I. PENDAHULUAN
2.1. Gambaran Perekonomian Indonesia
Perkembangan ekonomi Indonesia sejak Pemerintahan Orde Baru pada tahun
1966 ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi. Seperti dapat
dilihat pada Tabel 7, pada masa awal pembangunan ekonomi pada periode 1966-
1970, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5.89 persen per tahun. Selanjutnya,
pada dekade 1971 – 1980 rata-rata pertumbuhan ekonomi meningkat pesat menjadi 7.44 persen (Tjahyono dan Anugrah, 2006). Kenaikan ini tidak terlepas dari
keberhasilan pemerintah dalam mendorong ekspor minyak yang dibarengi oleh
kenaikan harga minyak dunia. Namun, sejalan dengan mulai menurunnya harga
minyak dunia pada dekade 1981-1990, ekonomi Indonesia kembali mencatat
pertumbuhan yang lebih rendah. Selama periode ini, pemerintah mulai mengubah
kebijakannya dengan sasaran utama mendorong ekspor non-migas dan pengerahan
tabungan masyarakat.
Untuk meningkatkan ekspor non-migas, pemerintah mendorong sektor
swasta untuk berperan lebih besar dalam pembangunan ekonomi. Sementara upaya
pengerahan dana masyarakat dilakukan melalui pengembangan pasar keuangan.
Hal itu ditandai oleh kebijakan deregulasi perbankan dan pasar modal yang diikuti
oleh liberalisasi capital inflows. Sementara, di sisi sektor riil, pemerintah mulai
membuka pasar domestik melalui penurunan tarif, pengurangan Daftar Negatif
Investasi (DNI) yang didukung oleh kebijakan makro yang prudent. Berbagai
kebijakan di atas berhasil mendorong kembali rata-rata pertumbuhan ekonomi
perbankan yang ringkih hingga berujung pada krisis ekonomi di tahun 1997-1998.
Setelah krisis ekonomi, ekonomi Indonesia kembali mengalami perlambatan
pertumbuhan.
Tabel 7. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(Persen) Tahun Pertumbuhan 1966 – 1970 5.89 1971 – 1980 7.44 1981 – 1990 5.51 1991 – 1996 7.83 1997 – 2004 1.84 2005 – 20101 5.62
Sumber : Tjahyono dan Anugrah, 2006; 1BPS, 2011 (Diolah)
Dilihat dari sisi penggunaannya, pada masa awal pembangunan ekonomi
sebelum tahun 1970, pertumbuhan ekonomi lebih banyak didorong oleh konsumsi
masyarakat yang memberikan kontribusi hingga 80 persen PDB (lihat Tabel 8).
Namun, sejalan dengan tingginya harga minyak pada dekade 1971 - 1980, sektor
minyak menjadi satu-satunya sumber pertumbuhan. Ekspor minyak memberikan
kontribusi lebih dari 70 persen total ekspor Indonesia, sementara komoditi industri
belum memberikan kontribusi yang berarti. Ekspor non-migas sebagian besar
disumbangkan oleh komoditi primer. Hasil dari ekspor minyak sebagian besar
mengalir ke penerimaan pemerintah untuk membiayai kegiatan konsumsi dan
investasi pemerintah. Selama periode ini, peran konsumsi masyarakat sedikit demi
sedikit terdesak oleh sektor pemerintah yang sangat dominan. Sementara, investasi
swasta belum memberikan kontribusi yang berarti. Memasuki dekade 1981-1990,
31
impor yang tinggi, utamanya impor barang modal, yang dibarengi oleh
menurunnya harga minyak dunia. Akibatnya, net ekspor menunjukkan
kecenderungan yang terus menurun hingga mencapai level di bawah 5 persen PDB.
Selama periode ini, peran swasta tumbuh dengan pesat, terutama dengan
munculnya gejala konglomerasi di berbagai sektor, sebaliknya peran pemerintah
semakin menurun. Setelah krisis ekonomi, kegiatan investasi swasta sedikit demi
sedikit mulai tumbuh kembali, sementara Pemerintah menghadapi beban yang berat
akibat krisis (Tjahyono dan Anugrah, 2006).
