• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosialisasi dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sosialisasi dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIALISASI DAN KEKERASAN SIMBOLIK

“ANAK ITIK”

(Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Ahmad Yasser Effendi

110901051

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang sebagian besar masyarakatnya bekerja mencari nafkah dari hasil laut. Berbagai pekerjaan dapat dilakukan oleh warga masyarakat untuk mendapatkan nafkah. “Anak itik” adalah pekerjaan yang didominasi oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak dan sudah disosialisasikan secara turun temurun. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman-temannya dan menyelesaikan pendidikan mereka sebagai hak yang harus mereka terima. Berbeda dengan “anak itik”, sebagian besar hak mereka sebagai anak-anak tidak diberikan oleh masyarakat, namun hal itu tidak disadari oleh mereka ataupun masyarakat. Hal yang demikian itu disebut juga sebagai kekerasan simbolik, yaitu kekerasan yang tidak disadari karena berbagai simbol yang menutupinya.

Proses sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bogak dapat dilihat dari pandangan Bringkerhoof, dkk (1995). Bringkerhoff mengatakan bahwa sosialisasi adalah proses penanaman nilai kepada individu secara simultan oleh masyarakat agar individu tersebut siap untuk menjadi bagian dari masyarakat. Selanjutnya, kekerasan simbolik juga merupakan bagian yang ikut disosialisasikan bersamaan dengan “anak itik” di Desa bogak. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004), kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi bagaimana sosialisasi yang diberikan masyarakat Desa Bogak terhadap “anak itik” sehingga terus bertahan disetiap generasi, serta untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang dirasakan oleh “anak itik”. Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif agar data yang didapat lebih mendalam. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan penghayatan,

Peneliti menemukan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” tidak menyadari kekerasan atau ketidakterpenuhinya hak-hak mereka sebagai anak, baik yang harus dipenuhi oleh keluarga atau juga masyarakat. “Anak itik” merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Desa Bogak. Bagi masyarakat Desa Bogak, “anak itik” adalah proses bagi anak-anak di Desa Bogak untuk menuju pribadi yang dewasa. Oleh karena itu, “anak itik” dianggap sebagai budaya yang harus dilesatrikan dan harus selalu disosialisasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat

limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini yang berjudul “Sosialisasi Dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi

Kasus Di Desa Bogak Kabupaten Batubara)”. Penulisan skripsi ini disusun

sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai

pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan

sepenuh hati, baik berupa ide, kritikan, saran, dukungan semangat, doa, bantuan

moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang tulus

dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi.

3. Kepada Bapak Dr. Sismudjito, M.Si selaku Dosen Pembimbing saya.

4. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga

selama saya kuliah di Sosiologi terlebih kepada Ibu Harmona Daulay,

S.Sos, M.Si. Terimakasih atas ilmu, pelajaran berharga dan yang

terpenting atas waktu yang diberikan kepada saya untuk diskusi serta

berbagi pengalamannya. Sedikit banyak sangat membantu saya dalam

membuka wawasan dan pola berpikir saya. Terimakasih.

5. Kepada seluruh staff dan pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara, terutama Kak Fenni Khairifa, Kak Betty,

Bang Abel, dan PD III FISIP USU Bapak Drs. Edward, M.Si yang selalu

membantu saya mengurus keperluan administrasi guna untuk kepentingan

(4)

6. Penghargaan yang tertinggi saya berikan untuk kedua orang tua tercinta

yaitu untuk Buya dan mamak, Dr. Erwan Efendi, M.A. dan Sumiati yang

telah merawat serta mendidik saya dengan sepenuh hati. Akhirnya inilah

persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih

dan tanda bakti saya kepada kedua orang tua.

7. Saya ucapkan terimakasih kepada saudara-saudari saya yaitu Yusmar

Alkholidi Effendi, Sri Rahmadaniyati Effendi dan Khoiria Zulhijjah

Effendi atas segala dukungannya kepada saya.

8. Terkhusus untuk teman terbaik saya yaitu Anita Syafitri, terimakasih atas

waktu, semangat, pengorbanan dan segala kebaikannya dalam membantu

saya terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada

sahabat-sahabat saya yang selalu ada yaitu Ayub Purnomo, Laila Ulfa, Putria

Mawaddah dan May Pratiwi Purba.

9. Kepada teman baik saya yaitu Tim pengabdian Herliza, Ernita, Ismi, Novi.

Sahabat Ganbare, Fishclub, dan adik-adik Frekuensi. Tak lupa pula saya

ucapkan trimakasih kepada sahabat saya di seluruh Indonesia yaitu sahabat

OBL, U-Gen, PHBD, GYC, DreamMaker atas motivasi yang sangat besar

kepada saya. Serta seluruh teman-teman seangkatan yaitu Sosiologi 2011

yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas kasih

sayang, serta motivasi yang sangat luar biasa untuk saya.

10.Terakhir saya ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah

membantu penulis dalam melakukan penelitian lapangan yaitu kepada

seluruh informan baik di Batubara ataupun yang berada di Medan.

Terimakasih banyak atas waktu dan kesediaan untuk diwawancarai guna

menyelesaikan penelitian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat

banyak kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan

dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah

yang dapat penulis sampaikan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para

(5)

kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Medan, 29 Desember 2015

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

2.1. Proses Sosialisasi Menuju Masyarakat ... 10

2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu ... 12

2.3. Pekerja Anak-anak ... 15

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 25

BAB IV : DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN ... 27

4.1. Gambaran Tangkahan dan Pelabuhan di Desa Bogak ... 27

(7)

4.3.1. Profil informan nelayan dan “tekong” di Desa Bogak ... 38

4.3.2. Profil informan “anak itik” di Desa Bogak ... 40

4.3.3. Profil informan orang tua “anak itik” di Desa Bogak ... 43

4.3.4. Profil informan mantan “anak itik” di Desa Bogak ... 45

4.4. Profil “Anak Itik” Pesisir ... 47

4.4.1. Komposisi ... 47

4.4.2. Jenis Kelamin ... 48

4.4.3. Usia ... 48

4.4.4. Pendidikan ... 49

4.5. Kondisi Sosial Ekonomi “Anak Itik” Pesisir ... 50

4.5.1. Aktivitas Ketika Kapal Melaut ... 51

4.5.2. Aktivitas Ketika Kapal Berlabuh ... 52

4.6. “Anak Itik” Sebagai Bagian Dari Masyarakat Pesisir... 54

4.6.1. “Anak itik” dalam keluarga pesisir ... 56

4.6.2. “Anak Itik” dalam Lingkungan Kerja Pesisir ... 58

4.7. Hak dan Kewajiban “Anak Itik” ... 59

4.7.1. HAM “anak itik” ... 60

4.7.2. Kewajiban “anak itik” sebagai pekerja anak... 63

4.7.3. Kesadaran akan hak dan kewajiban “anak itik” ... 64

4.8. Sosialisasi Kekerasan Simbolik pada Masyarakat Pesisir ... 67

BAB V : PENUTUP ... 69

5.1. Kesimpulan ... 69

5.2. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(8)

DAFTAR TABEL

(9)

DAFTAR BAGAN

(10)

ABSTRAK

Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang sebagian besar masyarakatnya bekerja mencari nafkah dari hasil laut. Berbagai pekerjaan dapat dilakukan oleh warga masyarakat untuk mendapatkan nafkah. “Anak itik” adalah pekerjaan yang didominasi oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak dan sudah disosialisasikan secara turun temurun. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman-temannya dan menyelesaikan pendidikan mereka sebagai hak yang harus mereka terima. Berbeda dengan “anak itik”, sebagian besar hak mereka sebagai anak-anak tidak diberikan oleh masyarakat, namun hal itu tidak disadari oleh mereka ataupun masyarakat. Hal yang demikian itu disebut juga sebagai kekerasan simbolik, yaitu kekerasan yang tidak disadari karena berbagai simbol yang menutupinya.

