• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa usia terbanyak yang

mengalami flebitis adalah 41 – 60 tahun sebanyak 22 orang (36,7%), jenis

kelamin yang terbanyak mengalami flebitis adalah perempuan sebanyak 23 orang

(38,3%), cairan yang paling banyak terjadi flebitis adalah NaCl 0,9% sebanyak 18

(30%), jenis tingkat ketergantungan pasien yang paling banyak mengalami flebitis

adalah partial care sebanyak 31 orang (51,7%), sedangkan diagnosa terbanyak

yang mengalami flebitis adalah pada sistem kranial sebanyak 15 orang (25%).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 60 responden, dapat

diambil kesimpulan tentang gambaran rata-rata lama hari pemasangan infus dalam

terjadinya flebitis dimana sebanyak 37 orang (61,7%) terjadi flebitis dengan rata-

6.2. Rekomendasi

6.2.1. Rekomendasi terhadap praktek keperawatan

Hasil penelitian ini sebaiknya digunakan sebagai acuan bagi perawat

dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang mendapat terapi

intrevena sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

6.2.2. Rekomendasi terhadap pendidikan keperawatan

Melalui institusi pendidikan perlu diinformasikan kepada mahasiswa

tentang rata-rata lama hari pemasangan infus dalam terjadinya flebitis pada pasien

dan pencegarahannya infus sehingga mahasiswa dapat mengaplikasikannya ketika

praktek di lapangan.

6.2.3. Rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan, dimana

penelitian ini hanya memperoleh gambaran rata-rata lama hari pemasangan infus

dalam terjadinya flebitis pada pasien yang dipasang infus. Untuk itu, penelitian

berikutnya diharapkan meneliti faktor-faktor dalam terjadinya flebitis, pencegahan

flebitis dan dapat dilakukan di rumah sakit yang lain.

6.2.4. Rekomendasi terhadap Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi terhadap Rumah Sakit

sehingga dapat menurunkan angka flebitis dengan meningkatkan teknik

pencegahan flebitis seperti mempertahankan teknik aseptik dalam melakukan

pemasangan infus, melakukan aseptic dressing untuk mencegah flebitis sehingga

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Flebitis

2.1.1 Definisi Flebitis

Flebitis adalah daerah bengkak, kemerahan, panas, dan nyeri pada kulit

sekitar tempat kateter intravaskular dipasang (kulit bagian luar). Jika flebitis

disertai dengan tanda-tanda infeksi lain seperti demam dan pus yang keluar dari

tempat tusukan, ini digolongkan sebagai infeksi klinis bagian luar (Tietjen, dkk,

2004).

Secara sederhana flebitis berarti peradangan vena. Flebitis berat hampir

diikuti bekuan darah, atau thrombus pada vena yang sakit. Kondisi demikian

dikenal sebagai tromboflebitis. Dalam istilah yang lebih teknis lagi, flebitis

mengacu ke temuan klinis adanya nyeri, nyeri tekan, bengkak, pengerasan,

eritema, dan hangat. Semua ini diakibatkan peradangan, infeksi dan/atau

thrombosis (Darmawan, 2008).

2.1.2 Etiologi Flebitis

Menurut Francombe (1998) dalam Brooker dan Gould (2003) mengatakan,

tempat pungsi vena, disertai nyeri. Flebitis jarang disebabkan oleh bakteri, tetapi

septikemia lebih sering dijumpai pada pasien yang mengalami flebitis.

Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis flebitis, antara

lain:

a) Faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan

b) Faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi

c) Agen infeksius

Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup, usia,

jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni: diabetes mellitus, infeksi, luka bakar).

Suatu penyebab yang sering luput perhatian adalah adanya mikropartikel dalam

larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan penggunaan filter (Darmawan, 2008).

Flebitis bisa disebabkan berbagai faktor sebagaimana disebutkan di atas:

1. Flebitis Kimia

a) pH dan osmolaritas cairan infus yang tinggi selalu diikuti risiko flebitis

tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, dimana keasaman

diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses

sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino

dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih

flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa

menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida,

vancomycin, amphotrecin B, chepalosporins, diazepam, midazolam dan

banyak obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas >900 mOsm/L

b) Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna

selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis.

