• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. INTERPRETASI DATA

4.6 Gambaran Peluang Modal Sosial Masyarakat

Modal sosial didefenisikan institusi sosial yang melibatkan jaringan, norma kepercayaan sosial, yang mendorong sebuah kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama. Sedangkan Pierre Bourdie ( dalam Hasbullah 2006: 11) menegaskan modal sosial sebagai suatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk social capital ( modal sosial) berupa institusi lokal maupun kekayaaan sumber daya alam lainnya.

Bank Dunia (1999) mendefinisikan Modal Sosial sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan- hubungan yang tercipta, dan norma norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Cohen dan Prusak (2001) memberikan pengertian bahwa Modal Sosial sebagai stok dan hubungan yang aktif antar masyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleb kepercayaan (trust) kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif dikutip dari pot.com/2010/03/ definisi-modal-sosial.html) diakses tanggal 13 maret 2011 pukul 11.02 WIB.

4.6.1 Gambaran Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk formal maupun informal. Hubungan sosial adalah cerminan dari kerjasama dan koordinasi antara warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal ( Ibrahim, 2002:67). Maka jaringan sosial (social networks) meliputi; partisipasi (participation), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity), kerjasama (cooperation) dan keadilan (equity). Bentuk dari jaringan sosial dalam masyarakat desa Pertambatan ini dapat diuraikan dari beberapa komponen jaringan sosial, yaitu:

4.6.1.1 Gambaran Partisipasi dalam Masyarakat

Pengertian prinsip partisipasi dimana masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasan, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill (PTO PNPM PPK, 2007). Sementara itu menurut Verhangen (1979) dalam Mardikanto (2003) menyatakan bahwa, partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat (ttp://learning-of.slametwi dodo.com/2008/02/01/partisipasi- pemberdayaan-dan-pembangunan/, diakses tanggal 16 desember 2010 pukul

Partisipasi masyarakat menurut Hetifah Soemarto (2003) adalah proses ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan kebijakan yang langsung mempengaruhi kehiduapan mereka. Menurut Keith Davis, dalam (B. Suryobroto) partisipasi didefenisikan sebagai berikut: “Partisipation is defined as a mental and emotional involved at a person in a group situasion which encourager then contribut to group goal and share responsibility in them”. Dimana dalam pengertian ini partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya dikutip dari (ttp://earning- of.slametwidodo.com/2008/02/01/partisipasi-pemberdayaan-dan-pembangunan/), diakses tanggal 16 desember 2010 pukul 09.58 WIB.

Dalam interaksi sosial masyarakat hal ini tergambar dari kesediaan anggota masyarakat untuk ikut berpartisipasi meringankan beban sesama anggota masyarakat dalam upacara perkawinan. Jika ada warga yang berpesta dan memiliki niat untuk mengadakan acara hiburan namun biaya tidak mencukupi maka partisipasi masyarakat akan muncul melalui pengumpulan dana secara sukarela agar acara hiburan tetap dilaksanakan. Biasanya biaya untuk hiburan bisa diperoleh lebih dari setengah biaya yang dibutuhkan dan kekurangannya akan ditambahkan oleh orang yang berpesta.

Gambaran diatas sesuai dengan yang diutarakan informan S.H (Lk, 50 tahun), sebagai berikut:

kurang..ya pemuda-pemuda itu nanti..jalan itu mereka bawa buku kan..mereka kutiplah sumbangan..kayak gitu itu dari satu hari sebelum pesta misalnya udah taulah kan kurang dana..udah jalan itu mereka..begitu itu..”

Hal yang sama dikuatkan oleh informan U (Lk, 40 tahun), yang mengatakan: “kekompakan kami itu kalau ada yang butuh bantuan itu memang disitulah jalannya kekeluargaan itu..apalagi kalau ada pesta kawinan..wah rame memang..satu orang yang pesta sudah seperti pestanya satu kampong apalagi kalau sama orang batak itu dek..kompak kali mereka tu kalau dah ada pesta..kami kalau mau ngundang kibotnya pesta ga susahnya itu..sumbangan untuk undang kibot dikutip berapa secar sukarela.”

