• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SIMBOLIK DALAM TRADISI NYUGUH MASYARAKAT RAWA BEBEK DI KELURAHAN KOTA BARU, BEKASI BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAKNA SIMBOLIK DALAM TRADISI NYUGUH MASYARAKAT RAWA BEBEK DI KELURAHAN KOTA BARU, BEKASI BARAT"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Rahmat Fajri Al-Aziz 11140321000017

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H/2021 M

(2)

i

LEMBAR PERSETUJUAN

MAKNA SIMBOLIK DALAM TRADISI NYUGUH MASYARAKAT RAWA BEBEK DI KELURAHAN KOTA BARU, BEKASI BARAT

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Rahmat Fajri Al-Aziz NIM: 11140321000023

Dibawah Bimbingan

Siti Nadroh, M.Ag NUPN : 9920112687

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021

(3)

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Skripsi berjudul “Makna Simbolik Dalam Tradisi Nyuguh Masyarakat Rawa Bebek Di Kelurahan Kota Baru, Bekasi Barat” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 Juli 2021. Skripsi ini telah diterimah sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Studi Agama-Agama.

Jakarta, 27 Juli 2021 Panita Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Syaiful Azmi, MA Lisfa Sentosa Aisyah, MA NIP.19710310 199703 1 005 NIP. 19750506 200501 2 003

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. M. Amin Nurdin, MA Dra. Hermawati, MA

NIP. 19550303 198703 1 003 NIP. 19541226 198603 2 002 Pembimbing

Siti Nadroh M. Ag NUPN. 920112687

(4)

iii

(5)

iv ABTRAKSI

Rahmat Fajri Al-Aziz

Judul Skripsi: Makna Simbolik Dalam Tradisi Nyuguh Masyarakat Rawa Bebek Di Kelurahan Kota Baru, Bekasi Barat

Tradisi merupakan hasil kebudayaan manusia yang telah mendarah daging dan sulit untuk ditinggalkan. Berbagai bentuk tradisi yang ditemukan dalam masyarakat Indonesia ialah seperti merayakan kelahiran dan prosesi kematian. Demikian halnya yang dilakukan oleh masyarakat di lingkungan Rawa Bebek di Kelurahan Kota Baru, Bekasi Barat, yakni melakukan tradisi Nyuguh sebagai rasa penghormatan kepada arwah leluhur yang sudah meninggal dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana prosesi tradisi Nyuguh dalam masyarakat Rawa Bebek dan bagaimana analisis makna simbolik dalam tradisi Nyuguh bagi masyarakat Rawa Bebek Kelurahan Kota Baru Kecamatan Bekasi Barat.

Penelitian yang Penulis lakukan adalah penelitian lapangan yang dilakukan di kampung Rawa Bebek kelurahan Kota Baru Kecamatan Bekasi Barat, selama rentang waktu tanggal 15 September 2020 hingga 25 Oktober 2020. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan pendekatan antropologi dan historis. Pendekatan antropologi digunakan untuk memahami kebudayaan yang merupakan produk manusia yang berhubungan dengan agama dengan menelisik lebih jauh bahwa agama memberi pengaruh terhadap budaya dan sebaliknya, sejauh mana kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap agama. Penulis menggunakan Teori Interpretatif Simbolik milik Clifford Geertz. Selanjutnya, Penulis mengkombinasikan pendekatan antropologi dan historis dengan teori milik Geertz untuk membaca simbol- simbol yang terdapat pada pendekatan antropologi dan pendekatan historis sampai menemukan hasil penelitian.

Hasil dari penelitian ini, Penulis menemukan bahwa tradisi Nyuguh bermakna menyediakan atau memberikan hadiah, berupa pangan/ makanan atau minuman kepada arwah leluhur yang sudah tiada atau yang sudah meninggal, khususnya untuk ahli kubur atau ruh orang-orang salih. Tradisi ini dilakukan dengan cara memberikan sesuguhan kepada arwah para leluhur yang telah meninggal dunia berupa pangan seperti daun sirih, bahan-bahan kapur sirih, gambir, kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, air putih, kembang tujuh rupa, kelapa muda, kue-kue, nasi putih, dan lauk pauk. Lauk pauk yang dimaksud seperti sayur ikan gabus pucung, ayam bekakak serta buah-buahan seperti pisang raja, anggur, jeruk, apel, dan kelengkeng. Selain itu, dalam tradisi Nyuguh juga melakukan tahlilan, maulid Nabi dan ziarah kubur dengan tujuan agar arwah leluhur mendapat makanan dan mendapatkan doa dari yang masih hidup atau syafa’at dari Nabi Muhamad Saw. Tradisi Nyuguh bertujuan untuk mengenang arwah leluhur yang telah mendahuli kita yaitu bahwasanya orang yang sudah mati dan orang yang masih hidup selalu berhubungan, tidak putus begitu saja amalnya maupun doanya, dan untuk memohon pertolongan/doa restu dari arwah leluhur serta untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah Swt.

Kata Kunci: Tradisi, Simbol, Akulturasi dan Nyuguh

(6)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Tuhan semesta alam.

Tuhan yang telah menjadikan manusia sebagai sebaik-baiknya ciptaan. Ia anugerahi manusia akal pikiran sehingga dapat membangun peradaban dan kemajuan zaman seperti saat ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya dari awal hingga akhir zaman. Semoga kelak kita umatnya dapat mendapat syafa’atnya di hari kiamat. Amin.

Hanyalah kata syukur yang dapat terucap dari bibir Penulis, yaitu ucapan syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas segala karunia dan rahmat-Nya lah Penulis dapat menyelesaikan tanggung jawab kepada orantua dan tanggung jawab akademik yang Penulis emban. Penulis berhasil menulis penelitian dengan judul: Analisis Makna Simbolik Dalam Tradisi Keagamaan Nyuguh Masyarakat Rawa Bebek Di Kelurahan Kota Baru, Bekasi Barat.

Penulis juga menyadari bahwa keberhasilan ini adalah karena adanya dukungan dan bantuan dari segenap pihak. Sehingga Penulis merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu dalam penulisan skripsi ini, diantaranya:

1. Prof. Dr. Amany Lubis, MA,.selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Syaiful Azmi, S.Ag, MA, selaku Ketua Program Studi Studi Agama- Agama. Terima kasih telah memberikan Penulis arahan dan wejangan selama mengenyam bangku kuliah.

4. Drs. Dadi Darmadi, MA, selaku dosen penasehat akademik yang telah memberikan arahan

(7)

vi

5. Siti Nadroh, M.Ag, selaku dosen pembimbing, terima kasih atas ilmu yang luar biasa yang telah bapak berikan dan atas bimbingan dan kemudahan yang bapak berikan selama ini.

6. Kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhusus dosen-dosen Ushuluddin, terima kasih sudah mendidik Penulis dengan penuh kesabaran.

7. Terima kasih tak terhingga kepada kedua orangtua hebat yang telah membesarkan, mendidik, dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada Penulis. Rasanya ucapan terimakasih tidak cukup untuk menggantikan curahan kasih sayang dan perhatian mereka selama ini.