Jadi, kalau diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan

penggunaan filter 1 sampai 5 µ m.

c) Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat

dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >500 mOsm/L.

hindarkan vena pada punggung tangan bila anda memberikan: Asam

amino+glukosa; Glukosa+elektrolit; D5 atau NS yang telah dicampurkan

dengan obat suntik atau Meylon dan lain-lain.

d) Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi

dibanding politetrafluoroetilen (Teflon) karena permukaan lebih halus,

lebih thermoplastic dan lentur. Risiko tinggi untuk flebitis dimiliki kateter

yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen.

e) Dulu dianggap pemberian infus lambat kurang menyebabkan iritasi

daripada pemberian cepat.

2. Flebitis Mekanis

Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang

dimasukkan ada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis.

b.Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau

robek mengundang bakteri

c. Teknik aseptik tidak baik

d. Teknik pemasangan kanula yang buruk

e. Kanula dipasang terlalu lama

f. Tempat suntik jarang diinspeksi visual (Darmawan, 2008).

Berikut merupakan skor visual flebitis untuk menentukan derajat

keparahan flebitis:

Skema 1. Skor Visual Flebitis VIP score (Visual Infusion Phlebitis score) Tempat suntikan tampak sehat

0

Tak ada tanda flebitis Observasi kanula

Salah satu dari berikut jelas: 1. Nyeri pada tempat suntikan 2. Eritema pada tempat suntikan

Dua dari berikut jelas: 1. Nyeri 2. Eritema 3. pembengkakan

Semua dari berikut jelas: 1. Nyeri sepanjang kanula 2. Eritema, 3. Indurasi

Semua dari berikut jelas: 1. Nyeri sepanjang kanula 2. Eritema, 3. Indurasi 4. Venous cord teraba

Semua dari berikut jelas: 1. Nyeri sepanjang kanula 2. Eritema, 3. Indurasi

4.Venous cord teraba 5. Demam

1

2

Mungkin tanda dini flebitis

Observasi kanula

Stadium dini flebitis

Ganti tempat kanula

Stadium moderat flebitis

1.Ganti kanula 2.Pikirkan terapi

3

Stadium lanjut atau awal tromboflebitis 1.Ganti kanula 2.Pikirkan terapi Stadium lanjut tromboflebitis 1.Lakukan terapi 2.Ganti kanula

4

5

2.1.3 Mencegah dan Mengatasi Flebitis

a. Mencegah flebitis bakterial

Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan

daerah infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan

chlorhexidine-2%, tinctura yodium , iodofor atau alkohol 70% juga bisa

digunakan.

b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik.

Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian

infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman

yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan

terjadi kira-kira 45 – 50% dalam serangkaian besar kajian.

c. Rotasi kanula

May, dkk (2005) dalam Darmawan (2008) melaporkan hasil 4 teknik

pemberian nutrisi parenteral perifer (PPN), di mana mengga nti tempat (rotasi)

kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas

flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi oleh Webster dkk

(1996) disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih

dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control

d. Aseptic dressing

Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa setril diganti

setiap 24 jam.

e. Laju pemberian

Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik

diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk

pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh

mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya

kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif

dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 –

330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan

sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan,

dengan filter 0.45 mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri

atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus

juga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi

parenteral.

f. Titrable acidity

Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan

dalam kejadian flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang

dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan

infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri.

karena titrable acidity-nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian

makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya.

g. Heparin & hidrokortison

Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1

unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko

flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium

klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian

aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien

penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan

flebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada

dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah

mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang

mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.

h. In-line filter

In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang

mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat

intravaskular dan sistem infus (Darmawan, 2008).

2.2.2 Tujuan

Umumnya cairan intravena diberikan untuk mencapai satu atau lebih

tujuan berikut ini:

a. Untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari

b. Untuk menggantikan air dan memperbaiki kekurangan elektrolit

c. Untuk menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena

2.2.3 Jenis-jenis larutan Intravena

Larutan elektrolit dianggap isotonik jika kandungan elektrolit totalnya

(anion ditambah kation) kira-kira 310 mEq/L. Larutan dianggap hipotonik jika

kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250 mEq/L dan hipertonik jika

kandungan elektrolit totalnya melebihi 375 mEq/L. Perawat juga harus

mempertimbangkan osmolalitas suatu larutan, bahwa osmolalitas plasma adalah

kira-kira 300 mOsm/L.

a. Cairan isotonis: cairan yang diklasifikasikan isotonik mempunyai osmolalitas

total yang mendekati cairan ekstraseluler dan tidak menyebabkan sel darah

merah mengkerut atau membengkak. Contohnya saline normal (0,9% natrium

klorida), larutan ringer lactate.