Gambaran ini juga diutarakan oleh tokoh masyarakat di desa Pertambatan ini yaitu informan S (Lk, 50 tahun) yaitu:

“kalau bentuk partisipasi warga dalam bentuk penggalangan dana untuk acara hiburan dalam pesta seperti itu memang sangat tinggi, kalau warga yang kurang mampu yang berpesta untuk dana hiburan biasanya uangnya sebagian besar dari para warga saja, yang berpesta hanya menambahi sedikit kekurangannya.”

Sementara itu pihak perkebunan PT. PN III Kebun Silau Dunia yaitu informan A.S (Lk, 51 tahun) mengatakan:

“kalau masalah warga seperti pesta begitu kami kurang berperan karena mereka juga tidak pernah mengikut sertakan kebun tapi kalaupun diundang atau diminta ikut berpartisipasi kami pasti bantu”.

Selain dalam wujud tersebut, bentuk partisipasi masyarakat juga tercermin dalam pembangunan rumah ibadah yaitu kesediaan masyarakat untuk terlibat dalam bentuk dana. Dimana dana tersebut dapat berbentuk dana wajib ataupun

sumbangan suka rela. Hal ini adalah wujud rasa tanggung jawab masyarakat terhadap pembangunan rumah ibadah yang juga digunakan sendiri oleh mereka.

Gambaran diatas seperti yang dikatakan informan S.H (Lk, 50 tahun) sebagai berikut:

“pembangunan gereja kami ini dulu, gereja sumber dananya itu berasal dari kami sendiri, karena itu memang tanggung jawab kami, kami membuat bentuk sumbangan wajib per kepala keluarga dan sumbangan sukarela bagi yang ingin menyumbang diluar sumbangan wajib yang ditentukan, kami juga dulu menggalang dana dari hasil pelelangan makanan dan barang yang dibuat langsung oleh anggota gereja kemudian dilelang dalam acara amal yang kami buat, dan kami juga dapat sumbangan dana dari luar gereja kami karena kami buat proposal permohonnan dana untuk mereka, hasilnya bisalah dibangun gereja kami itu”.

Adanya wujud partisipasi masyarakat juga tergambar dari pernyataan informan S (Lk, 50 tahun) sebagai berikut:

“kalau masalah pembangunan mesjid selama ini sebagian besar dananya memang hasil partisipasi warga dalam sumbangan wajib dan sumbangan sukarela, kami tidak memberatkan dananya pada pemerintah desa”.

Hal tersebut dibenarkan informan pemerintah desa Pertambatan M.N (Lk, 40 tahun) yaitu:

“pembangunan gereja atau mesjid memang masalah dananya pemerintah tidak terlalu ikut campur menyumbang dana kecuali saya secara pribadi yang juga bagian dari masyarakat, sebagai bagian dari anggota mesjid saya berpartisipasi dana sebagai anggota bukan atas nama pemerintah desa karena itu adalah tanggung jawab saya sebagi anggota mesjid”.

Bentuk partisipasi masyarakat bukan hanya dalam bentuk dana tetapi juga dalam bentuk pengawasan. Dalam masyarakat hal ini bentuk partisipasi masyarakat dalam pengawasan adalah terhadap dibangunnya galian pasir di desa

pemukiman penduduk. Hal ini tergambar dari pernyataan informan U (Lk, 40 tahun) sebagai berikut:

“galian pasir yang ada di sungai belutu itu (sungai belutu adalah sungai yang berda tepat dibelakang perumahan penduduk dan dimanfaatkan untuk galian pair) dimulai kalau tidak salah bulan 2 tahun 2010, kami sangat tidak setuju galia itu dibuat karena kalau pasir disungai it uterus di ambil pastinya akan berakibat sungai makin dalam dan bisa longsor itu akibatnya perumahan penduduk yang diatas kan bisa ikut longsor, makanya kami langsung bilang sama kepala desa biar dihentikan, dan bulan 3 kemarin itu dihentikan”.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh informan S (Lk, 50 tahun) sebagai berikut: “kalau masalah galian pasir itu memang banyak penduduk

yang tidak setuju dibuat karena kalau pasirnya terus digali dari sungai itu sungainya maki dalam tanahnya bisa longsor padahal sungai itu tepat dibelakang rumah penduduk, makanya bulan 3 itu karena banyak warga yang protes galiannya dihentikan”.

