• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.2. Gambaran Pekerja di Tangkahan Desa Bogak

Tangkahan merupakan pelabuhan-pelabuhan kecil yang berada di Desa Bogak. Berbeda dengan pelabuhan pusat, kompleksitas atau komposisi pekerja yang ada di tangkahan tidak sebanyak yang ada di pelabuhan pusat. Banyaknya pekerja yang ada di pelabuhan pusat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut, yaitu:

1. Letaknya dekat dengan pasar.

2. Berbatasan langsung dengan desa lain, seperti; Desa Bagan Aria, Desa Bagan Seberang, dan Desa Lima Laras.

3. Pangkalan kapal-kapal besar untuk penyeberangan pulau. 4. Ruang terbuka untuk rekreasi.

5. Titik awal keberangkatan untuk berbagai destinasi wisata, seperti; Pantai Bunga, Pulau Berhala, Pulau Salahnama, Pulau Pandang, dan lain sebagainya.

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas mengakibatkan pekerjaan yang dulunya tidak ada, kemudian menjadi ada dan dibutuhkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar pelabuhan. Berbagai infrastruktur dan sarana yang ada merupakan hasil turunan dari adanya pelabuhan tersebut. Infrastruktur dan sarana yang muncul akibat adanya pelabuhan tentunya memerlukan tenaga kerja untuk menjaga keberlangsungan pelabuhan pusat. Dalam hal ini, tidak hanya masyarakat desa sekitaran pelabuhan saja yang diberikan keuntungan, tetapi juga berbagai elemen masyarakat yang datang dari berbagai wilayah yang menjadikan Pelabuhan Tanjung Tiram sebagai sumber ekonomi bagi mereka.

Berbeda halnya dengan tangkahan yang ada di Desa Bogak. Faktor-faktor yang dimiliki Pelabuhan Tanjung Tiram seperti yang telah disebutkan di atas tidak sedemikian rupa dimiliki oleh tangkahan. Sebagaimana dengan fungsi tangkahan sebagai berikut, yaitu:

1. Tempat kapal atau sampan yang berukuran sedang dan kecil ditambatkan. 2. Sebagai tempat alternatif untuk pembongkaran muatan hasil laut jika

pelabuhan padat.

3. Letaknya yang dekat dengan rumah warga, sehingga warga lebih memilih untuk menambatkan kapal atau sampan mereka dekat dengan rumah mereka.

Adanya tangkahan menimbulkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat untuk menjaga keberlangsungan dari tangkahan tersebut. Meskipun lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak sebanyak yang ada di Pelabuhan Tanjung

Tiram, lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak serta merta ada di pelabuhan dan begitu juga sebaliknya.

Masyarakat senantiasa dapat mencari kesempatan untuk mencari keuntungan dari berbagai situasi, tidak hanya di pelabuhan saja tetapi juga di tangkahan. Pada umumnya masyarakat yang menjadikan tangkahan sebagai sumber ekonomi mereka adalah masyarakat yang tinggal di sekitar tangkahan tersebut. Berbagai kedai dan bengkel untuk keperluan nelayan dan ojek perahu berdiri dekat dengan tangkahan untuk memudahkan nelayan dan ojek perahu.

Lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak hanya bergerak di sektor barang saja, tetapi juga di sektor jasa. Hal itu dibuktikan dengan adanya berbagai pekerja sektor jasa yang menawarkan jasanya untuk masyarakat dan pekerja lain yang ada di tangkahan. Masyarakat senantiasa bergerak secara dinamis atau dengan kata lain akan selalu mengalami perubahan (Berger dalam Demartoto, 2013). Seiring berjalannya waktu, ada saja lapangan pekerjaan baru yang muncul dari hasil interaksi antar masyarakat.

Masyarakat yang bekerja mencari nafkah melalui hasil laut dapat digolongkan kedalam 4 jenis pekerjaan, yaitu; juragan, nelayan, ABK (Anak Buah

Kapal), dan “anak itik”. Masing-masing pekerjaan tersebut memiliki job desc

yang dibutuhkan oleh jenis pekerjaan lainnya. Jaringan job desc dari keempat pekerjaan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:

Bagan 3.1. Jaringan Job Desc Para Pekerja.

4.2.1. Juragan / toke / “tekong”

Dalam strata pekerjaan yang ada di tangkahan dan pelabuhan. Toke/ juragan berada pada tingkatan paling atas, karena kepemilikan modalnya yang tinggi. Dikarenakan kepemilikan modalnya yang besar, toke/ juragan juga memiliki penghasilan yang paling besar dari nelayan, ABK dan “anak itik”, yaitu

sekitar Rp. 3.000.000,- sampai Rp. 5.000.000,- perbulan. Kepemilikan modal yang besar tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya kapal dan cara kerja dari toke/ juragan itu sendiri. Di Desa Bogak, toke/ juragan biasa disebut dengan

“tekong”.