b. Cairan hipotonik: tujuannya adalah untuk menggantikan cairan seluler, karena

larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan dengan plasma. Tujuan lainnya

adalah untuk menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada saat-

hipernatremia dan kondisi hiperosmolar yang lain. Contohnya salin

berkekuatan menengah (natrium klorida 0,45%).

c. Cairan hipertonik: dekstrosa 5% dalam air diberikan untuk membantu

memenuhi kebutuhan kalori. Larutan salin juga tersedia dalam konsentrasi

osmolar yang lebih tinggi daripada CES. Larutan-larutan ini menarik air dari

kompartemen intraseluler ke ekstraseluler dan menyebabkan sel-sel

mengkerut. Jika diberikan dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat

menyebabkan kelebihan volume ekstraseluler dan mencetuskan kelebihan

cairan sirkulatori dan dehidrasi.

2.2.4 Penatalaksanaan Keperawatan pada Pasien yang mendapat Terapi Intravena

a. Pungsi vena

Kemampuan untuk mendapat akses ke sistem vena guna memberikan cairan

dan obat.

1) Pemilihan tempat: vena yang sering digunakan adalah vena ekstremitas

atas karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki. Vena ekstremitas

bawah lebih berisiko mengalami tromboflebitis. Vena sentral yang sering

diinfuskan; lamanya terapi; usia dan ukuran pasien; riwayat kesehatan

dan status kesehatan sekarang serta keterampilan tenaga kesehatan.

2) Perlengkapan pungsi vena: jalur akses PICC (Peripherally Inserted

Central Catheter) dan Midline Catheter (MLC). PICC merupakan terapi

parenteral jangka menengah sampai jangka panjang sering kali harus

dipasang kateter sentral yang terpasang secara perifer. MLC digunakan

untuk pasien yang tidak mempunyai akses perifer tetapi membutuhkan

antibiotika IV, darah dan nutrisi parenteral

3) Menginformasikan pasien tentang lamanya infus yang diperkirakan, dan

pembatasan aktivitas.

4) Persiapan letak infus meliputi tindakan aseptik sebelum melakukan

pungsi vena.

5) Entri vena: dilakukan berdasarkan keterampilan yang dipunyai seorang

perawat.

b. Pemantauan terapi intravena

1) Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran gravitasi IV: (1) aliran

berbanding langsung dengan ketinggian bejana cairan; (2) aliran

berbanding langsung dengan diameter selang; (3) aliran berbanding

terbalik dengan panjang selang; dan (4) aliran berbanding terbalik dengan

viskositas cairan.

2) Memantau aliran: menggunakan rumus:

Gtt/ml dari set yang ditentukan/60 (menit dalam jam) x volume total per

c. Penghentian infus

Pelepasan kateter intravena berkaitan dengan dua kemungkinan bahaya

perdarahan dan emboli kateter (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2.5 Memasang Infus Intravena

Persiapan

1. Pastikan program medis untuk terapi IV, periksa label larutan dan identifikasi

pasien

2. Jelaskan prosedur pada pasien

3. Cuci tangan dan kenakan sarung tangan sekali pakai

4. Pasang turniket dan identifikasi vena yang sesuai

5. Pilih letak insersi

6. Pilih kanula IV

7. Hubungkan kantong infus dan selang, dan alirkan larutan sepanjang selang

untuk mengeluarkan udara, tutup ujung selang

8. Tinggikan tempat tidur sampai ketinggian kerja dan posisi pasien yang

nyaman, atur pencahayaan. Posisikan lengan pasien di bawah ketinggian

jantung untuk meningkatkan pengisian kapiler. Letakkan bantal pelindung di

2. Pasang turniket baru untuk setiap pasien atau manset tekanan darah 15

sampai 20 cm (6-8 inci) di atas tempat penusukan. Palpasi nadi di distal

turniket. Minta pasien untuk membuka dan menutup kepalan tangan beberapa

kali atau menggantungkan lengan pasien untuk melebarkan vena.

3. Pastikan apakah pasien alergi terhadap yodium. Siapkan tempat dengan

membersihkan menggunakan tiga swab betadine selama 2-3 menit dalam

gerakan memutar bergerak keluar dari tempat penusukan. Biarkan kering,

kemudian bersihkan dengan alkohol 70% untuk melihat dengan jelas vena

profunda.

a.Jika tempat yang dipilih sangat berambut, gunting rambut (periksa

kebijakan dan prosedur lembaga tentang hal ini).

b.Jika pasien alergi dengan providon-yodium, maka dapat digunakan alkohol

70% saja.