Proses sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bogak dapat dilihat dari pandangan Bringkerhoof, dkk (1995). Bringkerhoff mengatakan bahwa sosialisasi adalah proses penanaman nilai kepada individu secara simultan oleh masyarakat agar individu tersebut siap untuk menjadi bagian dari masyarakat. Selanjutnya, kekerasan simbolik juga merupakan bagian yang ikut disosialisasikan bersamaan dengan “anak itik” di Desa bogak. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004), kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi bagaimana sosialisasi yang diberikan masyarakat Desa Bogak terhadap “anak itik” sehingga terus bertahan disetiap generasi, serta untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang dirasakan oleh “anak itik”. Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif agar data yang didapat lebih mendalam. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan penghayatan,

Peneliti menemukan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” tidak menyadari kekerasan atau ketidakterpenuhinya hak-hak mereka sebagai anak, baik yang harus dipenuhi oleh keluarga atau juga masyarakat. “Anak itik” merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Desa Bogak. Bagi masyarakat Desa Bogak, “anak itik” adalah proses bagi anak-anak di Desa Bogak untuk menuju pribadi yang dewasa. Oleh karena itu, “anak itik” dianggap sebagai budaya yang harus dilesatrikan dan harus selalu disosialisasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim dengan luas laut seluas 64,85% dari

luas wilayah Indonesia atau 3.544.743,9 km² (Kementerian Kelauatan dan

Perikanan, 2011). Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan sebagai produsen

hasil kelautan terbesar nomor 5 di dunia (Adam, 2015). Sehingga dalam

menunjang produksi yang sedemikian rupa, industri kelautan membutuhkan

tenaga kerja yang tinggi.

Dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di dunia maritim,

pelaku-pelaku produksi tidak hanya memanfaatkan usia-usia produktif (15-60 tahun) saja,

namun pelaku-pelaku produksi juga menyerap tenaga kerja yang masih berusia

sekolah atau kanak-kanak. Seperti fenomena yang terjadi pada Desa Bogak. Para

nelayan tidak hanya membutuhkan orang-orang dewasa saja, namun mereka juga

memakai tenaga anak-anak untuk membantu pekerjaan mereka.

Desa Bogak memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.974 orang. Jumlah

penduduk tersebut jika diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin adalah 2.478

laki-laki dan 2.495 perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1251

KK. Berdasarkan data yang ditemukan di kantor kepala desa bahwa terdapat 579

KK penduduk miskin dan yang mendapat kartu sehat sebanyak 550 jiwa (Kantor

(12)

Mayoritas pekerjaan penduduknya adalah nelayan dengan presentase 90%

dari total penduduk. Masyarakat tersebut mayoritas memiliki tingkat

kesejahteraan yang rendah dikarenakan perekonomian mereka sebagian besar

bergerak disektor nelayan yang pendapatannya dipengaruhi dari hasil

penangkapan ikan serta sangat dipengaruhi oleh keadaan alam. Hal ini dibuktikan

oleh data kependudukan desa tahun 2013 bahwa pendapatan perkapita masyarakat

setempat hanya mencapai rata-rata 35 ribu/hari. Tentu saja pendapatan tersebut

masih tergolong rendah jika harus memenuhi biaya kehidupan sehari-hari seperti

makan, pendidikan, serta biaya hidup lainnya. Sehingga pendidikan anak-anak

yang ada di desa tersebut sangat rendah, bahkan sebagian dari mereka harus putus

sekolah karena lebih mementingkan membantu orang tua daripada melanjutkan

pendidikan.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak). Anak merupakan tunas bangsa yang merupakan generasi

penerus di masa depan. Dalam diri seorang anak terdapat hak-hak manusia

seutuhnya. Berbeda dengan kategori dewasa, anak-anak memiliki hak-hak lebih

daripada kewajibannya.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi pekerja

atau buruh. Menurut Endrawati (2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

(13)

Tabel 1.1

Data Pekerja Anak Berdasarkan Faktor Penyebab

NO Faktor Penyebab Bekerja Jumlah Pekerja Anak

di sektor informal dikarenakan ajakan dari teman bermain. Hal tersebut

menunjukkan bahwa pekerja anak-anak tersebut banyak menghabiskan waktu

bersama dengan teman sebaya mereka. Dalam hal ini, mereka banyak mengganti

waktu bermain mereka menjadi waktu bekerja.

Masa kanak-kanak yang seyogyanya diisi dengan masa bermain dan

belajar bersama teman dan mengembangkan kreatifitasnya setinggi tingginya. Hal

tersebut merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak asasi anak

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 pasal

28A sampai 28J, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak

pasal 16 dan Undang-Undang Perlindungan aanak No. 23 Tahun 2002 Bab III

pasal 4 sampai pasal 19 mengenai Hak Anak.

Di perdesaan maupun di perkotaan, perlakuan terhadap individu dipicu

dengan adanya status sosial dan kelas. Perlakuan masyarakat terhadap kelompok

atau individu yang memiliki status sosial dan kelas sosial yang lebih tinggi

tentunya berbeda dengan yang lebih rendah. Perbedaan tersebut

diimplementasikan melalui berbagai bentuk simbol dan sikap masyarakat.

(14)

banyak menggambarkan perbedaan status. Bahkan tidak jarang ada individu yang

diberikan julukan atau predikat oleh masyarakat sesuai dengan status serta prestise

yang ada pada individu tersebut.

Masyarakat perdesaan maupun masyarakat perkotaan memiliki nilai serta

norma yang berlaku untuk menjaga keseimbangan sistem masyarakat. Nilai serta

norma yang ada antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan berbeda satu sama

lain. Seperti yang telah dijelaskan di atas, antara perdesaan dengan perkotaan

memiliki perbedaan yang krusial pada sistem solidaritasnya.

Seiring dengan keanekaragaman budaya di desa dan kota seperti yang

telah dijelaskan di atas. Masyarakat memiliki istilah tersendiri untuk individu

yang memiliki predikat serta prestise tertentu dalam masyarakat. Di kota-kota

besar seperti di Medan, Jakarta dan Bandung, masyarakat menyebut anak-anak

yang hidup di kelas menengah atas dan tinggal dengan kekayaan yang melimpah

dari orang tuanya biasa disebut sebagai “anak gedongan”. Berbeda dengan

masyarakat perdesaan, khususnya masyarakat pesisir di beberapa daerah seperti di

Desa Bogak, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara. Masyarakat

memberikan julukan “anak itik” kepada anak-anak yang membantu nelayan.

Fenomena “anak itik” tersebut merujuk pada pekerja anak-anak. “Anak

itik” biasanya membantu nelayan dalam hal membersihkan kapal dan jaring,

bahkan tidak jarang “anak itik” juga ikut melaut bersama nelayan untuk mencari

ikan atau hasil laut lainnya. Dengan kata lain, “anak itik” merupakan pekerja di

(15)

“Anak itik” di Desa Bogak merupakan bagian dari budaya yang ada di

Desa Bogak. “Anak itik” juga merupakan bentuk sosialisasi pendewasaan dari

masyarakat melalui ranah pekerjaan dengan harapan nantinya para pekerja anak

tersebut menjadi individu yang sukses dan mandiri. Dengan kata lain, “anak itik”

merupakan bagian dari kearifan lokal yang ada di Desa Bogak.

Selain itu, faktor ekonomi dari keluarga serta kebutuhan tenaga kerja dari

nelayan yang ada sering kali mengakibatkan hak-hak anak tereksploitasi

dikarenakan pekerjaan mereka. Tidak hanya dari orang yang mempekerjakan

mereka saja, namun juga pihak keluarga sendiri mengabaikan hak-hak anak

tersebut untuk dapat bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-teman

sebaya mereka. Hukum perlindungan hak asasi manusia khususnya anak-anak

telah ditetapkan, fenomena di masyarakat baik di perkotaan maupun di desa masih

banyak yang mengabaikan aturan-aturan tersebut. Lebih jauh lagi, fenomena

tersebut nampaknya telah menjadi kebiasaan tersendiri di beberapa daerah.

Sebagai contoh adalah masyarakat di Desa Bogak, Kabupaten Batubara. “Anak

itik” merupakan manifestasi dari pekerja anak di desa pesisir tersebut.

Pekerja anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap

anak. Menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, usia yang

digolongkan sebagai anak-anak adalah usia 18 tahun kebawah. Kemudian lebih

lanjut dalam pasal 4 dijelaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan kehidupan

yang layak sesuai dengan usia mereka. Kenyataan yang terjadi pada pekerja anak

(16)

jauh lagi, “anak itik” merupakan pekerja anak yang dilarang dalam hukum positif

dan tentunya melanggar undang-undang tersebut.

