• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai Etnografi Kabupaten Samosir dan lokasi penelititan dimana penulis melakukan penelitian melalui deskripsi etnografi. Dimana etnografi merupakan suatu deskripsi mengenai lokasi suatu bangsa disuatu lokasi tertentu, suatu wilayah geografis dan administratif suatu bangsa, limgkungan alam dan demografi serta sejarah asal mula suatu suku bangsa. Menyangkut hal ini Fetterman mengungkapkan “ethnography is the science of describing agroup of culture” yang mana artinya adalah “etnografi bukan hanya sekedar ilmu melainkan juga seni tentang pendeskripsian suatu bangsa” (Fetterman 1989:11 dalam Sipahutar).

Untuk menjelaskan mengenai budaya yang terdapat di Samosir.

Koentjaraningrat mengungkapkan dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi bahwa ada 7 unsur yang membentuk suatu kebudayaan dalam masyarakat yaitu Bahasa, Teknologi, Mata Pencaharian (ekonomi), Organisasi Sosial, Sistem pengetahuan, Kesenian dan Sistem Religi (Koentjaraningrat, pengantar ilmu antropologi 1979:333). Tetapi dalam pembahsan ini penulis akan membahas 4 dari 7 unsur tersebut yaitu: (1) Mata Pencaharian, (2) Sistem Bahasa, (3) Sistem Religi dan Kepercayaan, dan (4) Kesenian.

2.1 Geografis Kabupaten Samosir dan Lokasi Penelitian

Letak kebudayaan Samosir sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki keuntungan geografis bagi sektor kepariwisataan, karena berada di tengah Danau Toba sebagai obyek wisata yang

terkenal. Setiap tahun daerah ini banyak dikunjungi oleh wisatawan nasional maupun mancanegara.

2.1.1 Geografis Kabupaten Samosir

Secara geografis kabupaten ini terletak di antara 2º12ʼ83ˮ 2º49ʼ48ˮ -Lintang Utara dan 98º12ʼ00ˮ - 99º01ʼ48ˮ Bujur Timur. Luas wilayahnya ± 1.444,25 km², yaitu seluruh daratan Pulau Samosir yang dikelilingi oleh danau toba, ditambah dengan sebahagian daratan di wilayah sebelah selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, serta daratan di wilayah sebelah barat yang berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat. Sedangkan di sebelah utara batas wilayah kabupaten ini adalah perairan danau toba yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun, dan di sebelah timur adalah perairan danau toba yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Toba Samosir.

Topografi wilayah kabupaten ini umumnya adalah berbukit-bukit dan bergelombang hingga pegunungan dengan ketinggian antara 904m – 2.157m di atas permukaan laut. Menurut para ahli, struktur tanahnya adalah labil dan berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik (BPS kab.samosir 2019).

Di samping pesona pemandangan alamnya yang sangat indah, beberapa potensi wisata lain yang sangat menarik bagi para wisatawan juga dapat dijumpai di daerah ini, diantaranya tempat atau benda seni budaya peninggalan leluhur suku Batak, karena berdasarkan sejarah, asal-usul leluhur seluruh suku Batak.

2.1.2 Lokasi Penelitian

Wilayah Kecamatan Pangururan terdiri dari wilayah desa sebagai berikut: Rianiate, Parmonangan, Huta Namora, Pintu Sona, Huta Tinggi,

Pardomuan I, Pasar Pangururan, Tanjung Bunga, Siogung-Ogung, Parsaoran I, Sait Nihuta, Lumban Pinggol, Sianting-Anting, Parlondut, Aek Nauli, Pardugul, Panampangan, Sitoluhuta, Sinabulan, Siopat Sosor, Huta Bolon, Situngkir, Sialanguan, Parhorasan, Pardomuan Nauli, Lumban Suhi-suhi Dolok, Lumban Suhi-suhi Toruan, Parbaba Dolok.

Secara geografis kecamatan Pangururan ini terletak di antara 2º81ʼ -2º45ʼ Lintang Utara dan 98º21ʼ - 98º47ʼ Bujur Timur. Luas wilayah kecamatan Pangururan 121,43 km². Letak di atas permukaan laut 50,37 m.

