• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMANGKU DAN PURA RADITYA DHARMA CIBINONG

B. Gambaran Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

Sebelum dijabarkan lebih lanjut tentang historis berdirinya pura Raditya Dharma ini penulis akan terlebih dahulu memberikan sedikit pengetahuan tentang definisi dari pura.

Dalam kamus bahasa Kawi istilah pura di artikan sebagai : kubu, benteng, istana, kerajaan, kota atau puri. 7

Pura berarti candi kecil yang banyak terdapat di daerah Bali. Ada banyak jenis pura. Seperti pura Desa, Pura Dalem, pura Subak, Pura Dewa-dewa hutan, pura Gua, dan Pura Beji; memiliki pekarangan yang dikelilingi sebuah tembok dengan sebuah pintu gerbang dan terbagi atas dua atau tiga petak. 8

Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan purbakala kini di jawa) merupakan simbol dari kosmos

7 Wojowasito, Kamus Kawi-Indonesia, h. 213

8 M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta, Lembaga Pengkajian

atau alam sorga. (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh DR. Soekmono pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakn bahwa candi bukanlah sebagai makam , maka terbukalah sebuah perspekif baru yang menempatkan candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan /pura) Secara sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan Soekmono ini tentunya telah menghapus pandangan yang keliru selama ini yang memandang bahwa candi di jawa atau pura di Bali adalah tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat berjasa yang kini umum di sebut Padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat pemujaan adalah replika kahyangan dapat di lihat dari bentuk struktur relief, gambar dan ornamen dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar, relief atau hiasannya menggambarkan makhluk-makhluk sorga , seperti arca-arca dewata wahana devata, dan pohon-pohon sorga (parijata dan lain-lain) juga makhluk-makhluk suci seperti

Vidadhara-Vidyadhari dan kinara kinari, yakni seniman sorga dan lain-lain. 9

Pura ialah bangunan suci tempat beribadah bagi umat Hindu, dan ditinjau dari sejarah dan perkembangannya serta status dan fungsinya secara garis besar Pura itu di bedakan menjadi 2 bagian. Yaitu:

1. Pura sebagai penyongsong umum yaitu tempat sembahyang untuk memuliakan dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi Wasa.

2. Pura sebagai penyongsong khusus yaitu tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci. 10

Pura adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawa Nya dan atma Sidha Devata (roh suci leluhur) Selain istilah Pura untuk tempat suci atau tempat pemujaan di pergunakan juga istilah kahyangan atau Parhayangan. 11

9

Pura Simbolis Kesucian dan Keagungan Tuhan, artikel di akset dari www.google.com pada 16 Juli 2010

10 Ketut Subandi, Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, (Denpasar : CV Kayumas) 1983), h.1

11 Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya: Paramita, 1999), cet. I, h. 177

Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Uiva dan uakti dan kekuatan/prinsip dasar dan segala manifestasi atau wujud Nya dari elemen hakikat yang pokok, pathivi sampai kepada

Uaktinya. Wujud Konkrit materi (Sang Hyang Uiva merupakan sthana

Sang Hyang Vidhi hendaknya seseorang melakukan perenungan dan memujaNya. 12

Sedangkan fungsi pura adalah sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawanya dan roh suci Sidha Dewata (roh suci leluhur) dengan sarana upakara yajna sebagai perwujudan dari tri marga. 13

Berdasarkan karakterisasi fungsinya pura digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu:

a. Pura kahyangan jagat

Yaitu pura tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa-Nya seperti pura sad kahyangan dan pura jagat lainnya. b. Pura kahyangan Desa (teritorial)

Yaitu pura yang di sungsung oleh desa adat , contonya seperti pura kahyangan tiga.

12

Ibid. www.goole.com

13

c. Pura Swagina (pura fungsional)

Yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina (kekayaannya) yang mempunyai propesi sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti pura subak, pura melanting dan lain sejenisnya. Dalam tingkatan hirarkis dari pura itu kita mengenal pura ulun carik, pura masceti , pura ulun Sewi dan pura ulun Danu. Apabila Petani basah mempunyai ikatan pemujaan seperti tersebut di atas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut pura alas angker, alas harum, alas rasmini dan lain sebagainya. Berdagang merupakan salah satu sistem mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut melanting. Umumnya pura Melanting didirikan di dalam pasar yang di puja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

d. Pura kawitan

Pura ini sering juga disebut padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebih luas dari pura milik warga atau pura klen . Dengan demikian maka pura kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atyau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat

yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mempunyai tempat pemujaan yang di sebut pura dadya sehingga mereka disebut tunggal dadya. Di kenal juga pura yang penyungsungnya di tentukan oleh ikatan wit atau leluhur garis kelahiran (genalogis) seperti sanggah, Merajan, pura ibu, pura panti, pura dadya, pura padharman, dan sejenisnya. 14

