• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI STRUKTUR, FUNGSI TARI TORTOR SOMBA YANG DITERAPKAN DI SMA NEGERI 2 PANGURURAN KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESKRIPSI STRUKTUR, FUNGSI TARI TORTOR SOMBA YANG DITERAPKAN DI SMA NEGERI 2 PANGURURAN KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI STRUKTUR, FUNGSI TARI TORTOR SOMBA YANG DITERAPKAN DI SMA NEGERI 2 PANGURURAN KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : ERWIN SIJABAT NIM : 120707035

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

DESKRIPSI STRUKTUR, FUNGSI TARI TORTOR SOMBA YANG DITERAPKAN DI SMA NEGERI 2 PANGURURAN KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OLEH

NAMA : ERWIN SIJABAT

NIM : 120707035

Disetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Perikuten Tarigan, M.Si Arifninetrirosa, SST, M.A.

NIP 195804021987031003 NIP 196502191994032002

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapai salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn) dalam bidang Etnomusikologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Hari : Tanggal :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S.

NIP. 196008051987031001

Panitia Ujian: Tanda tangan

1. Arifninetrirosa, SST, M.A ( )

2. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si ( )

3. Dra. Rithaony, M.A. ( )

4. Drs. Torang Naiborhu, M.Hum ( )

(4)

DISETUJUI OLEH:

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Arifninetrirosa , SST, M.A.

NIP. 196502191994032002

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya ataupun pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 2019 Penulis,

Erwin Sijabat

NIM 120707035

(6)

ABSTRAK

Sikripsi ini berjudul: Deskripsi Struktur, Fungsi Tari Tortor Somba yang Diterapkan di SMA Negeri Pangururan. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bahwa tortor somba telah diterapkan di sekolah SMA Negeri 2 Pangururansebagai bentuk pelestarian budaya Batak Toba.

Permasalahan yang dibahas peneliti yaitu mengenaistruktur tortor somba, fungsi tortor somba dan makna yang terkandung dalam setiap gerak tortor somba.Teori yang diambil yakni mengacu pada teori struktural, teori fungsionalisme, dan teori semantik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, metode kualitatif yakni data-data responden yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari penelitian lapangan yang didukung oleh metode kuantitatif. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa tortor somba adalah tari penghormatan.

Tortor somba berfungsi sebagai media pendidikan dimana melalui tortor sombasiwa-siswi diajari norma-norma yang terkandung dalam tortor somba yaitu hormat pada guru, saling menghargai sesama, cinta budaya dan rajin berdoa.Sedangkan makna yang terkandung dalam tortor somba ada 5 (lima) makna yaitu: wibawa, hormat kepada Yang Maha Kuasa, hormat kepada sesama, hormat kepada para Guru, meminta berkat.

Kata kunci: tortor somba, struktur, fungsi dan makna

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan menyusun skripsi yang berjudul “DESKRIPSI STRUKTUR, FUNGSI TARI

TORTOR SOMBA YANG DITERAPKAN DI SMA NEGERI 2 PANGURURAN KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR” ini diajukan sebagai

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni S-1 pada Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, dan juga tidak luput dari kebosanan sertajenuh yang penulis rasakan. Namun, dengan adanya dorongan dari orang-orang sekitar serta cita-cita yang penulis targetkan menjadi semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara Medan. Begitu juga segenap jajaran di Dekanat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada ketua Program studi Etnomusikologi Ibu Arifninetrirosa, SST.,M.A.,sekaligus Dosen Pembimbing II penulis dan kepada sekretaris Program studi Etnomusikologi FIB USUBapak Drs.

Bebas Sembiring, M.Si.,yang telah membantu lancarnya administrasi kuliah penulis selama ini, serta ilmu yang diberikan.

Penulis juga mengucapkan terimaksih kepada Bapak Drs, Perikuten

Tarigan, M.Si., sebagaiDosen Pembimbing I penulis yang telah membimbing dan

(8)

memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.Kiranya Tuhan selalu memberikan berkat serta kesehatan kepada Bapak.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Yang terhormat seluruh staf pengajar Program Studi Etnomusikologi USU yang telah banyak memberikan pemikiran dan wawasan baru kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

Kepada seluruh Dosen di Etnomusikologi , Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Dra. Rithaony, M.A, Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd., Bapak Drs. Fadlin, M.A,. Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si.,Bapak Drs, Setia Dermawan Purba, M.Si., dan Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., Drs.

Muhammad Takari, M.Hum., Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian. Seluruh ilmu dan pengalaman hidup Bpak/Ibu menjadi pelajaran berharga untuk penulis. Kiranya Berkat Tuhan melimpah menyertai Bapak/Ibu sekalian.Begitu juga untuk Ibu Wawa sebagai pegawai administrasi di Program Studi FIB USU yang telah membantu semua urusan administratif dari awal semester hingga akhir semester.Terimakasih atas ilmu-ilmu nasehat-nasehat, perhatian, pengalaman yang telah Bapak/Ibu berikan kepada penulis selama berada diperkuliahan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada orangtua tercinta Papa M.

Sijabat dan Mama N. Sigiro yang telah bersemangat untuk memberikan dorongan

kepada penulis, baik bentuk moril maupun materi, mulai dari masa pendidikan

penulis hingga penulis menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan

terimakasih banyak kepada saudara-saudara penulis, Pak Angel dan Istri

(N.Sinaga), J.Sijabat dan istri (D. Sitompul), Hermanto sijabat dan Friadi Sijabat

(9)

atas dorongan dan motivasi yang diberikan kepada penulis, semoga kiranya kita semakin diberkati oleh TuhanYesus Kristus dan tetap diberikan kesehatan.

Kepada para informan yang telah memberikan dukungan dan bantuan untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, Bapak Drs. J.Sinaga,Spd., selaku kepala sekolah SMA Negeri 2 Pangururan dan seluruh guru-guru yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, Ibu Pery Sagala selaku guru seni serta mengajari tortor somba di SMA Negeri 2 Pangururan. Kiranya seluruh informan saya selalu dalam lindungan Tuhan serta tercurah berkat-berkatNya atas kita semua.