“Anak itik” di Desa Bogak dipekerjakan oleh toke dan nelayan untuk

membantu mereka dalam berbagai jenis pekerjaan dari yang sulit hingga yang

mudah seperti mengutip ikan di sampan. Terjadi perubahan konsep pada “anak

itik” di Desa Bogak ketika mereka ikut melaut bersama nelayan. Ketika mereka

ikut melaut maka mereka dikategorikan sebagai anak buah kapal (ABK). Maka

ketika “anak itik” berada di kapal dan ikut melaut bersama nelayan, pekerjaan

yang mereka lakukan tentu berbeda dari hanya sekedar membersihkan kapal di

pelabuhan.

Fenomena “anak itik” yang ada di Desa Bogak merupakan bentuk nyata

dari mutualisme antara eksploitasi industrial dan kearifan lokal yang ada pada

masyarakat tersebut. Orang-orang yang mempekerjakan mereka tidak jarang

adalah orang tua mereka sendiri yang bekerja sebagai nelayan. Adanya keinginan

“anak itik” untuk membantu orang tua mengakibatkan “anak itik” ikut membantu

nelayan dengan banyak mengabaikan hak-hak mereka serta memenuhi keinginan

masyarakat sebagai salah satu bentuk kearifan lokal diri bagi mereka. Lebih jauh

lagi, kearifan lokal tersebut bertentangan dengan hukum positif yang ada,

dikarenakan hak-hak anak yang tidak dipenuhi oleh keluarga maupun masyarakat.

Hal tersebut adalah salah satu dari bentuk kekerasan simbolis yang

dirasakan oleh “anak itik” di desa tersebut. Secara tidak sadar “anak itik” telah

(17)

hak-hak mereka, serta korban dari mutualisme antara eksploitasi masyarakat

industri dengan kearifan lokal. Pengabaian hak-hak mereka yang tidak mereka

sadari dengan jelas merupakan kekerasan simbolis yang dialami oleh pekerja anak

di Desa Bogak tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini berfokus pada fenomena sosial, dimana anak-anak yang

seharusnya mengisi waktu mereka dengan bermain dan berkreatifitas bersama

teman-teman sebaya. Ada sebuah kearifan lokal yang mengikat mereka secara

implisit untuk menjadi “anak itik” sebagai fase pertumbuhan untuk menjadi orang

yang sukses nantinya. Sedangkan pada dasarnya, anak-anak dilarang dipekerjakan

karena melanggar hak asasi. Maka peneliti menyimpulkan perumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sosialiasi “anak itik” yang dilakukan oleh keluarga dan

toke mereka?

2. Bagaimanakah kekerasan simbolik yang terjadi pada “anak itik” di Desa

Bogak?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana sosialisasi “anak itik” yang dilakukan oleh

(18)

2. Untuk mengetahui bagaimana kekerasan simbolik yang terjadi pada “anak

itik” di Desa Bogak.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis: penelitian ini diharapkan dapat menawarkan wacana baru

dalam studi anak dan pengembangan ilmu pengetahuan secara umum, khususnya

dalam bidang ilmu sosiologi keluarga.

Manfaat praktis: penelitian ini diharapkan akan memberikan solusi pada

fenomena sosial yang terkait hak-hak anak agar terwujud masyarakat yang lebih

peka terhadap hak-hak asasi manusia, terutama anak-anak. Fenomena yang

dimaksud adalah adanya paradoks antara hukum positif dengan kearifan lokal

yang ada pada masyarakat. Kemudian penelitian ini diharapkan dapat menjadi

pertimbangan bagi lembaga pemerintahan kedepannya dalam menetapkan hukum

dan mengambil kebijakan.

1.5. Definisi Konsep

Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai

berikut:

1. “Anak itik”

“Anak itik” merupakan anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun (UU

No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1) yang mendapat upah dari

toke atau nelayan yang mempekerjakan mereka untuk berbagai keperluan di areal

(19)

membersihkan jaring. Dalam penelitian ini, anak-anak adalah orang laki-laki atau

perempuan yang berusia 6-18 tahun.

2. Eksploitasi

Eksploitasi merupakan perlakuan yang memanfaatkan daya guna dari

individu /kelompok penguasa terhadap individu /kelopok yang dikuasai dengan

maksud mencari keuntungan.

3. Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan

setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan

diikuti oleh anggota masyarakatnya.

4. Nelayan

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan

ikan di perairan umum. Nelayan dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan “tekong”

dan nelayan perorangan.

5. Toke/ “tekong”/ juragan

Toke merupakan pemilik dari sampan atau kapal, baik bekerja sendiri

maupun memiliki pekerja dengan tujuan untuk mencari keuntungan dan sebagai

(20)

BAB II

TINJAUA PUSTAKA

2.1. Proses Sosialisasi Menuju Masyarakat

Sosialisasi adalah proses penanaman nilai pada individu dari masyarakat

secara simultan dengan tujuan agar individu tesebut siap untuk mnejadi bagian

dari struktur sosial. Sosialisasi dibutuhkan manusia sebagai proses untuk

mempelajari peran dan statusnya di masyarakat.

“Socialization is the process of learning the roles, statuses, and values necessary for participation in social institutions. Socialization is a lifelong process. It begins with learning the norms and roles of our family and our subculture and making these part of our self-concept. As we grow older and join new groups and assume new roles, we learn new norms and redefine our self-consept (Brinkerhoff, dkk: 1995).”

Artinya sosialisasi adalah proses pembelajaran tentang peran, status, dan

nilai-nilai penting untuk dapat berpartisipasi dalam institusi sosial. Sosialisasi

merupakan proses yang memakan waktu seumur hidup. Hal ini dimulai dengan

mempelajari norma-norma dan peran-peran di keluarga dan masyarakat,

kemudian menjadikannya sebagai bagian dari konsep diri. Semakin kita tumbuh

dewasa dan masuk kedalam kelompok yang baru dan memperoleh peran baru, kita

mempelajari norma-norma baru dan mendefenisikannya kembali menjadi bagian

dari konsep diri kita.

(21)

Pertama, Primary Socialization (sosialisasi primer): sosialisasi pada anak usia dini merupakan sosialisasi primer. Masa ini meruapan tahapan yang paling

penting dalam proses sosialisasi. Pada masa ini, anak-anak mengembangkan

kepribadian dan konsep dirinya, berkembangnya kemampuan berhasan serta

mereka dihadapkan kepada dunia sosial yang penuh dengan peran, nilai-nilai, dan

norma. Pada tahapan ini, Mead (dalam Ritzer, 2010) membagi tahapan sosialisasi

primer menjadi 2 tahapan, yaitu:

1. Tahap bermain (play stage). Dalam tahap ini anak-anak akan mengambil sikap orang lain tertentu untuk dijadikan sikapnya sendiri.

2. Tahap Permainan (game stage). Pada tahap play stage, anak mengambil peran orang lain yang berlainan, sedangkan dalam tahap ini anak harus

mengambil peran orang lain mana pun yang terlibat dalam permainan.

Lebih lanjut, peran yang berlainan ini harus mempunyai hubungan

nyata satu sama lain.

3. Generelize other (orang lain yang digeneralisir). Generelize other

merupakan sikap seluruh komunitas. Kemampuan untuk mengambil

peran umum orang lain adalah penting bagi diri: “sepanjang dia

mengambil sikap kelompok sosial terorganisasi di mana ia berada,

melakukan aktivitas sosial kooperatif atau aktivitas yang dilakukan

kelompok, maka barulah dia bisa mengembangkan diri secara penuh.

(22)

yang akan diperolehnya di masa yang akan datang. Semakin bertambahnya usia,

individu akan mengganti perannya yang lama dengan yang baru. Dikarenakan

sosialisasi ini, kebanyakan orang akan mempersiapkan diri untuk

bertanggungjawab atas apa yang akan mereka hadapi nantinya, baik itu sebagai

orang tua, pekerja, atau dokter.