8. Terima kasih kepada Bang Gilang yang selalu mensuport dari segi keuangan dan dari segi keilmunan.

9. Terima kasih kepada Bang Eno yang ada dikala penusli sedang Galau berat ditinggal kekasih pergi.

10. Terima kasih kepada kawan-kawan COK ( Cuma Orang Kecil) Edy Marwoto, Endik, Zikri, Mohammad Wahyu, Onet, Gendut Barit, Sholihin Anu, Fufu, Wildan, Ria dan Pono.

11. Terima kasih untuk teman satu angkatan PA A & PA B 2014 serta teman- teman TH dan AF yang telah mengisi hidup Penulis.

Pada akhirnya kesempurnaan hanyalah milik Allah. Penulis amat menyadari atas banyaknya kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu Penulis berharap skripsi ini dapat dikembangkan di kemudian hari dengan lebih baik. Serta semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khazanah ilmu pendidikan khususnya dalam ranah Studi Agama-Agama.

Jakarta, 30 Mei 2021

Rahmat Fajri Al-Aziz

(8)

vii DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN...ii

LEMBAR PERNYATAAN...iii

ABSTAKSI...iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

D. Tinjauan Pustaka ... 4

E. Landasan Teori ... 5

F. Metodologi Penelitian ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II MENGENAL KAMPUNG RAWA BEBEK BEKASI BARAT ... 12

A. Sejarah Kampung Rawa Bebek ... 12

B. Sejarah dan Letak Geografis Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat ... 14

C. Data Demografis Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat. ... 17

D. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat ... 19

E. Sarana dan Prasarana... 20

F. Gambaran Religiusitas Masyarakat Kampung Rawa Bebek Kelurahan Kota Baru Kecamatan Bekasi Barat. ... 21

BAB III BERAGAM UPACARA DAN TRADISI MENGHORMATI DAN MENGHATURKAN DOA SERTA SESAJEN PADA ARWAH LELUHUR DI INDONESIA ... 23

A. Upacara Menghormati Arwah Leluhur ... 23

a. Upacara Ngaben di Bali ... 23

b. Ritual Ullambana Umat Buddha ... 27

c. Ritual Imlek Umat Konghucu ... 29

(9)

viii

d. Tradisi Entas-entas Suku Tengger ... 32

e. Haul di Kalangan Masyarakat NU ... 34

B. Tradisi Menghaturkan Doa dan Sesajen Pada Arwah Leluhur di Indonesia36 a. Upacara Pengabenan Hindu Bali ... 35

b. Ritual Ullambana Umat Buddha ... 37

c. Ritual Imlek Umat Konghucu ... 38

d. Tradisi Entas-entas Suku Tengger ... 39

e. Haul di Kalangan Masyarakat NU ... 41

BAB VI MAKNA SIMBOLIK DALAM TRADISI NYUGUH MASYARAKAT RAWA BEBEK DI KELURAHAN KOTA BARU, BEKASI BARAT ... 46

A. Sejarah Awal Mula Ritual Nyuguh ... 46

B. Tradisi Nyuguh di Kampung Rawa Bebek ... 50

a. Pengertian dan Makna Tradisi Nyuguh Bagi Masyarakat Rawa Bebek . 50 C. Prosesi Pra Nyuguh ... 53

D. Prosesi Nyuguh ... 53

Tempat Ritual ... 53

Waktu Ritual ... 53

Prosesi Ritual ... 58

Sesuguhan Yang Perlu Disediakan Saat Ritual ... 60

E. Ritual Pasca Nyuguh ... 61

F. Interpretasi Simbolik Tradisi Nyuguh Dalam Teori Geertz ... 62

G. Analisis Makna Simbolik dalam Tradisi Nyuguh Masyarakat Rawa Bebek69 BAB V Penutup ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN ... 73

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang terdiri dari berbagai suku bangsa.

Semua penduduk Indonesia pada dasarnya adalah pribumi, yakni meskipun dahulu kala berpindah-pindah tempat dari satu tempat ketempat lain, secara turun menurun telah tinggal di wilayah geografis Indonesia sekarang ini, dan merasa bahwa itu adalah tanah airnya. Bangsa baru ini terbentuk karena suatu kemauan politik untuk mepersatukan diri, dan dengan itu membangun sebuah negara serta membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan oleh negara lain.1

Kebudayaan adalah jati diri suatu bangsa, dan suatu bangsa dibedakan dengan kebudayannya. Setiap bangsa memiliki bermacam-macam atau beragam-ragam budaya. Bangsa Indonesia memiliki bermacam-macam budaya. Suatu bangsa yang memiliki satu kebudayan juga didukung oleh ciri-ciri, itulah yang pada pandangan pertama seolah menjadi jati dirinya.2

Indonesia, karena lokasinya, sejak awal sejarahnya telah bersinggungan dengan budaya-budaya luar yang masuk perairan Indonesia, diantaranya budaya Cina, India, Persia, Arab, Asia Tenggara, Eropa. Pluralisme budaya primodial Indonesia, mengakibatkan perkenalan dengan budaya-budaya luar itu, membangun transformasi budayanya masing-masing. Dan budaya-budaya transmormatif di wilayah-wilayah primodial ini juga saling berinteraksi serta menghasilkan bentuk-bentuk budaya transformasi baru di masing-masing lokasi.3

Salah satu wujud kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan Betawi.

Masyarakat Betawi terbentuk melalui kurun waktu yang cukup panjang, dimulai sejak tahun 4000 SM, dengan ditemukannnya berkas-berkas permukiman di Pinggiran

1 Edy Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah (Jakarta: Rajawali Pres.

2006), h. 315.

2 Edi Sedyawati, Kebudayaan di Nusantara (Depok: Komunitas Bambu. 2014), h. 11.

3 Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta : Qalam. 2002), h. 75.

(11)

sungai Ciliwung. Betawi terbentuk sejalan dengan rentetan sejarah perkembangan Bandar Sunda Kelapa, tempat tumpuan kaum pedagang dari berbagai bangsa, kemudian berbaur dan menetap sehingga memperkaya budaya Betawi.4

Salah satu budaya Betawi yang masih terjaga sampai saat ini ialah tradisi Nyuguh. Tradisi Nyuguh adalah tradisi yang dilakukan pada hari-hari tertentu oleh masyarakat Betawi di Rawa Bebek. Meski Betawi Jakarta tidak mengenal tradisi ini, namun tradisi ini seperti telah mendarah daging bagi masyarakat Betawi di Rawa Bebek. Munculnya perbedaan tradisi ini adalah karena adanya asimilasi budaya masyarakat di Rawa Bebek, dari budaya Betawi, Sunda, hingga Jawa. Tradisi Nyuguh yang terdapat di Jawa Barat, seperti di Ciamis, berbeda dengan Nyuguh di Rawa Bebek.

Misalnya dalam pemilihan sajian. Tradisi Nyuguh di Ciamis segala hasil panen mereka, salah satunya beras yang di jadikan ketupat, sedangkan di Rawa Bebek, mereka menyajikan Gabus Pucung, yang merupakan makanan khas Betawi.

