• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional dengan mengkaji faktor-

faktor internal di dalam negeri yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi dan

mengkaji dampak reindustrialisasi terhadap ekonomi makro dan kinerja sektor

industri termasuk industri kecil, menengah dan besar. Faktor-faktor eksternal

seperti kebijakan di negara-negara lain yang mempengaruhi perekonomian di

Indonesia diperlakukan sebagai variabel eksogenus.

Sektor-sektor ekonomi yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebanyak 27

sektor yang merupakan agregasi dari 66 sektor yang berasal dari Tabel Input

Output tahun 2008 yang lebih menekankan pada sektor-sektor industri non-migas.

Ke-27 sektor ekonomi tersebut kemudian diagregasikan ke dalam empat sektor

besar yaitu pertanian (1 sektor), pertambangan (termasuk migas) (2 sektor), industri

non-migas (23 sektor) dan jasa (1 sektor). Agregasi ke dalam empat sektor besar

tersebut dilakukan untuk menangkap variabel-variabel ekonomi makro seperti GDP

yang merupakan penjumlahan dari konsumsi, investasi, ekspor, impor, pengeluaran

pemerintah dan inventori.

Sementara itu, deindustrialisasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai

suatu proses perubahan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh menurunnya

kemampuan atau aktivitas dalam suatu negara atau wilayah, khususnya industri

berat atau industri non-migas. Deindustrialisasi adalah lawan dari indusrialisasi.

Terdapat beberapa interpretasi mengenai proses deindustrialisasi. Di sisi lain,

Cairncross (1982) dan Lever (1991) menawarkan empat definisi deindustrialisasi :

1. Deindustrialisasi dapat berarti penurunan lebih lanjut pada output barang-

arti karena dalam jangka pendek atau titik turun siklus disalahartikan menjadi

suatu deindustrialisasi jangka panjang (long-run deindustrialization).

2. Deindustrialisasi dapat berarti pergeseran dari sektor industri ke sektor jasa,

sehingga sektor industri mempunyai pangsa yang lebih rendah pada total output

atau tenaga kerja. Ini juga bisa menjadi salah persepsi, karena pergeseran dapat

terjadi bahkan ketika sektor industri tumbuh dalam kerangka absolut.

3. Deindustrialisasi dapat berarti bahwa barang-barang produk industri mengalami

suatu penurunan pangsa perdagangan eksternal, sehingga terdapat kegagalan

untuk mencapai surplus ekspor terhadap impor untuk memelihara suatu

perekonomian dalam keseimbangan eksternal.

4. Deindustrialisasi didefinisikan sebagai suatu keberlanjutan keadaan defisit

neraca perdagangan (sebagaimana didefinisikan pada definisi ketiga di atas)

yang mengakumulasi pada jangka yang luas dimana suatu negara atau wilayah

tidak dapat membayar impor yang diperlukan untuk mempertahankan produksi

lebih lanjut suatu barang sehingga menyebabkan penurunan yang lebih lanjut

dalam perekonomian.

Penelitian-penelitian yang dilakukan di negara-negara maju khususnya

negara-negara anggota OECD, seperti penelitian Rowthorn dan Ramaswamy

(1997), menggunakan indikator pangsa tenaga kerja sektor industri sebagai

indikator terjadinya deindustrialisasi. Sementara itu dalam penelitian ini,

deindustrialisasi didefinisikan sebagai proses perubahan sosial dan ekonomi yang

disebabkan oleh penurunan kapasitas atau aktivitas industri dalam suatu wilayah

atau negara sebagai akibat penurunan pangsa output barang-barang industri. Dalam

24

sektor industri terhadap total PDB. Pemilihan pangsa nilai tambah sektor industri

terhadap total PDB sebagai indikator deindustrialisasi didasarkan pada beberapa

pertimbangan berikut ini.

1. Penggunaan indikator pangsa nilai tambah sektor industri didasarkan pada

pertimbangan untuk melihat apakah sektor industri masih menjadi motor

penggerak utama perekonomian Indonesia. Penurunan pangsa nilai tambah

sektor industri merupakan indikasi bahwa peranan sektor industri mulai

menurun dan perannya mulai digantikan oleh sektor lain, misalnya jasa.