“Tekong” bekerja sebagai pemborong hasil laut yang didapatkan oleh nelayan. Dengan bermodalkan kapal dan alat tangkap, “tekong” memekerjakan

nelayan untuk menggunakan kapal dan alat tangkap miliknya dengan kesepakatan hasil laut akan dibeli oleh “tekong”. Seorang “tekong” bisa memiliki lebih dari

dibuat bersama dengan nelayan, “tekong” dapat memberikan harga terhadap hasil

laut yang didapat oleh nelayan dengan sesukanya. Nelayan lain yang tidak

menggunakan kapal dan alat tangkap yang disediakan oleh “tekong” juga dapat menjual hasil lautnya kepada toke atau “tekong”.

Kesepakatan antara nelayan dan “tekong” merupakan hasil negosiasi antar

kedua belah pihak tersebut. Pihak “tekong” akan senantiasa membeli dengan

harga murah, sedangkan nelayan akan berusaha agar nilai jual dari hasil lautnya

dapat dibayar tinggi. “Tekong” merupakan penyalur hasil laut yang didapatkan

oleh nelayan kepada konsumen langsung atau pasar. Oleh karena itu, “tekong”

berusaha agar ketika di pasar, harga ikan dan hasil laut tidak begitu tinggi dan dapat dibeli oleh konsumen.

4.2.2. Nelayan

Nelayan merupakan pekerja dengan strata kedua setelah juragan atau

“tekong”. Kedudukan kedua setelah “tekong” dikarenakan posisi nelayan adalah pemimpin kedua setelah “tekong”, baik ketika berada di pelabuhan, tangkahan,

atau ketika melaut. Posisi tersebut didapatkan nelayan ketika nelayan tesebut

menggunakan peralatan yang digunakan oleh “tekong”. Nelayan sendiri terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

1. Nelayan “tekong”: nelayan “tekong” yaitu nelayan yang bekerja di bawah

perintah “tekong”. Nelayan “tekong” dan “tekong” memiliki kesepakatan bersama dalam bagi hasil. Nelayan “tekong” tidak memiliki peralatan

yang disediakan oleh “tekong” untuk melaut (kapal dan alat tangkap). Pendapatan nelayan “tekong” adalah 2 “bagi”2

dari hasil tangkapan ketika mereka melaut. Kapal yang digunakan pun juga bervariasi, ada yang berukuran besar dengan muatan 15 orang (nelayan dan ABK), yang berukuran sedang dengan muatan 6 orang, atau yang berukuran kecil dengan muatan 2 orang.

2. Nelayan perorangan: nelayan perorangan adalah nelayan mandiri yang bekerja di luar kendali “tekong” atau toke. Dengan memanfaatkan modal

sendiri, nelayan perorangan pergi melaut menggunakan kapal dan alat tangkap miliknya tanpa ada kesepakatan antara nelayan perorangan

dengan “tekong” atau juragan. Ada juga nelayan perorangan yang merangkap sebagai toke atau pembeli hasil tangkapan nelayan. Hasil yang

diterima oleh nelayan perorangan adalah 4 “bagi”, karena asumsi bahwa

nelayan perorangan tersebut yang akan menanggung segala biaya apabila kapal atau jarring telah rusak. Nelayan perorangan juga memiliki ABK yang membantunya, sesuai dengan ukuran kapal yang dia gunakan. Masing-masing nelayan perorangan mememiliki ukuran kapal yang berbeda sesuai dengan modal yang mereka miliki. Ada yang berukruan besar, sedang dan kecil.

2

“Bagi” adalah pendapatan yang diterima oleh masing-masing pihak yang mencari nafkah dari hasil laut. Hasil laut yang telah di jual, kemudian kurangkan dengan biaya operasional kapal. Hasil bersih yang telah dipotong biaya operasional itula yang akan dibagikan kepada “tekong”, nelayan, ABK dan “anak itik”. Sebagai contoh, di kapal terdapat seorang nelayan dan 3 orang ABK. Maka hasil tangkapan akan dibagi menjadi 7 bagian, yaitu 2 bagian untuk nelayan ABK masing-masing 1 “bagi” dan 2 “bagi” lagi untuk mesin dan jaring yang akan diserahkan kepada nelayan kembali.