Dalam suku Jawa terdapat kebudayaan yang bernama kejawen yang memiliki tradisi sesajen. Menurut Koenjaraningrat sesaji merupakan salah satu sarana upacara yang tidak bisa ditinggalkan, dan disebut juga sesajen yang dihaturkan pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan terhadap makhluk halus, yang berada di tempat tertentu.5

Aspek keagaman dalam tradisi Nyuguh di Rawa Bebek ini yaitu dalam segi ritualnya ketika memangil arwah leluhur yang telah meninggal dengan cara membaca (mantra) Basmalah tiga kali, lalu membaca surat al-Fatihah tujuh kali, surat al-Ikhlas tujuh kali, sholawat tujuh kali, dan yang terakhir kemudian menyebut nama leluhur.

Orang yang bisa memanggil arwah leluhur itu merupakan tetua yang dipilih oleh leluhur sebelumnya.6

Artinya, ritual ini tidak lepas dari aspek keagamaan dalam hal ini, agama Islam.

Kelompok yang melakukan tradisi Nyuguh ini juga harus beragama Islam. Karena

4 Anisa dll, “Perubahan Pola Pemukiman Masyarakat Betawi Di Condet,”Jurnal Inerasi Vol. VI No. 1 (2010), h. 66.

5 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 349.

6 Wawancara dengan Latifah, Bekasi 15 September 2020.

(12)

mantra yang dibaca tetua seluruhnya berasal dari kitab suci al-Quran. Disinilah aspek keislaman, menjadi aspek terpenting dari tradisi Nyuguh ini.

Meski tradisi ini rutin dilaksanakan setiap hari-hari tertentu dalam setiap tahunnya, sayangnya banyak pemuda yang melupakan makna dari pelaksanaan Nyuguh. Misalnya beberapa pemuda yang penulis temui saat perayaan Nyuguh di Kampung Rawa Bebek pada acara Pernikahan.

Oleh karenanya, penulis, sebagai masyarakat asli Rawa Bebek, merasa perlu mengulas kembali makna tradisi Nyuguh dengan melakukan wawancara mendalam kepada informan kunci, seperti budayawan Betawi, dan budayawan Rawa Bebek khususnya. Dengan demikian, penelitian ini akan berjudul “Makna Simbolik Tradisi Nyuguh Masyarakat Rawa Bebek di Kota Baru, Bekasi Barat.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Untuk mempermudah menguraikan skripsi ini, penulis membatasi penelitian ini pada makna simbolik tradisi keagamaan, tradisi Nyuguh, dan tradisi masyarakat Rawa Bebek.

Berdasarkan batasan masalah tersebut di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana analisis makna simbolik dalam tradisi Nyuguh bagi masyarakat Rawa Bebek?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui prosesi tradisi Nyuguh dalam masyarakat Rawa Bebek 2. Untuk mengetahui makna simbolik dalam tradisi Nyuguh bagi masyarakat

Rawa Bebek

Berangkat dari tujuan di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Penelitian ini dapat menjadi informasi penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kampung Rawa Bebek kelurahan Kota Baru Kecamatan

(13)

Bekasi Barat dan bagi masyarakat umum, dalam menambah khazanah intelektual terkait makna simbolik dalam tradisi Nyuguh masyarakat Rawa Bebek di Kelurahan Kota Baru, Bekasi Barat.

2. Penelitan ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) Agama pada Prodi Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Tak dapat dipungkiri bahwa penelitian terkait masyarakat Betawi sering kali kita jumpai. Kenyataannya, penelitian terkait budaya memang tidak akan pernah selesai.

Karena budaya selalu berubah seiring perkembangan zaman. Karena budaya adalah hasil olah rasa dan karsa manusia, yang mana sangat berhubungan erat dengan kehidupan sosial masyarakat tersebut. Kehidupan sosial yang berubah akan berdampak pada perubahan budaya. Maka sangat mungkin bila suatu budaya tidak mampu menyikapi perubahan-perubahan yang ada, dia akan punah. Untuk itu, penelitian tentang budaya mesti terus dilakukan guna menjaga, melestarikan, dan mengenalkan kepada generasi selanjutnya.

Terdapat beberapa penelitian yang penulis temui terkait tradisi Nyuguh, di antaranya adalah:

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Munarsih Mahasiswa Jurusan Akhwalus Al- Syakhsiyyah (AS) Fakultas: Syari’ah Insitut Agama Islma Lampung dengan judul“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Nyuguh Dalam Pelaksanaan Walimatur Ursy Pada Masyarakat Sunda Di Pekon Hanakau Kecamatan Sukau Kabupaten Lampung Barat” (2018). Skripsi ini membahas tentang hukum islam terhadap Tradisi Nyuguh dalam pelaksanaan Walimatur Ursy. Perbedaan paling mendasar dari skripsi ini dengan skripsi yang akan penulis teliti ialah terletak pada tinjauannya. Penulis mengambil pendekatan simbolik dalam tradisi Nyuguh, sedangkan skripsi di atas menggunakan pendekatan tinjauan Islam dalam tradisi Nyuguh.

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Ihwani Rhamadan Tudjina Mahasiswa Jurusan Sosilogi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri

(14)

Sunan Kalijaga Yogyakarta. dengan judul “Tradisi Nyuguh Masyarakat Kampung Adat Kuta Sebagai Upaya Filterisasi Pengaruh Modern” (2015). Perbedaan dengan judul skripsi penulis ialah terletak pada masyarakatnya. Penulis mengambil tempat di Rawa Bebek, Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan perbedaan lain ialah penulis menggunakan pendekatan simbolik untuk mengungkap makna tradisi Nyuguh.

Setelah beberapa contoh penelitian yang telah ada, selama ini penulis belum menemukan penelitian yang membahas tentang“Analisis Makna Simbolik Tradisi Nyuguh Masyarakat Rawa Bebek di Kota Baru, Bekasi Barat”. Penelitian ini memfokuskan pada makna simbolik dalam Tradisi Nyuguh .Penulis juga orang yang paling pertama mengambil penelitian di Bekasi Barat khususnya di kampung Rawa Bebek ini.

E. Landasan Teori

Teori simbolik yang digunakan penulis untuk membaca tradisi ini adalah teori Cliffrod Geertz. Yang mana Geertz ini mejelaskan tentang simbol. Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang mengandung kualitas-kualitas analis-logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran atau fakta. Simbol merupakan suatu objek yang memiliki makna yang sesuai dengan realitas kehidupan manusia, sehingga makna tersebut secara tidak langsung diberikan oleh manusia sendiri, sehingga yang membentuk sebuah sistem religius adalah serangkaian simbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur, jenis simbol-simbol yang dipandang oleh suatu masyarakat sebagi suatu yang sangat sakral sangat bervariasi, akan tetapi bahwa simbol-simbol sakral dipentaskan tidak hanya memiliki nilai-nilai positif melainkan juga nilai-nilai negatif. Simbol-simbol tersebut tidak hanya menunjuk ke arah adanya kebaikan, melainkan juga menunjukan adanya kejahatan.7

Simbol dapat berupa objek, kejadian, bunyi atau suara, dan tulisan-tulisan atau ukiran gambar yang dibentuk serta diberi makna oleh manusia. Simbol atau tanda dapat

7 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 55-57.