Hal ini juga dibenarkan informan dari pemerintah desa Pertambatan yaitu M.N (Lk, 40 tahun) yang mengatakan:

“galian pasir itu dibangun bulan 2 tahun 2010 dan mulai bulan 3 kemaren memang dihentikan karena banyak masyarakat yang protes yang mengatakan bisa merusak lingkungan, bisa longsor padahal galian itu bisa menambah pemasukan kas desa, tapi kalau menurut pandangan saya itu cuma kecemburuan social saja dari salah satu warga karena kalah dalam penentuan untuk pengelola galian pasir itu jadinya ada propokasi”.

Sementara informan dari pemerintah kecamatan S. A (Lk, 38 tahun) mengatakan: “galian pasir di desa Pertambatan itu dikelola sejak

bulan 2 tahun 2010 dan hasil pasirnya itu digunakan pembangunan bandara di kuala namu, tapi dari bulan 3 kemarin di hentikan karena saya dengar banyak warga

masyarakat berpandangan seperti itu karena itu berarti kan mereka peduli terhadap lingkungan mereka, itulah bentuk pengawasan yang dilakukan masyarakat bagi perkembangan desa”.

Realitas adanya partisipasi masyarakat juga peneliti dapat melihat langsung dilapangan ketika ikut dalam acara pertangiangan (kebaktian doa bagi masyarakat yang beragama kristen) para mudi-mudi ikut berpartisipasi dalam acara tersebut dan ketika acara selesai para mudi-mudi tersebut juga membantu tuan rumah untuk menyediakan makanan ringan dalam acara tersebut. Mereka terlihat sudah biasa melakukan tanggung jawab tersebut dan sudah merasa hal tersebut sebagai tanggung jawab untuk melayani orang tua mereka sehingga tanpa dimintapun mereka sudah melakukannya (observasi, 27 juni 2010)..

Conyers (1991) menyebutkan tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama partispasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakata, tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong adanya partisiapsi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Hal ini selaras dengan konsep man- cetered development yaitu pembangunan yang diarahkan demi perbaiakan nasib

Gambaran tersebut diatas menunjukkan adanya partisipasi dalam masyarakat dalam bentuk partisipasi dana maupun pengawasan. Peluang bentuk partisipasi dalam masyarakat cukup tinggi.

4.6.1.2 Gambaran Hubungan Timbal Balik (Resiprositas) antar Masyarakat, Pemerintah dan Pengusaha

Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar menukar kebaikan antar individu dalam kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah suatu yang bersifat seperti dalam proses jual beli. Melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Seseorang atau banyak orang dari suatu kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika (Abimanyu, 2004:1). Hubungan resiprosikal menyebabkan modal sosial dapat tertambat kuat dan bertahan lama. Karena diantara orang-orang yang melakukan hubungan tersebut mendapat keuntungan timbal balik dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Disini hubungan telah memenuhi unsur keadilan diantara sesama individu.

Dalam hubungan sosial masyarakat adanya prinsip resiprosikal (hubungan timbal balik) menjadi salah satu kekuatan yang dapat menyatukan masyarakat untuk meringankan beban orang lain tanpa mengharapkan imbalan nyata yang bersifat seketika dari apa yang telah mereka berikan. Hal ini masih tergambar melalui interaksi masyarakat jika ada anggota masyarakat yang meninggal dunia.