Ketiga, Resocialization (resosialisasi). Tipe ini diperoleh ketika individu meninggalkan konsep diri dan cara hidupnya untuk secara radikal memperoleh

yang baru. perubahan “social behavior”, nilai-nilai, dan konsep diri yang

diperoleh dari pengalaman seumur hidup merupakan hal yang sulit, dan hanya

sebagian orang saja yang mampu menjalaninya.

Agen sosialisasi juga merupakan faktor penting dalam proses sosialisasi.

Setiap tahapannya memiliki agen-agen tersendiri yang sangat berperan penting

dalam proses sosialisasi. Brinkerhoff, dkk (1995) membagi agen sosialisasi

menjadi 6, yaitu; keluarga, sekolah, teman sebaya, media massa, agama, dan

tempat bekerja.

2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu

Kekerasan simbolis merupakan suatu perlakuan dominasi kultural dan

sosial yang berlangsung secara tidak sadar (unconscious) dalam kehidupan masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadal kelompok/ ras/ suku/

(23)

adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap

kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu

yang sah.

Kekerasan simbolik dapat terjadi akibat legitimasi yang meneguhkan relasi

kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama dia diterima

sebagai sesuatu yang sah, maka kebudayaan memperkuat kekerasan simbolis

tersebut melalui relasi kekuasaan. Hal itu dapat diraih melalui suatu proses salah

mengerti (misunderstanding), yaitu suatu proses yang relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara objektif tetapi tetap saja menjadikan kekuasaan tersebut

absah bagi pemeluknya.

Menurut Jerkins (2004) Inti penggunaan kekerasan simbolis adalah

„tindakan pedagogis‟. Ini adalah pemaksaan arbitraritas budaya, yang di dalamnya

terdapat tiga mode, yaitu:

1. Pendidikan yang tersebar luas (diffuse education), yang terjadi dalam interaksi dengan anggota bangunan sosial (satu contoh mungkin adalah

kelompok umur informal).

2. Pendidikan keluarga, yang berbicara untuk dirinya sendiri.

3. Pendidikan institusional (misalnya ritual inisiasi, di satu sisi atau

sekolah, di sisi yang lain.)

Tindakan pedagogis, ketika mereproduksi kebudayaan dalam segala

(24)

keberlangsungannya. Tindakan pedagogis mencerminkan kepentingan kelompok

atau kelas dominan, yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural

secara tidak meratan antar kelompok atau kelas yang hidup dalam satu ruang

sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial.

Penanaman nilai yang bersifat dominan dari satu kelompok kepada

kelompok lain memerlukan tindakan pedagogis yang simultan. Tindakan

pedagogis tersebut memerlukan otoritas sebagai prasyarat keberhasilannya.

Menurut Jerkins (2004), otoritas ini adalah suatu kekuasaan yang berubah-ubah

untuk bertindak, tanpa disadari oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu

yang legitimate. Adanya legitimasi ini memungkinkan suatu tindakan pedagogis

untuk beroperasi. Semua bentuk donimasi harus mendapakan pengakuan atau

diterima sebagai sebuah legitimitas (Wahyuni, 2008).

Kekerasan simbolik pada dasarnya merupakan bentuk lain dari kekuasaan

simbolik yang dirujuk oleh Bourdieu. Hal itu merujuk pada kekerasan simbolik

yang memerlukan kekuasaan yang dapat mendesak kelompok yang dikuasai agar

menerima ideologi yang ditanamkannya dan “memaksakannya” agar menjadi

legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari

kekuasaannya. Di area simbolik inilah pertarungan kelas terjadi. Gejala ini dapat

diamati pada fenomena pekerja anak di Desa Bogak Kec. Tanjung Tiram Kab.

Batubara yang berisi perlakuan dominasi secara simbolis dari hubungan

(25)

2.3. Pekerja Anak-Anak

Hasil penelitian Endrawati (2011) pada pekerja anak di sektor informal di

Kota Kediri yang berjudul “Faktor Penyebab Anak Bekerja Dan Upaya

Pencegahannya” menyebutkan bahwa ada 6 faktor penyebab anak bekerja, yaitu:

1. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi merupakan landasan utama bagi pekerja anak. Dengan

asumsi awal bahwa penghasilan mereka dapat membantu perekonomian keluarga

dan dapat meringankan beban orang tua. Hasil penelitian Netty Endarwati pada

pekerja anak di sektor informal tersebut menyebutkan bahwa sebagian besar dari

pekerja anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak atau kurang mampu secara

ekonomi.

2. Faktor orang tua

Selain ekonomi, faktor lainnya adalah orang tua atau keluarga. Hal

tersebut dikarenakan keluarga adalah komunitas pertama yang membentuk

karakter anak.Lebih jauh lagi, keluarga merupakan tempat di mana anak dapat

memperoleh hak-hak dasar mereka sebagai seorang anak dari kedua orang tua

mereka. Dalam sebuah keluarga, orang tua mempunyai tanggung jawab kepada

anaknya. Maka dalam hal ini, orang tua mempunyai andil dalam memberikan izin

kepada anak tentang apa yang akan dilakukan oleh anak tersebut.

3. Faktor budaya (kebiasaan)

Masyarakat memiliki norma-norma yang berlaku sebagai aturan dalam

(26)

masyarakat dengan membantu keluarga dan masyarakat sekitar. Semakin besar

kontribusi yang diberikan oleh anak tersebut, maka semakin tinggi statusnya di

mata keluarga dan juga di masyarakat.

4. Kemauan sendiri (kemandirian)

Kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan dapat

mengelola keuangan secara otonomi akan memberikan kepuasan tersendiri bagi

pekerja, terutama anak-anak. Anak-anak akan merasa sangat senang jika mereka

bisa membeli apa yang mereka inginkan dengan menggunakan uang hasil kerja

mereka. Maka kemandirian dalam hal finansial sejak usia dini merupakan

dorongan bagi anak-anak untuk masuk dalam dunia industri.

5. Faktor lingkungan

Tidak sedikit dari anak-anak yang bekerja disebabkan oleh pengaruh

lingkungan sosial di luar dari keluarga mereka seperti teman, tetangga, kerabat

dan saudara. Melihat teman-temannya sukses dalam bekerja dan pekerjaan yang

dilakukan menurut anak-anak yang bekerja dirasa tidak terlalu berat tetapi

menghasilkan uang banyak, maka bagi anak-anak hal tersebut merupakan daya

tarik tersendiri untuk ikut bekerja seperti yang dilakukan oleh teman-temannya

itu.

6. Faktor hubungan keluarga

Di samping beberapa faktor anak bekerja, tidak dapat dipungkiri adanya

faktor lain yang mendorong anak bekerja, yaitu dorongan atau ajakan dari sanak

saudara. Pada umumnya faktor saudara atau kerabat ini dilatar belakangi oleh

(27)

keluarga. Hal semacam ini yang membuat kerabat atau keluarga dekat

menawarkan kepada anak mereka untuk ikut bekerja bersamanya dengan alasan

(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif dengan melakukan pendekatan studi kasus. Menurut Creswell (dalam

Pambudi, 2014), metode kualitatif adalah metode untuk mengeksplorasi dan

memahami makna yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan

oleh sejumlah individu atau sekelompok orang. Menurut Somantri (dalam

Mustofa, 2013), peneltian kualitatif sangat memperhatikan proses, peristiwa, dan

otentisitas. Nilai peneliti bersifat eksplisit dalam situasi yang terbatas dan

melibatkan subyek dengan jumlah yang relatif sedikit. Peneliti kualitatif biasanya

terlibat dalam interaksi dengan realitas yang ditelitinya. Peneliti kualitatif secara

intens menjalin interaksi dengan obyek penelitiannya. Peneliti memilih

pendekatan studi kasus karena penelitian yang memiliki tujuan untuk

menggambarkan bagaimana fenomena yang sedang terjadi. Selain itu, peneliti

tidak banyak ikut berpartisipasi demi menjaga keautentikan fenomena sosial yang

ada (dalam hal ini adalah “anak itik”) (Yin, 2014).

