BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
6.2.1 Gambaran pengunaan APD pada operator SPBU di wilayah
Alat pelindung diri (APD) atau sering disebut juga dengan Personal Protective equipment (PPE) adalah peralatan yang digunakan untuk melindungi pengguna terhadap risiko kesehatan ataupun keselamatan yang belum dapat dikendalikan di tempat kerja (Tanwaka, 2008). Berdasarkan Peraturan Menteri
97
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri, bermacam-macam antara lain alat pelindung pernapasan, alat pelindung tangan, alat pelindung kaki, alat pelindung mata, dan alat pelindung muka.
Berdasarkan hasil wawancara, penggunaan APD pada operator SPBU sangat buruk dan buruk Penggunaan APD pada operator SPBU di wilayah Ciputat Timur hanya mewajibkan operator menggunakan APD sepatu dan pelindung pakaian (seragam kerja), dalam prakteknya penggunaan APD sepatu, masih banyak yang belum sesuai dengan standar yang sesuai dengan praktek kerja pada bahan kimia benzena.
Penggunaan APD yang sesuai dengan paparan benzena seharusnya menggunakan APD sepatu yang terbuat dari bahan karet, alat pelindung pernapasan jenis air-supplying respirator, alat pelindung mata jenis safety googles, alat pelindung tangan yang terbuat dari bahan karet, dan pakaian yang dapat melindungi semua bagian tubuh (Workplace Health and Safety 2010 dan Suncor energy. 2015)
Penggunaan APD seharusnya selalu diwajibkan untuk pekerja SPBU khususnya operator SPBU yang dalam proses kerjanya selalu kontak langsung dengan bahan bakar minyak. Hal ini penting karena penggunaan alat pelindung diri berfungsi untuk memproteksi diri dalam mencegah terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja pada tenaga operator SPBU saat sedang bekerja (Sadryani, 2008).
98
Berdasarkan hasil wawancara dengan operator diketahui bahwa alasan operator tidak menggunakan APD secara lengkap dikarenakan 1)kurang atau tidak tersedianya APD seperti APD sarung tangan, 2)kurangnya pengetahuan misalnya ada anggapan kalau menggunakan masker tidak bisa 5S 3)persepsi yang salah misalnya ada anggapan bahwa alasan tidak menggunakan masker karena hasilnya sama aja dan masih nembus juga, 4) tidak adanya SOP tentang kewajiban menggunakan APD. Sedangkan alasan operator menggunakan APD karena 1) sudah adanya SOP, SOP yang ada di perusahaan hanya mewajibkan operator menggunakan sepatu dan pakaian. 2) ada beberapa pengetahuan operator yang sudah bagus tetapi hanya sedikit persentase misalnya tentang pentingnya penggunaan masker beralasan agar debu tidak masuk, 3) tentang ketersediaan APD tetapi hanya ada tentang pakaian kerja.
Akibat penggunaan APD yang yang tidak sesuai dengan standar dapat mempengaruhi kadar benzena di dalam tubuh manusia. Penyakit yang dapat timbul akibat tidak menggunakan APD diantaranya adalah penyakit disfungsi hepotoseluler kronik persisten yang ditimbulkan karena ada kontak dengan agen (PERMENAKERTRANS no 25 tahun 2008).
Dari segi ketersediaan banyak APD yang tidak disediakan oleh manajemen, sehingga perlunya pengadaan APD yang sesuai dengan jenis bahaya yang ditimbulkan akibat pekerjaan. Apabila manajemen tidak mau menyediakan berarti sudah melanggar Undang-undang Republik Indonesia No 1 tahun 1970 tentang
99
keselamatan kerja pasal 9 yang menyatakan bahwa pengurus wajib menyediakan APD bagi setiap karyawan atau tenaga kerja.