Terimakasih juga kepada group “plot” saya Abang Thomson Hutasoit, Abang Oktavianus Matondang, Abang Tumpal Saragih, Tumpak Sinaga dan semuanya anggota tanpa terkecuali yang terus menyemangati saya dan terus memberi dukungan hingga tulisan ini selesai. Kepada teman-teman satu kost saya Nurhayati Simanjuntak, Potler Situngkir, Netty Siregar, Yunne Simanungkalit dan terkhusus Delima Sitinjak terima kasih atas dukungan dan motivasinya. Kepada sahabat-sahabat terkasih serta teman seperjuangan stambuk 2012 Etnomusikologi, terimakasih atas dukungan, motivasi, doa dan segala bentuk kepedulian teman- teman kepada penulis.

Ucapan terimakasih tidak lupa penulis ucapkan untuk abang dan kaka senior serta adik-adik junior stambuk stambuk, tetap semangat dan tetap menjaga solidaritas sebagai keluarga Etnomusikologi, Tuhan memberkati.

Medan, 2019

Erwin Sijabat

NIM 120707035

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5

1.3.1 Tujuan Penelitian... 5

1.3.2 Manfaat Penelitian... 5

1.4 Konsep dan Teori ... 6

1.4.1 Konsep ... 6

1.4.2 Teori ... 8

1.5 Metode Penelitian ... 11

1.5.1 Study Kepustakaan ... 12

1.5.2 Observasi ... 13

1.5.2.1Wawancara ... 14

1.5.3 Kerja Laboratorium ... 14

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Geografis Kabupaten Samosir dan Lokasi Penelitian ... 15

2.1.1 Geografis Kabupaten Samosir ... 16

2.1.2 Lokasi Penelitian ... 17

2.2 Sistem Kekerabatan ... 19

2.3 Sistem Kepercayaan ... 23

2.4 Sistem Mata Pencaharian ... 24

2.5 Sistem Pendidikan ... 26

2.6 Sistem Kesenian ... 28

BAB III TORTOR DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA 3.1 Penggunaan Tortor ... 29

3.2 Gondang sebagai Musik Pengiring ... 33

3.3 Pantun (Umpasa) dalam meminta Gondang ... 36

3.4 Tortor Somba di SMA Negeri2 Panguuran ... 40

3.4.1 Tujuan Pelaksanaan Tortor Somba ... 40

3.4.2 Kronologi Tortor Somba di SMA Negeri2 Panguuran ... 41

BAB IV STRUKTUR, FUNGSI DAN MAKNA TORTOR SOMBA 4.1 Ragam dan Pola Gerak Tortor Somba ... 45

4.2 Pola LantaiTortor Somba ... 59

4.3 Umpasa Maminta Gondang Somba ... 64

4.4 BusanaTortor Somba ... 64

4.5 FungsiTortor Somba ... 67

4.5.1 Fungsi tortor somba sebagai media pendidikan ... 67

(11)

4.6.1 Makna tangan dibutuha ... 67

4.6.2 Makna marsantabi diparateatean ... 68

4.6.3 Makna marsantabi tuloloan ... 68

4.6.4 Makna somba hula-hula ... 68

4.6.5 Makna mangido pasu-pasu ... 68

4.7 Pendapat Siswa/siswi Terhadap Penyajian Tortor Somba ... 69

4.8 Transkrip ... 70

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

DAFTAR INFORMAN ... 76

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tabel 2.1 Luas Wilayah dan Rasio Terhadap

Luas KecamatanMenurut Desa/Kelurahan ... 17 2. Tabel 2.2 Banyaknya Sekolah Menengah Umum/SMA

(SMU/SMA)Negeri dan Swasta

Menurut Desa/Kelurahan ... 27

3. Tabel 4.1 Ragam dan Pola Gerak Tortor Somba ... 43

4. Tabel 4.2 Pola Lantai Mengacu Pada Pola Lantai Yang ada

Pada Tortor Somba ... 56

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9).

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur"

dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Masyarakat Batak Toba memiliki sistem kekerabatan yang disebut Dalihan Na Tolu.

1

Manusia dalam rangka menjalani kehidupannya di dunia ini, menghasilkan dan berdasarkan kepada kebudayaan.Budaya ini menjadi identitas seseorang dan sekelompok orang yang menggunakan dan memilikinya.Kebudayaan tersebut muncul untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam rangka menjaga kesinambungan generasi yang diturunkan.Kebudayaan ini memainkan peran penting terhadap perilaku manusia danbenda-benda hasil kreatifitas mereka.Kebudayaan juga mengatur siklus atau daur hidup manusia

1

(14)

sejak dari janin, lahir, anak-anak, pubertas, dewasa, tua, sampai meninggal dunia.Demikian juga yang terjadi di dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, yang wilayah kebudayaannya mencakup Provinsi Sumatera Utara.Salah satu ekspresi kebudayaan adalah kesenian.

Dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba dikenal berbagai jenis seni, seperti seni rupa, musik (gondang), tari (tortor), dan seterusnya.Mereka memiliki tari yang disebut tortor, yang terdiri dari beberapa jenis, seperti tortor pangurason, tortor sipitu sawan, tortor tunggal panaluan, tortor sigalegale dan seterusnya.

Tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba biasanya diiringi gondang sabangunan (musik tradisional masayarakat Batak Toba).Gondang sabangunan adalah salah satu ensambel dari dua ensambel musik etnis Batak Toba, yaitu: ensambel gondang sabangunan dan ensambel gondang hasapi.

Dalam ensambel gondang sabangunan terdiri dari instrumen musik yang digunakan, yaitu sarune bolon, taganing, ogung, dan hesek.Biasanya jenis gondang yang dimainkan adalah sama dengan nama tortor yang akan ditarikan.

Misalnya dalam gondang mula-mula yang ditarikan adalah tortor mula-mula artinya bahwa semua yang ada di bumi ini pada mulanya ada yang menciptakan (dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dikenal dengan Mula Jadi Na Bolon), dan segala sesuatu yang dimulai dengan baik maka hasilnya akan baik pula.

Begitu juga dengan gondang somba yang ditarikan adalah tortor somba (gerakan menyembah kepada Tuhan dan kepada masyarakat sekeliling), dan masih banyak lagi jenis tortor yang diiringi gondang sabangunan.

Yang umum dilakukan dalam aktivitas manortor adalah: Gondang mula-

mula dengan tortor mula-mula, gondang somba-somba dengan tortor somba-

(15)

somba, gondang sampur marmeme dengan tortor sampur marmeme, gondang sampur marorot dengan tortor sampur marorot, gondang saudara dengan tortor saudara, gondang sitiotio dengan tortor sitiotio, gondang hasahatan dengan tortor hasahatan. Namun ada beberapa gondang tidak sama dengan tortornya atau sebaliknya misalnya gondang sibunga jambu tidak ada tortor sibunga jambu, sebaliknya tortor pangurason tidak ada gondang pangurason.

