SOSIALISASI DAN KEKERASAN SIMBOLIK
“ANAK ITIK”
(Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Ahmad Yasser Effendi
110901051
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang sebagian besar masyarakatnya bekerja mencari nafkah dari hasil laut. Berbagai pekerjaan dapat dilakukan oleh warga masyarakat untuk mendapatkan nafkah. “Anak itik” adalah pekerjaan yang didominasi oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak dan sudah disosialisasikan secara turun temurun. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman-temannya dan menyelesaikan pendidikan mereka sebagai hak yang harus mereka terima. Berbeda dengan “anak itik”, sebagian besar hak mereka sebagai anak-anak tidak diberikan oleh masyarakat, namun hal itu tidak disadari oleh mereka ataupun masyarakat. Hal yang demikian itu disebut juga sebagai kekerasan simbolik, yaitu kekerasan yang tidak disadari karena berbagai simbol yang menutupinya.
Proses sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bogak dapat dilihat dari pandangan Bringkerhoof, dkk (1995). Bringkerhoff mengatakan bahwa sosialisasi adalah proses penanaman nilai kepada individu secara simultan oleh masyarakat agar individu tersebut siap untuk menjadi bagian dari masyarakat. Selanjutnya, kekerasan simbolik juga merupakan bagian yang ikut disosialisasikan bersamaan dengan “anak itik” di Desa bogak. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004), kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi bagaimana sosialisasi yang diberikan masyarakat Desa Bogak terhadap “anak itik” sehingga terus bertahan disetiap generasi, serta untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang dirasakan oleh “anak itik”. Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif agar data yang didapat lebih mendalam. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan penghayatan,
Peneliti menemukan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” tidak menyadari kekerasan atau ketidakterpenuhinya hak-hak mereka sebagai anak, baik yang harus dipenuhi oleh keluarga atau juga masyarakat. “Anak itik” merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Desa Bogak. Bagi masyarakat Desa Bogak, “anak itik” adalah proses bagi anak-anak di Desa Bogak untuk menuju pribadi yang dewasa. Oleh karena itu, “anak itik” dianggap sebagai budaya yang harus dilesatrikan dan harus selalu disosialisasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini yang berjudul “Sosialisasi Dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi
Kasus Di Desa Bogak Kabupaten Batubara)”. Penulisan skripsi ini disusun
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai
pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan
sepenuh hati, baik berupa ide, kritikan, saran, dukungan semangat, doa, bantuan
moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang tulus
dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Yaitu kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi.
3. Kepada Bapak Dr. Sismudjito, M.Si selaku Dosen Pembimbing saya.
4. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga
selama saya kuliah di Sosiologi terlebih kepada Ibu Harmona Daulay,
S.Sos, M.Si. Terimakasih atas ilmu, pelajaran berharga dan yang
terpenting atas waktu yang diberikan kepada saya untuk diskusi serta
berbagi pengalamannya. Sedikit banyak sangat membantu saya dalam
membuka wawasan dan pola berpikir saya. Terimakasih.
5. Kepada seluruh staff dan pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara, terutama Kak Fenni Khairifa, Kak Betty,
Bang Abel, dan PD III FISIP USU Bapak Drs. Edward, M.Si yang selalu
membantu saya mengurus keperluan administrasi guna untuk kepentingan
6. Penghargaan yang tertinggi saya berikan untuk kedua orang tua tercinta
yaitu untuk Buya dan mamak, Dr. Erwan Efendi, M.A. dan Sumiati yang
telah merawat serta mendidik saya dengan sepenuh hati. Akhirnya inilah
persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih
dan tanda bakti saya kepada kedua orang tua.
7. Saya ucapkan terimakasih kepada saudara-saudari saya yaitu Yusmar
Alkholidi Effendi, Sri Rahmadaniyati Effendi dan Khoiria Zulhijjah
Effendi atas segala dukungannya kepada saya.
8. Terkhusus untuk teman terbaik saya yaitu Anita Syafitri, terimakasih atas
waktu, semangat, pengorbanan dan segala kebaikannya dalam membantu
saya terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada
sahabat-sahabat saya yang selalu ada yaitu Ayub Purnomo, Laila Ulfa, Putria
Mawaddah dan May Pratiwi Purba.
9. Kepada teman baik saya yaitu Tim pengabdian Herliza, Ernita, Ismi, Novi.
Sahabat Ganbare, Fishclub, dan adik-adik Frekuensi. Tak lupa pula saya
ucapkan trimakasih kepada sahabat saya di seluruh Indonesia yaitu sahabat
OBL, U-Gen, PHBD, GYC, DreamMaker atas motivasi yang sangat besar
kepada saya. Serta seluruh teman-teman seangkatan yaitu Sosiologi 2011
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas kasih
sayang, serta motivasi yang sangat luar biasa untuk saya.
10.Terakhir saya ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu penulis dalam melakukan penelitian lapangan yaitu kepada
seluruh informan baik di Batubara ataupun yang berada di Medan.
Terimakasih banyak atas waktu dan kesediaan untuk diwawancarai guna
menyelesaikan penelitian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan
dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah
yang dapat penulis sampaikan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para
kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Medan, 29 Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
2.1. Proses Sosialisasi Menuju Masyarakat ... 10
2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu ... 12
2.3. Pekerja Anak-anak ... 15
3.7. Keterbatasan Penelitian ... 25
BAB IV : DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN ... 27
4.1. Gambaran Tangkahan dan Pelabuhan di Desa Bogak ... 27
4.3.1. Profil informan nelayan dan “tekong” di Desa Bogak ... 38
4.3.2. Profil informan “anak itik” di Desa Bogak ... 40
4.3.3. Profil informan orang tua “anak itik” di Desa Bogak ... 43
4.3.4. Profil informan mantan “anak itik” di Desa Bogak ... 45
4.4. Profil “Anak Itik” Pesisir ... 47
4.4.1. Komposisi ... 47
4.4.2. Jenis Kelamin ... 48
4.4.3. Usia ... 48
4.4.4. Pendidikan ... 49
4.5. Kondisi Sosial Ekonomi “Anak Itik” Pesisir ... 50
4.5.1. Aktivitas Ketika Kapal Melaut ... 51
4.5.2. Aktivitas Ketika Kapal Berlabuh ... 52
4.6. “Anak Itik” Sebagai Bagian Dari Masyarakat Pesisir... 54
4.6.1. “Anak itik” dalam keluarga pesisir ... 56
4.6.2. “Anak Itik” dalam Lingkungan Kerja Pesisir ... 58
4.7. Hak dan Kewajiban “Anak Itik” ... 59
4.7.1. HAM “anak itik” ... 60
4.7.2. Kewajiban “anak itik” sebagai pekerja anak... 63
4.7.3. Kesadaran akan hak dan kewajiban “anak itik” ... 64
4.8. Sosialisasi Kekerasan Simbolik pada Masyarakat Pesisir ... 67
BAB V : PENUTUP ... 69
5.1. Kesimpulan ... 69
5.2. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
DAFTAR TABEL
DAFTAR BAGAN
ABSTRAK
Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang sebagian besar masyarakatnya bekerja mencari nafkah dari hasil laut. Berbagai pekerjaan dapat dilakukan oleh warga masyarakat untuk mendapatkan nafkah. “Anak itik” adalah pekerjaan yang didominasi oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak dan sudah disosialisasikan secara turun temurun. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman-temannya dan menyelesaikan pendidikan mereka sebagai hak yang harus mereka terima. Berbeda dengan “anak itik”, sebagian besar hak mereka sebagai anak-anak tidak diberikan oleh masyarakat, namun hal itu tidak disadari oleh mereka ataupun masyarakat. Hal yang demikian itu disebut juga sebagai kekerasan simbolik, yaitu kekerasan yang tidak disadari karena berbagai simbol yang menutupinya.
