlu bandingkan bagian sisi tubuh pasien.

2. Palpasi

Adalah pemeriksaan dengan perabaan, menggunakan rasa propioseptif ujung jari dan tangan.

Cara kerja :

 Daerah yang diperiksa bebas dari gangguan yang menutupi  Cuci tangan

 Beritahu pasien tentang prosedur dan tujuannnya  Yakinkan tangan hangat tidak dingin

 Lakukan perabaan secara sistematis , untuk menentukan ukuran, bentuk, konsistensi dan permukaan :

 Jari telunjuk dan ibu jari --> menentukan besar/ukuran

 Jari 2,3,4 bersama --> menentukan konsistensi dan kualitas benda  Jari dan telapak tangan --> merasakan getaran

3. Perkusi

Adalah pemeriksaan dengan cara mengetuk permukaan badan dengan cara perantara jari tangan, untuk mengetahui keadaan organ-organ didalam tubuh.

Cara Kerja :

 Lepas Pakaian sesuai dengan keperluan

 Luruskan jari tengah kiri , dengan ujung jari tekan pada permukaan yang akan diperkusi.

 Lakukan ketukan dengan ujung jari tengah kanan diatas jari kiri, dengan lentur dan cepat, dengan menggunakan pergerakan pergelangan tangan.

 Lakukan perkusi secara sistematis sesuai dengan keperluan.

4. Auskultasi

Adalah pemeriksaan mendengarkan suara dalam tubuh dengan menggunakan alat STETOSKOP.

Bagian-bagian stetoskop :

 Ear Pieces --> dihubungkan dengan telinga

 Sisi Bell ( Cup ) --> pemeriksaan thorak atau bunyi dengan nada rendah

 Sisi diafragma ( membran ) --> Pemeriksaan abdomen atau bunyi dengan nada tinggi.

Cara Kerja :

 Ciptakan suasana tenang dan aman  Pasang Ear piece pada telinga

 Pastikan posisi stetoskop tepat dan dapat didengar  Pada bagian sisi membran dapat digosok biar hangat

 Lakukan pemeriksaan dengan sistematis sesuai dengan kebutuhan.

Dalam dokumen Laporan Tutorial (Halaman 52-62)

Dokumen terkait