• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Gambaran Mikroskopis Hepatosit Setelah Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap gambaran mikroskopis hepar yang diberi perlakuan ekstrak n-heksan buah andaliman pada masa pra implantasi 0-3 hari dan masa pasca implantasi 6-14 hari ditemukan adanya perubahan sel baik itu sel hepatosit normal maupun yang mengalami degenerasi parenkimatosa, degenerasi

hidropik dan kematian sel (nekrosis). Menurut Bhara (2009), kerusakan hepar berhubungan erat dengan perdarahannya dan suatu susunan unit yang lebih kecil yaitu asinus hepar yang merupakan konsep terbaru dari unit fungsional hepar terkecil. Hepatosit merupakan sel dengan bentuk polihedral yang mempunyai permukaan 6 atau lebih, dengan membran sel yang jelas dan inti bulat di tengah. Sel yang besar dengan inti besar atau memiliki inti 2 dapat ditemukan karena adanya mitosis.

Gambar 4.4 Gambaran Mikroskopis Hepatosit Setelah Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) dengan Pewarnaan HE dan Perbesaran 400X. a. Vena Centralis, b. Sel Hepatosit Normal, c. Degenerasi Parenkimatosa, d. Binuklear, e. Degenerasi Hidropik, f. Nekrosis

Kerusakan sel hepar berupa degenerasi parenkimatosa dapat dilihat pada gambar 4.4. kerusakan seperti ini dapat ditemukan pada kelompok kontrol pelarut CMC 1%, ekstrak n-heksan buah andaliman 2%, 4% dan 6% baik pada pemberian pra

b a

c

d e

implantasi 0-3 hari maupun pasca implantasi 6-14 hari. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh senyawa yang dikandung dalam ekstrak n-heksan buah andaliman seperti terpenoid dan steroid yang memiliki sifat antibakteri dan insektisida (Indriani, 2007) yang mengakibatkan hepar tidak mampu mendetoksifikasi senyawa tersebut yang secara terus menerus diberikan dengan konsentrasi yang tinggi. Selain intu faktor eksternal juga dapat mempengaruhi terjadinya kerusakan. Seperti halnya yang dikatakan oleh Nababan (2012) bahwa pemberian pakan dan minum, faktor stres atau penyakit serta daya tahan tubuh dan kerentanan tikus terhadap limgkungan luar juga berpengaruh terhadap tingkat kerusakan sel hepar. Selain itu, pemberian perlakuan secara terus menerus juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap fungsi sel hepar.

Degenerasi vakuola atau pembengkakan sel merupakan indikasi terjadinya perlemakan hati. Pada keadaan ini sel hati tampak membesar. Perlemakan hati merupakan tahap awal terjadinya kerusakan dalam hati (Robins dan Kumar, 1995). Menurut Lu (1995), mekanisme yang mendasari terjadinya penimbunan lipid dalam hati adalah rusaknya pelepasan trigliserida hati ke plasma. Sehingga trigliserida hati hanya disekresi bila dalam keadaan tergabung dengan lipoprotein, maka terdapat beberapa mekanisme penimbunan lipid di hati yaitu: dengan penghambatan sintesis satuan protein dari lipoprotein, penekanan konjugasi trigliserida dengan lipoprotein, rusaknya oksidasi lipid oleh mitokondria, dan penghambatan sintesis fosfolipid. Selain itu peningkatan degenerasi parenkimatosa pada hati dapat disebabkan oleh sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Macfarlane et al. (2000 dalam Wardanela, 2008), bahwa suplai darah hati diperoleh dari saluran pencernaan. Darah yang mengandung toksin dibawa dari usus halus lalu masuk ke hati melalui vena porta, kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis. Toksin yang menyerang jaringan non adiposa akan menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim seluler kemudian menyebabkan jaringan/ organ (misalnya hati) tidak mampu memetabolisme lemak yang ada dan terjadilah akumulasi lemak pada sel.