Setiap sekali dalam seminggu seluruh sekolah di kabupaten samosir menerapkan tortor untuk siswa/i mulai dari tingkat SD, SMP, SMA/SMK yang akan masuk ruang kelas sebelum memulai pelajaran. Tortor yang digunakan adalah Tortor Somba (tarian penghormatan) yang diiringi musik gondang somba menggunakan CD/DVD/cassette.

Masuknya tortor disekolah adalah sebagai bentuk implementasi kurikilum 2013 dalam aspek sikap dan perilaku, artinya pendidikan karakter sesuai dengan kebudayaan yang berlaku. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada bidang studi seni budaya dikembangkan, dieksplisitkan, dihubungkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pembentukan karakter siswa/siswi pada tingkat satuan pendidikan SD, SMP, SMA/SMK mengarah pada pembentukan budaya sekolah yang melandasi perilaku tradisi, kebisaan sehari-hari, serta simbol-simbol yang dipraktekkan.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Samosir Bapak Drs. Rikardo

Hutajulu, M.Pd mengintruksikan melalui rapat/diskusi “Pembinaan Karakter

Berbasis Budaya” pada tahun 2014 di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten

Samosir yang dihadiri semua Kepala Sekolah mulai dari tingkat SD, SMP,

SMA/SMK untuk menerapkan tortor somba di seluruh sekolah yang ada di

(16)

Kabupaten Samosir setiap sekali dalam semi nggu sebelum memasuki kelas untuk memulai pelajaran.(Jasudin Sinaga, 2019)

2

.

Pada tulisan ini, yang menjadi objek penelitian adalah sekolah SMA Negeri 2 Pangururan salah satu sekolah dari seluruh sekolah di Kabupaten Samosir yang menerapkan gondang somba dan tortor somba terhadap siswa/i.Tortor somba diadakan setiap hari kamis. Tortor Somba yang digelar berdurasi sekitar 5 menit, sengaja dipilih sebagai sebuah implementasi adat budaya Batak Toba, Dalihan Na Tolu dengan elemen somba marhula-hula, elek marboru, dan manat mardongan tubu. Dalam hal ini siswa/i berkedudukan sebagai boru, guru sebagai hula-hula, sementara sesama guru adalah mardongan tubu (kakak-adik). manfaat aktivitas manortor inidinilai mampu membangkitkan semangat belajar bagi siswa/i di SMA Negeri 2 Pangururan.

Penggunaan tortor somba di sekolah adalah untuk mengangkat kembali kearifan lokal sekaligus pelestarian budaya dan mengajarkan budaya hormat kepada guru, orang tua, dan kepada sesama manusia yang memang sudah ada dalam filosofi Dalihan Na Tolu. Artinya pembinaan karakter budaya, dimulai dari sekolah sehingga ke depan para anak sekolah akan mencintai budayanya serta menerapkan kehidupan “beradab-beradat” menjadi sebuah identitas karakternya.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, sesuai dengan judul skripsi ini dan juga fokus perhatian kepada masalah yang akan diteliti,maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana deskripsi struktur tortor somba dilakukan bagi siswa/i SMA

Negeri 2 Pangururan? Pokok permasalahan ini akan dijawab dengan

(17)

uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak, benruk tari, bentuk tari, hitungan tari, busana teri.

2. Apa fungsi tari tortor somba yang di terapkan di SMA Negeri 2 Pangururan.

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam rangka penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mendeskripsikan bentuk struktur tortor somba di sekolah SMA Negeri 2 Pangururan.

2. Untuk memahami dan memahami makna tortor somba.

3. Untuk memahami apa sebenarnya fungsi tortor somba terhadap siswa/i SMA Negeri 2 Pangururan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Segala sesuatu harus dikerjakan dan harus memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Juga memperdalam pengetahuan dan wawasan tentang tortor. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Untuk menambah wawasan bagi pembaca mengenai budaya Batak Toba, serta mengetahui tentang tortor somba di SMA Negeri 2 Pangururan.

2. Sebagai dokumentasi dan sarana literature tentang struktur dan makna,

fungsi tortor somba terhadap siswa/i SMA Negeri 2 Pangururan.

(18)

3. Untuk menambah referensi penulisan tentang tortor somba dan Sebagai bahan dokumentasi tambahan bagi Program Study Etnomusikolgi mengenai fenomena budaya BatakToba.

4. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Study Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.

5. Dengan adanya penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti lainnya.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Poerwadarminta sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret.

Tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan melalui gerak- gerak ritmis yang indah (Soedarsono 1978:17). Gerak merupakan salah satu unsur utama dalam tari, gerak merupakan peralihan tempat atau kedudukan, gerak dalam tari merupakan unsur pokok atau dasar dimana tubuh berpindah posisi dari satu posisi ke posisi berikutnya, rangkaian-rangkaian gerak ditata sedemikian rupa sehingga membentuk suatu tari yang utuh (Jazuli 2008:8).

Deskripsi adalah segala sesuatu yang kita lihat maupun kita dengar dalam

suatu penelitian dan ditulis dalam sebuah tulisan. Menurut Seeger (1958:184),

menyatakan bahwa deskripsi adalah penyampaian objek dengan menerangkan

kepada pembaca secara tulisan maupun lisan dengan sedetail-detailnya.

(19)

Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan struktur, yaitu bahwa struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Dalam hal ini, struktur yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang melengkapi tortor somba dalam penyajiannya, dan tahapan-tahapan dari pola-pola gerakan, dengan kata lain yang berarti ragam-ragam yang ada dalam tortor somba.

Identifikasi suatu struktur tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Dalam tulisan ini penulis menyatakan pola berarti gerakan-gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk.

Tortor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang.

Tortor juga berperan penting dalam tatanan kehudupan masyarakat Batak Toba, mulai dari upacara ritual, hiburan, religius dan sebagainya. Menurut Sinaga (1977:16-19) mengatakan bahwa tortor dapat digolongkan menjadi dua bagian berdasarkan pola gerak yaitu: 1) Tortor Hatopan, suatu pola gerak yang sudah baku dalam setiap upacara, 2) Tortor Hapunjungan, tortor yang dilakukan sesuai dengan konteks upacaranya misalnya tortor untuk kaum muda, atau tortor dalam acara sukacita, tetapi memiliki gerakan yang relative bebas dengan kata lain setiap penari bebas melakukan gerakan yang sesuai dengan ekspresinya sepanjang masih mengikuti ritme. Berdasarkan uraian diatas tortor somba yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tergolong kedalam tortor hapunjungan dimana setiap penari melakukan gerakan yang sama menurut pola-pola yang telah baku.