(15)

dilihat sebagai konsep-konsep yang memiliki pengkhasan yang mengandung suatu kualitas-kualitas analisis-logis atau melalui asosiasi-asosiasi pikiran dan fakta.8 Dapat dipahami dalam hal ini, simbol membawa suatu pesan yang mengandung sebuah makna yang mendorong pemikiran dan tindakan seseorang. Melalui makna sebagai suatu instansi pengantar, maka sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai, dan juga dapat menerjemahkan seperangkat nilai menjadi suatu sistem pengetahuan. Simbol merupakan suatu objek yang memiliki makna yang sesuai dengan realitas kehidupan manusia, sehingga makna tersebut secara tidak langsung diberikan oleh manusia sendiri.

Oleh sebab itu untuk mencari sebuah makna dari kebudayaan seseorang harus menggunakan simbol. Konsep yang terdapat dalam teori interpretaif simbolik ada tiga.

Pertama, kebudayaan merupakan sesuatu yang dilihat atau dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagai sesuatu yang nyata. Kebudayaan sebagai wujud dari tindakan atau kenyataan. Model yang pertama ini merepresentasikan kenyataan yang ada, misalnya sebuah peta Pulau Sumatera merupakan model dari Pulau Sumatera.

Pada model tersebut peta sebagai struktur simbolis disesuaikan dengan struktur non simbolis atau struktur fisik yang merupakan kenyataan yaitu Pulau Sumatera. Kedua, kebudayaan sebagai sistem nilai atau evaluatif (mode for), kebudayaan merupakan rangkaian pengetahuan manusia yang berisi model-model yang secara selektif digunakan untuk menginterpretasi, mendorong dan menciptakan suatu tindakan.

Kebudayaan dijadikan sebagai pedoman tindakan. Model kedua ini tidak merepresentasikan kenyataan yang sudah ada, akan tetapi kenyataan yang masih harus dibentuk atau diwujudkan. Model ini misalnya sebuah maket perumaham atau kondomium yang harus dibangun. Struktur nonsimbolis atau fisik berupa kompleks perumahan atau kondomium yang perlu disesuaikan dengan struktur simbolis berupa maket rumah9. Ketiga, kebudayaan sebagai sistem simbol, kebudayaan dalam hal ini sebagai sesuatu yang tidak berada di dalam batin manusia, tetapi yang berada di antara para warga sebagai sesuatu yang harus “dibaca” dan “ditafsirkan” Sejalan dengan Ignas

8 Setya Yuana Sudikan, Antropologi Sastra (Surabaya: Unesa Pres, 2007), h. 40.

9 Sudikan Setya Yuwana, Antropologi Sastra, h. 38.

(16)

Kleden.10 kaitannya dengan konsep Geertz titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol inilah yang dinamakan makna (system of meaning). Melalui makna sebagai suatu instansi pengantar, maka sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai, dan juga dapat menerjemahkan seperangkat nilai menjadi suatu sistem pengetahuan.

F. Metodologi Penelitian a. Model Penelitian

Model penelitian yang Penulis gunakan adalah metode Kualitatif dengan analisis deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan model penelitian yang dilaksanakan dengan memahami prinsip umum dari satuan masalah yang terdapat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Penelitian kualitatif menekankan pada kenyataan yaitu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman- pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh masing-masing individu. Penelitian kualitatif tertuju untuk mengerti fenomena-fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan. Partisipan ialah orang-orang yang ikut serta dalam berwawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya. Penelitian kualitatif mengkaji perspektif partisipan dengan berbagai macam strategi yang bersifat interaktif seperti misalnya observasi langsung, observasi partisipatif, wawancara mendalam, dokumen-dokumen, teknik-teknik pelengkap.11

Adapun penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis dilaksanakan pada:

Tanggal : 15 September 2020 – 25 Oktober 2020.

Tempat : Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Bekasi Barat.

10 Sudikan Setya Yuwana, Antropologi Sastra (Surabaya: Unesa University Press, 2007), h. 39.

11 Sandu Siyoto, M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015), h. 11-12.

(17)

Sedangkan analisis deskriptif ialah menggambarkan atau mendeskripsikan data-data atau fenomena-fenomena yang didapatkan dengan menunjukkan bukti- buktinya, kemudian menganalisisnya melalui proses seleksi, tahap editing, pengolahan dan klasifikasi data, dan reduksi data, lalu menginterpretasi data tersebut.

b. Teknik Pengumpulan Data

Memulai penelitian ini pastinya dengan mengumpulkan data menggunakan teknik wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan kajian pustaka. Proses wawancara dilaksanakan dengan para warga dan informan terkait dari wilayah setempat, penulis mewawancarai empat orang yaitu Bapak Sekertaris Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat, Ibu Latiffah sebagain informan kunci, Sandi Setiadi sebagai pemuka agama, dan Mohammad Roby serta Baba Kucit sebagai masyarakat Rawa Bebek sebagai pelaku tradisi Nyuguh.

Observasi dipakai untuk mengamati bagaimana tradisi Nyuguh dilaksanakan.

Selain itu, studi dokumentasi digunakan untuk mengkaji bahan-bahan tertulis non- pustaka. Sedangkan,kajian pustaka dilakukan untuk mendukung data hasil wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.

c. Pendekatan Penelitian

Pendekatan antropologi dan historis ialah pendekatan yang dipakai pada penilitian ini. Pendekatan antropologi berupaya memahami kebudayaan yang merupakan produk manusia yang berhubungan dengan agama. Menelisik lebih dalam sejauh mana agama memberi pengaruh terhadap budaya dan sebaliknya sajauh mana kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap agama.12Pendekatan historis merupakan salah satu pendekatan yang cukup

“populer” dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling tua dan digunakan pertama kalinya dalam mempelajari, menyelidiki, dan meneliti agama-agama baik sebelum ilmu agama

12 Media Zainul Bahri,Wajah Studi Agama-agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.

47-48.

(18)

menjadi disiplin yang berdiri sendiri (otonom) atau sesudahnya. Dengan pendekatan historis, suatu studi berusaha menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan melalui periode perkembangan historis tertentu.13

Menggunakan pendekatan antropologi bertujuan untuk mengetahui tradisi Nyuguh yang diamati secara ilmiah. Dalam antropologi Geertz, terdapat teori interpretasi simbolik yang berguna dalam mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi Nyuguh di Rawa Bebek.

Kemudian pendekatan historis, dilakukan untuk mendapatkan data terkait awal mula atau asal-usul upacara Nyuguh dilakukan hingga menjadi sebuah tradisi yang dilakukan secara turun-menurun oleh masyarakat Rawa Bebek, yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber primer dan sekunder (heuristik), diverifikasi keabsahannya (kritik sumber), dianalisis (interpretasi), lalu ditulis dengan merekonstruksi data dan fakta (historiografi).

d. Sumber Data

Sumber data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.

Pertama, data primer merupakan data yang diperoleh peneliti secara langsung dari tangan pertama, sementara yang kedua, data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada sebelumnya. Contoh data primer, data yang diperoleh dari responden melalui kuesioner, kelompok fokus, dan panel, atau juga data hasil wawancara peneliti dengan narasumber. Contoh data sekunder misalnya catatan atau dokumentasi perusahaan berupa absensi, gaji, laporan keuangan publikasi perusahaan, laporan pemerintah, data yang diperoleh dari majalah, dan lain sebagainya.14

13 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 15.