“jika ada tetangga yang kemalangan atau meninggal dunia ibu pasti akan bantu tanpa pamrih , karena semua itu pasti berbalas dek, kita juga suatu saat membutuhkan bantuan orang lain”.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh informan S.H (Lk, 46 tahun) sebagai berikut: “kalau ada tetangga yang meninggal dunia saya merasa itu

sudah kewajiban saya membantu dan datang, tanpa dimintapun kalau saya tahu saya pasti datang”.

Hubungan timbal balik antar masyarakat dan pengusaha perkebunan ditunjukkan dari bentuk bantuan yang diberikan pengusaha untuk masyarakat. Seperti yang dilakukan perusahaan perkebunan PT.PN III Kebun Silau Dunia melalui program bina lingkungan. Gambaran seperti ini sesuai dengan yang diutarakan oleh informan A.S (Lk, 51 tahun), yang mengatakan:

“kalau di perusahaan kami..ada yang namanya bina lingkungan dek..jadi kami membantu masyarakat tempat kami melakukan usaha.karena kita saling membutuhkan dan memang ada timbal baliknya kan…kami mendapatkan lahan tempat perkebunan di desa dan desa juga mendapat keuntungan dari kami kalau di desa Pertambatan ini banyak yang sudah kami bantu...perbaikan tempat ibadah, jalan, beasiswa untuk murid..kalau kurban juga kami kasih setiap tahunnya.”

Hal ini dibenarkan oleh informan dari pemerintah desa M. N (Lk, 40 tahun) yang mengatakan:

“perkebunan di desa ini yang cukup membantu kami adalah kasdun (kasdun: PT. PN III Kebun Silau Dunia) ya memang itulah bentuk imbalan mereka untuk lingkungan karena kalau daerah perkebunan mereka kan memang sangat luas di sini, bantuannya kalau hari raya kurban memang selalu kasi kurban, bantuan dana beasiswa juga kami pernah terima untuk membeli buku-buku dan alat tulis, tetapi tidak semua wargalah yang dapat”.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh iforman dari pemerintah kecamatan yaitu informan S.A (Lk, 38 tahun) yang mengatakan:

“kalau PT. PN III Kebun Silau Dunia memang rajin memberi bantuan untuk masyarakat tempat usaha mereka karena mereka memang luas sekali perkebunannya di Serdang Bedagai ini bukan hanya di Pertambatan di desa lain juga mereka kasi bantuan, mereka bantuan untuk lingkungan biasa namanya bina lingkungan”.

Dari gambaran tersebut tercermin masih adanya hubungan saling bertukar kebaikan antar masyarakat maupun dengan perusahaan yang ada di desa Pertambatan ini. Namun PT. Socfin Indonesia Bangun Bandar sebagai salah satu perusahaan perkebunan yang ada di desa Pertambaan ini tidak memiliki program CSR (Coorporate Social Responsibility) ataupun bentuk tanggung jawab sosial lainnya terhadap masyarakat sebagai wujud adanya hubungan timbal balik dengan masyarakat lingkungan tempat usaha mereka. Hal ini tergambar dari pernyataan informan dari perkebunan tersebut yaitu H.M.S (Lk, 56 tahun) sebagai berikut:

“perusahaan perkebunan kami belum memiliki program csr ataupun bina lingkungan atau apapun itu, yang ada itu kan PT. PN III atau sejenisnya kalau perusahaan kami belum ada, mungkin masih akan dibuat”.

Tidak adanya hubungan ini juga diakui oleh informan pemerintah kecamatan yaitu S.A (Lk, 38 tahun) yang mengatakan:

“pt.socfindo tidak pernah kasi bentuk bantuan ke masyarakat, socfindo itu pelit, kami menjulukinya si “belanda hitam” mereka tidak pernah ada program bina lingkungan ke masyarakat”.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh informan dari pemerintah desa Pertambatan yaitu informan M.N (Lk, 40 tahun) yang mengatakan:

hitam” itu mereka sangat pelit, cuek dan tidak mau tahu, kalau ibu mau tahu ibu langsung saja datang kesana, bila perlu saya akan mendampingi ibu, saya sudah sangat sering memperingatkan mereka itu, kalau ada rapat di kabupaten kan mereka pasti ikut saya sudah sering sindir tapi mereka tidak juga peduli, kalau ibu tanya masalah hubungan masyarakat desa ini dengan socfindo(socfindo: pt.socfin Indonesia bangun Bandar) sama sekali tidak ada komunikasi atau hubungan baik apapun”.