Tenaga kerja merasa bahwa ketersediaan APD yang ada terkadang masih belum mencukupi kebutuhan mereka dan hal ini dapat menghambat mereka untuk berperilaku aman (Irlianti 2014). Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, dan setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (Menurut UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan). Menurut permen 08 tahun 2010 tentang alat pelindung diri, APD yang di berikan secara cuma-cuma berupa pelindung kepala, pelindung mata dan muka, pelindung telinga, pelindung pernapasan beserta perlengkapannya, pelindung tangan dan kaki. Pemilik SPBU seharusnya melakukan identifikasi bahaya yang ada ditempat kerja setelah itu menentukan APD yang cocok dan menyediakannya dengan cuma-cuma untuk operator.
Bila dilihat dari peraturan atau SOP tentang kewajiban penggunaan SPBU di wilayah Ciputat Timur masih banyak yang tidak memiliki peraturan tentang kewajiban penggunaan APD, misalnya ada pernyataan dari operator yang mengatakan “alasan operator tidak menggunakan masker dan penggunaan sarung tangan karena tidak ada dalam SOP” sehingga dari peryataan tersebut dapat disimpulkan pentingnya SOP tentang APD yang akan mempengaruhi kepatuhan pekerja dalam penggunaan APD misalnya dalam penggunaan APD pakaian karena ada dalam SOP maka tingkat kepatuhan penggunaannya tinggi.
100
Peraturan dan prosedur keselamatan kerja merupakan salah satu faktor yang dapat meminimalkan kecelakaan yang diakibatkan adanya kondisi tidak aman (Pipitsupaphol, 2003) karena dapat memberikan gambaran dan batasan yang jelas terhadap penerapan program keselamatan kerja pada pekerja. Menurut Mohamed (2002) mengungkapkan bahwa peraturan dan prosedur keselamatan kerja yang diterapkan oleh perusahaan hendaknya mudah dipahami dan tidak sulit untuk diterapkan, ada sanksi yang tegas bila peraturan dan prosedur keselamatan kerja dilanggar, dan ada perbaikan secara berkala sesuai dengan kondisi..
Menurut Reason (1997), program keselamatan kerja hendaklah dimulai dari awal, dalam hal ini dimulai dari tingkat teratas organisasi (top management) perusahaan tersebut. Untuk memulai program keselamatan kerja, top management dapat merumuskan suatu kebijakan yang menunjukkan komitmen terhadap masalah keselamatan dan kesehatan kerja. Langkah awal ini selanjutnya akan menentukan pengambilan kebijakan berikutnya dalam hal keselamatan kerja. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Cheyne dkk, 1998) menunjukkan bahwa faktor komitmen merupakan salah satu faktor utama budaya keselamatan kerja, dimana tanpa dukungan dari pihak manajemen sangatlah sulit untuk mencapai keberhasilan dalam menjalankan program keselamatan kerja.
Setelah ketersediaan APD dan peraturan tentang penggunaan APD maka perlunya dilakukan sosialisasi, karena dengan sosialisasi maka pengetahuan dan persepsi operator akan meningkat, hal ini karena ada operator yang memiliki
101
pengetahuan dan persepsi yang yang tidak sesuai, misalnya ada pernyataan dari operator yang mengatakan “kalau hujan males soalnya suka becek dan basah sepatunya” sehingga penting dan perlunya dilakukan pelatihan atau training tentang pentingnya penggunaan APD pada operator SPBU.
Penelitian yang dilakukan oleh salawai (2009) menunjukkan bahwa pengetahuan berhubungan dengan terjadinya kecelakaan kerja pada petugas laboratorium patologi klinik rumah sakit dr. Zainal Abidin yang di sebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang pentingnya penggunaan APD. Training merupakan salah satu hal penting untuk diberikan kepada tenaga kerja sebagai upaya pemicu perilaku aman karena tujuan dari training ialah untuk meningkatkan Knowlegde, Skill, dan Attitude (KSA) tenaga kerja. Oleh karena itu training harus dirancang secara spesifik sesuai dengan pekerjaan dan kebutuhan tenaga kerja (The Keil Centre, 2002).