2. Sejarah Berdirinya Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

Adapun sejarah berdirinya Pura Raditya Dharma ini adalah, Pura Raditya Dharma yang terletak di Komplek DIT BEKANG Rt 01 Rw 05 No.10 ini dirintis sejak tahun 1983 atas dasar Surat Perintah dari kesatuan Batalyon ini bahwa Batalyon menginginkan komplek ini menjadi komplek pancasila sehingga dalam kawasan ini terdapat Pura, gereja, Wihara, Masjid. Dan memang jika di lihat, sekarang ini di areal wilayah komplek betul-betul di anggap menjadi komplek Pancasila. Jika sore kita dapat melihat umat hindu datang ke pura, masjid ramai dengan orang yang ingin menunaikan shalat, warga sangat rukun, ini menjadi pemandangan yang positif bagi kerukunan

14 Ibid.,h. 179

beragama, sangat luar biasa. maka atas dasar itulah Batalyon ini mengeluarkan surat perintah pada tahun 1984 yang silam agar bisa berdiri Pura . Dan berdirilah Pura Raditya Dharma ini.

Pada Bulan Agustus tepatnya pada tahun 1984 baru bisa peletakkan batu pertama untuk pembangunan Pura, yang ketika itu umat Hindu baru berjumlah 40 KK. Lambat laun seiring bertambahnya pengikut Hindu di daerah ini yang datang dari daerah lain, maka ada keinginan pengurus untuk memperluas sarana peribadatan. Maka disepakatilah renovasi sebagai jalan yang paling mungkin untuk dilakukan. Pura ini sudah mengalami 3 (tiga) kali renovasi. Alasan renovasi ini muncul karena ketika itu di wilayah ini sudah terdapat lebih dari 40 KK. Dan akhirnya pada tahun 1986 di lakukanlah renovasi karena umat hindu sudah banyak yang pindah dari berbagai daerah seperti Citayam, Bojong gede, dan daerah sekitar Cibinong, karena pada waktu itu terdengar kabar bahwa pusat pemerintahan Bogor akan di alihkan ke daerah Cibinong. Maka semakin banyaklah umat Hindu yang pindah ke daerah ini. Dan untuk daerah Kabupaten Bogor yang terdata sudah ada 125 KK pada waktu itu. Kemudian di renovasi kembali dan itu tidak bertahan lama.

Akhirnya pada tahun 2001 direnovasi kembali untuk yang ketiga kalinya dengan menggunakan pasir meleleh. Pasir meleleh adalah pasir laut yang di campur dengan semen yang di tata rapi seperti pura-pura yang ada di Bali. Dan tampaklah pura ini begitu megah karena sudah diperlebar dan di perluas ke kiri dan ke kanannya, yang luas keseluruhannya mencapai 1.300 M. Pura ini di bangun diatas lahan negara. Dan sampai hari ini yang menyokong Pura Raditya Dharma di daerah Cibinong sudah mencapai 200 KK . 15

3. Struktur Kepengurusan Pada Pura Raditya Dharma Cibinong

Dalam kepengurusan Pura, umat Hindu biasa menyebutnya dengan nama pengempon. Yang dimaksud dengan pengempon pura dalam hal ini adalah kelompok umat yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan pura baik secara fisik atau non fisik dari pura tersebut.

Adapun Bagan strukturnya seperti berikut ini :

KETUA WAKIL KETUA

SEKRETARIS BENDAHARA

KETUA SUKADUKA HINDU DHARMA KAB.BOGOR PARISADA HINDU DHARMA

INDONESIA SIE. KEAGAMAAN SIE. KEPENDIDIKAN SIE, KEPEMUDAAN

4. Kegiatan Pemangku di Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

Kegiatan Pemangku di Pura Raditya Dharma ini seperti diungkapkan oleh Pemangku I Nyoman Susila bahwa cukup banyak. Oleh karena itu di bagi tugas dalam setiap kegiatannya. Jumlah Pemangku di Pura ini seluruhnya berjumlah 6 (enam) orang. Namun satu-satunya Pemangku yang tinggalnya bersebelahan dengan Pura Raditya Dharma ini adalah I Nyoman Susila. Kegiatan beliau selain sebagai Pemangku di Pura Raditya Dharma ia juga menjabat sebagai Pegawai Tetap Departemen Agama RI sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu di Jakarta Pusat. Di samping sebagai Pegawai DEPAG, beliau juga duduk di Lembaga Keagamaan Majelis Agama Hindu sebagai Sekretaris Majelis Agama Hindu yang di sebut Parisada Hindu Dharma Kabupaten Bogor. Mengingat hal tersebut di atas maka Pemangku di Pura ini silih bergantian membimbing umat dan pada akhirnya bisa di harapkan memberikan nuansa positif dan ketenangan batin seraya bisa bersembahyang dengan damai dan tenteram yang di bimbing oleh seorang Pemangku. Dan inilah yang diharapkan oleh umat hindu itu sendiri jika beribadah di Pura Raditya Dharma ini.

