• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Religiusitas Masyarakat Kampung Rawa Bebek Kelurahan Kota

BAB II MENGENAL KAMPUNG RAWA BEBEK BEKASI BARAT

F. Gambaran Religiusitas Masyarakat Kampung Rawa Bebek Kelurahan Kota

Menurut Sandi Setiandi, ustaz yang sekaligus menjabat sekretaris Musala Ashobirin yang berada di wilayah Rt/Rw 07/10, masyarakat Kampung Rawa Bebek ini tergolong masyarakat yang paling religius terhadap agama, religiusitas ini dapat dibuktikan dengan banyaknya acara kebesaran umat Islam yang dilaksanakan di Kampung Rawa Bebek. Acara kebesaran keagamaan yang terkandung dalam acara tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Maulid Nabi SAW 2. Isra Mi’raj

3. Satu Muharram (Tahun Baru Islam) cara memperingatinya dengan cara para anak-anak dan masyaraka berkeliling kampung menggunakan Obor bersamaan hal itu anak-anak dan masyarakat membaca Sholwat kepada Nabi Muhammad SAW, setelah itu anak-anak dan masyarakat diberikan shiraman rohani atau ceramah tentang 1 Muharram.

4. Hari Raya Idul Fitri.

5. Hari Raya Idul Ad’ha.

6. Tasyakuran dan Aqiqah.

7. Tahlilan.

Selain memperingati kegiatan acara kebesaran umat Islam. Warga di Kampung Rawa Bebek juga sering melakukan salat berjamaah baik di musala maupun di masjid.

Di samping itu warga Kampung Rawa Bebek juga mengadakan pengajian majelis taklim baik di musala, masjid, dan rumah-rumah (arisan) pengajian ini mulai dari kalangan anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, serta lansia. Di kampung Rawa Bebek juga sering mengadakan tahlilan sebagai bentuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dan sebagai bentuk memperingati 3 hari setelah kematian, 7 hari setelah kematian, 14 hari setelah kematian, 40 hari setelah kematian sampai 100 hari setelah

kematian. Bahkan warga di Kampung Rawa Bebek pun juga sering mengadakan acara Haul untuk memperingati 1 tahun setelah kematian.15

Selain mengadakan tahlilan dan acara haul warga di Kampung Rawa Bebek ini juga sering mengadakan pengajian yang dilakukan di musala, khususnya pengajian harian, mingguan, dan setiap bulan ini dilakukan atau ditekankan untuk para bapak-bapak yang ada di Kampung Rawa Bebek, karena bapak-bapak-bapak-bapak adalah kepala keluarga, seorang kepala atau pemimpin tentunya akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya karena kepemimpinan ini juga sudah dijelaskan dalam sabda Rasulullah Saw. Pengajian harian ini membahas kajian seputar kitab-kitab seperti kitab Fiqih Wad’i, kitab Jawakhirul Bukhori, dan kitab Riyadus sholihin. Pengajian yang diadakan mingguan membahas tentang kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali. Sedangkan pengajian yang dilakukan setiap bulan membahas tentang ayat-ayat suci Al-Qur’an diselingi dengan beberapa Hadis.

Pengajian ibu-ibu juga memiliki kajian yang berbeda tentunya. Pengajian ibu-ibu ini lebih kepada membaca Surat Yasin, membaca kisah nabi (rawi), dan membaca tahlil tahmid lalu diakhiri dengan membaca selawat dan doa. Untuk pengajian di kalangan anak-anak biasanya seorang mu’alim (guru) mengajarkan dasar-dasar tentang keagamaan seperti mengajarkan tentangrukun iman, rukun islam, sifat wajib bagi Allah, doa-doa yang diterapkan dalam kegiatan sehari-hari, mengajarkan salat lima waktu, menghafalkan surat-surat pendek, serta mengajarkan baca tulis Al-Quran.

Pengajian di kalangan anak-anak ini biasanya dilakukan di rumah-rumah warga sekitar, musala, dan masjid. Pengajian untuk anak-anak biasanya dilakuan pada sore hari sampai waktu menjelang salat Isya, tentunya mereka juga ikut salat berjamaah.16

15 Wawancara dengan Sandi Setiadi, Bekasi, 03 Juni 2021.

16 Wawancara dengan Sandi Setiadi, Bekasi, 03 Juni 2021.

23 BAB III

BERAGAM UPACARA DAN TRADISI MENGHORMATI DAN MENGHATURKAN DOA SERTA SESAJEN PADA ARWAH LELUHUR DI

INDONESIA A. Upacara Menghormati Arwah Leluhur

a. Upacara Ngaben di Bali

Salah satu tradisi kepercayaan lokal Indonesia ialah Ngaben. Ngaben merupakan salah satu upacara besar dan sangat familiar di Bali. Salah satu rangkaian upacara pitra yadnyaini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal.

