• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver dengan Anggota Keluarga

BAB V HASIL PENELITIAN

B. Gambaran Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver dengan Anggota Keluarga

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga kepada objek tertentu. Pengetahuan adalah domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku yang

berdasarkan pengetahuan umumnya bersifat lama (Sunaryo, 2004). Hasil tingkat pengetahuan family caregiver diketahui family caregiver laki-laki yang memiliki pengetahuan baik hanya 33,3% reponden laki-laki, sedangkan pada jenis kelamin wanita 17,4% responden memiliki pengetahuan baik. Persentase yang lebih besar pada laki-laki disebabkan karena responden laki-laki tersebut memiliki pengalaman merawat dengan pasien gangguan mobilisasi sebelumnya yaitu ibunya sebelum sekarang merawat istrinya dengan gangguan mobilisasi karena stroke. Meskipun tidak pernah mendapat pendidikan kesehatan mengenai Dekubitus, responden mengetahui beberapa tindakan pencegahan Dekubitus karena pengalamannya bukan karena dasar teori seperti segera mengganti popok pasien jika BAB atau BAK agar tidak lembab dan membantu memiringkan pasien jika pasien mengeluh ada nyeri di bagian tubuh tertentu.

Tingkat pengetahuan pada kategori usia sebagian besar pada kategori cukup, kecuali pada lansia dimana 66,7% memiliki pengetahuan kurang. Pada hasil analisa dari pengisian kuesioner, pada responden dengan kelompok usia lansia, didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikannya pada tingkat rendah. Menurut Notoatmodjo (2003) salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Mengenyam pendidikan akan melatih kemampuan dan kapasitas seseorang dalam belajar sehingga mampu menghasilkan suatu perubahan dalam pengetahuan.

Tingkat pengetahuan berdasarkan tingkat ekonomi masih paling banyak pada tingkat pengetahuan cukup yaitu 75% pada kelompok ekonomi rendah dan 57,1% pada kelompok ekonomi rendah. Hal ini berhubungan dengan tingkat pendidikan yang diambil oleh responden. Keputusan untuk mengenyam pendiidkan dipengaruhi oleh tingkat ekonomi seseorang. Selain itu, melihat mayoritas usia responden yang didominasi oleh kelompok usia dewasa akhir dapat diketahui bahwa kebanyakan responden lahir pada tahun 1950 – 1970an, dimana masih belum banyak tersedia institusi pedidikan juga subsidi pendidikan seperti sekarang karena wajib belajar 9 tahun baru diatur pada tahun 2008. Menurut Notoatmodjo (2003) dan Sukmadinata (2003) tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Kemampuan atau kapasitas belajar yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok. Tingkat pendidikan tentu dapat menghasilkan suatu perubahan dalam pengetahuan.

Tingkat pengetahuan dilihat dari pengalaman responden mendapatkan hasil pada kelompok pengalaman tidak ada yang memiliki pengetahuan kurang, sedangkan pada kelompok tidak berpengalaman ada 3 dari 22 responden yang berpengetahuan kurang. Salah satu sumber pengetahuan pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi adalah alat vital bagi manusia sebagai kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, orang dapat melihat secara langsung dan dapat pula melakukan kegiatan hidup (Suhartono, 2005).

Meskipun didominasi oleh responden yang tidak berpengalaman merawat pasien imobilisasi sebelumnya, 92,3% responden telah merawat pasien lebih dari satu tahun. Hasil pendalaman informasi mengenai cara merawat pasien selama ini diketahui beberapa responden yang telah lama merawat pasien memberikan minyak kelapa atau lotion secara rutin di bagian bokong juga punggung pasien saat mengganti baju atau popok. Mereka mengaku hal ini dilakukan atas inisiatif sendiri bukan intruksi dokter atau tenaga kesehatan lainnya karena menganggap minyak kelapa bisa mencegah terjadinya lecet karena pemakaian popok dan posisi tidur yang lama. Selain itu, responden juga setiap hari memobilisasi pasien meskipun tidak tiap 2 jam seperti teori, seperti mendudukkan pasien di kursi roda pada pagi dan sore hari.