Sebelum melakukan penelitian langsung, peneliti terlebih dahulu

mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini seperti halnya

mengumpulkan referensi yang berhubungan dengan penelitian ini dalam bentuk

jurnal, penelitian terdahulu, hasil sekripsi, serta hal-hal lain yang dapat menambah

(29)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir tepatnya Desa Bogak,

Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Pemilihan

lokasi penelitian di Desa Bogak di dasarkan pada pra observasi yang dilakukan

oleh peneliti tentang kearifan lokal pada masyarakat pesisir. Terdapat sebuah

pelabuhan di Kecamatan Tanjung Tiram yang bernama Pelabuhan Tanjung Tiram

atau masyarakat setempat lebih sering menyebutnya dengan “Bom”. Di kawasan

pelabuhan tersebut masih banyak terdapat desa lain seperti Desa Bagan Arya dan

Desa Pahlawan. Namun desa-desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa

Bogak sehingga secara budaya dan beberapa informan kunci masih banyak yang

tinggal di desa tersebut. Keberadaan “anak itik” dapat diamati di pelabuhan

Tanjung Tiram tersebut, kemudian berbagai fenomena pekerja anak yang lain

selain membantu nelayan (“anak itik”) juga banyak terdapat di Desa Bogak,

namun dalam penelitian ini peneliti hanya fokus kepada “anak itik”.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek dari

keseluruhan unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007). Dalam

penelitian ini, yang menjadi unit analisis adalah anak-anak yang menjadi “anak

itik”, nelayan yang memakai jasa “anak itik”, orang-orang dewasa yang

(30)

analisis tersebut, yang menjadi informan kunci adalah anak-anak yang

menghabiskan waktunya menjadi “anak itik”. Pemilihan informan didasarkan

pada karakteristik yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

3.3.2. Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan peneliti

sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin,

2007). Adapun yang menjadi informan adalah:

1. Anak-anak yang menjadi “anak itik” dengan alasan apapun.

2. Nelayan yang memakai jasa “anak itik” untuk membantunya. Mulai dari

membersihkan perahu atau kapal, membersihkan jaring, dan bahkan ikut

ke laut.

3. Orang-orang tua yang pernah menjadi “anak itik” dan menyadari bahwa

hal tersebut merupakan bagian dari budaya setempat atau kearifan lokal.

4. Orang tua dari “anak itik”.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengungkap tujuan penelitian diperlukan beberapa teknik

pengumpulan data agar data yang didapat sesuai dengan tujuan penelitian yang

telah ditetapkan sebelumnya. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ini

(31)

3.4.1. Observasi

Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan alat (instrumen)

pengumpul data utama, karena peneliti adalah manusia dan hanya manusia yang

dapat berhubungan dengan informannya atau objek lainnya, serta mampu

memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Dalam penelitian ini peneliti

juga berperan serta dalam pengamatan atau participant observation (Maleong,

2007), meskipun peneliti tidak menjadi “anak itik”.

Metode yang diterapkan dalam peneilitian adalah menggunakan metode

observasi serta observasi partisipatif pasif. Dimana metode observasi merupakan

suatu pencatatan hasil penelitian yang bukan hanya mencatat tetapi juga

mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala

bertingkat. Dengan melaksanakan observasi partisipatif pasif berarti peneliti ikut

terjun dan melakukan kegiatan sesuai tema yang menjadi objek penelitian. Dalam

penelitian ini, peneliti ikut dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh “anak itik”

guna mendapatkan data yang lebih akurat. Observasi paling disukai oleh peneliti

yang mencoba untuk mengurai hasil lapangan menjadi uraian pada laporan

penelitian yang telah dilakukan pada tempat objek kajian penelitian.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pertama kali adalah pra

observasi. Teknik pra observasi adalah kegiatan yang pertama sekali dilakukan

dari semua peneliti. Kali ini penelitian ini melakukan pra observasi yang

dilakukan sebelum peneliti terjun langsung ke lapangan. Kegiatan yang dilakukan

seminggu sebelum penelitian dilakukan dengan tujuan untuk meninjau lokasi,

(32)

peneliti melakukan teknik pra penelitian berikutnya yaitu mempersiapkan

perlengkapan yang dibutuhkan dalam penelitian seperti catatan, alat tulis, kamera,

maupun literatur yang berhubungan dengan kajian penelitian ini.

3.4.2. Wawancara mendalam

Teknik selanjutnya adalah teknik wawancara mendalam. Teknik

wawancara adalah teknik yang dilakukan dengan percakapan dengan maksud

untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan peneliti. Percakapan itu dilakukan

oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (informan) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu

(Moleong, 2000). Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan

mengumpulkan keterangan tentang berbagai informasi kehidupan masyarakat

serta berbagai hal yang menyangkut terhadap data yang diketahui oleh segelintir

orang yang dalam penelitian disebut informan.

Teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah teknik wawancara

terstruktur dimana draft pertanyaan telah peneliti siapkan untuk mempermudahkan peneliti ketika sedang mewawancarai informan. Draft

pertanyaan tersebut dipersiapkan bertujuan agar pertanyaan yang akan ditanyakan

terstruktur dan meminimalkan pertanyaan yang tidak diperlukan dalam penelitian,

terlebih agar pewawancara tidak lupa dengan apa yang harusnya ditanyakan

(33)

3.4.3. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti juga melaksanakan metode dokumentasi

yang dilakukan dengan cara mencari data tentang hal-hal atau variabel yang

berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,

agenda dan sebagainya. Moleong (2004) mendefinisikan dokumen sebagai setiap

bahan tertulis ataupun film, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan

seorang penyidik.

3.4.4. Penghayatan

Suatu teknik pengumpulan data melalu pendalaman bangunan berfikir dari

responden. Teknik ini juga berupaya memahami kesadaran warga masyarakat

berdasarkan logika kultur, di mana responden merupakan anggotanya. Hal

tersebut dikarenakan narasumber (responden) memiliki pola perilaku dan sikap

yang berbeda sesuai dengan latar belakang yang dimiliki.

3.5. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua jenis

data. Jenis data tersebut adalah data text dan data image. Data text yaitu data yang berbentuk alfabet maupun angka numerik, dimana data text yang berbentuk alfabet merupakan data yang menjelaskan tentang keadaan, serta hal-hal yang

(34)

serta segala hal yang dapat dijelaskan dengan menggunakan data numerik atau

yang biasa dikenal dengan data angka.

Jenis data kedua adalah data image. Data image yaitu data yang memberikan informasi secara spesifik mengenai keadaan tertentu melalui foto,

diagram, dan sejenisnya (Fauzi, 2001). Data image dalam penelitian ini yaitu data penduduk menurut BPS (Badan Pusat Statistik), data kependudukan dari kepala

desa, maupun hasil penelitian terdahulu.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang peneliti dapat langsung dari lapangan

yang menjadi data penelitian. Sedangkan data yang kedua adalah data sekunder.

Dimana data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, tetapi memiliki

fungsi sebagai salah satu aspek pendukung bagi keabsahan penelitian. Data ini

berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan

permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini

dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan

mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan dan

mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi,

dokumen, majalah, dan jurnal.

Data sekunder lainnya berasal dari hasil penelusuran data online

(35)

data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin dan dapat

dipertanggungjawabkan secara akademis (Bungin, 2005).

3.6. Interpretasi Data

Dalam penelitian ini, peneliti dapat mengumpulkan data melalui hasil

wawancara, observasi dan observasi partisipatif pasif. Semua data yang diperoleh

pada umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan, dokumentasi resmi dalam

bentuk foto, maupun dalam bentuk rekaman. Setelah data tersebut dibaca,

dipelajari dan ditelaah. Maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi

data dengan cara abstarksi. Abstraksi merupakan rangkuman yang terperinci dan

merujuk pada inti temuan data dengan cara menelaah pernyataan-pernyataan yang

diperlukan agar tetap berada pada fokus penelitian.Setelah itu data tersebut

disusun dan dikategorisasikan serta diinterpretasikan secara kualitatif sesuai

metode penelitian yang telah ditetapkan.

3.7. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana fenomena

kekerasan simbolik serta menerangkan bagaimana sosialisasi yang dirasakan oleh

“anak itik” di Desa Bogak. Untuk membahas hal tersebut, peneliti menggunakan

landasan teori berupa teori kekerasan simbolik dan teori sosialisasi. Memang tidak

dapat dipungkiri bahwa “anak itik” adalah buruh yang bekerja untuk mendapatkan

upah dan oleh karenanya, fenomena “anak itik” dapat juga dilihat dari sudut

(36)

peneliti hanya berfokus pada kekerasan simbolik dan sosialisasi yang dirasakan

oleh “anak itik” saja.