Informan A.Z (Lk, 50 tahun) yang adalah salah seorang tokoh masyarakat di desa Pertambatan juga membenarkan hal yang sama tentang PT. Socfin Indonesia Bangun Bandar dengan mengatakan:

“kalau socfindo (socfindo: pt. socfin Indonesia bangun bandar) itu memang tidak punya hati, mereka sudah mendirikan usahanya di daerah kami tapi bentuk imbalan mereka tidak ada, mereka itu kami sebut “belanda hitam” seperti lintah penghisap darah, mereka tidak pernah peduli terhadap lingkungan mereka padahal kalau keuntungan yang mereka dapat itu pastilah sangat banyak, apalah salahnya kalau saja mereka mau berbagi sedikit saja dari keuntungan mereka ke masyarakat”.

Selain terjalin hubungan yang tidak harmonis dalam bentuk bantuan kepada masyarakat desa Pertambatan. Masyarakat desa Pertambatan juga mendapat tuduhan pencurian terhadap hasil perkebunan perusahaan tersebut. Sementara masyarakat tidak mengakui adanya hal tersebut.

Gambaran diatas sesuai dengan yang diutarakan oleh informan A.Z (Lk, 50 tahun), yang mengatakan:

“sebenarnya kita juga tidak mau ya dek berkonflik atau bagaimana..tapi memang kalau perusahaan sini saya tidak taulah..apakah memang dari atasan mereka..karena inikan hanya cabang saja masih ada atasan pasti..apa memang begitu kebijakannya atau saya tidak mengertilah..pernah lagi itu ada kasus warga sini dituduh mencuri buah.. wah…bukannya ngasih malah dituduh mencuri.mereka buat begitu supaya kami

Hal yang sama diperkuat oleh informan S.H (Lk, 50 tahun), yang mengatakan: “saya tidak bisa beranggapan pasti itu akibat dari apa..apa karena warga sakit hati dengan sikap mereka atau justru kebun yang sengaja..mereka sering menuduh warga kami mencuri tanda buah itu..sawit itu..tapi saya juga ga tau ya bilang siapa yang benar atau salah..”

Sementara itu informan H.M.S (Lk,56 tahun) dari perusahaan perkebunan PT. Socfin Indonesia sendiri menyatakan:

“saya kurang mengetahui pasti tentang hal itu, tetapi tidak menutup kemungkinan itu benar, yang pasti tuduhan itu bukan dari saya, karena saya tidak di lapangan”.

4.6.1.3 Gambaran Solidaritas dalam Masyarakat

Lubis dalam (Badaruddin 2005:31), menyebutkan bahwa solidaritas merupakan salah satu komponen dari jaringan sosial. Dan Rusdi Syahra, dkk, dalam (Kristina 2003:60), dimana solidaritas diartikan sebagai kesediaan untuk secara sukarela ikut menanggung suatu konsekuensi sebagai wujud adanya rasa kebersamaan dalam menghadapi suatu masalah.

Masyarakat memiliki kerelaan untuk membantu anggota masyarakat lainnya. Saling membantu dinilai dapat meringankan beban yang berat terutama bagi kelompok minoritas. Potensi ini tergambar dari interaksi masyarakat desa Pertambatan dalam membantu sesamanya di acara pesta perkawinan atau hajatan massal.

Gambaran diatas sesuai dengan yang diutarakan oleh informan S.H (Lk, 59 tahun), yang mengatakan:

“ya kalau kita pesta..kalau sama-sama dikerjakan kan lebih cepat..kami disini batak hanya sedikit kalau kami ada acara

pekerjaan itu..lebih cepat selesainya jadi kalau masyarakat disini kalau sudah namanya ada kegiatan..kayak pesta masing- masing orang sudah tau”.