Proses sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bogak dapat dilihat dari pandangan Bringkerhoof, dkk (1995). Bringkerhoff mengatakan bahwa sosialisasi adalah proses penanaman nilai kepada individu secara simultan oleh masyarakat agar individu tersebut siap untuk menjadi bagian dari masyarakat. Selanjutnya, kekerasan simbolik juga merupakan bagian yang ikut disosialisasikan bersamaan dengan “anak itik” di Desa bogak. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004), kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi bagaimana sosialisasi yang diberikan masyarakat Desa Bogak terhadap “anak itik” sehingga terus bertahan disetiap generasi, serta untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang dirasakan oleh “anak itik”. Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif agar data yang didapat lebih mendalam. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan penghayatan,
Peneliti menemukan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” tidak menyadari kekerasan atau ketidakterpenuhinya hak-hak mereka sebagai anak, baik yang harus dipenuhi oleh keluarga atau juga masyarakat. “Anak itik” merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Desa Bogak. Bagi masyarakat Desa Bogak, “anak itik” adalah proses bagi anak-anak di Desa Bogak untuk menuju pribadi yang dewasa. Oleh karena itu, “anak itik” dianggap sebagai budaya yang harus dilesatrikan dan harus selalu disosialisasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara maritim dengan luas laut seluas 64,85% dari
luas wilayah Indonesia atau 3.544.743,9 km² (Kementerian Kelauatan dan
Perikanan, 2011). Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan sebagai produsen
hasil kelautan terbesar nomor 5 di dunia (Adam, 2015). Sehingga dalam
menunjang produksi yang sedemikian rupa, industri kelautan membutuhkan
tenaga kerja yang tinggi.
Dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di dunia maritim,
pelaku-pelaku produksi tidak hanya memanfaatkan usia-usia produktif (15-60 tahun) saja,
namun pelaku-pelaku produksi juga menyerap tenaga kerja yang masih berusia
sekolah atau kanak-kanak. Seperti fenomena yang terjadi pada Desa Bogak. Para
nelayan tidak hanya membutuhkan orang-orang dewasa saja, namun mereka juga
memakai tenaga anak-anak untuk membantu pekerjaan mereka.
Desa Bogak memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.974 orang. Jumlah
penduduk tersebut jika diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin adalah 2.478
laki-laki dan 2.495 perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1251
KK. Berdasarkan data yang ditemukan di kantor kepala desa bahwa terdapat 579
KK penduduk miskin dan yang mendapat kartu sehat sebanyak 550 jiwa (Kantor
Mayoritas pekerjaan penduduknya adalah nelayan dengan presentase 90%
dari total penduduk. Masyarakat tersebut mayoritas memiliki tingkat
kesejahteraan yang rendah dikarenakan perekonomian mereka sebagian besar
bergerak disektor nelayan yang pendapatannya dipengaruhi dari hasil
penangkapan ikan serta sangat dipengaruhi oleh keadaan alam. Hal ini dibuktikan
oleh data kependudukan desa tahun 2013 bahwa pendapatan perkapita masyarakat
setempat hanya mencapai rata-rata 35 ribu/hari. Tentu saja pendapatan tersebut
masih tergolong rendah jika harus memenuhi biaya kehidupan sehari-hari seperti
makan, pendidikan, serta biaya hidup lainnya. Sehingga pendidikan anak-anak
yang ada di desa tersebut sangat rendah, bahkan sebagian dari mereka harus putus
sekolah karena lebih mementingkan membantu orang tua daripada melanjutkan
pendidikan.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak). Anak merupakan tunas bangsa yang merupakan generasi
penerus di masa depan. Dalam diri seorang anak terdapat hak-hak manusia
seutuhnya. Berbeda dengan kategori dewasa, anak-anak memiliki hak-hak lebih
daripada kewajibannya.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi pekerja
atau buruh. Menurut Endrawati (2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
Tabel 1.1
Data Pekerja Anak Berdasarkan Faktor Penyebab
NO Faktor Penyebab Bekerja Jumlah Pekerja Anak
di sektor informal dikarenakan ajakan dari teman bermain. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pekerja anak-anak tersebut banyak menghabiskan waktu
bersama dengan teman sebaya mereka. Dalam hal ini, mereka banyak mengganti
waktu bermain mereka menjadi waktu bekerja.
Masa kanak-kanak yang seyogyanya diisi dengan masa bermain dan
belajar bersama teman dan mengembangkan kreatifitasnya setinggi tingginya. Hal
tersebut merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 pasal
28A sampai 28J, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak
pasal 16 dan Undang-Undang Perlindungan aanak No. 23 Tahun 2002 Bab III
pasal 4 sampai pasal 19 mengenai Hak Anak.
Di perdesaan maupun di perkotaan, perlakuan terhadap individu dipicu
dengan adanya status sosial dan kelas. Perlakuan masyarakat terhadap kelompok
atau individu yang memiliki status sosial dan kelas sosial yang lebih tinggi
tentunya berbeda dengan yang lebih rendah. Perbedaan tersebut
diimplementasikan melalui berbagai bentuk simbol dan sikap masyarakat.
banyak menggambarkan perbedaan status. Bahkan tidak jarang ada individu yang
diberikan julukan atau predikat oleh masyarakat sesuai dengan status serta prestise
yang ada pada individu tersebut.
Masyarakat perdesaan maupun masyarakat perkotaan memiliki nilai serta
norma yang berlaku untuk menjaga keseimbangan sistem masyarakat. Nilai serta
norma yang ada antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan berbeda satu sama
lain. Seperti yang telah dijelaskan di atas, antara perdesaan dengan perkotaan
memiliki perbedaan yang krusial pada sistem solidaritasnya.
Seiring dengan keanekaragaman budaya di desa dan kota seperti yang
telah dijelaskan di atas. Masyarakat memiliki istilah tersendiri untuk individu
yang memiliki predikat serta prestise tertentu dalam masyarakat. Di kota-kota
besar seperti di Medan, Jakarta dan Bandung, masyarakat menyebut anak-anak
yang hidup di kelas menengah atas dan tinggal dengan kekayaan yang melimpah
dari orang tuanya biasa disebut sebagai “anak gedongan”. Berbeda dengan
masyarakat perdesaan, khususnya masyarakat pesisir di beberapa daerah seperti di
Desa Bogak, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara. Masyarakat
memberikan julukan “anak itik” kepada anak-anak yang membantu nelayan.
Fenomena “anak itik” tersebut merujuk pada pekerja anak-anak. “Anak
itik” biasanya membantu nelayan dalam hal membersihkan kapal dan jaring,
bahkan tidak jarang “anak itik” juga ikut melaut bersama nelayan untuk mencari
ikan atau hasil laut lainnya. Dengan kata lain, “anak itik” merupakan pekerja di
“Anak itik” di Desa Bogak merupakan bagian dari budaya yang ada di
Desa Bogak. “Anak itik” juga merupakan bentuk sosialisasi pendewasaan dari
masyarakat melalui ranah pekerjaan dengan harapan nantinya para pekerja anak
tersebut menjadi individu yang sukses dan mandiri. Dengan kata lain, “anak itik”
merupakan bagian dari kearifan lokal yang ada di Desa Bogak.
Selain itu, faktor ekonomi dari keluarga serta kebutuhan tenaga kerja dari
nelayan yang ada sering kali mengakibatkan hak-hak anak tereksploitasi
dikarenakan pekerjaan mereka. Tidak hanya dari orang yang mempekerjakan
mereka saja, namun juga pihak keluarga sendiri mengabaikan hak-hak anak
tersebut untuk dapat bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-teman
sebaya mereka. Hukum perlindungan hak asasi manusia khususnya anak-anak
telah ditetapkan, fenomena di masyarakat baik di perkotaan maupun di desa masih
banyak yang mengabaikan aturan-aturan tersebut. Lebih jauh lagi, fenomena
tersebut nampaknya telah menjadi kebiasaan tersendiri di beberapa daerah.