Dalam pengumpulan data, peneliti mengalami beberapa kesulitan. Untuk

dokumentasi, peneliti tidak banyak mendapatkan gambar atau foto dari

narasumber. Hal tersebut disebabkan oleh narasumber sendiri yang tidak ingin

dirinya untuk difoto. Kemudian daripada itu, penelitian ini juga membutuhkan

penelitian lanjutan agar pembahasan tentang “anak itik” di Desa Bogak semakin

kaya dan kompleks. Menurut peneliti, “anak itik” adalah salah satu contoh

fenomena sosial yang merupakan paradox antara hukum positif dengan budaya

(37)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Gambaran Tangkahan1 dan Pelabuhan di Desa Bogak

Kabupaten Batubara adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi

Sumatera Utara. Kabupaten Batubara terletak di tepi pantai Selat Malaka, sekitar

175 km selatan ibu Kota Medan. Batas wilayah utara Kabupaten Batubara adalah

Kabupaten Serdang Bedagai dan Selat Malaka, batas selatan adalah Kabupaten

Asahan dan Kabupaten Simalungun, batas barat adalah Dolok Batunanggar

(Kabupaten Simalungun) dan Tebing Tinggi (Kabupaten Serdang Bedagai) serta

batas timur adalah Air Joman (Kabupaten Asahan) dan Selat Malaka

(http://www.batubarakab.go.id/).

Desa Bogak merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tanjung

Tiram, Kabupaten Batubara yang berbatasan langsung dengan laut Selat Malaka,

sehingga Desa Bogak merupakan desa pesisir dengan bentangan laut sebagai

lahan untuk mencari nafkah bagi masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Dalam

rangka mendukung mata pencaharian masyarkat dari sektor laut, berbagai

fasilitas, sarana dan prasarana dibangun untuk keperluan mencari nafkah. Adanya

pasar untuk menjual hasil laut atau yang lebih dikenal dengan TPI (Tempat

Penampungan Ikan), kemudian ada juga pangkalan berbagai angkutan transportasi

1

(38)

daratu maupun laut, serta beberapa dermaga atau tangkahan sebagai tempat

nelayan untuk menambatkan perahu atau kapal mereka.

Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, pada umumnya memiliki satu

pelabuhan besar dan beberapa tangkahan atau dermaga kecil yang terletak di

pinggiran sungai yang ada di wilayah tersebut. Pelabuhan Tanjung Tiram

merupakan pelabuhan terbesar di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara

yang terletak di Desa Bogak. Berbagai aktivitas kelautan ada di Pelabuhan

Tanjung Tiram, mulai dari transportasi, melaut, rekreasi dan juga pasar ada di

pelabuhan tersebut.

Di Desa Bogak tidak hanya terdapat pelabuhan sebagai tempat aktivitas

kelautan terjadi, tetapi juga ada yang disebut sebagai tangkahan. Tangkahan

merupakan pelabuhan tempat berkumpulnya nelayan serta pekerja turunan lainnya

(seperti: pedagang, bengkel kapal, ABK (Anak Buah Kapal), “anak itik” dan lain

sebagainya) yang dihasilkan oleh adanya laut dalam skala kecil. Terdapat empat

tangkahan yang didirikan masyarakat di Desa Bogak. Masing-masing tangkahan

terletak di pinggiran sungai di berbagai sudut desa maupun di tengah Desa Bogak.

Selain tempat berkumpulnya nelayan dan pekerja-pekerja turunan,

tangkahan dijadikan sebagai tempat penambatan kapal dan sampan bagi nelayan

atau ojek perahu yang ada di Desa Bogak. Tangkahan juga dibangun dengan

tujuan untuk mengurangi kepadatan di Pelabuhan Tanjung Tiram serta untuk

mendekatkan kapal atau sampan kepada rumah warga.

Bongkar muatan yang dilakukan oleh nelayan sepulangnya dari melaut

(39)

dilakukan di tangkahan-tangakahan. Pembongkaran muatan yang berisi hasil laut

biasanya langsung dibeli oleh toke, pengumpul besar, atau masyarakat sebagai

konsumen langsung.

Tangkahan-tangkahan yang ada di Desa Bogak dijadikan sebagai tempat

bagi nelayan serta ojek perahu untuk membersihkan kapal atau sampan,

mempersiapkan persediaan keperluan kapal dan lain sebagainya. Pelabuhan pusat

dan tangkahan memiliki berbagai perbedaan yang signifikan selain dari jumlah

kapal atau sampan yang bisa ditambatkan. Nelayan atau ojek perahu tidak

membersihkan kapal atau sampan mereka di pelabuhan pusat dengan alasan akan

lebih praktis membersihkan di tangkahan daripada di pelabuhan.

Penambatan kapal atau sampan di tangkahan senantiasa ditentukan dari

pasang surutnya air di sungai. Kapal atau sampan tidak akan bisa melewati sungai

jika kedalaman air tidak mencukupi. Setelah kapal atau sampan ditambatkan di

tangkahan, nelayan dan tukang ojek perahu akan membiarkan kapal atau sampan

mereka kandas di tepi sungai dikarenakan surutnya air. Hal tersebut dilakukan

agar kapal atau sampan mereka tidak terbawa arus sungai atau mudah untuk

diberikan maintenance (servis berkala).

Adanya tangkahan dan pelabuhan membutuhkan berbagai pekerjaan

untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang ada di tangkahan dan pelabuhan.

Perbedaan tangkahan dan pelabuhan terlihat jelas dari komposisi pekerja yang ada

di tangkahan dan pelabuhan. Pelabuhan memiliki komposisi pekerja yang lebih

kompleks dibandingkan dengan tangkahan. Pasar atau TPI senantiasa berada

(40)

penunjang seperti transportasi, pedagang asongan dan grosir banyak terdapat di

sekitar pelabuhan. Sementara itu lapangan pekerjaan di tangkahan tidak

sekompleks atau selengkap di pelabuhan, karena lokasinya yang jauh dari

keramaian dan tidak begitu strategis untuk didirikan pusat perbelanjaan seperti

pasar. Sebagian besar masyarakat akan lebih memilih untuk membeli hasil laut di

pasar daripada di tangkahan karena harga dan tidak banyak pilihan dalam

membeli hasil laut.

4.2. Gambaran Pekerja di Tangkahan Desa Bogak

Tangkahan merupakan pelabuhan-pelabuhan kecil yang berada di Desa

Bogak. Berbeda dengan pelabuhan pusat, kompleksitas atau komposisi pekerja

yang ada di tangkahan tidak sebanyak yang ada di pelabuhan pusat. Banyaknya

pekerja yang ada di pelabuhan pusat disebabkan oleh beberapa hal sebagai

berikut, yaitu:

1. Letaknya dekat dengan pasar.

2. Berbatasan langsung dengan desa lain, seperti; Desa Bagan Aria, Desa

Bagan Seberang, dan Desa Lima Laras.

3. Pangkalan kapal-kapal besar untuk penyeberangan pulau.

4. Ruang terbuka untuk rekreasi.

5. Titik awal keberangkatan untuk berbagai destinasi wisata, seperti; Pantai

Bunga, Pulau Berhala, Pulau Salahnama, Pulau Pandang, dan lain

(41)

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas mengakibatkan pekerjaan yang

dulunya tidak ada, kemudian menjadi ada dan dibutuhkan untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar pelabuhan. Berbagai infrastruktur

dan sarana yang ada merupakan hasil turunan dari adanya pelabuhan tersebut.

Infrastruktur dan sarana yang muncul akibat adanya pelabuhan tentunya

memerlukan tenaga kerja untuk menjaga keberlangsungan pelabuhan pusat.

Dalam hal ini, tidak hanya masyarakat desa sekitaran pelabuhan saja yang

diberikan keuntungan, tetapi juga berbagai elemen masyarakat yang datang dari

berbagai wilayah yang menjadikan Pelabuhan Tanjung Tiram sebagai sumber

ekonomi bagi mereka.