Tortor, gondang dan ulos pada masyarakat Batak Toba adalah suatu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan artinya ketika ada kegiatan tortor pasti ada

(20)

gondang sebagai musik pengiring dan ulos sebagai busana. Hubungan musik dan tari adalah suatu fenomena yang berbeda tetapi dapat juga digabungkan dengan aspek yang mendukung. Musik merupakan rangkaian ritme dan nada, sedangkan tarian adalah rangkaian gerak, ritme, dan ruang dimana fenomena keduanya merupakan suatu yang berlawanan, yang mana musik merupakan fenomena yang terdengar, tetapi tidak terlihat sedangkan tarian merupakan fenomena yang terlihat, tetapi tidak terdengar (Wimbrayardi, 1999:9-10).

Dalam menari tortor setiap penari wajib menggunakan ulos, ada berbagai macam jenis ulos pada masyarakat Batak Toba. Jenis ulos yang digunakan berbeda-bedasesuai dengan posisi penggunanya, misal pengantin pria, pengantin wanita, laki-laki atau perempuan sebagai partisipan upacara. Begitu juga dengan musik dan lagu yang mengiringi tortor, musik acaraadat akan berbeda dengan acara hiburan.

Kata diterapkan pada tulisan ini merupakan hal yang penting karena kata ini merupakan kata kunci. Yang dimaksud dengan tulisan ini adalah kata diterapkan yang dipakai dalam analisis struktur, fungsi dan makna tortor somba yang diterapkan di SMA N 2 Pangururan Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.

Jadi pengertian diterapkan yang dimaksud penulis adalah bahwa

siswa/siswi di SMA N 2 Pangururan Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir

mempraktekkan, melakukan atau menarikan tortor somba yang pada umumnya

digunakan pada acara-acara adat masyarakat Batak Toba dalam bentuk tari kreasi

namun tanpa menghilangkan keasliannya.

(21)

Tari tortor somba adalah salah satu tortor kreasi baru yang digunakan sebagai media pendidikan meningkatkan karakter berbasis budaya terhadap siswa- siswi di kabupaten Samosir. Menurut Pery Sagala tari kreasi yang dipahami selama ini yaitu pengembangan dari motif-motif tradisi tetapi harus tetap memperhatikan etika, nilai, norma dari masyarakatnya. Pada umumnya tari kreasi didasari pemikiran yang disesuaikan tuntutan masa kini.(Wawancara 28 februari 2019).

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam menulis skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan.

Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertiantentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapatyang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini.

Dwijowinoto 1990:6 mengatakan bahwa penganalisaan struktur gerak

agar lebih jelas maka struktur gerak tersebut diuraikan dari tataran-tataran

geraknya hingga tersusun sustu bentuk tari secara utuh dimulai dari motif gerak,

frase gerak, kalimat gerak dan gugus gerak. Dalam hal meneliti gerak tari tersebut,

penulis akan mendiskripsikan bagaimana struktur dan pola gerakan-gerakan yang

terdapat dalam tortor somba yang nantinya penulis juga menggunakan lambang-

lambang umum dan sederhana yang penulis buat sendiri untuk mewakili pola

gerak tortor somba.

(22)

Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah penyesuaiannya dengan ruang, simar, warna, dan seni sastranya, keseluruhannya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yangdimaksud dengan koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada SMA Negeri 2 Pangururan. Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai-nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri.

Fungi dapat dikatakan sebagai manfaat atau kegunaan dari suatu hal.

Dalam penulisan ini penulis akan melihat apa manfaattortor sombadisajikan di SMA Negeri 2 Pangururan, denganmenggunakanteori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi maupun dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori fungsi itu sebagai berikut.

Jazuli (1994:46) mengatakan bahwa fungsi tari diantaranya adalah (1) tari untuk upaacara, (2) tari sebagai hiburan, (3) tari sebagai pertunjukan dan tontonan, (4) tari sebagai media pendidikan. Ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Jazuli ini, maka fungsi tortor somba adalah sebagai media pendidikan.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat

dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus,

sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian,

Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu

masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian

aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya.

(23)

Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.

By the definition here offered „function‟ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Dalam ka itannya dengan tortor sombapada SMA Negeri 2 Pangururan, maka tortor ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas kelompok, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tortor sombadan musik iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung lestarinya budaya Batak Toba.

Bloomfied (2000:23) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi dimana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin juga mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dalam dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti.

Berkaitan dengan pandangan diatas, tari sesungguhnya juga adalah

bahasa yang menggunakan media tubuh sebagai alat komunikasi, sebagaimana

halnya kata dalam bahasa. Artinya bahwa gerak merupakan bahasa yang

digunakan untuk mengekspresiksn suatu yang tidak bisa disampaikan melalui

bahasa verbal. Dalam komunikasi verbal orang menggunakan kata-kata untuk

(24)

menyampaikan pesan sedangkan dalam tari kata-kata tersebut diganti dengan gerak. Begitu juga dengan tortor somba mempunyai makna-makna tertentu yang disampaikan melalui bahasa gerak dimana terdapat bermacam gerak yang digunakan sebagai media komunikasi.

1.5 Metode Penelitian

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini lebih berupa kata-kata secara detail dan bukan berupa angka- angka. Sejalan dengan itu Bogdan dan Taylor (dalam Maleong 1988:3), mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata kata tertulis atau lisan dari orang orang atau perilaku masyarakat yang dapat diamati.

Menurut Faisal (1992:17-35) terdapat lima format penelitian ilmu ilmu sosial, yaitu: (1) penelitian deskriptif; (2) penelitian eksplanasi; (3) studi kasus;

(4) survei; dan (5) eksperimen. Sesuai dengan yang diuraikan di atas bahwa

penelitian ini menggunakan format penelitian deskriptif (descriptive research)

yang biasa juga disebut dengan penelitian taksonomik, dimaksudkan untuk

eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial,

dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenan dengan masalah

dan unit yang diteliti. Jenis pendekatan ini tidak mempersoalkan jalinan hubungan

antar variabel yang ada dan tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang

menjelaskan variabel-variabel anteseden yang menyebabkan suatu gejala atau

kenyataan sosial. Oleh karena itu, pada penelitian yang menggunakan format

penelitian deskriptif, tidak menggunakan dan melakukan pengujian hipotesis,

(25)

seperti yang dilakukan pada penelitian dengan format eksplanasi. Hal ini tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori.