Sebagai contoh adalah masyarakat di Desa Bogak, Kabupaten Batubara. “Anak
itik” merupakan manifestasi dari pekerja anak di desa pesisir tersebut.
Pekerja anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap
anak. Menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, usia yang
digolongkan sebagai anak-anak adalah usia 18 tahun kebawah. Kemudian lebih
lanjut dalam pasal 4 dijelaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan kehidupan
yang layak sesuai dengan usia mereka. Kenyataan yang terjadi pada pekerja anak
jauh lagi, “anak itik” merupakan pekerja anak yang dilarang dalam hukum positif
dan tentunya melanggar undang-undang tersebut.
“Anak itik” di Desa Bogak dipekerjakan oleh toke dan nelayan untuk
membantu mereka dalam berbagai jenis pekerjaan dari yang sulit hingga yang
mudah seperti mengutip ikan di sampan. Terjadi perubahan konsep pada “anak
itik” di Desa Bogak ketika mereka ikut melaut bersama nelayan. Ketika mereka
ikut melaut maka mereka dikategorikan sebagai anak buah kapal (ABK). Maka
ketika “anak itik” berada di kapal dan ikut melaut bersama nelayan, pekerjaan
yang mereka lakukan tentu berbeda dari hanya sekedar membersihkan kapal di
pelabuhan.
Fenomena “anak itik” yang ada di Desa Bogak merupakan bentuk nyata
dari mutualisme antara eksploitasi industrial dan kearifan lokal yang ada pada
masyarakat tersebut. Orang-orang yang mempekerjakan mereka tidak jarang
adalah orang tua mereka sendiri yang bekerja sebagai nelayan. Adanya keinginan
“anak itik” untuk membantu orang tua mengakibatkan “anak itik” ikut membantu
nelayan dengan banyak mengabaikan hak-hak mereka serta memenuhi keinginan
masyarakat sebagai salah satu bentuk kearifan lokal diri bagi mereka. Lebih jauh
lagi, kearifan lokal tersebut bertentangan dengan hukum positif yang ada,
dikarenakan hak-hak anak yang tidak dipenuhi oleh keluarga maupun masyarakat.
Hal tersebut adalah salah satu dari bentuk kekerasan simbolis yang
dirasakan oleh “anak itik” di desa tersebut. Secara tidak sadar “anak itik” telah
hak-hak mereka, serta korban dari mutualisme antara eksploitasi masyarakat
industri dengan kearifan lokal. Pengabaian hak-hak mereka yang tidak mereka
sadari dengan jelas merupakan kekerasan simbolis yang dialami oleh pekerja anak
di Desa Bogak tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Penelitian ini berfokus pada fenomena sosial, dimana anak-anak yang
seharusnya mengisi waktu mereka dengan bermain dan berkreatifitas bersama
teman-teman sebaya. Ada sebuah kearifan lokal yang mengikat mereka secara
implisit untuk menjadi “anak itik” sebagai fase pertumbuhan untuk menjadi orang
yang sukses nantinya. Sedangkan pada dasarnya, anak-anak dilarang dipekerjakan
karena melanggar hak asasi. Maka peneliti menyimpulkan perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sosialiasi “anak itik” yang dilakukan oleh keluarga dan
toke mereka?
2. Bagaimanakah kekerasan simbolik yang terjadi pada “anak itik” di Desa
Bogak?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana sosialisasi “anak itik” yang dilakukan oleh
2. Untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang terjadi pada “anak
itik” di Desa Bogak.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis: penelitian ini diharapkan dapat menawarkan wacana baru
dalam studi anak dan pengembangan ilmu pengetahuan secara umum, khususnya
dalam bidang ilmu sosiologi keluarga.
Manfaat praktis: penelitian ini diharapkan akan memberikan solusi pada
fenomena sosial yang terkait hak-hak anak agar terwujud masyarakat yang lebih
peka terhadap hak-hak asasi manusia, terutama anak-anak. Fenomena yang
dimaksud adalah adanya paradoks antara hukum positif dengan kearifan lokal
yang ada pada masyarakat. Kemudian penelitian ini diharapkan dapat menjadi
pertimbangan bagi lembaga pemerintahan kedepannya dalam menetapkan hukum
dan mengambil kebijakan.
1.5. Definisi Konsep
Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai
berikut:
1. “Anak itik”
“Anak itik” merupakan anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun (UU
No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1) yang mendapat upah dari
toke atau nelayan yang mempekerjakan mereka untuk berbagai keperluan di areal
membersihkan jaring. Dalam penelitian ini, anak-anak adalah orang laki-laki atau
perempuan yang berusia 6-18 tahun.
2. Eksploitasi
Eksploitasi merupakan perlakuan yang memanfaatkan daya guna dari
individu /kelompok penguasa terhadap individu /kelopok yang dikuasai dengan
maksud mencari keuntungan.
3. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan
setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya.
4. Nelayan
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan
ikan di perairan umum. Nelayan dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan “tekong”
dan nelayan perorangan.
5. Toke/ “tekong”/ juragan
Toke merupakan pemilik dari sampan atau kapal, baik bekerja sendiri
maupun memiliki pekerja dengan tujuan untuk mencari keuntungan dan sebagai
BAB II
TINJAUA PUSTAKA
2.1. Proses Sosialisasi Menuju Masyarakat
Sosialisasi adalah proses penanaman nilai pada individu dari masyarakat
secara simultan dengan tujuan agar individu tesebut siap untuk mnejadi bagian
dari struktur sosial. Sosialisasi dibutuhkan manusia sebagai proses untuk
mempelajari peran dan statusnya di masyarakat.
“Socialization is the process of learning the roles, statuses, and values necessary for participation in social institutions. Socialization is a lifelong process. It begins with learning the norms and roles of our family and our subculture and making these part of our self-concept. As we grow older and join new groups and assume new roles, we learn new norms and redefine our self-consept (Brinkerhoff, dkk: 1995).”
Artinya sosialisasi adalah proses pembelajaran tentang peran, status, dan
nilai-nilai penting untuk dapat berpartisipasi dalam institusi sosial. Sosialisasi
merupakan proses yang memakan waktu seumur hidup. Hal ini dimulai dengan
mempelajari norma-norma dan peran-peran di keluarga dan masyarakat,
kemudian menjadikannya sebagai bagian dari konsep diri. Semakin kita tumbuh
dewasa dan masuk kedalam kelompok yang baru dan memperoleh peran baru, kita
mempelajari norma-norma baru dan mendefenisikannya kembali menjadi bagian
dari konsep diri kita.
Pertama, Primary Socialization (sosialisasi primer): sosialisasi pada anak usia dini merupakan sosialisasi primer. Masa ini meruapan tahapan yang paling
penting dalam proses sosialisasi. Pada masa ini, anak-anak mengembangkan
kepribadian dan konsep dirinya, berkembangnya kemampuan berhasan serta
mereka dihadapkan kepada dunia sosial yang penuh dengan peran, nilai-nilai, dan
norma. Pada tahapan ini, Mead (dalam Ritzer, 2010) membagi tahapan sosialisasi
primer menjadi 2 tahapan, yaitu:
1. Tahap bermain (play stage). Dalam tahap ini anak-anak akan mengambil sikap orang lain tertentu untuk dijadikan sikapnya sendiri.
2. Tahap Permainan (game stage). Pada tahap play stage, anak mengambil peran orang lain yang berlainan, sedangkan dalam tahap ini anak harus
mengambil peran orang lain mana pun yang terlibat dalam permainan.
Lebih lanjut, peran yang berlainan ini harus mempunyai hubungan
nyata satu sama lain.