Batas-batas wilayah kecamatan Pangururan;

a. Sebelah utara : Kecamatan Simanindo, b. Sebelah selatan : Kecamatan Palipi,

c. Sebelah barat : Kecamatan Sianjur Mulamula, dan d. Sebelah timur : Kecamatan Ronggur Nihuta

Tabel 2.1 Luas Wilayah dan Rasio Terhadap Luas Kecamatan Menurut Desa/Kelurahan

12. Lumban Pinggol 1,50 1,24

13. Sianting-Anting 1,80 1,48

14. Parlondut 1,50 1,24

15. Aek Nauli 5,36 4,41

16. Pardugul 5,44 4,48

17. Panampangan 2,65 2,18

18. Sitoluhuta 0,80 0,66

19. Sinabulan 1,23 1,01

20. Siopat Sosor 1,00 0,82

21. Huta Bolon 2,00 1,65

22. Situngkir 2,00 1,65

23. Sialanguan 2,00 1,65

24. Parhorasan 15,40 12,68

25. Pardomuan Nauli 9,50 7,82

26. Lumban Suhi-suhi Dolok 6,30 5,19

27. Lumban Suhi-suhi Toruan 3,50 2,88

28. Parbaba Dolok 20,50 16,88

Jumlah 100,00

Sumber: BPS Kab.samosir 2018

2.2 Sistem Kekerabatan

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang

disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah 29 organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.

Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih

tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi.

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:

1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak

mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak lakilaki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula-hula-hula.

2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amangboru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.

3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-laki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat

terlihat dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini.

Artinya, hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hulahula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis

berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

2.3 Sistem Kepercayaan

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan pada umumnya menganut system kepercayaan berdasarkan keyakinan orang tua. Atau dapat dikatakan masyarakat Batak di Kecamatan Pangururan memang menganut system kepercayaan yang dianutnya dari lahir hingga dewasa. Namun, banyak juga masyarakat Batak Toba yang berubah kepercayaaanya, atau dengan kata lain kepercayaannya pada saat anak anakhingga dewasa bisa saja berubah setelah ia dewasa. Pada umumnya masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, maupun Islam. Dari beberapa agama tersebut agama yang paling berkembang pesat dalam masyarakat Batak Toba adalah agama Kristen Protestan.

Sesuai dengan falsafah Negara, pelayanan kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa senantiasa dikembangkan dan ditingkatkan. Penduduk yang tinggal di Desa Siopat Sosor secara keseluruhan telah memeluk agama yang telah diakui oleh negara. Agama yang mereka anut adalah agama Kristen Protestan, Islam dan Kristen Khatolik. Di desa ini tidak terdapat masyarakat yang menganut sistem kepercayaan. Di desa ini terdapat satu Gereja Kristen Protestan dan satu Gereja Khatolik.

2.4 Sistem Mata Pencaharian

Secara tradisional, mata pencaharian masyarakat Batak Toba umumnya adalah bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam yang dilakukan adalah berladang dan menanam padi di sawah. Di samping itu, mereka juga mengelola hasil hutan terutama untuk memenuhi hidup sehari-hari. Salah satu ciri khas desadesa kecil yang terdapat di Samosir adalah bentuk dari permukiman tradisionalnya. Pola permukiman desa-desa tersebut umumnya terdiri atas beberapa perumahan yang dikelilingi oleh rerimbunan pohon di antara bentangan lahan persawahan di sekelilingnya.

Menurut hukum adat, dahulu lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam tersebut diperoleh dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah warisan tetapi tidak boleh menjualnya. Tapi seiring perkembangan zaman, hukum tersebut lama kelamaan sudah mulai tidak dipakai lagi, sebab sudah ada beberapa oknum yang pernah menjual tanahnya meskipun tanah itu warisan marganya. Kendatipun demikian, penduduk Samosir masih banyak yang memegang teguh hukum adat tersebut.

Gambaran umum tentang keadaan lingkungan alam khususnya yang didapatkan di Pulau Samosir sedikit berbeda. Meskipun terdapat juga lahan-lahan persawahan kecil di Pulau tersebut,wilayah Samosir merupakan wilayah yang relatif kering dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Batak Toba yang lainnya. Untuk memenuhi debit air yang dibutuhkan tanaman terkadang sebagian besar penduduk mengandalkan air hujan, sebab selain lahan yang relatif kering, sistem irigasi juga tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat menghidupi dirinya dengan bertanam bawang. Sebab menurut

penduduk setempat, selain perawatannya yang lebih mudah, biasanya bawang merupakan salah satu tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak debit seperti tanaman yang lain. Di samping itu, ada juga yang bertanam padi dan sayursayuran.