Dalam pengolahan dan analisis data, lazimnya menggunakan statistik yang bersifat deskriptif.

Selanjutnya yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat Denzin(2009:6) yang menjelaskan bahwa peneliti kualitatif menekankan sifat realitas yang terbangun secara sosial, hubungan erat peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk penelitian. Para peneliti semacam ini mementingkan sifat penelitian yang sarat nilai. Mereka mencari jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekalian perolehan maknanya.

Penelitian kualitatif merupakan bidang antar-disiplin, lintas-disiplin, dan kadang kadang kontra-disiplin. Penelitian kualitatif menyentuh humaniora, ilmu ilmu sosial, dan ilmu ilmu fisik. Penelitian ini teguh dengan sudut pandang naturalistik sekaligus kukuh dengan pemahaman interpretif mengenai pengalaman manusia (Nelson, dkk., dalam Denzim dan Lincoln, 2000:5).

Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ialah mencakup: (1) studi kepustakaan; (2) obsevasi; (3) wawancara; dan (4) kerja laboratorium, seperti yang akan diuraikan sebagai berikut.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung

pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Paparan atau konsep-konsep tersebut

bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman penelitian),

(26)

dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan. Penulis mencari informasi dan referensi untuk mendapatpengetahuan dasar tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini, penulismenggunakan referensi berupa buku dan sebagian besar dari beberapa skripsiyang relevan dengan objek yang diteliti. Selain itu juga dalam studi kepustakaan ini penulis melakukan surveiterhadap tulisan-tulisan di jejaring sosial internet, terutama yang berkaitandengan topik penelitian ini. Di dalamnya terdapat data yang diunggah melaluiblok dan juga laman web. Data-data ini membantu memahami latarbelakangkajian terhadap Gondang Somba dan Tortor Somba terhadap siswa/i di SMA Negeri 2 Pangururan.

1.5.2 Observasi

Teknik pengumpulan data dengan observasi adalah metode yangdigunakan dengan menggunakan pengamatan dan pengindraan untukmenghimpun data penelitian. Menurut Bungin (2007:115), metode observasimerupakan kerja pancaindera mata serta dibantu dengan pancaindera lainnya.Dalam meneliti nyanyian ini, penulis meneliti langsung ke lapangan.

Sebelummelakukan penelitian penulis melakukan pengamatan lokasi, tempat

penelitianserta mencari beberapa narasumber yang betul-betul menguasai hal

dalam bidangtersebut, setelah melakukan observasi maka penulis dapatmelakukan

penelitian. Adapun lokasi penelitian ini adalah di sekolah SMA Negeri 2

(27)

Pangururan. Penulis tinggal selamabeberapa hari disana untuk melakukan penelitian.

1.5.2.1 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan teknik wawancara. Adapun teknik wawancara yang penulis lakukanadalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan yangberpusat terhadap pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancarabebas (free interview),yaitu pertanyaan yang tidak hanya berfokus pada pokokpermasalahan saja tetapi pertanyaan berkembang ke pokok permasalahanlainnya yang bertujuan untuk memperoleh data lainnya namun tidakmenyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat, 1985:139). Terkait dengan pembahasan mengenai tortor somba di SMA negeri 2 Pangururan, penulis memilih narasumber sebagai objek wawancara yaitu J. Sinaga(kepala sekolah), P. Sagala(guru seni), dan beberepa informan lainnya termasuk masyarakat.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yang diperoleh penulis dari berbagai sumber, yaitu

hasilpengamatan di lapangan, hasil wawancara selanjutnya akan ditelaah dan

diolah dalam kerja laboratorium sesuai denganpendekatan di bidang

etnomusikologi. Maka dalam menganalisis struktur, fungsi dan maknatotor

somba, dengan fokus pokok permasalahan, yaitu ragam dan pola gerak, pola

lantai, busana, fungsi dan maknatortor somba di SMA Negeri 2 Pangururan perlu

dilihat dalam konteks multidisiplin ilmu.

(28)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai Etnografi Kabupaten Samosir dan lokasi penelititan dimana penulis melakukan penelitian melalui deskripsi etnografi. Dimana etnografi merupakan suatu deskripsi mengenai lokasi suatu bangsa disuatu lokasi tertentu, suatu wilayah geografis dan administratif suatu bangsa, limgkungan alam dan demografi serta sejarah asal mula suatu suku bangsa. Menyangkut hal ini Fetterman mengungkapkan “ethnography is the science of describing agroup of culture” yang mana artinya adalah “etnografi bukan hanya sekedar ilmu melainkan juga seni tentang pendeskripsian suatu bangsa” (Fetterman 1989:11 dalam Sipahutar).

Untuk menjelaskan mengenai budaya yang terdapat di Samosir.

Koentjaraningrat mengungkapkan dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi bahwa ada 7 unsur yang membentuk suatu kebudayaan dalam masyarakat yaitu Bahasa, Teknologi, Mata Pencaharian (ekonomi), Organisasi Sosial, Sistem pengetahuan, Kesenian dan Sistem Religi (Koentjaraningrat, pengantar ilmu antropologi 1979:333). Tetapi dalam pembahsan ini penulis akan membahas 4 dari 7 unsur tersebut yaitu: (1) Mata Pencaharian, (2) Sistem Bahasa, (3) Sistem Religi dan Kepercayaan, dan (4) Kesenian.

2.1 Geografis Kabupaten Samosir dan Lokasi Penelitian

Letak kebudayaan Samosir sebagai salah satu daerah tujuan wisata di

Provinsi Sumatera Utara yang memiliki keuntungan geografis bagi sektor

kepariwisataan, karena berada di tengah Danau Toba sebagai obyek wisata yang

(29)

terkenal. Setiap tahun daerah ini banyak dikunjungi oleh wisatawan nasional maupun mancanegara.