3. Generelize other (orang lain yang digeneralisir). Generelize other
merupakan sikap seluruh komunitas. Kemampuan untuk mengambil
peran umum orang lain adalah penting bagi diri: “sepanjang dia
mengambil sikap kelompok sosial terorganisasi di mana ia berada,
melakukan aktivitas sosial kooperatif atau aktivitas yang dilakukan
kelompok, maka barulah dia bisa mengembangkan diri secara penuh.
yang akan diperolehnya di masa yang akan datang. Semakin bertambahnya usia,
individu akan mengganti perannya yang lama dengan yang baru. Dikarenakan
sosialisasi ini, kebanyakan orang akan mempersiapkan diri untuk
bertanggungjawab atas apa yang akan mereka hadapi nantinya, baik itu sebagai
orang tua, pekerja, atau dokter.
Ketiga, Resocialization (resosialisasi). Tipe ini diperoleh ketika individu meninggalkan konsep diri dan cara hidupnya untuk secara radikal memperoleh
yang baru. perubahan “social behavior”, nilai-nilai, dan konsep diri yang
diperoleh dari pengalaman seumur hidup merupakan hal yang sulit, dan hanya
sebagian orang saja yang mampu menjalaninya.
Agen sosialisasi juga merupakan faktor penting dalam proses sosialisasi.
Setiap tahapannya memiliki agen-agen tersendiri yang sangat berperan penting
dalam proses sosialisasi. Brinkerhoff, dkk (1995) membagi agen sosialisasi
menjadi 6, yaitu; keluarga, sekolah, teman sebaya, media massa, agama, dan
tempat bekerja.
2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu
Kekerasan simbolis merupakan suatu perlakuan dominasi kultural dan
sosial yang berlangsung secara tidak sadar (unconscious) dalam kehidupan masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadal kelompok/ ras/ suku/
adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap
kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu
yang sah.
Kekerasan simbolik dapat terjadi akibat legitimasi yang meneguhkan relasi
kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama dia diterima
sebagai sesuatu yang sah, maka kebudayaan memperkuat kekerasan simbolis
tersebut melalui relasi kekuasaan. Hal itu dapat diraih melalui suatu proses salah
mengerti (misunderstanding), yaitu suatu proses yang relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara objektif tetapi tetap saja menjadikan kekuasaan tersebut
absah bagi pemeluknya.
Menurut Jerkins (2004) Inti penggunaan kekerasan simbolis adalah
„tindakan pedagogis‟. Ini adalah pemaksaan arbitraritas budaya, yang di dalamnya
terdapat tiga mode, yaitu:
1. Pendidikan yang tersebar luas (diffuse education), yang terjadi dalam interaksi dengan anggota bangunan sosial (satu contoh mungkin adalah
kelompok umur informal).
2. Pendidikan keluarga, yang berbicara untuk dirinya sendiri.
3. Pendidikan institusional (misalnya ritual inisiasi, di satu sisi atau
sekolah, di sisi yang lain.)
Tindakan pedagogis, ketika mereproduksi kebudayaan dalam segala
keberlangsungannya. Tindakan pedagogis mencerminkan kepentingan kelompok
atau kelas dominan, yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural
secara tidak meratan antar kelompok atau kelas yang hidup dalam satu ruang
sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial.
Penanaman nilai yang bersifat dominan dari satu kelompok kepada
kelompok lain memerlukan tindakan pedagogis yang simultan. Tindakan
pedagogis tersebut memerlukan otoritas sebagai prasyarat keberhasilannya.
Menurut Jerkins (2004), otoritas ini adalah suatu kekuasaan yang berubah-ubah
untuk bertindak, tanpa disadari oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu
yang legitimate. Adanya legitimasi ini memungkinkan suatu tindakan pedagogis
untuk beroperasi. Semua bentuk donimasi harus mendapakan pengakuan atau
diterima sebagai sebuah legitimitas (Wahyuni, 2008).
Kekerasan simbolik pada dasarnya merupakan bentuk lain dari kekuasaan
simbolik yang dirujuk oleh Bourdieu. Hal itu merujuk pada kekerasan simbolik
yang memerlukan kekuasaan yang dapat mendesak kelompok yang dikuasai agar
menerima ideologi yang ditanamkannya dan “memaksakannya” agar menjadi
legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari
kekuasaannya. Di area simbolik inilah pertarungan kelas terjadi. Gejala ini dapat
diamati pada fenomena pekerja anak di Desa Bogak Kec. Tanjung Tiram Kab.
Batubara yang berisi perlakuan dominasi secara simbolis dari hubungan
2.3. Pekerja Anak-Anak
Hasil penelitian Endrawati (2011) pada pekerja anak di sektor informal di
Kota Kediri yang berjudul “Faktor Penyebab Anak Bekerja Dan Upaya
Pencegahannya” menyebutkan bahwa ada 6 faktor penyebab anak bekerja, yaitu:
1. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi merupakan landasan utama bagi pekerja anak. Dengan
asumsi awal bahwa penghasilan mereka dapat membantu perekonomian keluarga
dan dapat meringankan beban orang tua. Hasil penelitian Netty Endarwati pada
pekerja anak di sektor informal tersebut menyebutkan bahwa sebagian besar dari
pekerja anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak atau kurang mampu secara
ekonomi.
2. Faktor orang tua
Selain ekonomi, faktor lainnya adalah orang tua atau keluarga. Hal
tersebut dikarenakan keluarga adalah komunitas pertama yang membentuk
karakter anak.Lebih jauh lagi, keluarga merupakan tempat di mana anak dapat
memperoleh hak-hak dasar mereka sebagai seorang anak dari kedua orang tua
mereka. Dalam sebuah keluarga, orang tua mempunyai tanggung jawab kepada
anaknya. Maka dalam hal ini, orang tua mempunyai andil dalam memberikan izin
kepada anak tentang apa yang akan dilakukan oleh anak tersebut.
3. Faktor budaya (kebiasaan)
Masyarakat memiliki norma-norma yang berlaku sebagai aturan dalam
masyarakat dengan membantu keluarga dan masyarakat sekitar. Semakin besar
kontribusi yang diberikan oleh anak tersebut, maka semakin tinggi statusnya di
mata keluarga dan juga di masyarakat.
4. Kemauan sendiri (kemandirian)
Kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan dapat
mengelola keuangan secara otonomi akan memberikan kepuasan tersendiri bagi
pekerja, terutama anak-anak. Anak-anak akan merasa sangat senang jika mereka
bisa membeli apa yang mereka inginkan dengan menggunakan uang hasil kerja
mereka. Maka kemandirian dalam hal finansial sejak usia dini merupakan
dorongan bagi anak-anak untuk masuk dalam dunia industri.
5. Faktor lingkungan
Tidak sedikit dari anak-anak yang bekerja disebabkan oleh pengaruh
lingkungan sosial di luar dari keluarga mereka seperti teman, tetangga, kerabat
dan saudara. Melihat teman-temannya sukses dalam bekerja dan pekerjaan yang
dilakukan menurut anak-anak yang bekerja dirasa tidak terlalu berat tetapi
menghasilkan uang banyak, maka bagi anak-anak hal tersebut merupakan daya
tarik tersendiri untuk ikut bekerja seperti yang dilakukan oleh teman-temannya
itu.
6. Faktor hubungan keluarga
Di samping beberapa faktor anak bekerja, tidak dapat dipungkiri adanya
faktor lain yang mendorong anak bekerja, yaitu dorongan atau ajakan dari sanak
saudara. Pada umumnya faktor saudara atau kerabat ini dilatar belakangi oleh
keluarga. Hal semacam ini yang membuat kerabat atau keluarga dekat
menawarkan kepada anak mereka untuk ikut bekerja bersamanya dengan alasan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan melakukan pendekatan studi kasus. Menurut Creswell (dalam
Pambudi, 2014), metode kualitatif adalah metode untuk mengeksplorasi dan
memahami makna yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan
oleh sejumlah individu atau sekelompok orang. Menurut Somantri (dalam
Mustofa, 2013), peneltian kualitatif sangat memperhatikan proses, peristiwa, dan
otentisitas. Nilai peneliti bersifat eksplisit dalam situasi yang terbatas dan
melibatkan subyek dengan jumlah yang relatif sedikit. Peneliti kualitatif biasanya
terlibat dalam interaksi dengan realitas yang ditelitinya. Peneliti kualitatif secara
intens menjalin interaksi dengan obyek penelitiannya. Peneliti memilih
pendekatan studi kasus karena penelitian yang memiliki tujuan untuk
menggambarkan bagaimana fenomena yang sedang terjadi. Selain itu, peneliti
tidak banyak ikut berpartisipasi demi menjaga keautentikan fenomena sosial yang
ada (dalam hal ini adalah “anak itik”) (Yin, 2014).