Dalam pengertian lain, Ngabenadalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai bentuk kewajiban umat Hindu Bali terhadap leluhurnya, yaitu dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan dari ajaran Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.1

Menurut Purwita, upacara ngabenadalah upacara penyucian roh fase pertama dan peleburan jenazah untuk dikembalikan ke panca maha butha. Pada upacara ini terjadi pemisahan purusadan prakerti orang yang diabenkan dan kembali ke asalnya masing-masing. Dari beberapa perkataan, ada yang mengatakan kata ngaben itu berasal dari kata abu, ngabehin, ngabahin (membekali). Masih menurut Purwita, kata ngaben berasal dari kata api. Kata api mendapat prefiks nasal “ng”

dan sufiks “an”sehingga menjadi “ngapian”, kata ngapian mengalami sendi peringkasan kata menjadi ngapen. Selanjutnya terjadi perubahan bunyi konsonan

“p” menjadi “b”, sehingga kata ngapen akhirnya berubah menjadi ngaben.2 Jadi, dengan demikian kata ngaben berarti “menuju api”. Dalam ajaran Hindu yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam mencipta. Api yang digunakan dalam upacara ada dua jenis yaitu api skala (kongkret) yaitu api yang berfungsi untuk membakar jasad

1 I Ketut Sudarsana, Ngabenwarga Dadya Arya Kubontubuh Tirtha Sari Desa Ulakan Karangasem Perspektif Pendidikan Agama Hindu, (Denpasar Bali: Jayapangus Press, 2018), h. 6.

2 Putu Purwita, Upacara Ngaben, (Denpasar: Upada Sastra, 1990), h. 4-6.

yang telah mati dan kedua api niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekat pada sang roh. Proses ini disebut “pralina”.3

Dalam sejarah-historisnya, praktik ngaben pertama kali di Bali tidak diketahui dan tidak ada dalam catatan historis secara menjamin kepastiannya.

Namun demikian, ada catatan mitologis tentang naga banda. Naga banda merupakan binatang mitologis yang dipandang akan mengawal arwah jenazah yang diaben sampai ke surga. Akan tetapi, naga banda ini hanya dipakai oleh keturunan Kerajaan Bali Kuno, yaitu keturunan dari Batu renggong yang berpusat di Klungkung, Bali. Walaupun seperti itu, pihak lain yang mendapatkan izin dari kerajaan ini juga dibolehkan untuk memakai naga banda dalam upacara ngaben.

Teknis pelaksanaan upacara ngaben di Bali, dalam konteks sejarahnya adalah merupakan sinkretisasi antara pengaruh Majapahit, mitologi India kuno serta kepercayaan-kepercayaan domestik. Di zaman kerajaan Majapahit dikenal dengan adanya upacara Srada, yang pelaksanaannya disebut dengan nyandran. Pada intinya, upacara ini merupakan sebuah penghormatan kepada pihak yang pantas dihormati. Pada masa pemerintahan Majapahit, ada peristiwa nyandran, yang dilakukan terhadap Raja Rajapatni Gayatri, neneknya Prabu Hayam Wuruk yang meninggal pada tanggl 4 bhadramasa 1272 atau tahun 1350 Masehi.

Menurut I Ketut Bangbang Gde Rawi, upacara sraddha adalah upacara keagamaan dengan maksud untuk menyempurnakan atman (roh) leluhur dengan cara mengendapkan atau mengheningkan atman leluhur agar secepatnya luluh menjadi satu dengan “Brahman Yang Maha Tunggal”. Dalam kontek upacara di Kerajaan Majapahit tersebut, upacara yang dilakukan terhadap Raja-raja Patni Gayatri, merupakan perintah yang dilakukan oleh Ibunda Raja Hayam Wuruk, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Oleh Mahapatih Gajah Mada disebutkan bahwa upacara tersebut harus segera dilaksanakan dan merupakan kewajiban yang tidak bisa

3 I Ketut Pasek Swastika, Upacara Mawinten (Bali: Kayumas Agung, 2009), h. 36.

ditinggalkan. Upacara inilah yang kemudian dilaksanakan, yang disebutkan dengan nama sraddha.4