Hal yang sama diperkuat oleh informan A.Z (Lk, 50 tahun), yang mengatakan: “tentunya pemikiran dan tenaga dari sepuluh orang akan sangat berbeda dari pemikiran satu orang..kan gitu gitu dek..jadi kalau cari solusi itu pun bisa lebih banyak masukan..”

Bentuk solidaritas masyarakat juga terwujud jika ada anggota masyarakat yang sakit maka anggota masyarakat lainnya akan datang membesuk, memberikan dukungan semangat ataupun memberi sejumlah uang untuk warga yang sakit. Hal ini merupakan cerminan dari wujud sukarela dan kebersamaan dalam masyarakat.

Gambaran diatas seperti yang dikatakan informan A (Lk, 70 tahun) sebagai berikut:

“buat ibu tetangga yang sakit berarti keluarga ibu juga, ibu harus bisa berbuat apa yang ibu bisa, kalaupun tidak bisa beri uang setidaknya menengok yang sakit memberi semangat”.

Hal yang sama juga dibenarkan informan S (Lk, 50 tahun) yang mengatakan: “kami biasanya di desa ini kalau aa yang sakit kita usahakan setidaknya membesuk, kalaupun ke rumah sakit biasanya kami buat rombangan untuk membesuk, jadi kalau seperti itu kan berarti ada kebersamaan, kami biasanya sewa bus, untuk ongkos kami biayai bersama atau kadang bisa juga pakai mobil warga lain, kadang kalau ada warga yang tidak bisa ikut pun sering titip uang untuk yang sakit”.

Realitas sosial ini juga peneliti dapat melihat langsung dilapangan. Bagaimana ketika ada seorang ibu yang bersuku batak Toba, beragam Kristen dan merupakan seorang pendatang di desa Pertambatan mau melahirkan dibantu para

melahirkan anak ketiganya sehingga ibu tersebut harus dibawa ke rumah sakit. Hampir semua warga, baik yang ibu-ibu maupun yang bapak-bapak terlibat membantu. Para ibu terlihat sibuk membantu bidan dalam menangani ibu yang mau melahirkan tersebut sementara para bapak sibuk mencari kendaraan yang akan digunakan untuk membawa ibu yang mau melahirkan itu ke rumah sakit dan ada sebagian bapak yang pergi memberitahukan keluarga dari ibu tersebut bahwa dia sedang kritis dan harus di bawa ke rumah sakit. Kendaraan yang digunakan untuk membawa ibu tersebut ke rumah sakit adalah mobil salah seorang warga desa Pertambatan. Di saat ada warga yang dalam kesulitas solidaritas warga muncul dengan sendirinya untuk membantu. Fakta sosial itu menunjukkan bahwa rasa solidaritas masih tinggi dalam masyarakat (observasi, 23 Juni 2010).

Satu lagi bentuk solidaritas yang ditemukan peneliti di lapangan yang menjadi adapt kebiasaan yang melekat di masyarakat adalah adat bagi masyarakat yang bersuku batak simalungun yang disebut dalam bahasa daerah “tonggo raja” yaitu malam pengumpulan dana untuk sebuah acara untuk perkawinan bagi pihak laki-laki. Jadi setiap masyarakat batak simalungun yang akan menikahkan anaknya laki-laki akan menentukan satu malam untuk mengadakan acara “tonggo raja” tersebut. Dalam acara tersebut setiap orang yang datang akan memberikan bantuan sukarela kepada orang yang mengundang. Bantuan sukarela ini dapat berbentuk uang ataupun beras yang bisa diterima kembali imbalannya oleh si pemberi jika dia akan menikahkan anaknya (observasi, 11 maret 2011).

4.6.1.4 Gambaran Kerjasama dalam Masyarakat

orang atau satu pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu

Dokumen terkait