Hasil penilaian tingkat pengetahuan family caregiver berdasarkan tingkat pendidikan didapati 18 responden memiliki pengetahuan cukup, 3 responden berpengetahuan kurang dan 5 responden memiliki pengetahuan yang baik tentang Dekubitus. Terlihat dari hasil tabulasi silang bahwa semakin tinggi pendidikan maka frekuensi tingkat pengetahuan rendah menurun. Hal ini karena pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak informasi yang diterima serta dorongan untuk mencari informasi lebih besar pada orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi.

Kebanyakan dari responden tidak mengetahui tentang tanda-tanda pada tiap derajat perkembangan Dekubitus. Namun, untuk pernyataan tindakan pencegahan Dekubitus seperti menjaga kondisi kulit tetap kering dan bersih serta menggunakan

bantal atau gulungan handuk saat berbaring untuk mengurangi tekanan mampu dijawab benar oleh semua responden. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rismawan (2014) dan Sulastri et al., (2008) dimana tingkat pengetahuan keluarga tentang Dekubitus yang baik masing-masing 0% dan 26,67%. Berbeda dengan hasil penelitian Metkono, dkk, 2014 yang menemukan tingkat pengetahuan caregiver yang baik mencapai 79,3%.

Persepsi responden dilihat dari jenis kelamin didapati bahwa baik perempuan maupun laki-laki sebagian besar memiliki persepsi yang negatif terhadap pencegahan dekubitus dengan persentase masing-masing 52,2% dan 66,7% . Hal ini karena sebagian besar responden menilai dirinya telah merawat dengan baik pasien dengan membersihkan badan pasien secara rutin. Oleh karena itu, pada item persepsi kerentanan terhadap Dekubitus, sebagian besar caregiver tidak setuju jika pasien akan mengalami luka Dekubitus.

Persepsi berdasarkan kategori usia dimana 66,7% lansia memiliki persepsi positif. Hal tersebut terjadi karena pada usia yang semakin tua memiliki penerimaan yang lebih baik. Umur dewasa memiliki cara berfikir dan mengambil keputusan yang optimal sehingga mempengaruhi bagaimana hasil penilaian atau persespsi suatu keputusan (Sumarwan, 2014). Karakteristik dari tingkat usia dewasa adalah mampu memenuhi kebutuhannya, memanfaatkan pengalamannya dan mengidentifikasi kesiapan belajar (Knowless, 1986 dalam Ali, 2007). Hasil ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Greenlee & Scharlach, 2006 dimana mendapatkan hasil rata-rata usia dari caregiver adalah 46 tahun dan didominasi oleh perempuan.

Persepsi berdasarkan tingkat ekonomi menunjukkan 60% responden memiliki persepsi negatif pada kelompok ekonomi rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitiian yang dilakukan oleh Sanchón-macias & Bover-bover, 2013 dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ekonomi tidak berpengaruh dengan persepsi negatif status kesehatan baik pada kelompok pendapatan < 250 euro/ bulan, 250-499 euro/bulan, 500-999 euro/bulan, dan 1000-1499 euro/ bulan masing-masing memiliki

p value sebesar 0,355, 0,062, 0,633, dan 0,247.

Gambaran persepsi berdasarkan pengalaman didapati 54,5% responden yang tidak berpengalaman memiliki persepsi negatif terhadap pencegahan Dekubitus. Persepsi merupakan insterpretasi unik terhadap situasi dan bukan pencarian yang benar tehadap situasi. Dalam membangun persepsi terdapat proses yang melibatkan rangkaian kognitif yang kompleks, sehingga melalui proses tersebut dapat dihasilkan penilaian tentang kenyataan yang mungkin berbeda dari ekspektasi. Selama prosesnya, pembentukan persepsi juga dipengaruhi oleh konteks, pengalaman masa lalu, dan ingatan (Thoha, 2000 dalam Marliyah et al., 2014). Persepsi negatif yang lebih banyak muncul pada responden dapat dipengaruhi oleh kondisi anggota keluarga yang dianggap tidak rentan untuk mengalami Dekubitus karena masih mampu mobilisasi meskipun menggunakan alat bantu.