2.1.1 Geografis Kabupaten Samosir

Secara geografis kabupaten ini terletak di antara 2º12ʼ83ˮ 2º49ʼ48ˮ - Lintang Utara dan 98º12ʼ00ˮ - 99º01ʼ48ˮ Bujur Timur. Luas wilayahnya ± 1.444,25 km², yaitu seluruh daratan Pulau Samosir yang dikelilingi oleh danau toba, ditambah dengan sebahagian daratan di wilayah sebelah selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, serta daratan di wilayah sebelah barat yang berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat. Sedangkan di sebelah utara batas wilayah kabupaten ini adalah perairan danau toba yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun, dan di sebelah timur adalah perairan danau toba yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Toba Samosir.

Topografi wilayah kabupaten ini umumnya adalah berbukit-bukit dan bergelombang hingga pegunungan dengan ketinggian antara 904m – 2.157m di atas permukaan laut. Menurut para ahli, struktur tanahnya adalah labil dan berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik (BPS kab.samosir 2019).

Di samping pesona pemandangan alamnya yang sangat indah, beberapa potensi wisata lain yang sangat menarik bagi para wisatawan juga dapat dijumpai di daerah ini, diantaranya tempat atau benda seni budaya peninggalan leluhur suku Batak, karena berdasarkan sejarah, asal-usul leluhur seluruh suku Batak.

2.1.2 Lokasi Penelitian

Wilayah Kecamatan Pangururan terdiri dari wilayah desa sebagai

berikut: Rianiate, Parmonangan, Huta Namora, Pintu Sona, Huta Tinggi,

(30)

Pardomuan I, Pasar Pangururan, Tanjung Bunga, Siogung-Ogung, Parsaoran I, Sait Nihuta, Lumban Pinggol, Sianting-Anting, Parlondut, Aek Nauli, Pardugul, Panampangan, Sitoluhuta, Sinabulan, Siopat Sosor, Huta Bolon, Situngkir, Sialanguan, Parhorasan, Pardomuan Nauli, Lumban Suhi-suhi Dolok, Lumban Suhi-suhi Toruan, Parbaba Dolok.

Secara geografis kecamatan Pangururan ini terletak di antara 2º81ʼ - 2º45ʼ Lintang Utara dan 98º21ʼ - 98º47ʼ Bujur Timur. Luas wilayah kecamatan Pangururan 121,43 km². Letak di atas permukaan laut 50,37 m.

Batas-batas wilayah kecamatan Pangururan;

a. Sebelah utara : Kecamatan Simanindo, b. Sebelah selatan : Kecamatan Palipi,

c. Sebelah barat : Kecamatan Sianjur Mulamula, dan d. Sebelah timur : Kecamatan Ronggur Nihuta

Tabel 2.1 Luas Wilayah dan Rasio Terhadap Luas Kecamatan Menurut Desa/Kelurahan

No. Desa/Kelurahan Luas/Area

(km2)

Rasio Terhadap Total Kecamatan

1. Rianiate 6,75 5,56

2. Parmonangan 3,00 2,47

3. Huta Namora 7,00 5,76

4. Pintu Sona 2,80 2,31

5. Huta Tinggi 3,00 2,47

6. Pardomuan I 2,50 2,06

7. Pasar Pangururan 0,50 0,41

8. Tanjung Bunga 6,50 5.35

9. Siogung-Ogung 4.00 3,29

10. Parsaoran I 1,50 1,24

11. Sait Nihuta 1,40 1,15

(31)

12. Lumban Pinggol 1,50 1,24

13. Sianting-Anting 1,80 1,48

14. Parlondut 1,50 1,24

15. Aek Nauli 5,36 4,41

16. Pardugul 5,44 4,48

17. Panampangan 2,65 2,18

18. Sitoluhuta 0,80 0,66

19. Sinabulan 1,23 1,01

20. Siopat Sosor 1,00 0,82

21. Huta Bolon 2,00 1,65

22. Situngkir 2,00 1,65

23. Sialanguan 2,00 1,65

24. Parhorasan 15,40 12,68

25. Pardomuan Nauli 9,50 7,82

26. Lumban Suhi-suhi Dolok 6,30 5,19

27. Lumban Suhi-suhi Toruan 3,50 2,88

28. Parbaba Dolok 20,50 16,88

Jumlah 100,00

Sumber: BPS Kab.samosir 2018

2.2 Sistem Kekerabatan

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal

dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan

mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang

(32)

disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah 29 organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.

Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa

pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga

Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah

memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih

(33)

tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi.

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:

1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga

ayah mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk

hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi

juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke

atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga

bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari bapak ego), tulang

tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau

tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak

(34)

mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak lakilaki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki- laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula- hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.

2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amangboru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.

3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu

artinya segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian

keturunan laki-laki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat

(35)

terlihat dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan kata somba marhula- hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini.

Artinya, hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hulahula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah

mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak

dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi

masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis

(36)

berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

2.3 Sistem Kepercayaan

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan pada umumnya menganut system kepercayaan berdasarkan keyakinan orang tua. Atau dapat dikatakan masyarakat Batak di Kecamatan Pangururan memang menganut system kepercayaan yang dianutnya dari lahir hingga dewasa. Namun, banyak juga masyarakat Batak Toba yang berubah kepercayaaanya, atau dengan kata lain kepercayaannya pada saat anak anakhingga dewasa bisa saja berubah setelah ia dewasa. Pada umumnya masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, maupun Islam. Dari beberapa agama tersebut agama yang paling berkembang pesat dalam masyarakat Batak Toba adalah agama Kristen Protestan.

Sesuai dengan falsafah Negara, pelayanan kehidupan beragama dan

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa senantiasa dikembangkan dan

ditingkatkan. Penduduk yang tinggal di Desa Siopat Sosor secara keseluruhan

telah memeluk agama yang telah diakui oleh negara. Agama yang mereka anut

adalah agama Kristen Protestan, Islam dan Kristen Khatolik. Di desa ini tidak

terdapat masyarakat yang menganut sistem kepercayaan. Di desa ini terdapat satu

Gereja Kristen Protestan dan satu Gereja Khatolik.

(37)

2.4 Sistem Mata Pencaharian

Secara tradisional, mata pencaharian masyarakat Batak Toba umumnya adalah bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam yang dilakukan adalah berladang dan menanam padi di sawah. Di samping itu, mereka juga mengelola hasil hutan terutama untuk memenuhi hidup sehari-hari. Salah satu ciri khas desadesa kecil yang terdapat di Samosir adalah bentuk dari permukiman tradisionalnya. Pola permukiman desa-desa tersebut umumnya terdiri atas beberapa perumahan yang dikelilingi oleh rerimbunan pohon di antara bentangan lahan persawahan di sekelilingnya.

