• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

2.5. Studi tentang Peranan Sektor Industri

Pada subbab 2.4 telah dijelaskan berbagai studi tentang deindustrialisasi,

dengan fokus utama membahas faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses

deindustrialisasi. Pada subbab ini penjelasan lebih difokuskan pada tinjauan studi

tentang peranan sektor industri secara umum dan sektor industri yang

sumber pertumbuhan industri dan struktur produksi yang terjadi sejak tahun 1970

dan untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah yang efektif dalam

mengubah struktur ekonomi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut

digunakan analisis input-output dengan menggunakan Tabel Input-Output 1971,

1975, 1980 dan 1985. Periode studi dibagi menjadi tiga subperiode : (1) 1971 – 1975; (2) 1975 – 1980; dan (3) 1980 – 1985.

Akita (1991) menggunakan metode dekomposisi faktor yang diusulkan oleh

Chenery untuk mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan industri dari sisi

permintaan untuk tiap periode, perhatian khusus ditujukan untuk mengetahui

perubahan sumber-sumber pertumbuhan industri antara periode pertumbuhan yang

cepat (1971 – 1980) dan periode pertumbuhan yang lambat (1980 – 1985). Metode dekomposisi faktor diperluas, perubahan output karena permintaan akhir domestik

selanjutnya diuraikan menjadi perubahan karena setiap permintaan akhir domestik

sektor, seperti : konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Selanjutnya

studi ini menggunakan dekomposisi rata-rata sederhana menggunakan ukuran

tahun dasar dan tahun akhir dari matriks invers Leontief. Dalam analisis input-

output ini, Tabel I-O 37 sektor digunakan, tetapi gambaran umum dari proses

industrialisasi dan perubahan struktur dikelompokkan ke dalam 5 klasifikasi sektor.

Hasil studi Akita (1991) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi

Indonesia mengalami perubahan yang substansial dalam struktur produksi dan

perdagangan baik pada periode pertumbuhan lambat maupun pada periode

pertumbuhan cepat. Sejumlah structural adjustment policy (kebijakan penyesuaian

struktural) seperti devaluasi, deregulasi dan liberalisasi memegang peranan yang

113

Indonesia untuk menggalakkan ekspor dan liberalisasi perdagangan. Penerapan

kebijakan tersebut berdampak terhadap struktur perekonomian Indonesia,

menggeser kebijakan dasar dari inward-looking (industrialisasi bersubstitusi impor)

pada kebijakan yang lebih outward-looking ( industrialisasi berorientasi ekspor).

Berbeda dengan Akita, Supriyanto (2002) menganalisis sumber-sumber

pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Di samping itu, Akita menggunakan

data time series, sedangkan Supriyanto menggunakan data cross section. Studi

yang dilakukan Supriyanto (2002) bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-

sumber pertumbuhan total factor productivity (TFP), sumber-sumber pertumbuhan

industri kecil dan menengah (IKRT) dan peranan teknologi dan implikasinya

terhadap pertumbuhan IKRT. Studi dekomposisi sumber-sumber pertumbuhan ini

menggunakan analisis stochastic (statistical) translog production frontier, yang

hanya menganalisis tiga sektor industri, yaitu : (1) pertanian, (2) industri pakaian

jadi sebagai wakil sektor yang padat tenaga kerja dan modal, dan (3) industri kayu

sebagai wakil sektor yang mewakili keahlian dan kultur masyarakat dan terkait

dengan sektor pertanian.

Hasil analisis pada studi Supriyanto (2002) menyebutkan bahwa

pertumbuhan TFP meningkat pada sektor makanan, tekstil dan kayu pada periode

sebelum krisis ekonomi, sedangkan pada saat krisis ekonomi hanya sektor makanan

yang mengalami pertumbuhan TFP yang positif. Hal ini mengindikasikan bahwa

industri yang berbasis pada sumberdaya lokal merupakan sumber pertumbuhan

TFP yang cukup besar. Lebih lanjut, dikatakan bahwa peningkatan kualitas tenaga

kerja pada sektor pertanian, peningkatan kualitas bahan baku pada sektor tekstil

Sementara itu, hasil analisis efisiensi menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi

skala usaha lebih penting daripada peningkatan efisiensi tekniks pada industri kecil

dan rumah tangga.