Sebelum melakukan penelitian langsung, peneliti terlebih dahulu
mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini seperti halnya
mengumpulkan referensi yang berhubungan dengan penelitian ini dalam bentuk
jurnal, penelitian terdahulu, hasil sekripsi, serta hal-hal lain yang dapat menambah
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir tepatnya Desa Bogak,
Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Pemilihan
lokasi penelitian di Desa Bogak di dasarkan pada pra observasi yang dilakukan
oleh peneliti tentang kearifan lokal pada masyarakat pesisir. Terdapat sebuah
pelabuhan di Kecamatan Tanjung Tiram yang bernama Pelabuhan Tanjung Tiram
atau masyarakat setempat lebih sering menyebutnya dengan “Bom”. Di kawasan
pelabuhan tersebut masih banyak terdapat desa lain seperti Desa Bagan Arya dan
Desa Pahlawan. Namun desa-desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa
Bogak sehingga secara budaya dan beberapa informan kunci masih banyak yang
tinggal di desa tersebut. Keberadaan “anak itik” dapat diamati di pelabuhan
Tanjung Tiram tersebut, kemudian berbagai fenomena pekerja anak yang lain
selain membantu nelayan (“anak itik”) juga banyak terdapat di Desa Bogak,
namun dalam penelitian ini peneliti hanya fokus kepada “anak itik”.
3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit analisis
Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek dari
keseluruhan unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007). Dalam
penelitian ini, yang menjadi unit analisis adalah anak-anak yang menjadi “anak
itik”, nelayan yang memakai jasa “anak itik”, orang-orang dewasa yang
analisis tersebut, yang menjadi informan kunci adalah anak-anak yang
menghabiskan waktunya menjadi “anak itik”. Pemilihan informan didasarkan
pada karakteristik yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
3.3.2. Informan
Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan peneliti
sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin,
2007). Adapun yang menjadi informan adalah:
1. Anak-anak yang menjadi “anak itik” dengan alasan apapun.
2. Nelayan yang memakai jasa “anak itik” untuk membantunya. Mulai dari
membersihkan perahu atau kapal, membersihkan jaring, dan bahkan ikut
ke laut.
3. Orang-orang tua yang pernah menjadi “anak itik” dan menyadari bahwa
hal tersebut merupakan bagian dari budaya setempat atau kearifan lokal.
4. Orang tua dari “anak itik”.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengungkap tujuan penelitian diperlukan beberapa teknik
pengumpulan data agar data yang didapat sesuai dengan tujuan penelitian yang
telah ditetapkan sebelumnya. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ini
3.4.1. Observasi
Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan alat (instrumen)
pengumpul data utama, karena peneliti adalah manusia dan hanya manusia yang
dapat berhubungan dengan informannya atau objek lainnya, serta mampu
memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Dalam penelitian ini peneliti
juga berperan serta dalam pengamatan atau participant observation (Maleong,
2007), meskipun peneliti tidak menjadi “anak itik”.
Metode yang diterapkan dalam peneilitian adalah menggunakan metode
observasi serta observasi partisipatif pasif. Dimana metode observasi merupakan
suatu pencatatan hasil penelitian yang bukan hanya mencatat tetapi juga
mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala
bertingkat. Dengan melaksanakan observasi partisipatif pasif berarti peneliti ikut
terjun dan melakukan kegiatan sesuai tema yang menjadi objek penelitian. Dalam
penelitian ini, peneliti ikut dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh “anak itik”
guna mendapatkan data yang lebih akurat. Observasi paling disukai oleh peneliti
yang mencoba untuk mengurai hasil lapangan menjadi uraian pada laporan
penelitian yang telah dilakukan pada tempat objek kajian penelitian.
Teknik pengumpulan data yang digunakan pertama kali adalah pra
observasi. Teknik pra observasi adalah kegiatan yang pertama sekali dilakukan
dari semua peneliti. Kali ini penelitian ini melakukan pra observasi yang
dilakukan sebelum peneliti terjun langsung ke lapangan. Kegiatan yang dilakukan
seminggu sebelum penelitian dilakukan dengan tujuan untuk meninjau lokasi,
peneliti melakukan teknik pra penelitian berikutnya yaitu mempersiapkan
perlengkapan yang dibutuhkan dalam penelitian seperti catatan, alat tulis, kamera,
maupun literatur yang berhubungan dengan kajian penelitian ini.
3.4.2. Wawancara mendalam
Teknik selanjutnya adalah teknik wawancara mendalam. Teknik
wawancara adalah teknik yang dilakukan dengan percakapan dengan maksud
untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan peneliti. Percakapan itu dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (informan) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong, 2000). Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan
mengumpulkan keterangan tentang berbagai informasi kehidupan masyarakat
serta berbagai hal yang menyangkut terhadap data yang diketahui oleh segelintir
orang yang dalam penelitian disebut informan.
Teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah teknik wawancara
terstruktur dimana draft pertanyaan telah peneliti siapkan untuk mempermudahkan peneliti ketika sedang mewawancarai informan. Draft
pertanyaan tersebut dipersiapkan bertujuan agar pertanyaan yang akan ditanyakan
terstruktur dan meminimalkan pertanyaan yang tidak diperlukan dalam penelitian,
terlebih agar pewawancara tidak lupa dengan apa yang harusnya ditanyakan
3.4.3. Dokumentasi
Dalam penelitian ini, peneliti juga melaksanakan metode dokumentasi
yang dilakukan dengan cara mencari data tentang hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya. Moleong (2004) mendefinisikan dokumen sebagai setiap
bahan tertulis ataupun film, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan
seorang penyidik.
3.4.4. Penghayatan
Suatu teknik pengumpulan data melalu pendalaman bangunan berfikir dari
responden. Teknik ini juga berupaya memahami kesadaran warga masyarakat
berdasarkan logika kultur, di mana responden merupakan anggotanya. Hal
tersebut dikarenakan narasumber (responden) memiliki pola perilaku dan sikap
yang berbeda sesuai dengan latar belakang yang dimiliki.
3.5. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua jenis
data. Jenis data tersebut adalah data text dan data image. Data text yaitu data yang berbentuk alfabet maupun angka numerik, dimana data text yang berbentuk alfabet merupakan data yang menjelaskan tentang keadaan, serta hal-hal yang
serta segala hal yang dapat dijelaskan dengan menggunakan data numerik atau
yang biasa dikenal dengan data angka.
Jenis data kedua adalah data image. Data image yaitu data yang memberikan informasi secara spesifik mengenai keadaan tertentu melalui foto,
diagram, dan sejenisnya (Fauzi, 2001). Data image dalam penelitian ini yaitu data penduduk menurut BPS (Badan Pusat Statistik), data kependudukan dari kepala
desa, maupun hasil penelitian terdahulu.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang peneliti dapat langsung dari lapangan
yang menjadi data penelitian. Sedangkan data yang kedua adalah data sekunder.
Dimana data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, tetapi memiliki
fungsi sebagai salah satu aspek pendukung bagi keabsahan penelitian. Data ini
berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini
dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan
mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan dan
mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi,
dokumen, majalah, dan jurnal.
Data sekunder lainnya berasal dari hasil penelusuran data online
data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis (Bungin, 2005).