Berbeda halnya dengan tangkahan yang ada di Desa Bogak. Faktor-faktor

yang dimiliki Pelabuhan Tanjung Tiram seperti yang telah disebutkan di atas tidak

sedemikian rupa dimiliki oleh tangkahan. Sebagaimana dengan fungsi tangkahan

sebagai berikut, yaitu:

1. Tempat kapal atau sampan yang berukuran sedang dan kecil ditambatkan.

2. Sebagai tempat alternatif untuk pembongkaran muatan hasil laut jika

pelabuhan padat.

3. Letaknya yang dekat dengan rumah warga, sehingga warga lebih memilih

untuk menambatkan kapal atau sampan mereka dekat dengan rumah

mereka.

Adanya tangkahan menimbulkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat

untuk menjaga keberlangsungan dari tangkahan tersebut. Meskipun lapangan

(42)

Tiram, lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak serta merta ada di

pelabuhan dan begitu juga sebaliknya.

Masyarakat senantiasa dapat mencari kesempatan untuk mencari

keuntungan dari berbagai situasi, tidak hanya di pelabuhan saja tetapi juga di

tangkahan. Pada umumnya masyarakat yang menjadikan tangkahan sebagai

sumber ekonomi mereka adalah masyarakat yang tinggal di sekitar tangkahan

tersebut. Berbagai kedai dan bengkel untuk keperluan nelayan dan ojek perahu

berdiri dekat dengan tangkahan untuk memudahkan nelayan dan ojek perahu.

Lapangan pekerjaan yang ada di tangkahan tidak hanya bergerak di sektor

barang saja, tetapi juga di sektor jasa. Hal itu dibuktikan dengan adanya berbagai

pekerja sektor jasa yang menawarkan jasanya untuk masyarakat dan pekerja lain

yang ada di tangkahan. Masyarakat senantiasa bergerak secara dinamis atau

dengan kata lain akan selalu mengalami perubahan (Berger dalam Demartoto,

2013). Seiring berjalannya waktu, ada saja lapangan pekerjaan baru yang muncul

dari hasil interaksi antar masyarakat.

Masyarakat yang bekerja mencari nafkah melalui hasil laut dapat

digolongkan kedalam 4 jenis pekerjaan, yaitu; juragan, nelayan, ABK (Anak Buah

Kapal), dan “anak itik”. Masing-masing pekerjaan tersebut memiliki job desc

(43)

Bagan 3.1. Jaringan Job Desc Para Pekerja.

4.2.1. Juragan / toke / “tekong”

Dalam strata pekerjaan yang ada di tangkahan dan pelabuhan. Toke/

juragan berada pada tingkatan paling atas, karena kepemilikan modalnya yang

tinggi. Dikarenakan kepemilikan modalnya yang besar, toke/ juragan juga

memiliki penghasilan yang paling besar dari nelayan, ABK dan “anak itik”, yaitu

sekitar Rp. 3.000.000,- sampai Rp. 5.000.000,- perbulan. Kepemilikan modal

yang besar tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya kapal dan cara kerja dari

toke/ juragan itu sendiri. Di Desa Bogak, toke/ juragan biasa disebut dengan

“tekong”.

“Tekong” bekerja sebagai pemborong hasil laut yang didapatkan oleh

nelayan. Dengan bermodalkan kapal dan alat tangkap, “tekong” memekerjakan

nelayan untuk menggunakan kapal dan alat tangkap miliknya dengan kesepakatan

hasil laut akan dibeli oleh “tekong”. Seorang “tekong” bisa memiliki lebih dari

(44)

dibuat bersama dengan nelayan, “tekong” dapat memberikan harga terhadap hasil

laut yang didapat oleh nelayan dengan sesukanya. Nelayan lain yang tidak

menggunakan kapal dan alat tangkap yang disediakan oleh “tekong” juga dapat

menjual hasil lautnya kepada toke atau “tekong”.

Kesepakatan antara nelayan dan “tekong” merupakan hasil negosiasi antar

kedua belah pihak tersebut. Pihak “tekong” akan senantiasa membeli dengan

harga murah, sedangkan nelayan akan berusaha agar nilai jual dari hasil lautnya

dapat dibayar tinggi. “Tekong” merupakan penyalur hasil laut yang didapatkan

oleh nelayan kepada konsumen langsung atau pasar. Oleh karena itu, “tekong”

berusaha agar ketika di pasar, harga ikan dan hasil laut tidak begitu tinggi dan

dapat dibeli oleh konsumen.

4.2.2. Nelayan

Nelayan merupakan pekerja dengan strata kedua setelah juragan atau

“tekong”. Kedudukan kedua setelah “tekong” dikarenakan posisi nelayan adalah

pemimpin kedua setelah “tekong”, baik ketika berada di pelabuhan, tangkahan,

atau ketika melaut. Posisi tersebut didapatkan nelayan ketika nelayan tesebut

menggunakan peralatan yang digunakan oleh “tekong”.

Nelayan sendiri terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

1. Nelayan “tekong”: nelayan “tekong” yaitu nelayan yang bekerja di bawah

perintah “tekong”. Nelayan “tekong” dan “tekong” memiliki kesepakatan

bersama dalam bagi hasil. Nelayan “tekong” tidak memiliki peralatan

(45)

yang disediakan oleh “tekong” untuk melaut (kapal dan alat tangkap).

Pendapatan nelayan “tekong” adalah 2 “bagi”2

dari hasil tangkapan ketika

mereka melaut. Kapal yang digunakan pun juga bervariasi, ada yang

berukuran besar dengan muatan 15 orang (nelayan dan ABK), yang

berukuran sedang dengan muatan 6 orang, atau yang berukuran kecil

dengan muatan 2 orang.

2. Nelayan perorangan: nelayan perorangan adalah nelayan mandiri yang

bekerja di luar kendali “tekong” atau toke. Dengan memanfaatkan modal

sendiri, nelayan perorangan pergi melaut menggunakan kapal dan alat

tangkap miliknya tanpa ada kesepakatan antara nelayan perorangan

dengan “tekong” atau juragan. Ada juga nelayan perorangan yang

merangkap sebagai toke atau pembeli hasil tangkapan nelayan. Hasil yang

diterima oleh nelayan perorangan adalah 4 “bagi”, karena asumsi bahwa

nelayan perorangan tersebut yang akan menanggung segala biaya apabila

kapal atau jarring telah rusak. Nelayan perorangan juga memiliki ABK

yang membantunya, sesuai dengan ukuran kapal yang dia gunakan.

Masing-masing nelayan perorangan mememiliki ukuran kapal yang

berbeda sesuai dengan modal yang mereka miliki. Ada yang berukruan

besar, sedang dan kecil.

2

(46)

Nelayan yang menggunakan kapal dengan ukuran sedang dan besar, tidak

bisa melaut sendirian tanpa bantuan dari anak kapal atau anak buah kapal (ABK).

Nelayan memekerjakan ABK untuk memudahkan pekerjaannya dalam berbagai

hal ketika berada di laut atau di pelabuhan. Dengan demikian, hasil laut yang

didapatkan oleh nelayan yang menggunakan jasa ABK akan dibagikan sesuai

dengan kesepakatan bersama.

4.2.3. ABK (Anak Buah Kapal)

ABK atau biasa juga disebut dengan anak sampan merupakan pekerja

yang membantu nelayan, baik ketika melaut ataupun tidak. Pada umumnya ABK

dipekerjakan oleh nelayan yang menggunakan kapal berukuran besar dan sedang.

Karena berbagai pekerjaan yang harus tidak dapat diselesaikan oleh nelayan jika

dikerjakan sendirian. Pekerjaan yang dikerjakan oleh ABK juga dikerjakan oleh

nelayan, seperti; menjaring ikan, mengemudikan kapal, membuat jaring,

memperbaiki kapal dan lain sebagainya.

Berdasarkan data lapangan, sebagian besar masyarakat Desa Bogak

menggantungkan hidup mereka dari hasil laut dengan berbagai jenis pekerjaan,

ada yang menjadi juragan, nelayan, pedagang, ABK dan lain-lain. Pekerjaan Anak

Buah Kapal (ABK) merupakan pekerja terbanyak yang menggantungkan hidup

mereka dari melaut. Jika setiap kapal besar menggunakan jasa 10 sampai 15 orang

ABK dan kapal sedang 4 sampai 6 orang ABK, sedangkan di Desa Bogak terdapat

begitu banyak kapal-kapal nelayan untuk melaut, maka dapat dilogikakan bahwa

(47)

Penghasilan yang didapat ABK dari pekerjaannya dapat berubah-ubah

sesuai dengan kondisi laut sebagaimana yang dialami oleh nelayan dan juga

“tekong”. Meskipun demikian, pendapatan ABK adalah 1 “bagi” dari hasil laut.

