HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.2 Gambaran lama hari pemasangan infus dalam terjadinya flebitis pada pasien yang dipasang infus di RSUP Haji Adam Malik Medan
Untuk mengetahui gambaran lama hari pemasangan infus dalam
terjadinya flebitis pada pasien yang dipasang infus dilakukan dengan cara
mengobservasi responden dengan menggunakan format evaluasi lama hari
pemasangan infus. Dari Tabel 5.2 dibawah dapat dilihat bahwa dari 60 orang
responden, ada sebanyak 37 orang (61,7%) terjadi flebitis dan 23 orang (38,3%)
tidak terjadi flebitis.
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi jumlah responden yang terjadi flebitis dan tidak terjadi flebitis di RSUP Haji Adam Malik Medan, pada bulan September s/d Oktober 2011.
Flebitis Frekuensi %
Tidak terjadi flebitis Terjadi flebitis Total 23 37 60 38,3 61,7 100
Dari Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata (mean) terjadinya flebitis
adalah pada hari ke-2,63 atau digenapkan menjadi hari ke-3, nilai tengahnya
(median) adalah hari ke-3, nilai yang paling banyak ditemukan (modus) adalah
nilai 3 yang artinya bahwa kejadian flebitis yang paling banyak adalah terjadi
pada hari ke-3, simpangan bakunya (standard deviasi) adalah 2,407, nilai
minimumnya adalah 2 yang artinya bahwa jumlah responden yang paling sedikit
terjadi flebitis adalah pada hari ke-2, dan nilai maksimumnya adalah 3 yang
artinya jumlah responden yang paling banyak terjadi flebitis adalah pada hari
Tabel 5.3. Statistik deskriptif berdasarkan nilai mean, median, modus, standard deviasi, nilai minimum dan nilai maksimum dari kejadian flebitis berdasarkan lama hari pemasangan infus pada pasien di RSUP H. Adam Malik Medan.
Hari Mean Median Modus Std. Dev Min Max
H-1 s/d H-7 2,63 3,00 3 2,407 2 3
5.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui
bahwa sebanyak 37 orang (61,7%) terjadi flebitis dari 60 responden dengan
rata-rata hari dalam terjadinya flebitis pada hari ke tiga pemasangan infus, sedangkan
23 orang (38,3%) tidak mengalami flebitis setelah diobservasi selama 7 hari. Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Pujasari
(2002) di RSCM Jakarta tepatnya di ruang rawat inap penyakit dalam, ditemukan
11 kasus flebitis dari 109 pasien yang mendapat cairan intravena, dengan rata-rata
kejadian 2 hari setelah pemasangan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa rentang usia paling banyak
yang mengalami flebitis pada usia 41 – 60 tahun (dewasa pertengahan) sebanyak
22 orang (36,7%). Berdasarkan rentang usia, usia lansia lebih rentan terhadap
flebitis. Hal ini dikarenakan lansia mengalami perubahan struktur dan fungsi kulit
seperti turgor kulit menurun dan epitel menipis, akibatnya kulit menjadi lebih
kelenjar sebasea (kelenjar minyak) yang lebih tinggi daripada perempuan. Minyak
dari kelenjar sebasea dapat mencegah kulit dan rambut dari kekeringan serta
mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh bakteri di permukaan kulit.
Adanya kelenjar sebasea yang mensekresi minyak ini, bersamaan dengan ekskresi
keringat, akan menghasilkan mantel asam dengan kadar pH 5-6,5 yang mampu
menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga resiko terjadinya flebitis dalam
pemasangan infus khususnya pada laki-laki lebih rendah daripada perempuan.
(Pierce, 2006).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 18 orang (30%)
menggunakan cairan NaCl 0,9% yang mengalami flebitis. Hal ini bertentangan
bila dilihat dari kandungan NaCl 0,9% yang merupakan cairan isotonis yang
osmolaritasnya mendekati cairan ekstraseluler dan tidak menyebabkan sel darah
merah mengkerut dan membengkak (Smeltzae dan Bare, 2001). Cairan isotonis
seperti NaCl 0,9% sebenarnya kurang berisiko terhadap terjadinya flebitis tetapi
cairan hipertonis seperti glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam
nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik dibandingkan cairan isotonis
(Darmawan, 2008). Hal ini dapat disebabkan karena pemasangan infus pada
pasien tidak menggunakan aseptic dressing seperti penggunaan kasa steril untuk
mencegah flebitis. Faktor lain yang dapat menyebabkan flebitis adalah teknik
aseptik yang tidak baik, tempat insersi kanula jarang diinspeksi visual, dan
sebagainya (Darmawan, 2008).
Pada jenis ketergantungan dalam perawatan pasien yang paling banyak
(51,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Afria Ningsih
(2002) menyatakan dari jumlah 20 responden yang terpasang infus menunjukkan
dengan meningkatnya mobilisasi pasien yang terpasang infus pada pasien partial
care, resiko untuk mengalami flebitis juga meningkat yaitu sebanyak 25%, yang
terdiri dari kategori mobilisasi jarang 20% dan mobilisasi sering 80%.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan diagnosa paling banyak
mengalami flebitis yaitu pada sistem kranial sebanyak 15 orang (25%).