Disebutkan juga bahwa pendeta Kerajaan Majapahit, yang disebut dengan purohita, membuat aturan-aturan jangka waktu bagi pelaksanaan upacara sraddha bagi jenazah yang telah meninggal. Bagi jenazah yang tidak langsung dikremasi, tetapi masih diditipkan di prativi (dikubur), maka wajib dilaksanakan upacara sraddha pada hari pertama, 3, 7, 40, 100, 1000, dan hari ke-3000. Setelah jenazah ditanam selama 1000 hari, maka tulang belulangnya dibongkar dan sisa rambut yang ada dibuatkan acara tertentu, lalu dibakar. Abu pada bagian kepala dipisahkan ditempatkan pada lokasi tersendiri dan kemudian disimpan di suatu tempat (biasanya di sanggar keluarga atau candi). Setelah itu sisanya dibuang ke laut.

Dengan demikian, unsur-unsur sarira yang berasal dari tanah, air, api, udara, dan angkasa telah kembali ke asalnya semula. Setelah itu setiap 35 hari sekali dilakukan upacara sraddha kepada leluhur dan diulang sampai 57 kali dan terus sampai sebanyak 85 kali. Setelah itu dianggap telah mengendap.5

Dalam pandangan Mantik, upacara yang dilakukan di zaman Kerajaan Majapahit inilah yang kemudian menjadi cikal bakal upacara ngaben atau kremasi yang ada di Bali, yang dikembangkan oleh para Brahmana. Jika dilihat dari pelaksanaan upacara ngaben yang sekarang dilangsungkan di Bali, ada beberapa unsur yang mirip dengan pelaksanaan upacara nyandran seperti yang pernah diselenggarakan pada zaman Kerajaan Majapahit itu. Misalnya, di Bali ada ketentuan waktu untuk melaksanakan upacara ngaben bagi jenazah yang masih dikubur. Pelaksanaan yang memakan waktu sampai berhari-hari, bahkan sampai sebulan, juga merupakan adaptasi dari jaman Kerajaan Majapahit tersebut. Filosofi yang memandang sraddha itu merupakan upaya menyatukan atman dengan Brahman, adalah sama dengan filosopi Pitra Yadnya di Bali, yakni bersatunya roh manusia dengan Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan Yang Maha Esa.

4 S Radhakrishnan, Upanisad Upanisad Utama, terjemahan dari The Principal Upanisads (Surabaya: Paramita 2008), h. 52.

5 S Radhakrishnan, Upanisad Upanisad Utama, terjemahan dari The Principal Upanisads, h. 52.

Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, upacara ngaben merupakan pelaksanaan pembayaran utang kepada leluhur. Dalam tradisi Hindu di Bali, dikenal adanya tiga utang, yang disebut dengan Tri Rna. Ketiga Rna tersebut adalah Dewa Rna, Pitra Rna, dan Rsi Rna.6 Masyarakat Hindu Bali memegang teguh tradisi yang sangat konsisten terhadap upacara ngaben. Tradisi tersebut pasti dilangsungkan oleh setiap keluarga Hindu sehingga secara tidak langsung berpengaruh secara turun-temurun tanpa berani melakukan perubahan secara radikal. Pelaksanaan upacara ngaben dipengaruhi oleh nilai dan norma-norma sosial yang berlangsung di kalangan umat Hindu di Bali. Disamping itu, ada lontar yang menyatakan bahwa upacara pengabenan wajib dilakukan oleh masyarakat Hindu. Sebab, jika hal itu tidak dilakukan dalam kurun waktu tertentu, akan membawa bencana bagi umat manusia dan tidak mendapat tempat yang layak. Lontar Tattwa Loka Kretti, Lampiran 5a, menyebutkan: Yan wang mati mapendhem ring prathiwi salawasnya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro-haro gering mrana ring rat, atemahan gadgad... Terjemahannya: Kalau orang mati ditanam pada tanah, selamanya tidak diupacarakan ngaben, sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit merana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)...7Kunang ikang sawa yan tan inupakara atmanya mandali neraka, mungguwing tegal panangsaran, mangebeki wadhuri ragas, katiksnan panesing surya, manangis angisek-isek, sumambe anak putunya, sang kari mahurip lingnya:

duh anakku bapa, tan hana matra wlas ta ring kawitanta, maweh bubur mwang we atahap, akeh mami madruwe, tan hana wawanku mati, kita juga mawisesa, anggen den abecik-becik, tan eling sira ring ram arena, kawitanta, weh tirtha pangentas, jah tasmat kita santananku, wastu kita amangguh alphayusa, mangkana temahing atma papa ring Santana.