Seperti halnya dengan kerusakan degenerasi parenkimatosa, kerusakan sel hepar berupa degenerasi hidropik juga ditemukan pada kelompok kontrol pelarut

CMC 1%, ekstrak n-heksan buah andaliman 2%, 4% dan 6% baik pada pemberian pra implantasi 0-3 hari maupun pasca implantasi 6-14 hari. Namun pada kelompok kontrol pelarut CMC 1% ditemukan lebih rendah dibanding perlakuan ekstrak. Menurut Nababan (2012), kerusakan seperti ini merupakan akibat dari gangguan metabolisme, sehingga membentuk vakuola pada sel hepatosit. Sedangkan menurut Underwood (1992), degenerasi hidropik merupakan keadaan sel ketika sitoplasmanya pucat dan membengkak dalam kaitannya dengan akumulasi cairan. Pada kejadian edema intraseluler yang ringan disebut pembengkakan berawan/keruh, selanjutnya meningkatkan cairan dan membengkaknya organel pada sitoplasma dan berpenampakan seperti bervakuol. Hal ini terjadi akibat kegagalan dalam pengaturan homeostasis normal dan meregulasi pemasukan dan pengeluaran air.

Mekanisme respon terhadap pembengkakan sel akut (degenerasi hidropis) biasanya melibatkan kerusakan membran sel, kegagalan sel dalam memproduksi energi, serta gangguan enzim. Degenerasi hidropik terjadi sebagai respon kehilangan homeostasis sekunder sel terhadap hipoksia, toksin, radikal bebas, virus, bakteri dan perlukaan bermediasi imun. Patogenesia terjadinya degenerasi hidropik berawal dari hipoksia yang menyebabkan penurunan produksi ATP sehingga sodium dan air masuk ke dalam sel, potasium keluar sel. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmosis dan menyebabkan banyak air yang mengalir ke dalam sel. Kemudian sisterna rerikulum endoplasmik menggelembung, ruptur, dan membentuk vakuol. Untuk selanjutnya terjadi vakuolisasi meluas dan disebut dengan degenerasi hidropis (McGavin et al. 2007 dalam Wardanela, 2008)

Selanjutnya kerusakan sel hepar berupa nekrosis juga dapat ditemukan pada kontrol pelarut CMC 1%, ekstrak n-heksan buah andaliman 2%, 4% dan 6% baik pada pemberian pra implantasi 0-3 hari maupun pasca implantasi 6-14 hari. Namun kejadian nekrosis pada perlakuan ekstrak n-heksan buah andaliman lebih dominan ditemukan dibandingkan pada perlakuan kontrol pelarut CMC 1%, terutama pada ekstrak n-heksan buah andaliman konsentrasi 6% (PA3 dan PB3) yang merupakan kejadian tertinggi ditemukannya nekrosis. Hal ini dikarenakan konsentrasi 6% merupakan konsentrasi tertinggi yang diberikan pada mencit, sehingga diduga mengandung senyawa seperti terpenoid, steroid, dan minyak atsiri yang lebih tinggi

yang mampu meningkatkan kerusakan sel hepar mencit. Hal tersebut didukung oleh penelitian Wijaya et al., (1999) bahwa senyawa yang paling banyak dikandung dalam ekstrak andaliman adalah terpenoid, kemudian Houghton dan Raman (1998 dalam Parhusip et al., 2005) menyatakan bahwa ekstrak heksana mengandung komponen senyawa yang bersifat non polar, seperti lilin, lemak dan minyak atsiri. Menurut Robbinson (1995), bahwa senyawa terpenoid dapat digunakan sebagai insektisida dan berdaya racun terhadap hewan tinggi.

Menurut Cheville (1999 dalam Wardanela, 2008), meskipun nekrosis sel hati juga terjadi pada kelompok kontrol namun tidak termasuk dalam kejadian patologi karena dalam keadaan normal nekrosa juga dapat terjadi. Sedangkan menurut Lu (1994), nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif. Biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut. Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan menyebabkan nekrosis hati. Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Tidak ada perubahan ultrastruktural membran yang dapat dideteksi sebelum pecah. Namun, ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel. Perubahan morfologik awal antara lain berupa edema sitoplasma.

Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organime hidup. Inti sel yang mati terlihat lebih kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi berlipat-lipat. Inti menjadi lebih padat dan kemudian sel menjadi eosinofilik (kariolisis). Sel hepar yang mengalami nekrosis dapat meliputi daerah yang luas atau daerah yang kecil (Kasno, 2003).

BAB 5

Dokumen terkait