3.6. Interpretasi Data
Dalam penelitian ini, peneliti dapat mengumpulkan data melalui hasil
wawancara, observasi dan observasi partisipatif pasif. Semua data yang diperoleh
pada umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan, dokumentasi resmi dalam
bentuk foto, maupun dalam bentuk rekaman. Setelah data tersebut dibaca,
dipelajari dan ditelaah. Maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi
data dengan cara abstarksi. Abstraksi merupakan rangkuman yang terperinci dan
merujuk pada inti temuan data dengan cara menelaah pernyataan-pernyataan yang
diperlukan agar tetap berada pada fokus penelitian.Setelah itu data tersebut
disusun dan dikategorisasikan serta diinterpretasikan secara kualitatif sesuai
metode penelitian yang telah ditetapkan.
3.7. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana fenomena
kekerasan simbolik serta menerangkan bagaimana sosialisasi yang dirasakan oleh
“anak itik” di Desa Bogak. Untuk membahas hal tersebut, peneliti menggunakan
landasan teori berupa teori kekerasan simbolik dan teori sosialisasi. Memang tidak
dapat dipungkiri bahwa “anak itik” adalah buruh yang bekerja untuk mendapatkan
upah dan oleh karenanya, fenomena “anak itik” dapat juga dilihat dari sudut
peneliti hanya berfokus pada kekerasan simbolik dan sosialisasi yang dirasakan
oleh “anak itik” saja.
Dalam pengumpulan data, peneliti mengalami beberapa kesulitan. Untuk
dokumentasi, peneliti tidak banyak mendapatkan gambar atau foto dari
narasumber. Hal tersebut disebabkan oleh narasumber sendiri yang tidak ingin
dirinya untuk difoto. Kemudian daripada itu, penelitian ini juga membutuhkan
penelitian lanjutan agar pembahasan tentang “anak itik” di Desa Bogak semakin
kaya dan kompleks. Menurut peneliti, “anak itik” adalah salah satu contoh
fenomena sosial yang merupakan paradox antara hukum positif dengan budaya
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. Gambaran Tangkahan1 dan Pelabuhan di Desa Bogak
Kabupaten Batubara adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi
Sumatera Utara. Kabupaten Batubara terletak di tepi pantai Selat Malaka, sekitar
175 km selatan ibu Kota Medan. Batas wilayah utara Kabupaten Batubara adalah
Kabupaten Serdang Bedagai dan Selat Malaka, batas selatan adalah Kabupaten
Asahan dan Kabupaten Simalungun, batas barat adalah Dolok Batunanggar
(Kabupaten Simalungun) dan Tebing Tinggi (Kabupaten Serdang Bedagai) serta
batas timur adalah Air Joman (Kabupaten Asahan) dan Selat Malaka
(http://www.batubarakab.go.id/).
Desa Bogak merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tanjung
Tiram, Kabupaten Batubara yang berbatasan langsung dengan laut Selat Malaka,
sehingga Desa Bogak merupakan desa pesisir dengan bentangan laut sebagai
lahan untuk mencari nafkah bagi masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Dalam
rangka mendukung mata pencaharian masyarkat dari sektor laut, berbagai
fasilitas, sarana dan prasarana dibangun untuk keperluan mencari nafkah. Adanya
pasar untuk menjual hasil laut atau yang lebih dikenal dengan TPI (Tempat
Penampungan Ikan), kemudian ada juga pangkalan berbagai angkutan transportasi
1
daratu maupun laut, serta beberapa dermaga atau tangkahan sebagai tempat
nelayan untuk menambatkan perahu atau kapal mereka.
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, pada umumnya memiliki satu
pelabuhan besar dan beberapa tangkahan atau dermaga kecil yang terletak di
pinggiran sungai yang ada di wilayah tersebut. Pelabuhan Tanjung Tiram
merupakan pelabuhan terbesar di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara
yang terletak di Desa Bogak. Berbagai aktivitas kelautan ada di Pelabuhan
Tanjung Tiram, mulai dari transportasi, melaut, rekreasi dan juga pasar ada di
pelabuhan tersebut.
Di Desa Bogak tidak hanya terdapat pelabuhan sebagai tempat aktivitas
kelautan terjadi, tetapi juga ada yang disebut sebagai tangkahan. Tangkahan
merupakan pelabuhan tempat berkumpulnya nelayan serta pekerja turunan lainnya
(seperti: pedagang, bengkel kapal, ABK (Anak Buah Kapal), “anak itik” dan lain
sebagainya) yang dihasilkan oleh adanya laut dalam skala kecil. Terdapat empat
tangkahan yang didirikan masyarakat di Desa Bogak. Masing-masing tangkahan
terletak di pinggiran sungai di berbagai sudut desa maupun di tengah Desa Bogak.
Selain tempat berkumpulnya nelayan dan pekerja-pekerja turunan,
tangkahan dijadikan sebagai tempat penambatan kapal dan sampan bagi nelayan
atau ojek perahu yang ada di Desa Bogak. Tangkahan juga dibangun dengan
tujuan untuk mengurangi kepadatan di Pelabuhan Tanjung Tiram serta untuk
mendekatkan kapal atau sampan kepada rumah warga.
Bongkar muatan yang dilakukan oleh nelayan sepulangnya dari melaut
dilakukan di tangkahan-tangakahan. Pembongkaran muatan yang berisi hasil laut
biasanya langsung dibeli oleh toke, pengumpul besar, atau masyarakat sebagai
konsumen langsung.
Tangkahan-tangkahan yang ada di Desa Bogak dijadikan sebagai tempat
bagi nelayan serta ojek perahu untuk membersihkan kapal atau sampan,
mempersiapkan persediaan keperluan kapal dan lain sebagainya. Pelabuhan pusat
dan tangkahan memiliki berbagai perbedaan yang signifikan selain dari jumlah
kapal atau sampan yang bisa ditambatkan. Nelayan atau ojek perahu tidak
membersihkan kapal atau sampan mereka di pelabuhan pusat dengan alasan akan
lebih praktis membersihkan di tangkahan daripada di pelabuhan.
Penambatan kapal atau sampan di tangkahan senantiasa ditentukan dari
pasang surutnya air di sungai. Kapal atau sampan tidak akan bisa melewati sungai
jika kedalaman air tidak mencukupi. Setelah kapal atau sampan ditambatkan di
tangkahan, nelayan dan tukang ojek perahu akan membiarkan kapal atau sampan
mereka kandas di tepi sungai dikarenakan surutnya air. Hal tersebut dilakukan
agar kapal atau sampan mereka tidak terbawa arus sungai atau mudah untuk
diberikan maintenance (servis berkala).
Adanya tangkahan dan pelabuhan membutuhkan berbagai pekerjaan
untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang ada di tangkahan dan pelabuhan.
Perbedaan tangkahan dan pelabuhan terlihat jelas dari komposisi pekerja yang ada
di tangkahan dan pelabuhan. Pelabuhan memiliki komposisi pekerja yang lebih
kompleks dibandingkan dengan tangkahan. Pasar atau TPI senantiasa berada
penunjang seperti transportasi, pedagang asongan dan grosir banyak terdapat di
sekitar pelabuhan. Sementara itu lapangan pekerjaan di tangkahan tidak
sekompleks atau selengkap di pelabuhan, karena lokasinya yang jauh dari
keramaian dan tidak begitu strategis untuk didirikan pusat perbelanjaan seperti
pasar. Sebagian besar masyarakat akan lebih memilih untuk membeli hasil laut di
pasar daripada di tangkahan karena harga dan tidak banyak pilihan dalam
membeli hasil laut.
4.2. Gambaran Pekerja di Tangkahan Desa Bogak
Tangkahan merupakan pelabuhan-pelabuhan kecil yang berada di Desa
Bogak. Berbeda dengan pelabuhan pusat, kompleksitas atau komposisi pekerja
yang ada di tangkahan tidak sebanyak yang ada di pelabuhan pusat. Banyaknya
pekerja yang ada di pelabuhan pusat disebabkan oleh beberapa hal sebagai
berikut, yaitu:
1. Letaknya dekat dengan pasar.
2. Berbatasan langsung dengan desa lain, seperti; Desa Bagan Aria, Desa
Bagan Seberang, dan Desa Lima Laras.