Artinya: Adapun sawa yang tidak diupacarakan, atmanya akan berada di neraka, bertempat di tegal yang sangat panas, yang penuh dengan pohon medhuri

6 I Ketut Pasek Swastika, Upacara Mawinten (Bali : Kayumas Agung , 2009), h. 36.

7 I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben : Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama / I Nyoman Singgin Wikarman (Surabaya: Paramita, 2002), h. 25.

reges, terbakarnya oleh sengatan matahari, menangis tersedu-sedu, menyebut anak cucunya yang masih hidup, katanya O anakku, tidak sedikit belas kasihan kepada leluhurmu, memberikan bubur dan air seteguk, saya dulu punya tidak ada yang saya bawa, kamu juga menikmati, pakai baik-baik, tidak ingat sama ayah ibu, air tirtha pangentas, pemastuku, semoga kamu umur pendek, demikian kutukannya.8

b. Ritual Ullambana Umat Buddha

Ritual Ullambana dalam Budhha ialah manifestasi rasa hormatumat Buddha kepada leluhur mereka dan cinta kasihmereka kepada semua makhluk yang menderita di alam sengsara. Peringatan Ullambana pada tanggal15 bulan 7 penanggalan bulan, didasarkan pada kejadiaan saat Maudgalyayana (Mogallana), seorang pengikut Buddha, melalui kekuatan meditasinya menemukan bahwa ibunya dilahirkan kembali di alam sengsara. Karena sedih, ia meminta pertolonganBuddha yang memberinya nasihat-nasihat untuk membuat persembahan kepada Sangha, karena jasa kebajikan atas perbuatan itu dapat membebaskan penderitaan ibunya dan juga makhluk lain di alam sengsara. Membuat persembahan untuk membebaskan penderitaan manusia yang telah meninggal dan makhluk lain di alam sengsara menjadi perayaan umum yang terkenal. Ullambana diperingati dengan mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan Sangha, mengulang khotbah Dharma, dan melakukan perbuatan amal kebaikan. Jasa kebajikan dari perbuatan-perbuatan ini akan dilimpahkan kepada semua makhluk.9

Setiap Bulan Tujuh Penanggalan Lunar, penganut buddhis mazhab Mahayana selalu mengadakan upacara persembahan makanan bagi para leluhur yang telah meninggal yang dikenal dengan nama Ulambana atau Chao Du. Tradisi Ulambana ini memang hanya dikenal dalam mazhab Mahayana, dan tidak dikenal dalam Mazhab Theravada, karena timbulnya tradisi Ulambana ini didasarkan pada apa yang tertulis dalam Ulambana patra Sutra, khotbah Sang Buddha kepada Yang Arya Maha Maudgalyayana (Maha Mogallana), salah seorang siswa utama Sang

8 I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama / I Nyoman Singgin Wikarman (Surabaya: Paramita, 2002), h. 25-26

9 Khairiah, Agama Buddha, (Yogyakarta: Kalimedia, 2018), h. 93-94.

Buddha, mengenai apa yang dapat beliau lakukan untuk menolong ibundanya yang berada di alam setan kelaparan. Dalam Ulambana patra Sutra dikisahkan bahwa Maha Maudgalyayana dengan kekuatan mata-batinnya mampu melihat bahwa ibunya yang telah meninggal terlahir di alam setan kelaparan. Karena ibunya terlalu lama tidak dapat makan dan minum, maka tubuh ibunya tinggal tulang dan kulit yang kering. Melihat kondisi ibunya yang sedemikian buruk, Maha Maudgalyayana, dengan kekuatan gaibnya, mengirimkan semangkuk nasi kepada ibunya. Karena sangat lapar dan khawatir nasinya direbut setan-setan kelaparan yang lain, maka sang ibu setelah menerima nasi tersebut buru-buru menutupi mangkuknya dengan telapak tangan kirinya, dan dengan tangan kanannya ia mengambil segenggam nasi dan dimasukkan ke mulutnya. Tetapi alangkah malangnya, begitu nasi tersebut memasuki mulutnya, nasi tersebut berubah menjadi bara api sehingga sang ibu tidak bisa memakannya.10