Ada juga yang telah dikontrak dengan bayaran tertentu untuk sekali melaut,

banyak atau tidaknya hasil laut, ABK tetap mendapatkan upah sesuai dengan

kesepakatan.

Pekerjaan yang dikerjakan ABK di kapal tentunya berbeda-beda. Nelayan

yang bertugas sebagai pemimpin di kapal ketika melaut, sedangkan ABK

dibagi-bagi sesuai dengan posisi mereka masing-masing. Ada yang bertugas di penebar

jaring, ada yang bertugas sebagai wakil nelayan yang bekerja di depan kapal

dengan tanggung jawab mengarahkan kapal dimana ikan berada, dan lain

sebagainya.

4.2.4. “Anak itik”

“Anak itik” merupakan bagian dari lingkungan pekerja yang ada di

pelabuhan dan tangkahan. “Anak itik” bekerja sesuai dengan perintah dari juragan

atau nelayan yang memekerjakan mereka. Pekerjaan mereka dimulai ketika kapal

atau sampan sedang berlabuh atau sedang ditambatkan di pelabuhan atau di

tangkahan. Sehingga, sebagian besar waktu mereka dihabiskan di pelabuhan dan

di tangkahan.

Sebagian besar “anak itik” adalah pekerja anak yang berusia 18-15 tahun,

dengan tujuan “anak itik”-lah yang akan melanjutkan kearifan lokal masyarakat

(48)

yang berusia lebih dari 18 tahun, bahkan sudah berumah tangga. Nelayan ataupun

“tekong” yang ada di Desa Bogak akan lebih memilih untuk memekerjakan anak

-anak agar bisa mereka didik nantinya.

Seiring dengan perubahan waktu dan bertambahnya kebutuhan, upah

“anak itik” juga berubah-ubah. Menurut data lapangan, pada tahun 1970-an “anak

itik” diberi upah Rp. 100,- untuk sekali bekerja. Sedangkan sekarang “anak itik”

diupah sama dengan ABK, yaitu 1 “bagi”. Persamaan upah antara “anak itik”

dengan ABK juga dipengaruhi oleh asumsi bahwa pekerjaan “anak itik” juga

semakin berat, dan hanya dikerjakan oleh satu “anak itik” saja untuk satu kapal.

Meskipun kebanyakan “anak itik” adalah pekerja anak, tetapi “anak itik”

merasa senang bisa bekerja sebagai “anak itik”. Hal tersebut dikarenakan mereka

merasa bisa menjadi orang yang mandiri dan dapat membantu orang tua untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perasaan senang tersebut juga didukung oleh

keadaan kerja yang dibangun oleh juragan atau nelayan yang selalu bersikap baik

terhadap “anak itik” yang mereka pekerjakan.

4.3. Profil Informan

4.3.1. Profil informan nelayan dan “tekong” di Desa Bogak

Nama : Acim Beel

Usia : 64 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar)

Penghasilan : Rp 2.000.000,- perbulan

(49)

Pekerjaan : Nelayan

Acim Beel merupakan nelayan yang juga merangkap sekaligus “tekong”

atau toke di pelabuhan Tanjung Tiram, Desa Bogak. Masyarakat Desa Bogak

mengenal Acim Beel dengan panggilan Apak Acim. Selain bekerja menjadi

nelayan dan “tekong”, Acim Beel juga bekerja sebagai peternak itik.

Masyarakat Desa Bogak mengenal Acim Beel sebagai salah satu tokoh

masyarakat yang disegani. Penobatan sebagai tokoh masyarakat tersebut

dikarenakan Acim Beel merupakan penduduk yang sudah berdomisili di Desa

Bogak secara turun temurun sejak Desa Bogak dibuka oleh keluarganya

terdahulu. Acim Beel dimata para pekerjanya (ABK dan “anak itik”) adalah sosok

yang bertanggungjawab. Perlakuan yang baik dari Acim Beel terhadap pekerjanya

ditunjukkan dengan keramahan, menanggung biaya kecelakaan kerja dan lain

sebagainya. Lama Acim Beel bekerja sebagai nelayan telah menghasilkan

mantan-mantan “anak itik” yang sekarang telah beranjak dewasa dan tidak sedikit

yang menjadi sukses, salah satunya adalah Jafar Sidik.

Anak-anak biasanya datang sendiri untuk meminta pekerjaan kepada Acim

Beel untuk menjadi “anak itik”. Bagi Acim Beel, yang terpenting dari menjadi

“anak itik” adalah kejujuran dan asal pandai menghidupkan mesin saja. Kemudian

Acim Beel akan dengan senang hati untuk mengajarkan hal-hal baik kepada “anak

(50)

Nama : Ariel

Usia : 27 tahun

Pendidikan terakhir : Tamat SD (Sekolah Dasar)

Penghasilan : Rp 35.000,- sampai Rp 100.000,- perhari

Etnis : Melayu

Pekerjaan : Nelayan

Ariel merupakan anak pertama dari Acim Beel yang bekerja sebagai

nelayan di Desa Bogak. Kapal yang dimiliki oleh Ariel adalah kapal berukuran

besar dengan muatan maksimal 15 orang. Sehari-hari, Ariel pergi melaut bersama

dengan Anak Buah Kapal dan komando dari “tekong”. Meski memiliki kapal

sendiri, Ariel tetap bekerja dibawah perintah dari “tekong” karena suatu kontrak

kerja dimana hasil laut akan dibeli oleh “tekong”.

Selain melaut, Ariel beserta nelayan lainnya mengisi waktu mereka

dengan memerbaiki jaring atau alat tangkap mereka yang rusak. Dalam hal ini,

nelayan biasanya tidak bekerja sendirian. Ukuran jaring yang besar membutuhkan

tenaga yang banyak untuk memerbaikinya agar cepat selesai. Ariel biasa

menggunakan jasa “anak itik” untuk membantunya dalam hal merajut jaring atau

memasang pemberat saja.

4.3.2. Profil informan “anak itik” di Desa Bogak

Nama : Bayu Saputra

Usia : 17 tahun

Gambar

Tabel 1.1 Data Pekerja Anak Berdasarkan Faktor Penyebab
Gambar 1. Nelayan, ABK dan “anak itik” sedang membongkar hasil laut.
Gambar 3. ABK dan “Anak itik” sedang merajut jaring.
Gambar 5. Acim Beel beserta keluarga.

Referensi

Dokumen terkait

Major obstacles for a better development can be identified in an all but market-conform agriculture, in the Schengen regime cutting Transcarpathia off especially from Slovakia

MODEL PROBLEM BASED LEARNING DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK TENTANG MATERI LINGKUNGAN HIDUP DI KELAS XI IPS 4 SMA NEGERI 5 CIREBON. Universitas Pendidikan Indonesia

Investasi pada instrumen keuangan syariah di beberapa negara terutama di Indonesia berkembang cukup pesat. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh ajaran agama

Pada tulisan ini akan diuraikan tentang definisi dan transformasi wavelet, bagaimana wavelet digunakan sebagai alat analisis (tools) dalam terapan matematika, serta ranah

Katanya, beberapa pegawai dari pejabat Pelajaran Daerah Miri menemui pengurusan sekolah berkenaan apabila beberapa pelajar yang dipercayai terbabit dalam insiden itu sudah

In addition to the many fan souvenirs also found key types of keychains and magnetic patches, the shape of the keychain is very diverse ranging from Shushi Japanese food shapes,

interpersonal yang disukai serta memiliki standard moral dan kesehatan yang baik. Harga diri yang tinggi juga dapat membantu meningkatkan kinerja berkaitan

Dengan pelbagai andaian serta spekulasi tentang punca kemerosotan makanan utama iaitu padi kita seharusnya mengambil iktibar bahawa sesebuah negara yang kuat ialah negara yang