Berdasarkan faktor penyebab terjadinya flebitis, bahwa salah satunya adalah
faktor pasien yang memiliki kondisi dasar seperti penyakit diabetes mellitus,
adanya infeksi dan luka bakar (Darmawan, 2008). Hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan Nissaji dan Ghorbani (2007) dalam Darmawan (2008),
bahwa dari 111 penderita Diabetes Melitus, didapatkan 64 responden mengalami
flebitis, dari 3 pasien dengan luka bakar, ditemukan seluruhnya mengalami
flebitis, dan dari 67 pasien dengan penyakit infeksi, sebanyak 50 orang
mengalami flebitis. Hal ini dikarenakan pasien dengan diagnosa pada sistem
kranial seperti apatis, secondary headache, head injury, dan stroke dengan
hemiparese melakukan pergerakan pada ekstremitas yang dipasang infus terutama
pada pasien secondary headache yang gelisah dan memegangi kepala sehingga
Sedangkan jika tanda flebitis diikuti dengan adanya indurasi dan demam, maka
derajat keparahan flebitis berada pada stadium lanjut tromboflebitis dan tindakan
yang harus dilakukan adalah memberikan terapi untuk tromboflebitis dan
mengganti lokasi pemasangan kanula (Darmawan, 2008).
Mayoritas responden mengalami flebitis dengan rata-rata terjadi flebitis
pada hari ke tiga pemasangan infus, nilai tengahnya (median) adalah hari ke-3,
nilai yang paling banyak ditemukan (modus) adalah nilai 3 yang artinya bahwa
kejadian flebitis yang paling banyak adalah terjadi pada hari ke-3 serta nilai
maksimum jumlah hari dari kejadian flebitis adalah pada hari ke-3 yaitu sebanyak
16 orang (26,7%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Masiyati (2000) bahwa angka kejadian flebitis paling banyak dalam waktu
pemasangan infus 4-5 hari sebesar 60%. Rata-rata kejadian flebitis pada hari
ketiga diakibatkan karena seringnya pasien melakukan pergerakan pada daerah
yang terpasang infus. Pasien yang sering melakukan pergerakan seperti fleksi
dengan lokasi pemasangan kateter intravena di daerah lekukan dapat beresiko
mengakibatkan flebitis mekanik (Darmawan, 2008). Faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan flebitis misalnya teknik aseptik yang tidak baik, teknik pemasangan
kateter intravena yang buruk, kateter dipasang terlalu lama dan tempat insersi
kateter yang jarang diinspeksi visual (Darmawan, 2008). Secara teknis lamanya
penggunaan jarum kateter intravena (IV) tetap steril selama 48 sampai dengan 72
jam, disamping itu juga teknik ini lebih menghemat biaya dan tidak meningkatkan
intravena harus diganti paling sedikit setiap 24 jam dan ganti lokasi vena yang
ditusuk jarum intravena setiap 48 jam (Brooker, 2003).
Hasi penelitian menunjukkan bahwa nilai minimum jumlah hari dari
kejadian flebitis adalah pada hari ke-2 yaitu sebanyak 1 orang (1,7%). Hal ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pujasari (2002) di RSCM Jakarta,
ditemukan 11 kasus flebitis dari 109 pasien dengan rata-rata kejadian 2 hari
setelah pemasangan sedangkan pada penelitian ini, dari hari ke-2 pemasangan
infus hanya 1 orang yang mengalami flebitis. Berdasarkan lamanya pemasangan
kateter intravena, bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72
jam jika tidak ada kontraindikasi (Darmawan, 2008). Tindakan merotasi tempat
kanula setiap 72-96 jam dapat mengurangi flebitis dan infeksi lokal (Tjetjen, dkk,
2004).
Flebitis dapat terjadi akibat faktor kimia seperti obat atau cairan yang
iritan, faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi serta
agen infeksius (Darmawan, 2008). Insiden flebitis juga meningkat akibat lamanya
pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama
pH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, dan pemasangan
jalur IV yang tidak sesuai (Smeltzer dan Bare, 2001).
penyebabnya. Jika keadaan ini terus berlanjut maka akan terjadi tromboflebitis
maupun septikemia (Tjetjen, dkk, 2004). Oleh karena itu, pemantauan kepada
pasien yang menggunakan infus harus lebih diperhatikan guna mencegah
terjadinya flebitis lebih lanjut (Darmawan, 2008).
Keterbatasan penelitian :
Keterbatasan pada penelitian ini adalah peneliti tidak mengidentifikasi obat yang
diberikan melalui intravena yang dapat menyebabkan peradangan pada vena
seperti kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B, chepalosporins, diazepam,
midazolam dan banyak obat khemoterapi sehingga hal tersebut menjadi penyebab
terjadinya flebitis pada pasien yang menggunakan cairan isotonis seperti NaCl
0,9%, Ringer Laktat dan Ringer Solution. Peneliti juga tidak mengobservasi
tindakan pemasangan infus pada pasien, sehingga resiko terjadinya flebitis
bakterial akibat teknik aseptic dan teknik pemasangan kanula yang tidak baik.
Keterbatasan pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti
selanjutnya untuk melakukan penelitian terhadap obat yang diberikan melalui
intravena dan teknik pemasangan infus yang tidak baik yang dapat menyebabkan
BAB 6