Persepsi pada kategori tingkat pendidikan menunjukkan bahwa 58,3% responen memiliki persepsi yang negatif terhadap pencegahan Dekubitus. hal ini mungkin dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang masih relatif rendah. Hasil penelitian Rismawan, 2014 menyebutkan bahwa masih banyak keluarga yang tidak mengetahui tentang Dekubitus sehingga angka kejadian Dekubitus juga banyak. Pemberian pengetahuan kepada keluarga sangat penting sebagai upaya mendorong keluarga untuk melakukan tindakan yang sesuai. Dalam penelitian Rismawan, 2014 juga dijelaskan bahwa tingkat pengetahuan seseorang cenderung berpengaruh positif terhadap persepsi/penialaian dan perilaku yang sesuai.

Perilaku positif dari keluarga dalam upaya pencegahan Dekubitus sangat berperan dalam pencegahan pembentukan luka dekubitus. Pengetahuan mengenai dekubitus mempengaruhi dorongan keluarga untuk terlibat dalam perilaku pencegahan Dekubitus (Sulastri et al., 2008). Komplikasi yang paling parah dan umum terjadi pada luka Dekubitus adalah infeksi, seperti Sepsis dan Osteomielitis. Hal ini karena kerusakan jaringan memberikan akses ynag mudah untuk invasi bakteri (Gambret, 1988). Sepsis yang berhubungan dengan luka dekubitus dapat terjadi pada semua derajat luka dekubitus. Beberapa penelitian menyebutkan dominasi organisme sebagai penyebab Sepsis pada Dekubitus adalah staphylococcus

aureus, streptococcus faecalis dan coliform (Alder, VG dan Gillespie WS dalam

mengidentifikasi patogen. Hal ini tentu akan menambah waktu pemulihan dari pasien (Maklebust & Siegreen, 2001).

Osteomielitis atau infeksi yang menyerang tulang pada Dekubitus umumnya terjadi pada derajat IV luka Dekubitus, karena pada derajat ini telah terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan kulit serta kerusakan sudah mencapai otot, tulang, atau struktur penyangga sehingga terdapat akses untuk bakteri menginvasi bagian tulang pasien (National Pressure Ulcer Advisory Panel et al., 2007). Osteomielitis akan menunda proses penyembuhan luka itu sendiri, karena jaringan mengalami kerusakan yang parah dan hal ini berhubungan dengan risiko tinggi mengalami kematian. Biopsi tulang dan kutur dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis Osteomielitis (Maklebust & Siegreen, 2001). Pengobatan pada kronik Osteomielitis lebih baik dengan terapi antibiotik jangka pendek disertai perbaikan jaringan dan penutupan luka yang baik dibandingkan dengan terapi antibiotik jangka panjang dengan perbaikan jaringan yang sederhana (Marriott & Rubayi, 2008).

Gambaran pengetahuan dan persepsi family caregiver secara umum menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup dan memiliki persepsi negatif terhadap pencegahan Dekubitus. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Safitri, Agustina, & Amrullah (2010) dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga memiliki pengetahuan yang cukup namun sikap yang ditunjukkan negatif atau tidak mendukung tentang perawatan di rumah pasien stroke dengan kejadian stroke berulang. Hasil ini dikarenakan terdapat

faktor yang memengaruhi persepsi family caregiver yaitu tingkat risiko Dekubitus. Hasil analisa korelasi oleh peneliti didapati hubungan keduanya, hal ini menginterpretasikan bahwa ketika anggota keluarga yang mengalami gangguan mobilisasi berisiko rendah, family caregiver cenderung berpresepsi negatif terhadap pencegahan Dekubitus karena menganggap anggota keluarga yang sakit tidak rentan untuk mengalami Dekubitus terlepas dari jenis kelaminnya, kelompok usianya, tingkat pendidikannya, pengalamannya, dan tingkat ekonominya, family caregiver merasa tidak perlu untuk melakukan tindakan pencegahan Dekubitus karena bersepsi keluarganya yang sakit tidak akan mengalami Dekubitus, begitupun sebaliknya.

Dokumen terkait