Menurut hukum adat, dahulu lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam tersebut diperoleh dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah warisan tetapi tidak boleh menjualnya. Tapi seiring perkembangan zaman, hukum tersebut lama kelamaan sudah mulai tidak dipakai lagi, sebab sudah ada beberapa oknum yang pernah menjual tanahnya meskipun tanah itu warisan marganya. Kendatipun demikian, penduduk Samosir masih banyak yang memegang teguh hukum adat tersebut.

Gambaran umum tentang keadaan lingkungan alam khususnya yang

didapatkan di Pulau Samosir sedikit berbeda. Meskipun terdapat juga lahan-lahan

persawahan kecil di Pulau tersebut,wilayah Samosir merupakan wilayah yang

relatif kering dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Batak Toba

yang lainnya. Untuk memenuhi debit air yang dibutuhkan tanaman terkadang

sebagian besar penduduk mengandalkan air hujan, sebab selain lahan yang relatif

kering, sistem irigasi juga tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, sebagian

besar masyarakat menghidupi dirinya dengan bertanam bawang. Sebab menurut

(38)

penduduk setempat, selain perawatannya yang lebih mudah, biasanya bawang merupakan salah satu tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak debit seperti tanaman yang lain. Di samping itu, ada juga yang bertanam padi dan sayursayuran.

Selain sektor pertanian, perternakan juga merupakan salah satu mata pencaharian penduduk Samosir, antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Usaha nelayan atau penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk yang bermukim di pinggiran pantai Danau Toba. Sebagian dari mereka beternak ikan dan umumnya menggunakan jaring terapung yang dikenal dengan istilah doton. Doton adalah sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan yang ada di Danau Toba. Jenis ikan yang diternakkan pada umumnya adalah ikan mas dan ikan mujair.

Jika ditelusuri dari berbagai daerah di sepanjang pinggiran Samosir,

misalnya mulai dari Tomok, desa-desa kecil sekitar kota Pangururan, hingga

wilayah Palipi, kita akan menemukan peternakan ikan seperti ini. Hasil dari

pertanian dan peternakan tersebut sebagian dijual di pasar dan sebagian lagi

dikonsumsi oleh keluarga. Sedangkan penduduk yang bermukim jauh dari

kawasan pantai biasanya bermatapencaharian sebagai petani, peternak ataupun

wiraswastawan. Sektor kerajinan tangan juga berkembang. Misalnya tenun,

anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata. Jika

ditinjau secara keseluruhan sebagian besar masyarakat Batak Toba di Samosir saat

ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai, wiraswasta

dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang banyak

dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan

(39)

ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.

2.5 Sistem Pendidikan

Pada tahun 2016 capaian Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk Kabupaten Samosir berusia antara 7-12 tahun merupakan yang terendah selama 3 tahun terakhir, yaitu 99,18 persen. Hal ini mempunyai arti bahwa persentase jumlah penduduk berusia antara 7-12 tahun yang tidak bersekolah pada tahun 2016 hanya 0,82 persen, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013 dan 2014, yaitu masing-masing sebesar 0,28 persen dan 0 persen. Begitu juga dalam kelompok umur 13-15 tahun, APS ini juga mengalami penurunan dari 100 persen pada tahun 2014 menjadi 96,73 persen pada tahun 2015.

Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur capaian pendidikan dalam tujuan Millenium Development Goals (MDGs) adalah Angka Partisipasi Murni (APM) pada jenjang SD dan SMP. APM SD dan SMP ini tidak lain adalah ukuran proposi anak yang bersekolah tepat waktu, masing-masing pada usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun. Namun, mengingat masih tingginya siswa yang berusia lebih tua dari kelompok usia yang semestinya (overage), yng menyebabkan APAM di tingkat SD, SLTP maupun SMU lebih rendah dibandingkan dengan Angka Partisipasi Kasar (APK), maka menurut The UN Guidelines Indicators for Monitoring the Millenium Development Goals, Indikator APK adalah lebih baik.

APK ini juga digunakan untuk mengetahui capaian program wajib belajar 6 tahun

dan 9 tahun.

(40)

Untuk jenjang pendidikan SD, capaian APK di Kecamatan Pangururan pada tahun 2013-2016, APK laki-laki dan perempuan di atas 100 persen, dan untuk jenjang SMTP, APK laki-laki 121,79 persen dan perempuan masih dibawah 100 persen. Hal ini menunjukkan bahwa program wajib belajar 6 tahun di Kecamatan Pangururan tahun 2013-2016 telah tercapai, namun program wajib belajar 9 tahun hingga tahun 2016 belum tercapai.

Tabel 2.2 Banyaknya Sekolah Menengah Umum/SMA (SMU/SMA)Negeri dan Swasta Menurut Desa/Kelurahan Nama

Sekolah

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3

Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah SMA

Negeri 1 Pangururan

158 160 318 138 165 303 130 168 298

SMA Negeri 2 Pangururan

107 95 202 92 114 206 97 95 192

SMA Swasta St.

Pangururan

140 170 310 134 130 264 100 119 219 SMA

Swasta Karya Jaya Pangururan

36 50 86 23 31 54 31 32 63

SMA Swasta

HKBP Pangururan

22 15 37 17 20 37 16 12 28

Jumlah 463 490 953 404 460 864 374 426 800 Sumber: BPS Kab.samosir 2018

2.6 Sistem Kesenian

Menurut Koentjaraningrat (1990:204) salah satu unsur kebudayaan

manusia adalah kesenian. Sebagai wilayah mayoritas suku Batak Toba,

masyarakat yang tinggal juga mengenal sistem kesenian Batak Toba secara umum

yaitu seni musik, seni tari, dan seni teater. Dalam sistem kesenian Batak Toba

(41)

dikenal jenis bentuk ansambel musik yaitu gondang sabangunan dan uning- uningan. Demikian halnya dalam seni tari dikenal dengan istilah manortor atau menari dan dalam seni teater dikenal dengan nama opera.

Penggunaan kesenian yang ada pada masyarakat Batak Toba juga erat kaitannya dengan sistim kekerabatan yang dipakai. Di dalam berkesenian peranan-peranan dalihan natolu sangat berpengaruh, dan ketiga pengelompokan kekerabatan yang ada dalam dalihan natolu tersebut akan dimiliki oleh setiap orang Batak secara bergantian tergantung pada siapa yang melakukan acara.

