Penolong persalinan merupakan orang yang membantu pada saat ibu
melahirkan, baik tenaga kesehatan maupun bukan tenaga kesehatan. Dalam SDKI
2012 yang termasuk kedalam penolong persalinan tenaga kesehatan yaitu dokter,
dokter kandungan, perawat, bidan dan bidan desa. Sedangkan yang bukan tenaga
kesehatan adalah penolong persalinan tradisional atau dukun bayi/beranak,
kelurga/teman dan lain sebagainya (BPS, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 337 ibu yang melahirkan di
Provinsi Papua yang menggunakan tenaga kesehatan hanya mencapai 46,3%
angka ini sama dengan capaian penolong persalinan dari SDKI 2007. Capaian ini
belum memenuhi target MDGs (Millenium Development Goals) 95% pada tahun 2015. Sedangkan ibu yang menggunakan penolong persalinan bukan tenaga
kesehatan mencapai (51,9%), angka ini sama dengan hasil yang didapat SDKI
2007. Selain itu, di Provinsi Papua juga masih terdapat ibu yang melahirkan
dengan tanpa penolong atau melakukan persalinan sendiri yaitu sebesar (1,8%),
angka ini sudah mengalami penurunan dari hasil capaian SDKI 2007 yaitu
(12,0%) (BPS, 2008).
Tingginya penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya komplikasi persalinan dan dapat berujung pada
kematian ibu. Selain kematian ibu, persalinan yang tidak ditolong oleh tenaga
yang terampil dapat mengakibatkan kematian pada bayi. Hal ini disebabkan oleh
masih kemampuan dan keterampilan tenaga penolong yang tidak kompeten
(Kemenkes RI, 2012). Selain masih tingginya penolong persalinan oleh bukan
tenaga kesehatan, masih adanya ibu melahirkan di Papua yang tidak
menggunakan penolong persalinan semakin menambah resiko angka kematian
ibu. Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Papua tahun 2012 diketahui bahwa
penyebab kematian ibu adalah perdarahan 40,00%, hipertensi dalam kehamilan
3,08%, infeksi 26,42%, Abortus 7,69%, partus lama 3,08%, lain-lain 21,54%
(Dinkes Papua, 2012). Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa perdarahan
merupakan penyebab kematian paling tinggi, kejadian perdarahan ini dapat
ditangani apabila ibu ditolong oleh tenaga profesional yang kompeten.
Penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan lebih tinggi digunakan oleh
ibu melahirkan di Provinsi Papua dibandingkan dengan penggunaan tenaga
seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi, pemungkin dan
kebutuhan. Faktor predisposisi terdiri dari demografi, sturktur sosial, dan
kepercayaan kesehatan. Beberapa hal yang dapat berhubungan dengan keputusan
ibu dalam menggunakan pelayanan kesehatan yaitu umur ibu, status perkawinan
dan paritas. Umur ibu dapat mempengaruhi kesehatan ibu selama proses
melahirkan. Ibu yang melahirkan dengan umur terlalu muda atau terlalu tua dapat
menjadi penyebab terjadinya masalah persalinan yang dapat berujung pada
kematian ibu (Depkes, 2009). Keadaan ini dapat mempengaruhi ibu untuk
memutuskan penggunaan penolong persalinan.
Paritas merupakan jumlah kelahiran yang pernah dialami ibu baik lahir hidup
maupun lahir mati. Paritas termasuk kondisi reproduksi ibu yang dapat
menyebabkan komplikasi kehamilan apabila ibu mengalami paritas tinggi
(McCarthy and Deborah, 1992). Paritas berhubungan juga dengan pengalaman
ibu dalam proses melahirkan. Pengalaman ibu ini dapat mendukung ibu untuk
memilih penggunaan penolong persalinan. Status perkawinan ibu dapat menjadi
salah satu faktor yang mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang memiliki status menikah
sebesar (87,2%). Status perkawinan ibu ini berhubungan juga dengan dukungan
suami dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan penolong persalinan,
dibandingkan dengan ibu yang tidak menikah atau tidak memiliki pasangan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi seseorang dalam mengakses pelayanan
kesehatan antara lain pendidikan, pekerjaan, budaya, agama, mobilitas penduduk.