14 Harnovinsah, Metodologi Penelitian (Jakarta: Pusat Bahan Ajar dan E-learning Universitas Mercu Buana), h. 12.

(19)

G. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan, untuk mendapatkan gambaran yang jelas, terstruktur dan menyeluruh mengenai isi dan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan menerapkan sistematika penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab beserta sub-bab dari masing-masing bab dalam penulisan skripsi ini.

Bab pertama adalah pendahuluan. Dimulai dengan mengemukakan latar belakang masalah, batasan masalah serta rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, sistematika penulisan.

Pada bab kedua berisi penulis menjabarkan gambaran umum lokasi penelitian, yaitu sejarah kampung Rawa Bebek, sejarah dan letak georafis Kelurahan Kota Baru, Bekasi Barat, data demografis, tingkat pendidikan, sarana serta prasarana ibadah, dan gambaran religiusitas masyarakat Rawa Bebek.

Pada bab ketiga, menjelaskan tentang Beragam Upacara Tradisi Menghormati serta Menghaturkan Doa Dan Sesajen Pada Arwah Leluhur Di Indonesia. Didalamanya terdapat Sejarah upacara Menghormati arwah leluhur pada Upacara Ngaben di Bali, Ritual Ulambana Umat Budhha, Ritual Imlek Umat Konghucu, Tradisi Entas-Entas Suku Tengger dan Haul dikalangan Umat Masyarakat Nu. Lalu menjelaskan tentang Doa dan Sesajen pada arwah leluhur di Indonesia, penulis mengambil beberapa contoh dari Upacara Ngaben di Bali, Ritual Ulambana Umat Budhha, Ritual Imlek Umat Konghucu, Tradisi Entas-Entas Suku Tengger dan Haul dikalangan Umat Masyarakat Nu.

Pada bab keempat, dipaparkan hasil Analisis makna Simbolik dalam tradisi Nyuguh Masyarakat Rawa Bebek di Kelurahan Kota Baru Kecamatan Bekasi Barat, didalamnya terdapat penjelasan tentang Sejarah Awal Mula Ritual Nyuguh, Tradisi Nyuguh di Kampung Rawa Bebek yaitu Pengertian serat Makna Tradisi Nyuguh, Ritau Pra-Nyuguh, Prosesi Ritual Nyuguh, Tempat Ritual, Waktu Ritual, Prosesi Ritual, Sesuguhan yang harus Disajikan saat Ritual, Ritual Pasca-Nyuguh, Interpretatif Simbolis Tradisi Nyuguh Clifford Geertz dan Analisa Makna Simbolis dalam Tradisi Nyuguh Masyarakat Rawa Bebek.

(20)

Pada bab Kelima, yaitu Penutup yang didalamnya ada kesimpulan dan saran.

(21)

12 BAB II

MENGENAL KAMPUNG RAWA BEBEK BEKASI BARAT

A. Sejarah Kampung Rawa Bebek

Secara administratif, Kota Bekasi merupakan Kota Besar dan termasuk ke dalam salah satu wilayah di Provinsi Jawa Barat. Kota Bekasi berada dalam lingkungan megapolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi). Kota Bekasi berkembang menjadi tempat tinggall kaum urban dan sentra industri. Jarak antara Kota Bekasi dengan Ibukota Provinsi Jawa Barat ± 140 km dan jarak antara Kota Bekasi dengan Ibukota Jakarta ± 18 km. Kota Bekasi merupakan daerah dataran dengan kemiringan antara 0-2 % dan ketinggian antara 11 m - 81 m di atas permukaan laut.

Secara geografis Kota Bekasi berada pada posisi 106055 Bujur Timur dan 60 7-60 15 Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Bekasi, 210,49 km2 dengan Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah terluas (24,73 km2 ), Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km2 ). Batas-batas wilayah administrasi yang mengelilingi wilayah Bekasi, adalah: sebelah utara dengan Kabupaten Bekasi, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor, dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta. Bekasi memiliki 12 Kecamatan antara lain: Kecamatan Pondok Gede, Jati Sampurna, Jati Asih, Bantar Gebang, Bekasi Timur, Rawa Lumbu, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Medan Satria, Bekasi Utara, Mustika Jaya, Pondok Melati. Kecamatan Bekasi Barat memiliki 5 Kelurahan, yaitu: Kelurahan Bintara. Bintara Jaya, Jaka Sampurna, Kota Baru, dan Kranji. Rawa Bebek adalah Kampung yang barada di Kelurahan Kota Baru.1

Menurut Mohamad Robi, penduduk asli Rawa Bebek, kampung ini memiliki sejarah yang unik yang mana keunikannya ini berasal dari sejarah yang tertoreh dalam menamakan kampung-kampung tersebut dengan penamaan rawa-rawa yang ada di daerah sekitar. Adapun menurut Baba Kucit, penduduk asli Rawa bebek, kampung ini dinamakan kampung Rawa bebek sejak tahun 1940 dan pada tahun itu di kampung ini

1 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat, 28 September 2020.

(22)

terdapat 34 rumah saja yang banyak hanyalah rawa-rawa serta persawahan. Nama kampung Rawa Bebek ini berdasarkan sejarah orang tua dulu, dimana dikampung ini pada setiap malamnya terdengar suara bebek laki-laki dan perempuan melainkan hanya suaranya saja tetapi tidak ada bebeknya, lalu setiap paginya di rawa atau galengan sawah warga menemukan telur bebek. Teluru bebek ini dinamakan telur siluman karena bila dipecahkan untuk dimasak di rumah telur ini berubah menjadi batu tetapi bila di masak saat menemukan telur ini seperti layaknya telur biasa.

Penuli melihat, banyak daerah di Kota Bekasi yang menggunakan nama rawa.

Salah satunya adalah Kampung Rawa bebek. Hal ini dikarenakan wilayah Bekasi di masa lalu didomonasi oleh hamparan rawa-rawa. Beberapa kampung yang bertetangga dengan Rawa Bebek juga menggunakan kata rawa. Misalnya, Rawa Bambu, Rawa Pasung, Rawa Kuning dan beberapa lainnya.

Nama Rawa Bebek sendiri menurut riwayat diberi nama demikian karena rawa- rawa di kampung tersebut menjadi tempat warga setempat untuk beternak bebek.

Meskipun ada pula warga yang mendengar kisah bahwa nama Rawa Bebek itu berasal dari peristiwa ditemukannya beberapa telur bebek siluman di rawa itu. Dari telur-telur itu terdengar suara bebek, tetapi wujud bebeknya tidak ada. Itulah sebabnya kampung ini dinamakan Kampung Rawa Bebek.2

Dalam perjalanan sejarahnya Kampung Rawa Bebek ini kemudian terbagi lagi menjadi tiga wilayah kampung dengan sebutan berbeda. Yang pertama disebut Rawa Bebek Bendungan, yang kedua Rawa Bebek Kramat, dan yang ketiga Rawa Bebek Pulo. Nama Rawa Bebek Bendungan diambil dari adanya bendungan di anak Kali Malang yang melintasi daerah tersebut. Bendungan tersebut sudah tidak ada lagi sekarang. Demikian pula kali yang dulu cukup besar sekarang hanya tinggal berupa selokan kecil. Namun nama Rawa Bebek Bendungan tetap bertahan hingga sekarang.