Nelayan yang menggunakan kapal dengan ukuran sedang dan besar, tidak bisa melaut sendirian tanpa bantuan dari anak kapal atau anak buah kapal (ABK). Nelayan memekerjakan ABK untuk memudahkan pekerjaannya dalam berbagai hal ketika berada di laut atau di pelabuhan. Dengan demikian, hasil laut yang didapatkan oleh nelayan yang menggunakan jasa ABK akan dibagikan sesuai dengan kesepakatan bersama.

4.2.3. ABK (Anak Buah Kapal)

ABK atau biasa juga disebut dengan anak sampan merupakan pekerja yang membantu nelayan, baik ketika melaut ataupun tidak. Pada umumnya ABK dipekerjakan oleh nelayan yang menggunakan kapal berukuran besar dan sedang. Karena berbagai pekerjaan yang harus tidak dapat diselesaikan oleh nelayan jika dikerjakan sendirian. Pekerjaan yang dikerjakan oleh ABK juga dikerjakan oleh nelayan, seperti; menjaring ikan, mengemudikan kapal, membuat jaring, memperbaiki kapal dan lain sebagainya.

Berdasarkan data lapangan, sebagian besar masyarakat Desa Bogak menggantungkan hidup mereka dari hasil laut dengan berbagai jenis pekerjaan, ada yang menjadi juragan, nelayan, pedagang, ABK dan lain-lain. Pekerjaan Anak Buah Kapal (ABK) merupakan pekerja terbanyak yang menggantungkan hidup mereka dari melaut. Jika setiap kapal besar menggunakan jasa 10 sampai 15 orang ABK dan kapal sedang 4 sampai 6 orang ABK, sedangkan di Desa Bogak terdapat begitu banyak kapal-kapal nelayan untuk melaut, maka dapat dilogikakan bahwa ABK adalah pekerja terbanyak yang mencari nafkah di laut.

Penghasilan yang didapat ABK dari pekerjaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi laut sebagaimana yang dialami oleh nelayan dan juga

“tekong”. Meskipun demikian, pendapatan ABK adalah 1 “bagi” dari hasil laut.

Ada juga yang telah dikontrak dengan bayaran tertentu untuk sekali melaut, banyak atau tidaknya hasil laut, ABK tetap mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan.

Pekerjaan yang dikerjakan ABK di kapal tentunya berbeda-beda. Nelayan yang bertugas sebagai pemimpin di kapal ketika melaut, sedangkan ABK dibagi-bagi sesuai dengan posisi mereka masing-masing. Ada yang bertugas di penebar jaring, ada yang bertugas sebagai wakil nelayan yang bekerja di depan kapal dengan tanggung jawab mengarahkan kapal dimana ikan berada, dan lain sebagainya.

4.2.4. “Anak itik”

“Anak itik” merupakan bagian dari lingkungan pekerja yang ada di

pelabuhan dan tangkahan. “Anak itik” bekerja sesuai dengan perintah dari juragan

atau nelayan yang memekerjakan mereka. Pekerjaan mereka dimulai ketika kapal atau sampan sedang berlabuh atau sedang ditambatkan di pelabuhan atau di tangkahan. Sehingga, sebagian besar waktu mereka dihabiskan di pelabuhan dan di tangkahan.

Sebagian besar “anak itik” adalah pekerja anak yang berusia 18-15 tahun,

dengan tujuan “anak itik”-lah yang akan melanjutkan kearifan lokal masyarakat pesisir di Desa Bogak sebagai nelayan atau pelaut. Meskipun ada juga “anak itik”

yang berusia lebih dari 18 tahun, bahkan sudah berumah tangga. Nelayan ataupun

“tekong” yang ada di Desa Bogak akan lebih memilih untuk memekerjakan anak

-anak agar bisa mereka didik nantinya.

Seiring dengan perubahan waktu dan bertambahnya kebutuhan, upah

“anak itik” juga berubah-ubah. Menurut data lapangan, pada tahun 1970-an “anak itik” diberi upah Rp. 100,- untuk sekali bekerja. Sedangkan sekarang “anak itik”

diupah sama dengan ABK, yaitu 1 “bagi”. Persamaan upah antara “anak itik” dengan ABK juga dipengaruhi oleh asumsi bahwa pekerjaan “anak itik” juga semakin berat, dan hanya dikerjakan oleh satu “anak itik” saja untuk satu kapal.

Meskipun kebanyakan “anak itik” adalah pekerja anak, tetapi “anak itik” merasa senang bisa bekerja sebagai “anak itik”. Hal tersebut dikarenakan mereka

merasa bisa menjadi orang yang mandiri dan dapat membantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perasaan senang tersebut juga didukung oleh keadaan kerja yang dibangun oleh juragan atau nelayan yang selalu bersikap baik

terhadap “anak itik” yang mereka pekerjakan.

Dokumen terkait