penolong persalinan. Ibu dan suami/ pasangan yang mempunyai pendidikan
rendah akan mempengaruhi terhadap pengetahuan ibu dan suami/pasangan
tentang penolong persalinan yang baik. Pengetahuan ibu dan suami yang rendah
juga dapat berdampak pada kepercayaan ibu dan suami/pasangan terhadap
kesehatan. Oleh karena itu, pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk
menggunakan pelayanan kesehatan. Pekerjaan juga mendukung seseorang untuk
menggunakan tenaga kesehatan. Pekerjaan ibu dan suami/pasangan dapat
menggambarkan status ekonomi keluarga yang juga dapat mendukung akses
pelayanan kesehatan. status ekonomi juga digambarkan melalui tingkat kekayaan
keluarga. Ibu yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi akan lebih memilih
menggunakan tenaga kesehatan dibanding ibu dengan tingkat kekayaan rendah.
Budaya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang.
Berdasakan penelitian yang dilakukan Alwi dkk (2001) yang dilakukan pada suku
Amungme dan suku Kamoro Provinsi Papua, diketahui bahwa masyarakat
memandang persalinan merupakan peristiwa alami dan urusan perempuan dan
tidak perlu dibesar-besarkan, selain itu mereka juga menganggap bahwa darah
dan kotoran persalinan dapat menimbulkan penyakit yang mengerikan bagi
laki-laki dan anak-anak sehingga harus disembunyikan atau dijauhkan. Hal ini tentu
saja dapat berdampak pada kesehatan ibu dan juga bayi yang dilahirkan bahkan
dapat juga menyebabkan kematian ibu dan anak, karena tidak ada penolong
persalinan yang terlatih dan terampil untuk membantu ibu pada saat melahirkan.
yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki, yaitu segala urusan kehidupan
berpusat pada kekuasaan laki-laki, termasuk dalam hal pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, masih banyak perempuan di Papua yang kesulitan untuk
mengakses pelayanan kesehatan dikarenakan keputusan masih berada di tangan
laki-laki terutama di wilayah pedalaman Papua.
Selain hal tersebut, wilayah tempat tinggal ibu juga menunjukkan
kemampuan ibu dalam mengakses tenaga kesehatan, ketersediaan fasilitas
kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan juga mempengaruhi ibu untuk dapat
mengakses penolong persalinan. Berdasarkan Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI (InfoDatin) tahun 2013, diketahui bahwa jumlah
penolong persalinan yaitu bidan di Papua pada tahun 2013 hanya mencapai
1.353 orang, jumlah ini masih kurang jika dibandingkan dengan provinsi lain.
Adapun rasio ibu hamil dan bidan di Provinsi Papua pada sudah memenuhi
syarat yaitu setiap bidan mampu menangani 21-30 ibu hamil dan berada pada
zona biru. Akan tetapi, berdasarkan jumlah persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan diketahui Provinsi Papua masih berada di zona merah. Rasio bumil
dan bidan tinggi tersebut ternyata tidak mempengaruhi angka persalinan
ditolong tenaga kesehatan. Hal ini dapat disebabkan oleh distribusi bidan yang
kurang merata serta kemampuan dan kualitas pelayanan yang masih kurang
(Kemenkes, 2014).
Ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang masih
banyak hanya dapat diakses oleh ibu yang bertempat tinggal diwilayah
pedalaman dan daerah terpencil, hal ini dipengaruhi oleh wilayah Papua yang
juga termasuk pegunungan dengan jarak tempat tinggal yang jauh dari
pelayanan kesehatan. Ibu yang berada di daerah perkotaan akan lebih mudah
untuk mengakses pelayanan kesehatan, hal ini dikarenakan ketersediaan
tenaga dan fasilitas masih berpusat di daerah pekotaan.