Adapun nama Rawa Bebek Kramat disebabkan adanya sebuah makam yang dikeramatkan oleh warga setempat. Tidak diketahui siapa tokoh yang dimakamkan di makam keramat tersebut. Namun menurut cerita dari mulut ke mulut, di masa perang

2 Wawancara dengan Mohammad Robi , Bekasi, 25 Desember 2020.

(23)

melawan penjajah Belanda makam tersebut tak dapat dihancurkan oleh meriam penjajah Belanda. Daerah di sekitar makam tersebut yang terkena ledakan bahkan tidak mengalami kerusakan sedikitpun. Para pejuang Indonesia memanfaatkan makam tersebut sebagai tempat untuk berlindung. Riwayat lain mengatakan penamaan Kampung Rawa Bebek Keramat ini yang dimakamkan adalah seorang bayi laki-laki untuk ditumbalkan. Sejak itulah makam ini disebut oleh masyarakat setempat sebagai makam keramat yang menjadi cikal bakal penamaan Kampung Rawa Bebek Kramat.

Yang ketiga, sejarah kampung Rawa Bebek Pulo. Kampung ini memiliki sejarah yang unik. Keunikannya berasal dari kata pulau, yang apabila diucapkan oleh masyarakat setempat pada saat itu menjadi pulo. Dinamakan demikian karena daerah ini sering terendam banjir saat hujan turun. Banjir bisa mencapai setinggi atap rumah. Apabila kampung tersebut dilihat dari ketinggian, maka ia tampak menyerupai sebuah pulau.

Demikianlah daerah ini dinamakan Kampung Rawa Bebek Pulo.3Menurut riwayat lain kampung Rawa Bebek Pulo ini, terdapat tujuh rumah saja yang berada dikampung tersebut sisanya hanayalah rawa dan galengan sawah saja, bila melebihi dari tujuh rumah akan meninggal dalam satu rumah tersebut dan yang menempati daerah kampung Rawa Bebek Pulo ini semuanya adalah orang yang mempunyai kekuatan supra natuaral yang sangat tinggi. Dari sinilah dinamakan Kampung Rawa Bebek Pulo.4

B. Sejarah dan Letak Geografis Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat

Kelurahan Kota Baru merupakan pemekaran dari Kelurahan Kalibaru yang pada saat itu masih bergabung dengan kecamatan Bekasi Barat (pada saat itu Kecamatan Medan Satria belum dibentuk). Setelah pemekaran Kecamatan Bekasi Barat, maka Kampung Rawa Pasung sebelah barat dan Kampung Rawa Bebek menjadi Kelurahan Kota Baru yang berada di Kecamatan Bekasi Barat, sedangkan Kelurahan Kali Baru yang terdiri dari Kampung Rawa Pasung sebelah timur dan Kampung Rawa Bambu tetap bernama Kalibaru, tetapi berada di Kecamatan Medan Satria Daerah

3 Wawancara dengan Mohammad Robi, Bekasi, 25 Desember 2020.

4 Wawancara dengan Baba Kucit, Bekasi, 07 Juli 2021.

(24)

Tingkat II Kotamadya. Kelurahan Kota Baru berdiri sejak tahun 1992-an, yang sebelumnya kantor Kelurahan Kota Baru berada di jalan Kalibaru Barat tepat di wilayah RW 15 saat ini.5

Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat merupakan salah satu dari 5 kelurahan di Kecamatan Bekasi Barat dan salah satu dari 56 desa atau kelurahan di Kota Bekasi yang terletak paling barat di wilayah Bekasi Barat . Luas wilayah Kelurahan Kota Baru adalah 161,1 ha atau 1.661 kmdengan kondisi geografis berada di ketinggian 70 meter dari permukaan laut dengan suhu udara mencapai 30o C, jarak Kelurahan Kota Baru dengan Pusat Pemerintah Kecamatan berjarak 3,9 km atau 10 menit, jarak Kelurahan Kota Baru dengan Pusat Pemerintah Kota Bekasi berjarak 5 km atau sekitar 20 menit waktu perjalanan, jarak Kelurahan Kota Baru dengan Pusat Pemerintah Provinsi Jawa Barat berjarak 131 km atau sekitar 2 jam 29 menit, jarak Kelurahan Kota Baru dengan Ibu Kota Negara berjarak 30 km atau 1 jam 7 menit. Adapun batas-batas Kelurahan Kota Baru sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Satria, dibagian sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kranji dan kelurahan Bintara, dibagian sebelah Barat terdapatberbatasan dengan Kelurahan Pulogebang Provinsi DKI Jakarta dan dibagian sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Kali Baru Kecamatan Medan Satria.6

5 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat, 28 September 2020.

6 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat, 28 September 2020.

(25)

Foto Peta Wilayah yang di ambil dari Kelurhan Kota Baru Bekasi Barat

Kelurahan Kota Baru terdiri dari 22 Rukun Warga (RW) dan 179 Rukun Tetangga (RT) yang memiliki kepadatan penduduk mencapai 47.715 jiwa, hal ini menunjukan betapa pesatnya perkembangan disegala bidang. Kelurahan Kota Baru kini beralamat di Jalan Duku Raya No.1 Rt.009 Rw.004 dengan Kode Pos 17133, yang mulai aktif digunakan sejak tahun 1994-an yang menggunakan gedung milik Dinas Sosial Pemerintah Kota Bekasi dengan fasilitas yang cukup memadai ditambah lagi dengan halaman yang cukup luas terdapat bebebarapa lahan kosong yang dapat digunakan sebagai derah resapan air. Sarana dan prasarana yang ada diwilayah Kelurahan Kota Baru cukup melengkapi kebutuhan keseharian masyarakat Kota Baru yang terdiri dari fasilitas Pendidikan yang bermulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar Negeri dan Swasta, SMP Negeri dan Swasta, SMA/K Swasta, Sarana Beribadah dengan yakni masjid, musala dan gereja, sarana olah raga (gedung olahraga) dan ada beberapa perusahaan yang berada diwilayah Kelurahan Kota Baru.

Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat tergolong dalam tipe desa jasa dan perdagangan.