Melihat situasi tersebut, Maha Maudgalyayana sebagai seorang anak yang sangat cinta kepada ibunya, menangis sejadi-jadinya. Dengan berduka dan putus asa, beliau pergi menemui Sang Buddha untuk meminta nasihat. Sang Buddha kemudian menerangkan kepada Maha Maudgalyayana bahwa karma buruk masa lalu dari ibunya adalah sedemikian berat dan dalam, sehingga kekuatan gaib Maha Maudgalyayana tidak akan bisa menolong ibunya, bahkan para dewa yang perkasapun juga tidak akan sanggup menolong. Satu-satunya jalan untuk menolong ibunya adalah dengan mengundang para anggota Sangha dari10 penjuru, melakukan kebaktian bersama, dan kemudian melakukan pelimpahan jasa untuk ibunya. Hanya dengan cara ini lah penderitaan ibunya akan dapat terlepas. Kemudian Sang Buddha juga memberikan petunjuk kepada Maha Maudgalyayana, bahwa setiap tanggal 15 bulan 7 menurut penanggalan Candrasangkala adalah Hari Pravarana Sangha. Pada saat itulah waktu yang terbaik untuk memberikan persembahan kepada para bhikshu dan bhikshuni dari 10 penjuru, dan pada saat itu pula lah mereka sering mengadakan perbincangan untuk pertobatan. Pada saat itu lah Maha Maudgalyayana bisa

10 Kshanti Paramita, Dharma Mangala,Buletin Maya Indonesia, vol. 1, no. 12(2004), h. 3-4.

mengambil kesempatan untuk mengadakan upacara persembahan (dana) makanan kepada para orang suci, yakni upacara Ulambana. Dan fungsinya khusus untuk menyelamatkan orang tua si pemberi dana, baik orang tua yang masih hidup maupun yang telah meninggal atau yang sedang tertimpa malapetaka, juga untuk menyelamatkan arwah para leluhur yang hidup pada masa silam.11

c. Ritual Imlek Umat Konghucu

Perihal tahun baru atau hari raya Imlek ini, tentu kita juga ingin tahu asal mula hari raya tahun baru ini sehingga masih terjaga sampai sekarang. Menurut Tjoa Tjoe Kooan, bahwa pada zaman dahulu ketika langit dan bumi dibentangkan atau tercipta, orang yang pertama-tama ada di dunia ialah Poan Kow atau Hoen Toen.

Setelah Hoen Toen ini meninggal, ia diganti dengan Thian Hong, yaitu manusia yang pertama yang telah memulai untuk membikin nama-nama tahun. Thian Hong ini semasa hidupnya belum sempat mengatur tempatnya matahari, bulan, bintang dan membagi siang dan malam. Barulah setelah Hoen Toen wafat dan gantikan oleh Tee Hong pengaturan matahari, bulan, siang dan malam, dan setiap 30 hari dijadikan satu dapat dilaksanakan. setelah Tee Hong wafat, ia digantikan oleh Djin Hong.12

Setelah Hong meninggal ia digantikan oleh Yoe Tjauw, pada masa hidup Yo Tjauw bisa dibilang bahwa manusia masih hidup dengan sederhana, di mana mereka rata-rata tinggal di lubang-lubang yang hidup berbaur dengan binatang liar, sehingga mereka banyak yang mengalami kecelakan atau tewas akibat dimangsa binatang liar tersebut. Melihat situasi seperti itu yang banyak membahayakan jiwa manusia, oleh sebab itu Yoe Tjauw mulai memikirkan bagaimana supaya dapat menyelamatkan manusia dari santapan binatang. Salah satu caranya, mereka mulai membuat saung-saung, dan balai-balai peristirahatan di atas pohon, untuk tempat tinggal manusia. Selain belum mengenal tempat tinggal yang berbentuk rumah, pada masa itu juga belum memahami hal mengenai bagaimana menanam padi atau bersawah. Untuk keperluan makan sehari-hari mereka memakan rumput-rumput

11 Kshanti Paramita, Dharma Mangala,Buletin Maya Indonesia, vol. 1, no. 12 (2004), h. 4.

12 M Ikhsan Tanggok, “Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia,” Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol. 1, no 1 (2015), h. 42.

dan buah-buahan dari hutan. Selain itu mereka juga meminum darah binatang dan kulit-kulit binatang mereka gunakan untuk menutupi dari terik matahari dan dinginnya malam. Kehidupan semacam ini berlangsung begitu lama, sampai meninggalnya Yoe Tjauw. Setelah Yoe Tjauw meninggal, ia digantikan oleh Soei Djin dan pada zaman Soei inilah manusia baru memahami bagaimana cara mendapatkan api untuk memasak barang mentah, seperti ikan, daging binatang, sayuran dan sebagainya. Pada masa kini, masyarakat sudah mengerti tentang teknologi dan memberikan keuntungan untuk kehidupan mereka.13