Training inilah yang meningkatkan pengetahuan tenaga kerja terhadap pekerjaan atau tugasnya, Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta perilaku aman. Dari pengetahuan yang didapat ini akhirnya tenaga kerja dapat menilai bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan perilaku aman merupakan hal yang penting saat bekerja dan merupakan faktor yang harus diutamakan (Irlianti, 2014).
Cheyne dkk (1998) dalam penelitiannya menemukan bahwa keterlibatan pekerja pada program keselamatan kerja sangatlah penting sebagai bentuk kesadaran pekerja terhadap program keselamatan kerja. Pekerja yang menyadari
102
pentingnya program keselamatan kerja akan menerapkannya dengan sepenuh hati dan tanpa paksaan, dan merasa bahwa program keselamatan kerja merupakan hak pekerja bukan merupakan kewajiban dalam melakukan pekerjaannya (Harper, Koehn, 1998).
6.2.2 Gambaran Personal Hygiene pada operator SPBU di wilayah Ciputat Timur
Personal higiene antara lain membersihkan bahan kimia yang mungkin melekat pada tubuh sebelum makan dan sebelum meninggalkan tempat kerja (Scott, 1989). Kebiasaan cuci tangan merupakan bagian dari menjaga kebersihan diri. Kebiasaan mencuci tangan sangat penting dilakukan karena tangan merupakan bagian dari tubuh yang paling sering kontak langsung dengan bahan maupun alat yang berbahaya dan yang paling sering digunakan untuk bekerja (SNI, 2005)..
Para operator SPBU memiliki personal hygiene yang sangat buruk dan buruk. Adapun operator SPBU yang memiliki personal hygiene yang sangat buruk dan buruk adalah merokok dalam kehidupan sehari-hari, tidak mencuci muka sebelum makan dan minum, dan tidak mencuci tangan sebelum meninggalkan tempat kerja.
Operator yang memiliki pengetahuan tentang pentingnya cuci tangan sebelum makan sudah baik akan tetapi persepsi operator tentang penting cuci tangan yang masih kurang sehingga perlunya pemahaman tentang pentingnya cuci tangan.
103
Persepsi yang salah tentang perlunya cuci tangan adalah mereka mau cuci tangan tetapi tergantung jenis makanan apa yang mau dimakan, hemat air, dan melakukan cuci tangan sebelum meninggalkan tempat kerja mereka mengganggap tanggung kalau cuci tangan di tempat kerja. Pengetahuan sangat penting terhadap terjadinya perilaku. Semakin tinggi atau semakin baik pengetahuan akan menimbulkan persepsi yang selanjutnya membentuk sikap yang mendorong terhadap terjadinya perilaku yang baik ( Widhaaprilandini, 2011).
Berdasarkan hasil wawancara alasan para operator yang memiliki personal hygiene yang cukup baik dan baik adalah 1) alasan operator melakukan cuci tangan saat akan makan dan minum adalah supaya bakteri tidak ikut masuk, banyak kuman yang menempel, biar bersih, biar terhindar penyakit dan untuk kesehatan, dan tergantung mau makan apa. 2) alasan tidak merokok saat bekerja karena tidak boleh di area SPBU, tidak sopan, bisa meledak, bisa kebakaran, karena berbahaya, dan memang tidak merokok. 3) alasan operator mandi dengan sabun karena supaya bersih dan supaya segar. 4) alasan operator keramas setelah bekerja karena supaya rambutnya bersih dan setiap mandi pasti keramas.
Kebiasaan mencuci tangan adalah salah satu bagian dari aktualisasi menjaga kebersihan terutama bagi pekerja yang terpapar zat kimia benzena (Astrianda, 2012). Proses cuci tangan yang kurang sempurna atau salah pada pekerja, baik dari segi intensitas, keadaan air maupun proses pengeringan dapat sangat berpengaruh sehingga paparan benzena tetap masuk kedalam tubuh (Nurzakky, 2012). Proses
104
kerja yang sering kontak dengan benzena dapat dipastikan adanya timbunan bahan-bahan iritan dan elergen pada tubuh maupun pakaian yang dipakai pekerja maka perlu menjaga personal hygiene yang baik dan benar (Irsro'in, 2012).