Selain sektor pertanian, perternakan juga merupakan salah satu mata pencaharian penduduk Samosir, antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Usaha nelayan atau penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk yang bermukim di pinggiran pantai Danau Toba. Sebagian dari mereka beternak ikan dan umumnya menggunakan jaring terapung yang dikenal dengan istilah doton. Doton adalah sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan yang ada di Danau Toba. Jenis ikan yang diternakkan pada umumnya adalah ikan mas dan ikan mujair.

Jika ditelusuri dari berbagai daerah di sepanjang pinggiran Samosir, misalnya mulai dari Tomok, desa-desa kecil sekitar kota Pangururan, hingga wilayah Palipi, kita akan menemukan peternakan ikan seperti ini. Hasil dari pertanian dan peternakan tersebut sebagian dijual di pasar dan sebagian lagi dikonsumsi oleh keluarga. Sedangkan penduduk yang bermukim jauh dari kawasan pantai biasanya bermatapencaharian sebagai petani, peternak ataupun wiraswastawan. Sektor kerajinan tangan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata. Jika ditinjau secara keseluruhan sebagian besar masyarakat Batak Toba di Samosir saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai, wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan

ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.

2.5 Sistem Pendidikan

Pada tahun 2016 capaian Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk Kabupaten Samosir berusia antara 7-12 tahun merupakan yang terendah selama 3 tahun terakhir, yaitu 99,18 persen. Hal ini mempunyai arti bahwa persentase jumlah penduduk berusia antara 7-12 tahun yang tidak bersekolah pada tahun 2016 hanya 0,82 persen, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013 dan 2014, yaitu masing-masing sebesar 0,28 persen dan 0 persen. Begitu juga dalam kelompok umur 13-15 tahun, APS ini juga mengalami penurunan dari 100 persen pada tahun 2014 menjadi 96,73 persen pada tahun 2015.

Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur capaian pendidikan dalam tujuan Millenium Development Goals (MDGs) adalah Angka Partisipasi Murni (APM) pada jenjang SD dan SMP. APM SD dan SMP ini tidak lain adalah ukuran proposi anak yang bersekolah tepat waktu, masing-masing pada usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun. Namun, mengingat masih tingginya siswa yang berusia lebih tua dari kelompok usia yang semestinya (overage), yng menyebabkan APAM di tingkat SD, SLTP maupun SMU lebih rendah dibandingkan dengan Angka Partisipasi Kasar (APK), maka menurut The UN Guidelines Indicators for Monitoring the Millenium Development Goals, Indikator APK adalah lebih baik.

APK ini juga digunakan untuk mengetahui capaian program wajib belajar 6 tahun dan 9 tahun.

Untuk jenjang pendidikan SD, capaian APK di Kecamatan Pangururan pada tahun 2013-2016, APK laki-laki dan perempuan di atas 100 persen, dan untuk jenjang SMTP, APK laki-laki 121,79 persen dan perempuan masih dibawah 100 persen. Hal ini menunjukkan bahwa program wajib belajar 6 tahun di Kecamatan Pangururan tahun 2013-2016 telah tercapai, namun program wajib belajar 9 tahun hingga tahun 2016 belum tercapai.

Tabel 2.2 Banyaknya Sekolah Menengah Umum/SMA (SMU/SMA)Negeri dan Swasta Menurut Desa/Kelurahan

Menurut Koentjaraningrat (1990:204) salah satu unsur kebudayaan manusia adalah kesenian. Sebagai wilayah mayoritas suku Batak Toba, masyarakat yang tinggal juga mengenal sistem kesenian Batak Toba secara umum yaitu seni musik, seni tari, dan seni teater. Dalam sistem kesenian Batak Toba

dikenal jenis bentuk ansambel musik yaitu gondang sabangunan dan uning-uningan. Demikian halnya dalam seni tari dikenal dengan istilah manortor atau menari dan dalam seni teater dikenal dengan nama opera.

Penggunaan kesenian yang ada pada masyarakat Batak Toba juga erat kaitannya dengan sistim kekerabatan yang dipakai. Di dalam berkesenian peranan-peranan dalihan natolu sangat berpengaruh, dan ketiga pengelompokan kekerabatan yang ada dalam dalihan natolu tersebut akan dimiliki oleh setiap orang Batak secara bergantian tergantung pada siapa yang melakukan acara.

Dalam setiap upacara adat seperti pesta perkawinan, upacara kematian, pesta mangadati maupun acara adat lainnya biasanya diiringi dengan musik yaitu:

gondang sabangunan ataupun gondang hasapi.

BAB III

Dokumen terkait