5. Kegiatan Keagamaan dan Sosial di Pura Raditya Dharma

Pemangku yang ada di Pura Raditya Dharma ini menjadi pimpinan dalam melaksanakan upacara yadnya yang dilaksanakan di Pura ini. Karena pura Raditya Dharma ini adalah pura yang besar, maka kegiatan keagamaan yang dilakukan cukup beragam. Dari memimpin sembahyang pada pagi hari, siang, dan sore hari aktifitas inipun berlanjut karena di Pura ini ada sekolah keagamaan umat Hindu atau STAH ( Sekolah Tinggi Agama Hindu) Dharma Nusantara Rawamangun Jakarta yang membuka cabang di sebelah Pura ini. Adapun kegiatan sosial yang dilakukan umat hindu di Kecamatan Cibinong ini melakukan dana punya ke Panti Asuhan, maupun kerjabakti sosial ke masyarakat sekitar pura. 16

Dalam agama Hindu kegiatan dana punya adalah upaya positif untuk memberikan bantuan atau sumbangan berupa material atau sejenisnya kepada para umat Hindu yang membutuhkannya. Salah satunya di lakukan di Panti Asuhan. Oleh karena di tempat itu ada banyak umat yang di asuh, di bina, di tuntun oleh para pengelolanya untuk bisa melanjutkan hidupnya termasuk juga kegiatan belajar agama Hindu. Panti asuhan adalah salah satu bentuk atau wadah

untuk membina umat Hindu menuju peningkatan kualitas diri. Hal ini juga menjadi bagian bentuk kepedulian para umat hindu dalam hal ini para pemuda Hindu. Model lainnya selain dari pada Panti Asuhan, bisa saja berupa yayasan yang di upayakan oleh umat Hindu untuk menampung para generasi muda yang yatim, yatim piatu, anak yang cacat, anak yang terlantar, anak yang miskin, orangtua jompo, orang yang lemah fisiknya dan sebagainya. Bila para umat Hindu memiliki kepedulian terhadap kegiatan ini berarti adanya nilai kemanusiaan , nilai prihatin, serta kesusuilaan bagi umat hindu itu sendiri. Jadi perannya di sini adalah turut membantu dari pendidikan, bantuan ceramah agama Hindu, bantuan dana, serta bantuannya yang bernilai sangat positif. 17

Adapun kegiatan sosial yang lain yang dilakukan umat Hindu adalah melakukan kerja Bakti di Pura. Kerja bhakti di Pura merupakan kegiatan cinta dan peduli terhadap suasana, kondisi, serta keberadaan suatu pura. Wujud kecintaan umat Hindu terhadap tempat sucinya dapat dilakukan dengan melakukan kerja Bhakti, melakukan kebersihan, melakukan perbaikan, melakukan penanaman bunga dan perindang lainnya untuk menghijaukan lingkungan Pura. Adapun

kegiatan sosial yang lain adalah membantu masyarakat yang tertimpa bencana alam gempa bumi, bencana banjir, bencana gunung meletus, bencana tanah longsor, bencana angin ribut, bencana tabrakan kereta api/mobil dan yang sejenis lainnya. Upaya memberikan pertolongan kepada khalayak umum adalah perilaku susila dan terpuji bagi semua insan di dunia ini. Wujud bantuan sosial kepada masyarakat yang tertimpa bencana dapat di lakukan dengan cara memberikan bantuan berupa pakaian, makanan, uang, bantuan tenaga, bantuan ide atau pemikiran positif untuk memberikan solusi terbaik terhadap masalah yang dihadapinya. Semua jenis kegiatan itu selain bernilai relawan, bernilai persembahan atau yajna, bahwa hal itu adalah perilaku susila atau Subhakarma. Kebaikan itu akan mendatangkan kebaikan juga bagi pelakunya. Tidak ada salahnya umat Hindu berlaku baik kepada insan manusia di dunia ini, yang pada akhirnya juga dapat berpahala kebaikan. Umat Hindu meyakini bahwa berbuat kebaikan maka akan mendatangkan karma kebaikan. Hal ini telah di ajarkan dalam ajaran Yajna, Kharmapala, ajaran susila, ajaran

sradda, ajaran bhakti, serta ajaran suci lainnya dalam agama Hindu. 18

18 Ibid., h. 125

Selain itu juga yang tak kalah pentingnya adalah kegiatan di Pura Raditya Dharma ini melakukan Pasraman Brahmacarya. Pasraman