3. Pangkalan kapal-kapal besar untuk penyeberangan pulau.
4. Ruang terbuka untuk rekreasi.
5. Titik awal keberangkatan untuk berbagai destinasi wisata, seperti; Pantai
Bunga, Pulau Berhala, Pulau Salahnama, Pulau Pandang, dan lain
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas mengakibatkan pekerjaan yang
dulunya tidak ada, kemudian menjadi ada dan dibutuhkan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar pelabuhan. Berbagai infrastruktur
dan sarana yang ada merupakan hasil turunan dari adanya pelabuhan tersebut.
Infrastruktur dan sarana yang muncul akibat adanya pelabuhan tentunya
memerlukan tenaga kerja untuk menjaga keberlangsungan pelabuhan pusat.
Dalam hal ini, tidak hanya masyarakat desa sekitaran pelabuhan saja yang
diberikan keuntungan, tetapi juga berbagai elemen masyarakat yang datang dari
berbagai wilayah yang menjadikan Pelabuhan Tanjung Tiram sebagai sumber
ekonomi bagi mereka.
Berbeda halnya dengan tangkahan yang ada di Desa Bogak. Faktor-faktor
yang dimiliki Pelabuhan Tanjung Tiram seperti yang telah disebutkan di atas tidak
sedemikian rupa dimiliki oleh tangkahan. Sebagaimana dengan fungsi tangkahan
sebagai berikut, yaitu:
1. Tempat kapal atau sampan yang berukuran sedang dan kecil ditambatkan.
2. Sebagai tempat alternatif untuk pembongkaran muatan hasil laut jika
pelabuhan padat.
3. Letaknya yang dekat dengan rumah warga, sehingga warga lebih memilih
untuk menambatkan kapal atau sampan mereka dekat dengan rumah
mereka.
Adanya tangkahan menimbulkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat
untuk menjaga keberlangsungan dari tangkahan tersebut. Meskipun lapangan
Tiram, lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak serta merta ada di
pelabuhan dan begitu juga sebaliknya.
Masyarakat senantiasa dapat mencari kesempatan untuk mencari
keuntungan dari berbagai situasi, tidak hanya di pelabuhan saja tetapi juga di
tangkahan. Pada umumnya masyarakat yang menjadikan tangkahan sebagai
sumber ekonomi mereka adalah masyarakat yang tinggal di sekitar tangkahan
tersebut. Berbagai kedai dan bengkel untuk keperluan nelayan dan ojek perahu
berdiri dekat dengan tangkahan untuk memudahkan nelayan dan ojek perahu.
Lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak hanya bergerak di sektor
barang saja, tetapi juga di sektor jasa. Hal itu dibuktikan dengan adanya berbagai
pekerja sektor jasa yang menawarkan jasanya untuk masyarakat dan pekerja lain
yang ada di tangkahan. Masyarakat senantiasa bergerak secara dinamis atau
dengan kata lain akan selalu mengalami perubahan (Berger dalam Demartoto,
2013). Seiring berjalannya waktu, ada saja lapangan pekerjaan baru yang muncul
dari hasil interaksi antar masyarakat.
Masyarakat yang bekerja mencari nafkah melalui hasil laut dapat
digolongkan kedalam 4 jenis pekerjaan, yaitu; juragan, nelayan, ABK (Anak Buah
Kapal), dan “anak itik”. Masing-masing pekerjaan tersebut memiliki job desc
Bagan 3.1. Jaringan Job Desc Para Pekerja.
4.2.1. Juragan / toke / “tekong”
Dalam strata pekerjaan yang ada di tangkahan dan pelabuhan. Toke/
juragan berada pada tingkatan paling atas, karena kepemilikan modalnya yang
tinggi. Dikarenakan kepemilikan modalnya yang besar, toke/ juragan juga
memiliki penghasilan yang paling besar dari nelayan, ABK dan “anak itik”, yaitu
sekitar Rp. 3.000.000,- sampai Rp. 5.000.000,- perbulan. Kepemilikan modal
yang besar tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya kapal dan cara kerja dari
toke/ juragan itu sendiri. Di Desa Bogak, toke/ juragan biasa disebut dengan
“tekong”.
“Tekong” bekerja sebagai pemborong hasil laut yang didapatkan oleh
nelayan. Dengan bermodalkan kapal dan alat tangkap, “tekong” memekerjakan
nelayan untuk menggunakan kapal dan alat tangkap miliknya dengan kesepakatan
hasil laut akan dibeli oleh “tekong”. Seorang “tekong” bisa memiliki lebih dari
dibuat bersama dengan nelayan, “tekong” dapat memberikan harga terhadap hasil
laut yang didapat oleh nelayan dengan sesukanya. Nelayan lain yang tidak
menggunakan kapal dan alat tangkap yang disediakan oleh “tekong” juga dapat
menjual hasil lautnya kepada toke atau “tekong”.
Kesepakatan antara nelayan dan “tekong” merupakan hasil negosiasi antar
kedua belah pihak tersebut. Pihak “tekong” akan senantiasa membeli dengan
harga murah, sedangkan nelayan akan berusaha agar nilai jual dari hasil lautnya
dapat dibayar tinggi. “Tekong” merupakan penyalur hasil laut yang didapatkan
oleh nelayan kepada konsumen langsung atau pasar. Oleh karena itu, “tekong”
berusaha agar ketika di pasar, harga ikan dan hasil laut tidak begitu tinggi dan
dapat dibeli oleh konsumen.
4.2.2. Nelayan
Nelayan merupakan pekerja dengan strata kedua setelah juragan atau
“tekong”. Kedudukan kedua setelah “tekong” dikarenakan posisi nelayan adalah
pemimpin kedua setelah “tekong”, baik ketika berada di pelabuhan, tangkahan,
atau ketika melaut. Posisi tersebut didapatkan nelayan ketika nelayan tesebut
menggunakan peralatan yang digunakan oleh “tekong”.
Nelayan sendiri terbagi atas beberapa jenis, yaitu:
1. Nelayan “tekong”: nelayan “tekong” yaitu nelayan yang bekerja di bawah
perintah “tekong”. Nelayan “tekong” dan “tekong” memiliki kesepakatan
bersama dalam bagi hasil. Nelayan “tekong” tidak memiliki peralatan
yang disediakan oleh “tekong” untuk melaut (kapal dan alat tangkap).
Pendapatan nelayan “tekong” adalah 2 “bagi”2
dari hasil tangkapan ketika
mereka melaut. Kapal yang digunakan pun juga bervariasi, ada yang
berukuran besar dengan muatan 15 orang (nelayan dan ABK), yang
berukuran sedang dengan muatan 6 orang, atau yang berukuran kecil
dengan muatan 2 orang.
2. Nelayan perorangan: nelayan perorangan adalah nelayan mandiri yang
bekerja di luar kendali “tekong” atau toke. Dengan memanfaatkan modal
sendiri, nelayan perorangan pergi melaut menggunakan kapal dan alat
tangkap miliknya tanpa ada kesepakatan antara nelayan perorangan
dengan “tekong” atau juragan. Ada juga nelayan perorangan yang
merangkap sebagai toke atau pembeli hasil tangkapan nelayan. Hasil yang
diterima oleh nelayan perorangan adalah 4 “bagi”, karena asumsi bahwa
nelayan perorangan tersebut yang akan menanggung segala biaya apabila
kapal atau jarring telah rusak. Nelayan perorangan juga memiliki ABK
yang membantunya, sesuai dengan ukuran kapal yang dia gunakan.
Masing-masing nelayan perorangan mememiliki ukuran kapal yang
berbeda sesuai dengan modal yang mereka miliki. Ada yang berukruan
besar, sedang dan kecil.
2
Nelayan yang menggunakan kapal dengan ukuran sedang dan besar, tidak
bisa melaut sendirian tanpa bantuan dari anak kapal atau anak buah kapal (ABK).