Sementara itu, Haryono (2008) melakukan penelitian untuk melihat dampak

industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan

perdesaan di Indonesia. Haryono (2008) menggunakan model Computable General

Equilibrium (CGE) recursive dynamic sebagai alat analisis utama. Data yang

digunakan adalah tabel input output dan Social Accounting Matrix (SAM)

Indonesia tahun 2003, serta data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

tahun 2002. Model CGE yang digunakan adalah Model Agroindustri Indonesia

(CGE-AGRINDO) yang diperoleh dengan cara mengkombinasikan model CGE

ORANI-F, INDOF, WAYANG dan ORANIGRD. Model CGE-AGRINDO

bersama-sama data penunjang lainnya diolah dengan menggunakan program

GEMPACK. Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa peningkatan

produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap jumlah output yang

dihasilkan. Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh

peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan, maka hampir

seluruh sektor ekonomi mengalami peningkatan jumlah output. Peningkatan

produktivitas agroindustri berdampak pada penurunan harga output hanya di sektor

agroindustri, sedangkan harga output di sektor lainnya justru mengalami

peningkatan. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga

keuangan secara bersamaan berdampak terhadap penurunan harga output pada

hampir seluruh sektor dan mempunyai dampak yang bervariasi dalam penyerapan

115

dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sebaliknya penurunan

penyerapan tenaga kerja terdidik lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja

tidak terdidik.

Hasil penelitian Haryono (2008) juga menunjukkan bahwa peningkatan

produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap pengurangan tingkat

kemiskinan perdesaan, kondisi sebaliknya terjadi di perkotaan, kecuali pada

kelompok rumah tangga golongan bawah. Kondisi serupa akan terjadi apabila

peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas

sektor pertanian. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan

sektor keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap tingkat kemiskinan

rumah tangga pertanian dan rumah tangga golongan rendah, sebaliknya kelompok

rumah tangga nonpertanian dan rumah tangga golongan atas mendapat manfaat

yang lebih besar. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa apabila hanya ditinjau

dari aspek pengendalian laju inflasi, maka upaya peningkatan produktivitas

agroindustri justru akan memberikan dampak negatif. Namun demikian, apabila

dilihat dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, maka peningkatan

produktivitas agroindustri yang diikuti dengan peningkatan produktivitas sektor

pertanian, merupakan pilihan yang strategis untuk dilakukan mengingat manfaat

terbesar dari upaya ini akan dinikmati oleh masyarakat golongan miskin di

perdesaan tanpa merugikan masyarakat golongan atas di perkotaan.

Rodrigo dan Thorbecke (1997) membangun model ekonomi keseimbangan

umum Indonesia yang dikembangkan dengan menentukan pertumbuhan Total

Factor Productivity (TFP) dalam sektor industri manufaktur sebagai variabel

pengembangan institusi yang distimulasi oleh rejim perdagangan. Sementara itu

Love (1997) membangun suatu model keseimbangan umum yang dinamis dalam

suatu sistem perekonomian yang peran industrinya semakin kecil. Ahammad

(2002) menggunakan pendekatan ekonomi keseimbangan umum untuk mengukur

kontribusi sektoral dalam suatu perekonomian pada sektor pertanian di Australia

barat.

Di samping beberapa hasil studi di atas, ditemukan sejumlah studi yang

melakukan pembahasan tentang kondisi dan peranan sektor industri pada masa

krisis moneter (krismon) di Indonesia. Studi-studi tersebut antara lain dilakukan

oleh Wie (2000), Aswicahyono dan Pangestu (2000), Fukuchi (2000) dan Sato

(2000).

Studi yang dilakukan Wie (2000) memaparkan dampak krismon terhadap

berbagai komponen sektor industri, seperti produksi, jumlah usaha menengah dan

besar, kesempatan kerja pada usaha-usaha tersebut, level pemanfaatan kapasitas

dalam usaha tersebut, trend usaha kecil dan rumah tangga, investasi, espor dan

prestasi (daya guna). Temuan utama dari studi ini menyebutkan bahwa krismon

memberikan dampak yang besar terhadap sektor industri. Pertama, output sektor

industri menurun sebesar 12.9 persen pada tahun 1998, di mana alat dan mesin

transportasi, semen dan bahan nonmetal serta subsektor besi dan baja yang paling

terpuruk. Kedua, antara tahun 1996 dan 1998 jumlah usaha menengah dan besar

menurun sebesar 2500 unit usaha (- 11 persen), tenaga kerja menurun sebanyak

680 ribu pekerja (- 16 persen), pemanfaatan kapasitas menurun dari 78 persen

menjadi 72 persen, dan jumlah industri kecil dan rumah tangga menurun sekitar

117

barang kapital menurun dari $ 9.3 juta menjadi $ 5.8 juta ( - 38 persen), investasi