Dalam setiap upacara adat seperti pesta perkawinan, upacara kematian, pesta mangadati maupun acara adat lainnya biasanya diiringi dengan musik yaitu:

gondang sabangunan ataupun gondang hasapi.

(42)

BAB III

TORTOR DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA

Pada bab ini akan membahas tentang penggunaan tortor, gondang sebagai music pengiring, umpasa, dan tortor somba di SMA Negeri 2 Pangururan.

3.1 Penggunaan Tortor

Bagi masyarakat Batak Toba, Tortor adalah bentuk seni tari yang bukan hanya sekadar bentuk tari, tetapi lebih luas dan kompleks lagi pengertiannya dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Tortor adalah tarian yang mempunyai pengertian dalam setiap gerakannya. Tortor juga dilakukan sesuai dengan sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba, Tortor dapat menjadi sarana interaksi hubungan antar sesama manusia sesuai dengan kedudukan dalam unsur Dalihan Na Tolu (sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba). Kegiatan manortor tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Batak Toba.

Tortor digunakan dalam setiap acara-acara dalam kehidupan masyarakat

Batak Toba. Telah dijelaskan bahwa tortor digunakan untuk menentukan

kedudukan seseorang dalam unsur Dalihan Na Tolu, yang dapat dilihat dari

gerakan-gerakan tortor somba yang dilakukan. Tortor tidak dapat terlepas dari

kehidupan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba yang mendiami

wilayah Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan sudah

pasti melakukan aktivitas manortor ini dalam setiap kegiatan adat. Orang Batak

Toba yang diperantauan akan membuat sebuah perkumpulan dalam membina

kekerabatan sesama orang Batak Toba. Dalam hal ini juga mereka secara otomatis

(43)

akan menerapkan sistem norma adat yang dilakukan masyarakat Batak Toba umumnya.

Tortor dilakukan untuk menghormati Debata Mulajadi NaBolon (Pencipta alam semesta dan manusia, arwah leluhur, maupun masyarakat sekeliling sesuai kedudukannya dalam Dalihan Na Tolu). Misalnya pada pesta adat perkawinan, meninggal yang disebut dengan upacara kematian Sarimatua (keturunan orang yang meninggal tersebut masih ada yang belum menikah) dan upacara kematian Saurmatua (semua keturunannya sudah menikah), pesta Horja (biasa disebut pesta tugu yaitu menyatukan pemakaman orangtua dari satu garis keturunan ke suatu tempat yang dibangun dari semen yang tujuannya menghormati leluhur).

Berikut upacara adat dlam masyarakat batak toba :

1. Upacara adat Mangirdak atau Mangganje atau Mambosuri boru (adat tujuh bulanan)

Upacara adat Mangirdak adalah upacara yang diterima oleh seorang ibu yang usia kandungannya tujuh bulan.

2. Upacara adat Mangharoan

Upacara adat mangharoan (dibaca:Makkaroan) adalah upacara adat yang dilaksanakan setelah dua minggu kelahiran bayi untuk menyambut

kedatangan bayi tersebut dalam keluarga tersebut.

3. Upacara adat Martutu aek

Upacara adat martutu aek adalah upacara adat pemberian nama kepada

bayi. Namun, padasaat ini, upacara ini sudah tidak dilakukan lagi karena

dianggap tidak sesuai dengan ajaranagama.

(44)

4. Upacara adat Marhajabuan

Upacara adat marhajabuan adalah upacara adat pernikahan sesuai dengan adat Batak Toba, marhajabuan(berumah-tangga) artinya setiap masyarakat batak yang akan berumah tangga atau menikah harus melalui sebuah pesta adat tidak boleh hanya dibaptis di gereja atau hanya sekedar akad nikah.

Acara ini akan dihadiri oleh seluruh sanak keluarga dari pihak pria maupun wanita dan diadakan pemberian ulos kepada pasangan yang menikah.

5. Upacara adat Manulangi

Upacara adat manulangi adalah upacara adat yang diberikan kepada orang tua yang lanjut usianya dengan menyuapi/menyulangkan makanan kesukaan atau makanan yang terbaik oleh anak dan cucunya.

6. Upacara adat Hamatean

Upacara adat hamatean adalah upacara adat kematian saat seseorang Batak meninggal disesuaikan dengan adat Batak Toba apakah adat yang akan dibuat jika seseorang meninggal sebagai sari matua, saur matua, maulibulung dll.

7. Upacara adat Mangongkal holi

Upacara adat mangongkal holi adalah upacara adat penggalian tulang

belulang orang tua yang telah meninggal untuk dimasukkan kedalam tugu

(monumen untuk menghormati orang yang meninggal).

(45)

Di dalam suatu upacara atau pesta, tortor yang wajib dilakukan adalah tortor mula-mula, tortor somba, tortor mangaliat dan yang terakhir tortorhasahatan/sitio-tio. Sebelum tortor hasahatan/sitiotio atau setelah tortormangaliat, jenis tortor yang lain dapat diminta dan ditarikan sesuai permintaan undangan yang hadir dan disesuaikan dengan upacara atau pesta yang berlangsung.

Tortor dilakukan dalam setiap kegiatan adat maupun hiburan bagi masyarakat Batak Toba. Dalam setiap kegiatan itu, tortor memiliki penggunaan dan penyajian yang berbeda-beda sesuai dengan kedudukannya dalam unsur Dalihan Na Tolu.Tortor hula-hula tidak boleh dilakukan boru demikian sebaliknya akan tetapi meskipun tortor itu berbeda menurut kedudukannya masing-masing dalamunsur Dalihan Na Tolu, tortor juga memiliki unsur dasar gerak yang hampir sama satu dengan yang lainnya. Tortor hula-hula merupakan gerakan kedua telapak tangan yang diarahkan ke kepala boru dan menyentuh pundak kepada dongansabutuha sambil berjalan berkeliling. Tujuan dari gerakan ini adalah mamasumasu (memberikan berkat kepada boru dan menyapa untuk dongan sabutuha). Sebaliknya pihak boru melakukan gerakan tortor dengan posisi kedua telapak tangan dirapatkan posisi menyembah kepada hula-hula.

3.2 Gondang Sebagai Musik Pengiring

Penyajian musik sebagai pengiring tari merupakan hal yang terpenting

dimana musik dapat membantu tempo serta menambah serta menambah

keindahan dari tarian tersebut dan juga dapat mewakili awal dan akhir dari tarian

sehingga terdapat suatu keharmonisan diantara penari dan music.

Referensi

Dokumen terkait