Nelayan memekerjakan ABK untuk memudahkan pekerjaannya dalam berbagai
hal ketika berada di laut atau di pelabuhan. Dengan demikian, hasil laut yang
didapatkan oleh nelayan yang menggunakan jasa ABK akan dibagikan sesuai
dengan kesepakatan bersama.
4.2.3. ABK (Anak Buah Kapal)
ABK atau biasa juga disebut dengan anak sampan merupakan pekerja
yang membantu nelayan, baik ketika melaut ataupun tidak. Pada umumnya ABK
dipekerjakan oleh nelayan yang menggunakan kapal berukuran besar dan sedang.
Karena berbagai pekerjaan yang harus tidak dapat diselesaikan oleh nelayan jika
dikerjakan sendirian. Pekerjaan yang dikerjakan oleh ABK juga dikerjakan oleh
nelayan, seperti; menjaring ikan, mengemudikan kapal, membuat jaring,
memperbaiki kapal dan lain sebagainya.
Berdasarkan data lapangan, sebagian besar masyarakat Desa Bogak
menggantungkan hidup mereka dari hasil laut dengan berbagai jenis pekerjaan,
ada yang menjadi juragan, nelayan, pedagang, ABK dan lain-lain. Pekerjaan Anak
Buah Kapal (ABK) merupakan pekerja terbanyak yang menggantungkan hidup
mereka dari melaut. Jika setiap kapal besar menggunakan jasa 10 sampai 15 orang
ABK dan kapal sedang 4 sampai 6 orang ABK, sedangkan di Desa Bogak terdapat
begitu banyak kapal-kapal nelayan untuk melaut, maka dapat dilogikakan bahwa
Penghasilan yang didapat ABK dari pekerjaannya dapat berubah-ubah
sesuai dengan kondisi laut sebagaimana yang dialami oleh nelayan dan juga
“tekong”. Meskipun demikian, pendapatan ABK adalah 1 “bagi” dari hasil laut.
Ada juga yang telah dikontrak dengan bayaran tertentu untuk sekali melaut,
banyak atau tidaknya hasil laut, ABK tetap mendapatkan upah sesuai dengan
kesepakatan.
Pekerjaan yang dikerjakan ABK di kapal tentunya berbeda-beda. Nelayan
yang bertugas sebagai pemimpin di kapal ketika melaut, sedangkan ABK
dibagi-bagi sesuai dengan posisi mereka masing-masing. Ada yang bertugas di penebar
jaring, ada yang bertugas sebagai wakil nelayan yang bekerja di depan kapal
dengan tanggung jawab mengarahkan kapal dimana ikan berada, dan lain
sebagainya.
4.2.4. “Anak itik”
“Anak itik” merupakan bagian dari lingkungan pekerja yang ada di
pelabuhan dan tangkahan. “Anak itik” bekerja sesuai dengan perintah dari juragan
atau nelayan yang memekerjakan mereka. Pekerjaan mereka dimulai ketika kapal
atau sampan sedang berlabuh atau sedang ditambatkan di pelabuhan atau di
tangkahan. Sehingga, sebagian besar waktu mereka dihabiskan di pelabuhan dan
di tangkahan.
Sebagian besar “anak itik” adalah pekerja anak yang berusia 18-15 tahun,
dengan tujuan “anak itik”-lah yang akan melanjutkan kearifan lokal masyarakat
yang berusia lebih dari 18 tahun, bahkan sudah berumah tangga. Nelayan ataupun
“tekong” yang ada di Desa Bogak akan lebih memilih untuk memekerjakan anak
-anak agar bisa mereka didik nantinya.
Seiring dengan perubahan waktu dan bertambahnya kebutuhan, upah
“anak itik” juga berubah-ubah. Menurut data lapangan, pada tahun 1970-an “anak
itik” diberi upah Rp. 100,- untuk sekali bekerja. Sedangkan sekarang “anak itik”
diupah sama dengan ABK, yaitu 1 “bagi”. Persamaan upah antara “anak itik”
dengan ABK juga dipengaruhi oleh asumsi bahwa pekerjaan “anak itik” juga
semakin berat, dan hanya dikerjakan oleh satu “anak itik” saja untuk satu kapal.
Meskipun kebanyakan “anak itik” adalah pekerja anak, tetapi “anak itik”
merasa senang bisa bekerja sebagai “anak itik”. Hal tersebut dikarenakan mereka
merasa bisa menjadi orang yang mandiri dan dapat membantu orang tua untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perasaan senang tersebut juga didukung oleh
keadaan kerja yang dibangun oleh juragan atau nelayan yang selalu bersikap baik
terhadap “anak itik” yang mereka pekerjakan.
4.3. Profil Informan
4.3.1. Profil informan nelayan dan “tekong” di Desa Bogak
Nama : Acim Beel
Usia : 64 tahun
Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar)
Penghasilan : Rp 2.000.000,- perbulan
Pekerjaan : Nelayan
Acim Beel merupakan nelayan yang juga merangkap sekaligus “tekong”
atau toke di pelabuhan Tanjung Tiram, Desa Bogak. Masyarakat Desa Bogak
mengenal Acim Beel dengan panggilan Apak Acim. Selain bekerja menjadi
nelayan dan “tekong”, Acim Beel juga bekerja sebagai peternak itik.
Masyarakat Desa Bogak mengenal Acim Beel sebagai salah satu tokoh
masyarakat yang disegani. Penobatan sebagai tokoh masyarakat tersebut
dikarenakan Acim Beel merupakan penduduk yang sudah berdomisili di Desa
Bogak secara turun temurun sejak Desa Bogak dibuka oleh keluarganya
terdahulu. Acim Beel dimata para pekerjanya (ABK dan “anak itik”) adalah sosok
yang bertanggungjawab. Perlakuan yang baik dari Acim Beel terhadap pekerjanya
ditunjukkan dengan keramahan, menanggung biaya kecelakaan kerja dan lain
sebagainya. Lama Acim Beel bekerja sebagai nelayan telah menghasilkan
mantan-mantan “anak itik” yang sekarang telah beranjak dewasa dan tidak sedikit
yang menjadi sukses, salah satunya adalah Jafar Sidik.
Anak-anak biasanya datang sendiri untuk meminta pekerjaan kepada Acim
Beel untuk menjadi “anak itik”. Bagi Acim Beel, yang terpenting dari menjadi
“anak itik” adalah kejujuran dan asal pandai menghidupkan mesin saja. Kemudian
Acim Beel akan dengan senang hati untuk mengajarkan hal-hal baik kepada “anak
Nama : Ariel
Usia : 27 tahun
Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar)
Penghasilan : Rp 35.000,- sampai Rp 100.000,- perhari
Etnis : Melayu
Pekerjaan : Nelayan
Ariel merupakan anak pertama dari Acim Beel yang bekerja sebagai
nelayan di Desa Bogak. Kapal yang dimiliki oleh Ariel adalah kapal berukuran
besar dengan muatan maksimal 15 orang. Sehari-hari, Ariel pergi melaut bersama
dengan Anak Buah Kapal dan komando dari “tekong”. Meski memiliki kapal
sendiri, Ariel tetap bekerja dibawah perintah dari “tekong” karena suatu kontrak
kerja dimana hasil laut akan dibeli oleh “tekong”.
Selain melaut, Ariel beserta nelayan lainnya mengisi waktu mereka
dengan memerbaiki jaring atau alat tangkap mereka yang rusak. Dalam hal ini,
nelayan biasanya tidak bekerja sendirian. Ukuran jaring yang besar membutuhkan
tenaga yang banyak untuk memerbaikinya agar cepat selesai. Ariel biasa
menggunakan jasa “anak itik” untuk membantunya dalam hal merajut jaring atau
memasang pemberat saja.
4.3.2. Profil informan “anak itik” di Desa Bogak
Nama : Bayu Saputra
Usia : 17 tahun