domestik menurun dari Rp 79 triliun menjadi Rp 45 triliun (- 43 persen) dan

investasi langsung luar negeri menurun dari $ 23 juta menjadi $ 8 juta (- 64

persen). Keempat, walaupun nilai tukar terdepresiasi sangat besar, ekspor sektor

industri masih tetap konstan ($ 35.0 juta pada tahun 1997 dan $ 34.6 juta pada

tahun 1998). Kelima, hasil survey terhadap 1200 perusahaan yang dilakukan oleh

World Bank – BAPPENAS – BPS menyebutkan bahwa dampak krisis terhadap prestasi perusahaan beragam, yaitu : (1) perusahaan-perusahaan yang berorientasi

pasar domestik menderita kerugian lebih besar daripada perusahaan-perusahaan

yang berorientasi ekspor dan perusahaan-perusahaan afiliasi luar negeri, (2) jumlah

perusahaan-perusahaan yang berada di Jawa menurun tajam, (3) sejumlah

perusahaan yang paling berpengaruh dan berpengalaman mengalami penurunan

yang kecil karena perusahaan-perusahaan tersebut berorientasi ekspor, (4)

penyebab utama penurunan output perusahaan adalah penurunan permintaan

domestik, peningkatan biaya impor bahan baku dan biaya kapital yang lebih tinggi.

Berdasarkan temuan tersebut, Wie (2000) menyatakan bahwa penting untuk

merestrukturisasi perbankan dan hutang perusahaan dan meningkatkan ekspor

produk industri. Sementara itu, perbaikan teknologi industri diperlukan untuk

mewujudkan pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan dari sektor industri.

Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Aswicahyono dan Pagestu (2000)

memfokuskan pada evaluasi terhadap competitive power (daya saing) dari sektor

industri Indonesia dan menganalisis trend sebelum dan sesudah krismon. Studi ini

melihat volume dan nilai ekspor non minyak pada periode 1991 – 1999. Kemudian melakukan analisis keunggulan komparatif dan pemetaan perdagangan (RCA),

krisis (1986 – 1996), dan kemudian menggambarkan efek komoditas, negara dan daya saing menurut subsektor. Observasi dan analisis berdasarkan pada

dekomposisi sektor industri ke dalam ISIC subsektor tiga digit atau subkelompok

yang memadai. Hasil studi ini menyatakan ada dua konsekuensi penting dari

krismon. Pertama, terjadi penurunan upah riil yang besar akibat inflasi yang tinggi,

walaupun upah nominal meningkat. Kedua, investasi perusahaan merosot. Penulis

menyatakan bahwa ekspor dalam jangka pendek tidak akan menjadi penggerak

economic recovery (perbaikan ekonomi) karena mereka mengandalkan input

impor. Dalam rangka perbaikan ekonomi ditekankan pentingnya peranan

pendidikan dan foreign direct investment (FDI).

Fukuchi (2000) menggunakan pendekatan ekonometrika untuk menganalisis

dampak krismon terhadap sektor industri dengan menggunakan data time series

(Januari 1996 – Desember 1998). Fukuchi membagi sektor industri ke dalam sembilan subsektor dan membagi periode krismon menjadi tiga subperiode, yaitu :

bandwagon subperiod (Agustus – Desember 1997), free fall subperiod (Januari – Juli 1998) dan stagnation period (Agustus – Desember 1998).

Fukuchi menyatakan bahwa satu corak signifikan dari krismon adalah

ketidakstabilan politik secara substansial yang terjadi dalam subperiode kedua yang

menyebabkan kekacauan ekonomi. Nilai tukar mengalami penurunan yang tajam

terutama pada bulan Januari dan Juni 1998, yang tidak dapat dijelaskan dengan

baik secara ekonomi karena hal tersebut sebagian besar disebabkan oleh gangguan

non ekonomi. Oleh karena itu, Fukuchi memperkirakan suatu fungsi nilai tukar

menggunakan data sampai dengan akhir subperiode pertama berdasarkan pada lima

119

nilai tukar dalam subperiode kedua dan ketiga, dan mendefinisikan sebagai

gangguan nonekonomi. Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menganalisis

secara ekonometrik trend indeks produksi untuk subsektor industri berdasarkan

pada indeks ekonomi seperti halnya pada gangguan non ekonomi. Setelah

mengobservasi trend, Fukuchi menggolongkan subsektor ke dalam tiga kelompok :

(1) agriculture-related-industry (industri yang terkait dengan pertanian), (2) light

industry (industri ringan), dan (3) capital goods industry (industri barang modal).