Tabel 8. Faktor Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(Persen) No. Penggunaan 1970 1980 1990 2000 2010 1 Konsumsi 79.47 54.05 53.86 79.90 56.70 2 Investasi 12.16 18.78 31.35 18.32 32.20 3 Pengeluaran Pemerintah 8.62 10.21 9.80 7.23 9.10 4 Net Ekspor -0.25 16.95 4.99 3.54 2.00 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : BPS, Berbagai Tahun Terbitan (Diolah)
Jika dilihat dari PDB sektoral, terlihat adanya perubahan struktur ekonomi
yang berkelanjutan. Sektor pertanian menunjukkan kecenderungan yang terus
menurun. Peranan sektor pertanian digantikan oleh industri non-migas yang
tumbuh pesat sejak 1990 – 2000 seperti dapat dilihat pada Tabel 9. Sementara sektor pertambangan dan galian cenderung berfluktuasi sejalan dengan fluktuasi
harga komoditi di pasar dunia. Sedangkan sektor-sektor yang lain relatif stabil,
kecuali sektor keuangan yang terus tumbuh pada masa sebelum krisis dan akhirnya
menurun drastis setelah krisis ekonomi.
Keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tercermin pada
pada tahun 1974 hingga mencapai level $ 1200 di tahun 1996, sebelum akhirnya
merosot kembali akibat krisis pada level $ 600. Setelah krisis, pendapatan
masyarakat akhirnya mencapai di atas level $ 1200 pada akhir 2005 (Tjahyono dan
Anugrah, 2006).
Tabel 9. Pangsa Sektoral dalam Perekonomian Indonesia
(Persen)
No. Sektor 1971 1980 1990 2005 2010
1 Pertanian 44.83 30.7 19.42 14.54 13.17
2 Pertambangan dan Penggalian 8.01 9.3 15.19 9.30 8.07
3 Industri 8.36 15.3 19.35 28.10 25.76
4 Listrik, Gas dan Air 0.49 0.7 0.63 0.66 0.78
5 Bangunan 3.49 5.7 5.80 5.91 6.50
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 16.11 16.6 16.13 16.83 17.34 7 Pengangkutan dan Komunikasi 4.41 5.4 5.53 6.26 9.41 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa 12.2 13.8 14.49 9.26 9.55
9 Jasa-Jasa 2.11 2.8 3.46 9.14 9.43
Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : BPS, Berbagai Tahun Terbitan (Diolah)
Namun demikian, pendapatan masyarakat yang meningkat tersebut juga
menyisakan masalah pemerataan. Gini ratio sebagai alat ukur inequality of
distribution atau ketimpangan pendapatan menunjukan penurunan pada pada
periode 1964 – 1990, dari sebesar 0.35 menjadi sebesar 0.32 yang berarti turun sebesar 0.03 atau 3 persen. Bila Gini ratio dijadikan tolok ukur kemiskinan, maka
kemiskinan di Indonesia dalam kurun waktu tersebut hanya turun sebesar 3 persen.
Di sisi lain, PDB tumbuh pada kisaran 6.28 persen pada kurun waktu yang sama,
terdapat selisih sebesar 3.28 persen dengan penurunan kemiskinan. Peningkatan
pertumbuhan yang tidak diikuti oleh penurunan kemiskinan, menunjukkan masih
adanya ketimpangan pendapatan di Indonesia. Bahkan pada tahun 1996 Gini ratio
33
persen, ketika pertumbuhan PDB pada tahun tersebut tumbuh sebesar 7.82 persen.
Hal ini menunjukan masih belum meratanya ketimpangan pendapatan (Tjahyono
dan Anugrah, 2006).
Di samping itu, meskipun pemerintah berhasil mencatat keberhasilan dalam
mengendalikan pertumbuhan populasi, namun besarnya pertambahan angkatan
kerja masih belum mampu diimbangi oleh penciptaan lapangan kerja baru yang
dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, tingkat pengangguran
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Kenaikan angka pengangguran
yang pesat terjadi pada sekitar tahun 1993 – 1995 sejalan dengan kebijakan pengetatan yang diterapkan pemerintah untuk mengatasi gejala overheating yang
terjadi pada saat itu. Angka pengangguran ini terlihat semakin tinggi sejak krisis
hingga mencapai angka pengangguran 12 persen di tahun 2005.