(26)

Ini yang menjadikan sektor perdagangan menjadi potensi sumber ekonomi di kelurahan tersebut.7

Di kelurahan Kota Baru ini bisa secara langsung dilewati oleh angkutan umum ataupun bus kota karena letak Kelurahan Kota Baru ini bernuansa seperti kampung yang semi kota karena letaknya dekat dengan perbatasan antara Kota Bekasi Barat dengan kota Jakarta Timur dari akses jalan utama atau jalan provinsi. Sebagian warga yang memiliki kendaraan pribadi lebih suka menggunakan kendaraannya untuk mengakses ke tempat-tempat seperti pusat perekonomian, seperti pasar swalayan maupun pusat perbankan seperti bank. Bagi sebagian yang lain memilih menggunakan angkutan umum atau bus kota untuk menuju tempat-tempat perniagaan.8

C. Data Demografis Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat.

Wilayah Kelurahan Kota Baru terdiri dari permukiman penduduk perumahan dan permukiman penduduk perkampungan, perumahan yang berada di wilayah Kota Baru ini dikembangkan oleh PT. Metropolitan Development, dengan memberi tiga nama perumahan yakni Perumahan Harapan Baru I, II dan Perumahan Harapan Baru Regency, wilayah permukiman perkampungan terdiri dari dua perkampungan yakni Kampung Rawa Pasung dan Kampung Rawa Bebek.9

Berdasarkan data penduduk 31 Desember 2020 jumlah penduduk Kelurahan Kota Baru sebanyak 47.715 jiwa. Jumlah laki-laki dan perempuan serta jumlah kepala keluarga sebanyak 8.670 kepala keluarga. Setelah itu digolongkan kembali dengan jenis usia 0-15 tahun, usia 15-65 tahun dan usia 65 tahun ke atas dengan jumlah sebagai berikut:

a. Jumlah penduduk laki-laki berjumlah 24.756 jiwa.

b. Jumlah penduduk perempuan berjumlah 23.082 jiwa.

c. Jumlah penduduk yang berusia 0-15 tahun berjumlah 12.960 jiwa.

d. Jumlah penduduk yang berusia 15-65 tahun berjumlah 29.748 jiwa.

7 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat,28 September 2020.

8 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat,28 September 2020.

9 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat,28 September 2020.

(27)

e. Jumlah penduduk yang berusia 65 tahun ke atas berjumlah 5.007 jiwa.10

Berdasarkan angkatan kerja, pendudukan berusia 0-6 tahun berjumlah 4.217 jiwa. Penduduk berusia 7-18 tahun yang masih bersekolah berjumlah 8.706 jiwa.

Penduduk usia 18-56 tahun berjumlah 28.786 jiwa, dengan jumlah penduduk bekerja 24.569 jiwa dan penduduk yang tidak bekerja sejumlah 4.217 jiwa. Penduduk usia 56 tahun ke atas 6.761 jiwa. Artinya, dependency ratio di Kelurahan Kota Baru adalah 80,11%.

Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut oleh masayarakat kampung Rawa Bebek Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat sebagai berikut:

1. Jumlah orang yang memeluk agama Islam laki-laki berjumlah 22.383 orang dan perempuan berjumlah 20.605 orang. Apabila dijumlahkan keselurahan berjumlah 42.988 orang .

2. Jumlah orang yang memeluk agama Kristen laki-laki berjumlah 1.983 orang dan perempuan berjumlah 1.681 orang. Apabila dijumlahkan keselurahan berjumlah 3.664 orang.

3. Jumlah orang yang memeluk agama Khatolik laki-laki berjumlah 642 orang dan perempuan berjumlah 845 orang. Apabila dijumlahkan keselurahan berjumlah 1.487 orang.

4. Jumlah orang yang memeluk agama Hindu laki-laki berjumlah 41 orang dan perempuan berjumlah 20 orang. Apabila dijumlahkan keselurahan berjumlah 61 orang.

5. Jumlah orang yang memeluk agama Budha laki-laki berjumlah 105 orang dan perempuan 302. Apabila dijumlahkan keselurahan berjumlah 407 orang.

6. Jumlah orang yang memeluk agama Konghucu laki-laki berjumlah 1 orang dan perempuan 1 orang. Apabila dijumlahkan keselurahan berjumlah 2 orang.

10 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat,28 September 2020.

(28)

7. Jumlah orang yang memeluk Aliran Kepercayaan YME lainnya laki-laki berjumlah 7 orang dan perempuan 4 orang. Apabila dijumlahkan keselurahan berjumlah 11 orang.11

D. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat

Masyarakat Kelurahan Kota Baru jika ditinjau dari segi pendidikannya maka dapat dikatakan sebagai Kelurahan yang maju, khususnya dalam bidang pendidikan.

Hal ini dapat kita lihat dengan banyaknya jumlah lembaga pendidikan dan masyarakat yang masih duduk di jenjang pendidikan yang terdapat di Kelurahan Kota Baru sebagai yaitu berikut:

1. Masyarakat yang masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak Berjumlah 13.075.

2. Masyarakat yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar Berjumlah 3.731.

3. Masyarakat yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Berjumlah 4.469.

4. Masyarakat yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMA / SMK) berjumlah 20.018.

5. Masyarakat yang berada di jenjang pendidikan yang tinggi dalam bidang Akademi / D1-D3 berjumlah1.649.

6. Masyarakat yang berada di jenjang pendidikan yang tinggi dalam bidang Sarjana berjumlah 3.167.

7. Masyarakat yang berada di jenjang pendidikan yang tertinggi dalam bidang Pascasarjana berjumlah 169.12

Meskipun demikian, Kelurahan Kota Baru ini masih meningkatkan tingkat lembaga pendidikan. Cara ini dilakukan dengan membangun kembali lembaga- lembaga pendidikan formal. Dengan tujuan untuk menambahkan lembaga pada jenjang pendidikan. Selain itu, hal ini juga ditujukan untuk memajukan kemaslahatan

11 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat,28 September 2020.

12 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat, 28 September 2020.

(29)

masyarakat di Kelurahan Kota Baru. Pada saat ini, jumlah lembaga pendidikan yang terdapat di Kelurahan Kota Baru adalah sebagai berikut:

1. Lembaga Sekolah Paud yang telah dibangun kembali pada saat ini berjumlah 14 sekolah.

2. Lembaga Sekolah Taman Kanak-kanan yang dibangun kembali pada saat ini berjumlah 11 lembaga.

3. Lembaga Sekolah Dasar yang telah dibangun kembali pada saat ini berjumlah 11 lembaga.

4. Lembaga Sekolah Menegah Pertama yang telah dibangun kembali pada saat ini berjumlah 3 lembaga.

5. Lembaga Sekolah Menengah Atas yang telah dibangun kembali pada saat ini berjumlah 2 sekolah.13

E. Sarana dan Prasarana

Kelurahan Kota Baru dalam segi pembangunan tergolong kedalam kelurahan yang lengkap dengan sarana prasarana dan fasilitasnya seperti jumlah tempat peribadatan umat beragama seperti masjid, musala, dan gereja. Selain itu juga terdapat UKBM (Posyandu dan Polides), kantor RW, dan kantor RT, jumlahnya seperti sebagai berikut:

1. Masjid berjumlah 18 buah.

2. Musala berjumlah 23 buah.

3. Gereja berjumlah 6 buah.

4. UKBM (Posyandu dan Polides) berjumlah 38 buah.

5. Kantor RW berjumlah 22 buah.

6. Kantor RT berjumlah 179 buah.14

13 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat,28 September 2020.

14 Observasi, lihat dari Arsip Kelurahan Kota Baru Bekasi Barat,28 September 2020.

(30)

F. Gambaran Religiusitas Masyarakat Kampung Rawa Bebek Kelurahan Kota Baru Kecamatan Bekasi Barat.

Menurut Sandi Setiandi, ustaz yang sekaligus menjabat sekretaris Musala Ashobirin yang berada di wilayah Rt/Rw 07/10, masyarakat Kampung Rawa Bebek ini tergolong masyarakat yang paling religius terhadap agama, religiusitas ini dapat dibuktikan dengan banyaknya acara kebesaran umat Islam yang dilaksanakan di Kampung Rawa Bebek. Acara kebesaran keagamaan yang terkandung dalam acara tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Maulid Nabi SAW 2. Isra Mi’raj

3. Satu Muharram (Tahun Baru Islam) cara memperingatinya dengan cara para anak-anak dan masyaraka berkeliling kampung menggunakan Obor bersamaan hal itu anak-anak dan masyarakat membaca Sholwat kepada Nabi Muhammad SAW, setelah itu anak-anak dan masyarakat diberikan shiraman rohani atau ceramah tentang 1 Muharram.