Brahmacarya artinya menggalang kelompok belajar dalam masyarakat

Hindu untuk di tuntun menuju peningkatan kualitas belajar agama Hindu serta materi lainnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seni , dan teknologi. Kegiatan ini adalah sebagai bentuk dari umat Hindu untuk selalu belajar dan berguru untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. 19

Dalam penerapan sistem belajar pada pasraman Brahmacarya ini maka wajib ada penuntun suci berupa Dang Acarya atau guru kerohanian, yang memiliki tugas spiritual atau tugas kesucian, guna menuntun mendampingi, mengawasi, memberikan keteladanan, serta panutan lainnya secara teori maupun praktis. Sistem ini memerlukan tempat khusus sebagai tempat tetap untuk melakukan kegiatan belajar dan Praktek keagamaan Hindu. Jadi tempat khusus itu berupa Ashram atau Pasraman, sejenis padepokan. Dalam masyarakat Hindu di Bali lebih populer dengan istilah serka Pasantian. Jadi ashram ini adalah secara khusus sebagai tempat belajar bagi umat Hindu tanpa memandang usia dan kedudukan sosialnya. Jika di Bali ada banyak

dilihat keberadaan ashram belakangan ini juga kalau di Jawa hal ini sudah dikenal baik oleh masyarakat Hindu. 20

4. Kegiatan Sanggar Tari Bali di Pura Raditya Dharma

Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan religi masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para penganutnya dapat mengekspersikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai pelengkap pemujaan tersebut. Upacara di pura-pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, karawitan, seni lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi dan pura-pura di bangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari pengamat Hindu di Bali. Pregina (penari) dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih) mempersembahkan tarian sebagai wujud Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan yang Maha Esa)

bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri. 21

Tari Bali diciptakan penciptanya berdasarkan insting atau naluri dalam berkesenian . Apakah dengan meniru gerakan manusia , air, pohon, dan sebagainya, sehingga terangkum dalam gerakan yang mempunyai nilai seni. Pada masyarakat berkebudayaan tinggi serta menjunjung nilai-nilai religius agraris dan mistis seperti da Bali, gerakan tari disertai aksen-aksen tertentu yang berkekuatan ghaib. Di sertai banten-banten dan mantra-mantra tertentu untuk mengundang kekuatan sekala dan niskala., sehingga mendukung dan menjunjung kesakralan tarian tersebut. Sakral atau tidaknya tarian atau pertunjukkan seni dapat diukur dengan beberapa kategori umum , yaitu tari sakral atau pertunjukkan seni sakral tidak pernah diupah atau di sewa untuk pertunjukkan hiburan atau komersial.

Yang Menarik dari Pura Raditya Dharma ini adalah adanya Sanggar Tari Bali. Kegiatan ini ada karena merupakan bagian dari pengamalan ajaran agama. Karena memuji Tuhan tidak hanya melalui pujian-pujian atau melalui sembahyang saja, namun juga bisa melalui seni lagu-lagu kekiduan namanya, juga melalui gerakan dalam sebuah

21 Perspektif Hindu dalam Tari Bali dan Tari Pendet, artikel diakset dari

tarian. Adapun kegunaan di bentuknya sanggar tari Bali, tari Bali ini juga bisa dipakai untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan umat Hindu, dan sering di pentaskan dalam acara tersebut. Sanggar Tari Bali ini dinaungi oleh Yayasan Umat Hindu yang ada di Cibinong, dan saat ini di ketua oleh Bapak I Nyoman Tatat. Sedangkan pelatih dari Tari Bali yang ada di Pura Raditya Dharma adalah Wayan Arnawa beserta Istri, sedangkan pelatih penabuhnya adalah I Gede Dharmayasa. Sedangkan pembinanya I Nyoman Susila sendiri, selaku pemangku di Pura Raditya Dharma ini. Dalam kegiatan Sanggar tari Bali ini tidak hanya diikuti oleh umat Hindu saja tetapi diikuti oleh umat lain di luar umat Hindu. Karena dalam agama Hindu dikenal adanya Tritakarana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan sesama. Dalam hal ini hubungan manusia dengan sesamanya yaitu menjaga kerukunan dengan semua orang. Maka melalui kegiatan tari bali inilah kiranya dapat mempererat tali kerukunan antar umat beragama. Selain dari pada itu tari Bali di nilai sangat unik dan di sebut sebagai tarian warisan bangsa karena selain nilai budayanya yang sangat kental, juga merupakan tari yang sudah sangat populer bukan hanya di daerah asalnya yaitu Bali, tetapi juga

sudah merupakan bagian dari budaya Indonesia. Atas dasar itulah banyak sekali yang belajar tari Bali ini dari kalangan dan umat yang beragam di Sanggar Tari Bali Pura Raditya Dharma 22

Dokumen terkait