4. Dengan tangan yang tidak memegang peralatan akses vena, pegang tangan

pasien dan gunakan jari atau ibu jari untuk menegangkan kulit di atas

pembuluh darah.

5. Pegang jarum dengan bagian bevel ke atas dan pada sudut 25-45 derajat,

tergantung pada kedalaman vena, tusuk kulit tetapi tidak menusuk vena

6. Turunkan sudut jarum menjadi 10-20 derajat atau sampai hampir sejajar

dengan kulit, kemudian masuki vena baik langsung dari atas atau dari

samping dengan satu gerakan cepat

8. Lepaskan turniket dan sambungkan selang infus, buka klem sehingga

memungkinkan tetesan

9. Sisipkan bantalan kasa steril berukuran 2x2 inchi di bawah ujung kateter

10.Rekatkan jarum dengan kuat di tempatnya dengan plester

11.Tempat penusukan kemudian ditutup dengan kasa steril, rekatkan pada plester

nonalergenik tetapi jangan melingkari ekstremitas

12.Plesterkan sedikit lengkungan selang IV ke atas balutan

13.Tutup tempat penusukan dengan balutan sesuai kebijakan prosedur rumah

sakit

14.Beri label balutan dengan jenis dan panjang kanula, tanggal dan inisial

15.Hitung kecepatan infus dan atur aliran infus

16.Dokumentasikan tempat, jenis dan ukuran kanula, waktu, larutan, kecepatan

IV dan respon pasien terhadap prosedur (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2.6 Komplikasi

a. Komplikasi sistemik meliputi: kelebihan beban cairan, emboli udara, dan

septikemia.

judul “waktu yang efektif untuk pemasangan infus agar tidak flebitis”, didapatkan

angka kejadian flebitis paling besar dalam waktu pemasangan infus 96-120 jam

sebesar 60%.

Secara teknis, lamanya penggunaan jarum kateter intravena (IV) tetap

steril selama 48 sampai dengan 72 jam, disamping itu juga teknik ini lebih

menghemat biaya dan tidak meningkatkan resiko infeksi (Metheny, (1996) dalam

Brooker (2003)). Berikut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

perawatan terapi intravena:

a. Brooker dan Gould mengatakan rotasi rutin tempat kanula harus dilakukan

setiap 48-72 jam.

b. Menurut Tjetjen, dkk (2004) rotasi tempat kanula setiap 72-96 jam

mengurangi flebitis dan infeksi lokal (teflon atau polikateter lebih baik dari

pada jarum logam karena tidak menembus vena saat rotasi).

c. Pada pemakaian jangka pendek (<48 jam), jarum lurus atau butterfly kurang

mengakibatkan iritasi karena terbuat dari plastik dan juga infeksi lebih

rendah.

d. Pada perawatan tempat pemasangan, penutupan luka dapat dipertahankan 72

jam asal kering (jika basah, lembab, atau lepas segera diganti)

e. Daerah tertanamnya kateter atau jarum harus diperiksa tiap hari apakah ada

rasa nyeri.

f. Tempat insersi perlu diperiksa jika pasien mengeluh nyeri atau demam tanpa

diketahui penyebabnya.

h. Ganti botol cairan infus atau kantong plastik cairan infus dengan emulsi

lemak dalam 12 jam.

i. Set infus harus diganti jika rusak atau secara rutin tiap 72 jam (apabila saluran

baru disambungkan, usap pusat jarum atau kateter plastik dengan alkohol 60-

90% dan sambungkan kembali dengan infus set)

j. Saluran (tubing) yang dipakai untuk memberikan darah, produk darah atau

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pemberian cairan intravena merupakan pemberian cairan melalui alat

intravena untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit, obat-obatan,

pemantauan hemodinamik, serta mempertahankan fungsi jantung dan ginjal

(Schaffer, dkk, 2000). Pasien yang mendapat cairan intravena di rumah sakit

mencapai 50% dari total seluruh pasien yang dirawat setiap tahunnya (Schaffer,

dkk, 2000).

Penggunaan alat intravaskuler banyak menimbulkan komplikasi lokal

maupun sistemik (Smeltzer & Bare, 2001). Kondisi yang sering ditemukan adalah

flebitis. Flebitis merupakan daerah bengkak, kemerahan, panas, dan nyeri pada

kulit sekitar tempat kateter intravaskular dipasang yang terjadi pada kulit bagian

luar (Tietjen, dkk, 2004). Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik

oleh iritasi kimia maupu n mekanik (Smeltzer & Bare, 2001) . Insiden flebitis

banyak dijumpai seiring banyaknya pasien yang mendapatkan terapi cairan

intravena (Schaffer, dkk, 2000).