2. Tidak digunakannya indikator pangsa tenaga kerja dilakukan dengan alasan

bahwa perubahan struktur perekonomian di Indonesia berlangsung tidak

seimbang antara sektor pertanian dengan sektor industri. Penurunan pangsa

sektor pertanian dalam PDB tidak diikuti oleh penurunan pangsa tenaga

kerjanya, sehingga sektor pertanian masih menanggung beban tenaga kerja

yang sangat besar sehingga menyebabkan produktivitas sektor pertanian

menjadi rendah. Sementara itu di sisi lain, peningkatan pangsa sektor industri

dalam PDB tidak diikuti oleh peningkatan pangsa tenaga kerjanya. Dengan

demikian, perubahan pangsa tenaga kerja tidak mencerminkan perubahan

struktur perekonomian nasional. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di

negara-negara maju yang proses transformasi strukturalnya berlangsung

seimbang.

Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis dampak reindustrialisasi

terhadap sektor ekonomi berdasarkan skala usahanya yaitu skala usaha kecil,

menengah dan besar. Ada dua definisi yang dikenal di Indonesia. Pertama definisi

menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan

usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 000 000

(lima puluh juta upiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 000 000 (tiga ratus juta

rupiah).

2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak

perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi

bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha

besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 000 000 (lima puluh juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500 000 000 (lima ratus juta rupiah)

tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan

tahunan lebih dari Rp300 000 000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling

banyak Rp2 500 000 000 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak

perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian

baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar yang

memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500 000 000 (lima ratus juta rupiah)

sampai dengan paling banyak Rp10 000 000 000 (sepuluh milyar rupiah) tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan

tahunan lebih dari Rp2 500 000 000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai

26

4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha

dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari

Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha

patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.

Kedua menurut kategori BPS (2007) yang mengklasifikasikan industri

berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu :

1. Industri rumah tangga dengan pekerja 1 – 4 orang. 2. Industri kecil dengan pekerja 5 – 19 orang.

3. Industri menengah dengan pekerja 20 – 99 orang. 4. Industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.

Dalam penelitian ini, definisi IKM yang digunakan adalah definisi yang

dikeluarkan oleh BPS agar konsisten dengan data industri menurut skala usaha

yang secara rutin dikeluarkan oleh BPS.

Untuk analisis kinerja ekonomi makro Indonesia meliputi perkembangan

output, PDB riil, konsumsi rumah tangga, investasi, inflasi, ekspor dan impor serta

neraca perdagangan. Sementara itu untuk analisis kinerja masing-masing sektor

ekonomi dan kinerja masing-masing cabang industri untuk setiap skala usaha

(kecil, menengah dan besar) dilihat dari segi perkembangan output dan penyerapan

tenaga kerja sektoral.

Penelitian ini mengandung beberapa keterbatasan, antara lain :

1. Analisis dampak reindustrialisasi terhadap sektor ekonomi menurut skala

usaha dilakukan pada sektor ekonomi dengan menggunakan pendekatan

dimana analisis dilakukan terlebih dahulu pada sektor ekonomi secara umum

selanjutnya dilakukan analisis terhadap masing-masing skala usaha

pangsa output, pangsa investasi, pangsa ekspor, dan pangsa lainnya. Hal ini

dilakukan mengingat keterbatasan data Tabel Input Output(I-O) dan Sistem

Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang belum memperlihatkan interaksi

antarsektor dan antar-skala industri. Pendekatan ini mengandung keterbatasan

karena elastisitas dan parameter subsitusi untuk setiap sektor ekonomi menurut

skala usaha dianggap sama sehingga respon dari setiap perubahan variabel

terhadap sektor ekonomi menurut skala usaha relatif tidak banyak berbeda.

Namun demikian, pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan diantarnya

data yang diperlukan secara relatif lebih sederhana, khususnya tidak

memerlukan data arus perdagangan antar-skala usaha. Pendekatan ini juga

membuat modifikasi model menjadi lebih sederhana.

2. Keterbatasan penelitian yang dilakukan terkait dengan keterbatasan metode

aplikasi ekonomi keseimbangan umum (Computable General Equilibrium

atau CGE) yang digunakan dalam menganalisis dampak reindustrialisasi

terhadap kinerja ekonomi makro dan kinerja sektor industri di Indonesia.

Keterbatasan tersebut antara lain adanya ketergantungan model keseimbangan

pada parameter-parameter benchmark yang dikalibrasi. Hal ini karena model

CGE tidak mengestimasi paramater-parameter tersebut, tetapi diambil dari

hasil estimasi di luar model, baik dilakukan sendiri maupun hasil-hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dokumen terkait