Kelompok yang pertama dirusakkan tetapi dengan cepat disembuhkan dan

mencapai tingkatan output paling tinggi pada bulan Desember 1998. Kelompok

yang kedua menunjukkan perubahan yang mudah menguap dan tingkat

produksinya pada bulan Desember 1998 adalah 11 persen di bawah tingkat

produksi pra-krismon. Kelompok yang ketiga cukup baik sebelum krismon, tetapi

dirusak dengan sangat parah oleh krisis, dan tingkat produksinya pada bulan

Desember 1998 hanya setengah dari tingkat produksi pra-krismon. Beberapa

subsektor diuntungkan dari depresiasi rupiah dan terjadi ekspansi ekspor yang

cepat, sedangkan subsektor lainnya sangat menderita dari sisi penawaran

(kekurangan bahan baku yang diimpor dan keterbatasan finansial) dan juga dari sisi

permintaan (permintaan domestik merosot). Fukuchi mengestimasi persamaan-

persamaan untuk menjelaskan trend bulanan dari indeks produksi menurut

subsektor (Januari 1996-Desember 1998), dan menunjukkan pentingnya kontribusi

faktor. Ia juga memperkenalkan hasil proyeksi sampai Desember 1999 dan

menunjukkan lanjutan dari efek yang membandingkan krismon pada subsektor

yang berbeda. Mengacu pada analisisnya tentang dampak krismon dari dua sisi,

berkesinambungan.

Studi yang dilakukan Wie (2000), Aswicahyono dan Pangestu (2000) dan

Fukuchi (2000) belum membedakan sektor industri menjadi industri kecil,

menengah dan besar, padahal perilaku ekonomi kelompok industri ini berbeda

dalam merespon krisis moneter di Indonesia. Salah satu studi yang merinci sektor

industri menjadi industri kecil, menengah dan besar adalah studi yang dilakukan

Sato (2000).

Sato (2000) melakukan suatu studi lapangan tentang industri logam di Pulau

Jawa yang berkonsentrasi pada analisis dampak krismon terhadap usaha kecil dan

menengah (UKM) di Indonesia. Dampak terhadap UKM sulit untuk dinilai secara

menyeluruh sebab data statistik industri tahunan pemerintah hanya mencakup

perusahaan ukuran menengah dan besar. Studi ini mengulas keterbatasan data

statistik yang tersedia dan melakukan studi yang berhubungan dengan UKM

selama periode krisis dan kemudian melakukan studi lapangan yang menghasilkan

sejumlah aspek seperti dampak terhadap prestasi UKM, faktor-faktor yang

mempengaruhi prestasi UKM dan respon UKM terhadap krisis. Studi lapangan

dilakukan pada beberapa lokasi terpilih di Pulau Jawa yang mencakup DKI Jakarta,

kota besar lokal dan cluster di pedesaan.

Sato melakukan wawancara intensif dengan lima puluh pemilik UKM, semua

berhubungan dengan barang logam dan memproduksi komponen mesin. Industri

ini menjadi subsektor yang menderita selama krisis, dan 65 persen dari responden

melaporkan bahwa prestasi perusahaan mereka kurang baik. Tetapi studi juga

menemukan bahwa prestasi UKM pada sektor ini menunjukkan variasi yang lebar,

121

tingkat keuntungan beberapa kali lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi

sebelum krisis. Studi ini menguji sejumlah faktor yang mungkin untuk

menjelaskan prestasi yang beragam : orientasi pasar, ukuran, lokasi, keterkaitan

dan ekspose hutang UKM. Studi ini menemukan bahwa faktor yang paling penting

adalah keterkaitan dan orientasi pasar.

Prestasi terbaik UKM adalah keberhasilan dalam mengalihkan atau

menggeser produk ke proyek yang terkait dengan pemerintah atau berorientasi

ekspor. Peningkatan permintaan terhadap barang-barang inferior dan substitusi

impor adalah hal positif lainnya dari pasar faktor. Dalam pergeseran produk, UKM

secara selektif menggunakan keterkaitan mereka dengan pedagang besar yang

mampu menemukan pasar. Di sisi lain, UKM yang mempunyai keterkaitan dengan

asembler tertentu dan pabrik pengguna pada umumnya dipengaruhi secara negatif.