Toxic Substances (2015) mengatakan personal hygiene yang baik meliputi pelatihan karyawan untuk selalu menjaga kebersihan, mencuci pakaian yang terkena tumpahan, mandi setelah bekerja dengan menggunakan sabun dan shampo, dan penggantian pakaian secara berkala. Personal Hygiene yang buruk maka konsentrasi benzena dapat masuk ke dalam tubuh manusia (Diana, 2014).
Operator yang memiliki personal hygiene yang sangat buruk dan buruk adalah 1) alasan merokok dalam kehidupan sehari-hari karena sudah kecanduan, ketika kumpul bersama teman, dan untuk menghilangkan stres. 2) alasan operator tidak melakukan cuci muka sebelum makan dan minum karena makan menggunakan tangan bukan muka dan beralasan operator kalau sempat 3) alasan operator tidak melakukan cuci tangan sebelum meninggalkan tempat kerja karena ingin buru-buru pulang, tidak sempat, dan tanggung pulang dan bersih-bersih.
Penerapan personal higiene penting untuk segera menghilangkan kontaminasi dari bagian tubuh yang terjadi kontak. Personal higiene antara lain membersihkan bahan kimia sebelum makan dan sebelum meninggalkan tempat kerja (Scott, 1989). Kebanyakan kasus dimana suatu zat kimia terjatuh pada kulit, segera dicuci dengan sungguh-sungguh menggunakan sabun dan air adalah suatu tindakan pertama yang paling baik (Putra, 2003). Bahan kimia yang melekat pada
105
tangan seharusnya langsung dicuci karena apabila tidak langsung dibersihkan maka akan terjadi kontak dengan kulit menjadi lebih panjang (Maywati, 2012).
Workplace Health and safety (2010) menyatakan bahwa untuk mencegah bahaya dari zat kimia benzena dalam pekerjaan seharusnya pekerja tidak makan dan minum saat bekerja, mencuci tangan dan wajah sebelum makan dan minum, dan selalu menjaga kebersihan diri pada operator. Toxic Subtances Benzene (2015) pekerja yang bekerja dengan benzena seharusnya mengidentifikasi paparan, mencuci pakaian yang terkena, mandi setelah bekerja dengan menggunakan sabun, dan pergantian pakaian secara berkala.
Bila dilihat dari alasan jarang mengganti dan mencuci pakaian pada operator SPBU dikarenakan ketersediaan pakaian kerja yang kurang sesuai dengan peryataan pekerja yang mengatakan bahwa “jumlah seragamnya terbatas mas kalau di cuci takut tidak kering” padahal penting menjaga pakaian kerja yang bersih akan berakibat pada kesehatan pekerja penelitian ini sejalan dengan penelitian Menurut Daryanto (2007), pakaian kerja yang digunakan dapat mengurangi penyakit akibat kerja. Kesehatan kulit tidak terlepas dari menjaga kebersihan pakaian selain itu pemakaian pakaian kerja harus diperhatikan sehingga tujuan pemakaian pakaian kerja tercapai yaitu keselamatan kerja.. Hal ini sesuai dengan penelitian Alfian (2004) yang mengatakan bahwa kebiasaan ganti pakaian yang kategori tidak baik dan menderita penyakit kulit sebesar 88%.
106
Masih banyaknya kebiasaan merokok pada operator SPBU dapat menambah jumlah asupan benzena ke dalam tubuh selain yang berasal dari proses kerja mereka (Pudyoko, 2010). Hasil penelitian dari Amerika Serikat yang menyatakan bahwa asap rokok merupakan penyumbang setengah dari sumber paparan benzena dan hasil itu menunjukkan bahwa rata-rata asupan benzena pada seorang perokok aktif lebih besar 10 kali lipat dibandingkan pekerja yang tidak merokok meskipun tidak bisa dipungkiri pekerja yang tidak merokok juga tetap terpapar benzena dari asap rokok pekerja yang merokok (Egeghy, 2000).
6.2.3 Gambaran faktor lingkungan pada operator SPBU di wilayah Ciputat