Manusia pada masa itu belum mengenal huruf, sehingga kalau ada masalah mereka belum dapat mengungkapkannya dalam bentuk tulisan. Untuk menanggulangi problem ini, mereka mulai menciptakan suatu peraturan untuk membundali atau memintal tali. Jika ada persoalan besar maka bundalan tali itu pun akan menjadi besar, dan sebaliknya jika perkara kecil, maka bundalan tali itu juga akan menjadi kecil. Seperti itulah cara-cara yang dilakukan pada masa itu jika manusia akan memutuskan perkara-perkara besar maupun perkara-perkara kecil.

Cara ini memang sangat sederhana, namun peraturan semacam ini sudah menjadi kebudayaan masyarakat yang harus mereka patuhi dan menjadikannya sebuah pedoman.14

Setelah Soci Djin meninggal dunia, dia telah digantikan oleh raja Hok Hi.

Raja Hok Hi juga disebut dengan Thai Ho. Raja Thai Ho ini hidup 2953 tahun sebelum nabi Isa lahir ke dunia. Pada periode pemerintahan raja Thai Ho ini, orang-orang sudah mulai diajarkan bagaimana berburu binatang dan menangkap ikan dengan jaring. Pada waktu itu sebagaimana diungkapkan Koan (1887), manusia tidak ada ubahnya seperti binatang, mereka mengetahui ibunya tapi tidak tahu siapa bapaknya, dan laki-laki serta perempuan juga belum dibedakan, sehingga diantara mereka-walaupun seseama saudara dengan mudah terjadi perkawinan. Melihat kondisi semacam itu, Raja Hok Hi mulai mengajarkan mereka melakukan upacara

13 M Ikhsan Tanggok, “Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia,” Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol. 1, no 1 (2015), h. 42-43.

14 Tanggok, “Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia,” h. 43.

perkawinan dengan baik dan benar. Hal yang menjadi persoalan lagi pada waktu itu adalah manusia belum mengenai pakaian yang terbuat dari kain sutra, maupun dari bahan-bahan yang lain yang sejenis, sehingga untuk melakukan upacara perkawinan, seperti layaknya manusia saat ini sulit untuk dilakukan. Untuk menanggulangi masalah ini tidak ada cara lain, manusia pada waktu itu menggunakan kulit binatang untuk digunakan sebagai bahan pakaian. Sedangkan untuk meramaikan itu mereka telah membuat sejenis alat musik yang dapat ditabuh yang disebut dengan Khim (yang mengunakan 27 tali) dan Sik (yang menggunakan 36 tali).15

Sejak periode pemerintahan Raja Hok Hi (2953 SM) sampai (761 M) atau 3714 tahun lamanya di Tiongkok telah terdapat empat bentuk huruf atau perhitungan yang dipakai oleh raja-raja pada waktu itu untuk menghitung permulan tahun.

Huruf-huruf atau perhitungan itu ialah huruf atau perhitungan “In”, “Ien”, “Thioe”

dan “Tjoe” atau “Coe”. Dari empat huruf atau perhitungan ini, hanya perhitungan

“In” yang dapat bertahan sampai sekarang sedangkan tiga perhitungan lainnya sudah tidak lagi digunakan. Dengan demikian untuk menghitung permulaan tahun baru Imlek orang-orang Tionghoa di negri Tiongkok telah menggunakan “In”

dalam menentukan perhitungan tahun baru. Perhitungan ini juga diikuti oleh orang-orang Tionghoa yang keluar dari negri Tiongkok dan hidup di luar daratan Tiongkok.16

Istilah tahun baru Imlek juga dikenal dengan Tahun Baru Lunar, yaitu tahun baru yang didasarkan pada sistem peredaran bulan. Tahun baru Imlek atau tahun baru lunar ini ialah tahun baru yang sangat penting bagi masyarakat Tionghoa di

Istilah tahun baru Imlek juga dikenal dengan Tahun Baru Lunar, yaitu tahun baru yang didasarkan pada sistem peredaran bulan. Tahun baru Imlek atau tahun baru lunar ini ialah tahun baru yang sangat penting bagi masyarakat Tionghoa di