UKM yang masih baru saja memulai untuk tumbuh sebagai subkontraktor dalam

aglomerasi industri perkotaan adalah suatu kasus belakangan. Studi menunjukkan

bahwa sangat banyak prestasi UKM selama krisis. Yang menarik, respon UKM

untuk tetap bertahan bervariasi menurut individu perusahaan dan tidak tergantung

pada derajat penderitaan atau pada ukuran. Studi ini menunjukkan heterogenitas

UKM pada sektor yang sama dalam merespon krisis (Sato, 2000).

Sebagai perbandingan atas berbagai studi yang menjelaskan tentang peranan

UKM/IKM di Indonesia, selanjutnya dipaparkan tentang peranan IKM pada

berbagai negara. Berbagai studi tentang peranan IKM pada berbagai negara yang

dipaparkan, antara lain studi IKM di Korea oleh Shin (2002) dan Jung (2002); studi

di China oleh Yonggui et al. (2002).

Shin (2002) melakukan studi tentang supply chain management for SMEs di

ASIAN, khususnya di Korea. UKM berperan penting dalam perekonomian

nasional Korea, terutama diperlihatkan oleh kontribusi UKM dari aspek pangsa

penyerapan tenaga kerja sebesar 70 persen, pangsa output lebih dari 40 persen, dan

volume ekspor lebih dari 42 persen. Studi ini bertujuan untuk menyelidiki manfaat

dan dampak penerapan sistem point of sales (POS), karakteristik organisasi dan

aplikasi sistem POS oleh pengguna. Perusahaan-perusahaan yang diklasifikasi

sebagai UKM adalah perusahaan-perusahaan dengan tenaga kerja tidak lebih dari

300 orang. Hasil utama studi ini menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan

berskala besar mampu menerapkan sistem POS dengan baik (sampai pada level 3),

sedangkan UKM hanya mampu menerapkan sistem POS sampai pada level 2.

Konsekuensinya perusahaan-perusahaan berskala besar memperoleh manfaat lebih

besar dengan menerapkan sistem POS daripada perusahaan-perusahaan berskala

kecil dan menengah.

Dalam artikelnya, Jung (2002) menyatakan bahwa Korea Selatan telah

mengubah arah pengembangan usaha dari penekanan pada kelompok UB pada

UKM sejak tahun 1999. Perubahan arah ini dilakukan berdasarkan pada kenyataan

bahwa pada saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Korea Selatan sejak Juli

1997, sepertiga dari UB di Korea Selatan collaps sedangkan UKM tetap tumbuh

dan berkembang dengan baik. Sejak tahun 1999, kontribusi UKM dalam

perekonomian Korea Selatan menunjukkan peningkatan yang berarti dan lebih baik

dari UB. Untuk mendorong pengembangan UKM, pemerintah Korea Selatan telah

123

memperlancar upaya meminjam uang di bank. Di samping itu, pemerintah Korea

Selatan juga mengimplementasikan program pengembangan sumberdaya manusia,

teknologi dan manajemen jasa konsultasi. Jung menegaskan bahwa di satu sisi

intervensi pemerintah akan menciptakan usaha-usaha baru, di sisi lain intervensi

langsung dari pemerintah dapat menyuburkan opportunistic behaviour dan moral

hazard di antara pelaku bisnis.

Abe dan Kawakami (1997) serta Hall dan Harvie (2003) melakukan studi

tentang perbandingan kondisi UKM di Korea dan Taiwan. Abe dan Kawakami

(1997) melakukan studi tentang perbandingan ukuran usaha di Korea dan Taiwan.

Mereka menyatakan bahwa pemerintah Korea lebih menekankan pada

pengembangan UB (conglomerate business groups, chaebols), sedangkan

pemerintah Taiwan lebih menekankan pada pengembangan UKM. Selanjutnya Hall

dan Harvie (2003) melakukan studi tentang kinerja UKM di Korea dan Taiwan.