Namun demikian, patut dicatat bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai di
atas juga diikuti oleh laju inflasi yang relatif tinggi. Pada masa awal pembangunan,
inflasi pernah mencapai level 80 persen sebelum akhirnya bisa dikendalikan pada
level di sekitar 10 persen. Namun, pada saat terjadi krisis harga minyak di tahun
1975 dan 1978, inflasi kembali mencapai level di atas 20 persen. Setelah itu,
terdapat kecenderungan yang terus menurun meskipun di level yang relatif tinggi.
Laju inflasi yang relatif tinggi ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang
lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui liberalisasi capital
inflows dan sistem nilai tukar mengambang terkendali. Masuknya capital inflows
tersebut menyebabkan jumlah uang beredar tidak terkendali akibat kebocoran dari
masyarakat.
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, pada awalnya pemerintah
menempuh kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Sejalan dengan
kebijakan deregulasi capital inflows dan semakin terintegrasinya pasar keuangan
domestik dengan pasar keuangan internasional, sistem nilai tukar secara bertahap
dilonggarkan untuk menyesuaikan dengan perbedaan inflasi Indonesia dengan
negara lain. Untuk mengakomodasi hal itu, sejak 15 Nopember 1978, sistem nilai
tukar diubah menjadi sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating
exchange rate) dengan mengkaitkan kurs Rupiah dengan sekeranjang mata uang
negara mitra dagang. Selama menerapkan sistem nilai tukar mengambang
terkendali, beberapa kali kurs Rupiah mengalami devaluasi untuk menyesuaikan
dengan nilai tukar riil efektif (real effective exchange rate). Sejalan dengan
semakin tingginya capital inflows yang masuk ke pasar valas domestik, pergerakan
kurs Rupiah ini semakin lama semakin lebar hingga mencapai puncaknya saat
tekanan Rupiah tidak bisa lagi dibendung. Sebagai akibatnya, sejak tanggal 14
Agustus 1997, Pemerintah menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas.
Pergerakan nilai tukar Rupiah di atas tidak terlepas dari kondisi neraca
pembayaran Indonesia. Pada masa awal pembangunan, transaksi berjalan
mengalami defisit akibat masih rendahnya kinerja ekspor. Untuk menutup defisit
tersebut memaksa pemerintah membiayai dari pinjaman luar negeri. Sejalan dengan
keberhasilan pemerintah dalam memproduksi minyak yang dibarengi oleh
tingginya harga minyak pada dekade 1971-1980, ekspor Indonesia meningkat
dengan tajam mencapai $ 17.5 juta di tahun 1980, sehingga transaksi berjalan
35
kembali mengalami tekanan berat akibat menurunnya harga minyak yang dibarengi
oleh kondisi eksternal yang kurang mendukung, yakni menurunnya laju
pertumbuhan ekonomi dunia dan meningkatnya proteksi perdagangan oleh
beberapa negara maju yang menjadi pasar utama barang produksi Indonesia. Di
samping itu, kegiatan investasi yang meningkat pesat pada dekade 1990-1996 juga
mendorong semakin tertekannya kondisi neraca pembayaran. Hal itu
mengakibatkan transaksi berjalan kembali mengalami defisit. Setelah krisis
ekonomi, kinerja ekspor meningkat tajam didorong oleh depresiasi Rupiah yang
sangat tajam akibat krisis. Sementara, impor justru turun tajam. Akibatnya,
transaksi berjalan kembali mengalami surplus, sebaliknya transaksi modal justru
mengalami defisit akibat masih tingginya capital outflows. Namun, surplus
transaksi berjalan menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun akibat
pesatnya kegiatan impor yang dipicu oleh kenaikan investasi dan tingginya harga
minyak dunia (Tjahyono dan Anugrah, 2006).