Di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang prevalensi flebitis pada

pasien yang mendapat terapi intravena, angka standar flebitis yang

direkomendasikan oleh INS (Infusion Nurses Society) adalah 5% (INS, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Masiyati (2000) didapatkan angka kejadian flebitis

Pujasari (2002) di RSCM Jakarta tepatnya di ruang rawat inap penyakit dalam,

ditemukan 11 kasus flebitis dari 109 pasien yang mendapat cairan intravena,

dengan rata-rata kejadian 2 hari setelah pemasangan dan area pemasangan di vena

metacarpal. Penelitian lain yang dilakukan oleh Fitria (2007), angka kejadian

flebitis di RSU Mokopido Tolitoli pada tahun 2006 mencapai 42,4%. Penelitian

Pasaribu (2006), angka kejadian flebitis di Rumah Sakit Haji Medan didapatkan

52 orang (52%) mengalami flebitis dari 100 orang sampel yang diteliti.

Smeltzer dan Bare (2001) mengatakan, insiden flebitis meningkat sesuai

dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang

diinfuskan terutama pH dan tonisitasnya. Banyak faktor yang mempengaruhi

terjadinya flebitis, antara lain faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan,

faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi serta agen

infeksius (Darmawan, 2008). Tietjen, dkk (2004) mengatakan, rotasi tempat setiap

72-96 jam dapat mengurangi flebitis dan set infus harus diganti jika rusak atau

secara rutin tiap 72 jam.

Kejadian flebitis bagi pasien merupakan masalah yang serius namun tidak

sampai menyebabkan kematian, tetapi banyak dampak yang nyata yaitu tingginya

biaya perawatan diakibatkan lamanya perawatan di rumah sakit serta pemenuhan

(Smeltzer dan Bare, 2001). Flebitis juga berakibat dapat memperlambat proses

penyembuhan pasien terhadap penyakit yang diderita pasien (Schaffer, 1996).

Flebitis dapat dicegah dengan menggunakan teknik aseptik selama

pemasangan, menggunakan ukuran kateter dan ukuran jarum yang sesuai untuk

vena, mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi ketika memilih daerah

penusukan akan adanya komplikasi apapun setiap jam, dan menempatkan kateter

atau jarum dengan baik (Smeltzer dan Bare, 2001).

Informasi yang didapat penulis dari bagian Pusat Pengendalian Infeksi

(PPI) berdasarkan pelaporan infeksi nosokomial di RSUP Haji Adam Malik

Medan pada tahun 2010, angka kejadian flebitis di RSUP Haji Adam Malik

Medan adalah sebanyak 146 pasien terjadi flebitis dari 38.803 pasien.

Melihat permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai rata-rata lama hari pemasangan infus dalam terjadinya flebitis pada

pasien yang dipasang infus di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.2Pertanyaan Penelitian

Berapa rata-rata lama hari pemasangan infus dalam terjadinya flebitis pada

pasien yang dipasang infus di RSUP Haji Adam Malik Medan?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rata-rata lama hari pemasangan

infus dalam terjadinya flebitis pada pasien yang dipasang infus di RSUP Haji

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi

institusi pendidikan keperawatan di bidang keperawatan medikal bedah.

1.4.2 Bagi Praktik Keperawatan

Sebagai bahan informasi tentang rata-rata lama hari pemasangan infus

dalam terjadinya flebitis pada pasien yang dipasang infus sehingga perawat dapat

melakukan perawatan terhadap pemasangan alat intravaskular sehingga tidak

menyebabkan flebitis.

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan data awal dalam mengadakan

penelitian yang terkait dengan rata-rata lama hari pemasangan infus terhadap

Judul : Rata-rata Lama Hari Pemasangan Infus dalam Terjadinya Flebitis pada Pasien yang Dipasang Infus di RSUP Haji Adam Malik Medan

Peneliti : Lia Mardiah

NIM : 101121089

Jurusan :Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2012

ABSTRAK

Lama hari pemasangan infus pada pasien yang dipasang infus memiliki resiko tinggi terjadi flebitis dan kejadiannya tergantung pada kondisi kesehatan secara keseluruhan dan lamanya pemasangan infus.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rata-rata lama hari pemasangan infus

Dokumen terkait