Hall dan Harvie menyatakan bahwa pascakrisis ekonomi, pemerintah Korea dan

Taiwan lebih menekankan pada pengembangan UKM untuk meningkatkan

perekonomian mereka. Walaupun Korea dan Taiwan sama–sama menekankan pada pengembangan UKM, namun permasalahan yang dihadapi oleh UKM pada

kedua negara tersebut berbeda. UKM di Korea dihadapkan pada masalah suku

bunga yang tinggi dan akses terhadap bank yang sulit, sedangkan UKM di Taiwan

tidak menghadapi kedua persoalan tersebut. Jumlah dan kinerja UKM di Korea

tumbuh lebih cepat dan lebih besar daripada di Taiwan. Pertumbuhan produktivitas

UKM di Taiwan lebih rendah dari perusahaan besar dan relatif stagnan sejak awal

tahun 1990-an, sedangkan di Taiwan menunjukkan peningkatan dan lebih besar

dan besar dilakukan oleh Cziraky et al. (2002) dan Yonggui et al. (2002). Studi

yang dilakukan Cziraky et al. (2002) dilatarbelakangi oleh fenomena bahwa UKM

mendominasi perekonomian Kroasia, namun UKM di negara ini mengalami

kesulitan dalam memperoleh pinjaman dan akses terhadap kredit yang terbatas.

Berdasarkan permasalahan tersebut, studi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-

faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat pinjaman UKM di Kroasia. Studi ini

menggunakan pendekatan multivariate berdasarkan pada model persamaan

struktural (LISREL) dengan menggunakan latent variables aplikasi pinjaman.

Mereka menguji perbedaan dalam matriks kovarians dari variabel-variabel yang

diobservasi dan implikasi model yang dapat diterima atau ditolak dan

membandingkan sub-sub sampel antara berbagai bank. Hasil utama studi Cziraky

et al. (2002) menunjukkan bahwa bank-bank lebih menyukai perusahaan-

perusahaan kecil yang meminjam uang lebih sedikit. Hasil ini menegaskan bahwa

bank-bank secara individual memiliki kriteria dan preferensi besar pinjaman yang

berbeda serta tidak ada korelasi positif antara ukuran bank dan preferensi besar

pinjaman.

Yonggui et al. (2002) melakukan studi yang bertujuan untuk menguji satu set

variabel/faktor internal dan eksternal yang mungkin secara kritis untuk

membedakan pertumbuhan UKM yang tinggi dari prestasi UKM yang rendah.

Studi berdasarkan pada sampel UKM yang besar di wilayah utara China. Studi ini

mengikuti tahapan analisis sebagai berikut. Pertama, menentukan faktor-faktor

yang mempengaruhi dan faktor-faktor pembeda seperti tim top

manajemen/enterpreneur, karakteristik perusahaan, strategi organisasi dan

125

menggunakan factor analysis (analisis faktor) untuk mengurangi variabel dan

menguji reliabilitas dan validitas skala. Ketiga, menggunakan teknik one-way

ANOVA untuk mengkonfirmasikan kehadiran diferensial prestasi pertumbuhan

antara kelompok-kelompok yang berbeda dari perusahaan menurut standar yang

berbeda. Keempat, analisis regresi logistik digunakan untuk mengindentifikasi

faktor-faktor kunci yang membedakan pertumbuhan UKM yang tinggi dari UKM

dengan pencapaian pertumbuhan yang rendah.

Hasil studi Yonggui et al. (2002) menunjukkan bahwa faktor tim top

manajemen, karakteristik perusahaan, strategi organisasi dan faktor lingkungan

eksternal mempunyai pengaruh penting terhadap prestasi pertumbuhan UKM dan

menjadi kunci faktor pembeda. Bagaimanapun, tidak semua faktor mempunyai

pengaruh yang sama atau mempunyai pengaruh yang signifikan seperti diusulkan

oleh studi lain yang berhubungan dengan kejadian di luar China. Atas dasar

sampel wilayah yang besar, lebih dari 10 ribu perusahaan kecil dan menengah,

ditemukan bahwa general manager/pemilik dan rata-rata umur tim top manajemen

secara signifikan berpengaruh negatif terhadap prestasi pertumbuhan UKM,

sedangkan tingkat pendidikan direktur/pemilik berpengaruh positif. Begitu juga

dengan sebagian faktor karakteristik perusahaan, seperti ukuran perusahaan, jumlah

karyawan terampil yang lebih muda dan umur perusahaan berpengaruh positif.

Untuk kelompok faktor strategi organisasi dan lingkungan eksternal, peubah yang

berpengaruh positif adalah strategi inovasi, strategi diversifikasi, strategi kerjasama

dalam produksi, derajat tingkat penguasaan dan lingkungan eksternal yang baik

terhadap percepatan pertumbuhan UKM, sedangkan strategi perbedaan

Dokumen terkait