4. Hari Raya Idul Fitri.

5. Hari Raya Idul Ad’ha.

6. Tasyakuran dan Aqiqah.

7. Tahlilan.

Selain memperingati kegiatan acara kebesaran umat Islam. Warga di Kampung Rawa Bebek juga sering melakukan salat berjamaah baik di musala maupun di masjid.

Di samping itu warga Kampung Rawa Bebek juga mengadakan pengajian majelis taklim baik di musala, masjid, dan rumah-rumah (arisan) pengajian ini mulai dari kalangan anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, serta lansia. Di kampung Rawa Bebek juga sering mengadakan tahlilan sebagai bentuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dan sebagai bentuk memperingati 3 hari setelah kematian, 7 hari setelah kematian, 14 hari setelah kematian, 40 hari setelah kematian sampai 100 hari setelah

(31)

kematian. Bahkan warga di Kampung Rawa Bebek pun juga sering mengadakan acara Haul untuk memperingati 1 tahun setelah kematian.15

Selain mengadakan tahlilan dan acara haul warga di Kampung Rawa Bebek ini juga sering mengadakan pengajian yang dilakukan di musala, khususnya pengajian harian, mingguan, dan setiap bulan ini dilakukan atau ditekankan untuk para bapak- bapak yang ada di Kampung Rawa Bebek, karena bapak-bapak adalah kepala keluarga, seorang kepala atau pemimpin tentunya akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya karena kepemimpinan ini juga sudah dijelaskan dalam sabda Rasulullah Saw. Pengajian harian ini membahas kajian seputar kitab-kitab seperti kitab Fiqih Wad’i, kitab Jawakhirul Bukhori, dan kitab Riyadus sholihin. Pengajian yang diadakan mingguan membahas tentang kitab Ihya Ulumuddin karangan Al-Imam Al- Ghazali. Sedangkan pengajian yang dilakukan setiap bulan membahas tentang ayat- ayat suci Al-Qur’an diselingi dengan beberapa Hadis.

Pengajian ibu-ibu juga memiliki kajian yang berbeda tentunya. Pengajian ibu-ibu ini lebih kepada membaca Surat Yasin, membaca kisah nabi (rawi), dan membaca tahlil tahmid lalu diakhiri dengan membaca selawat dan doa. Untuk pengajian di kalangan anak-anak biasanya seorang mu’alim (guru) mengajarkan dasar-dasar tentang keagamaan seperti mengajarkan tentangrukun iman, rukun islam, sifat wajib bagi Allah, doa-doa yang diterapkan dalam kegiatan sehari-hari, mengajarkan salat lima waktu, menghafalkan surat-surat pendek, serta mengajarkan baca tulis Al-Quran.

Pengajian di kalangan anak-anak ini biasanya dilakukan di rumah-rumah warga sekitar, musala, dan masjid. Pengajian untuk anak-anak biasanya dilakuan pada sore hari sampai waktu menjelang salat Isya, tentunya mereka juga ikut salat berjamaah.16

15 Wawancara dengan Sandi Setiadi, Bekasi, 03 Juni 2021.

16 Wawancara dengan Sandi Setiadi, Bekasi, 03 Juni 2021.

(32)

23 BAB III

BERAGAM UPACARA DAN TRADISI MENGHORMATI DAN MENGHATURKAN DOA SERTA SESAJEN PADA ARWAH LELUHUR DI

INDONESIA A. Upacara Menghormati Arwah Leluhur

a. Upacara Ngaben di Bali

Salah satu tradisi kepercayaan lokal Indonesia ialah Ngaben. Ngaben merupakan salah satu upacara besar dan sangat familiar di Bali. Salah satu rangkaian upacara pitra yadnyaini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal.

Dalam pengertian lain, Ngabenadalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai bentuk kewajiban umat Hindu Bali terhadap leluhurnya, yaitu dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan dari ajaran Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.1

Menurut Purwita, upacara ngabenadalah upacara penyucian roh fase pertama dan peleburan jenazah untuk dikembalikan ke panca maha butha. Pada upacara ini terjadi pemisahan purusadan prakerti orang yang diabenkan dan kembali ke asalnya masing-masing. Dari beberapa perkataan, ada yang mengatakan kata ngaben itu berasal dari kata abu, ngabehin, ngabahin (membekali). Masih menurut Purwita, kata ngaben berasal dari kata api. Kata api mendapat prefiks nasal “ng”

dan sufiks “an”sehingga menjadi “ngapian”, kata ngapian mengalami sendi peringkasan kata menjadi ngapen. Selanjutnya terjadi perubahan bunyi konsonan

“p” menjadi “b”, sehingga kata ngapen akhirnya berubah menjadi ngaben.2 Jadi, dengan demikian kata ngaben berarti “menuju api”. Dalam ajaran Hindu yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam mencipta. Api yang digunakan dalam upacara ada dua jenis yaitu api skala (kongkret) yaitu api yang berfungsi untuk membakar jasad

1 I Ketut Sudarsana, Ngabenwarga Dadya Arya Kubontubuh Tirtha Sari Desa Ulakan Karangasem Perspektif Pendidikan Agama Hindu, (Denpasar Bali: Jayapangus Press, 2018), h. 6.

2 Putu Purwita, Upacara Ngaben, (Denpasar: Upada Sastra, 1990), h. 4-6.

(33)

yang telah mati dan kedua api niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekat pada sang roh. Proses ini disebut “pralina”.3

Dalam sejarah-historisnya, praktik ngaben pertama kali di Bali tidak diketahui dan tidak ada dalam catatan historis secara menjamin kepastiannya.

Namun demikian, ada catatan mitologis tentang naga banda. Naga banda merupakan binatang mitologis yang dipandang akan mengawal arwah jenazah yang diaben sampai ke surga. Akan tetapi, naga banda ini hanya dipakai oleh keturunan Kerajaan Bali Kuno, yaitu keturunan dari Batu renggong yang berpusat di Klungkung, Bali. Walaupun seperti itu, pihak lain yang mendapatkan izin dari kerajaan ini juga dibolehkan untuk memakai naga banda dalam upacara ngaben.

Teknis pelaksanaan upacara ngaben di Bali, dalam konteks sejarahnya adalah merupakan sinkretisasi antara pengaruh Majapahit, mitologi India kuno serta kepercayaan-kepercayaan domestik. Di zaman kerajaan Majapahit dikenal dengan adanya upacara Srada, yang pelaksanaannya disebut dengan nyandran. Pada intinya, upacara ini merupakan sebuah penghormatan kepada pihak yang pantas dihormati. Pada masa pemerintahan Majapahit, ada peristiwa nyandran, yang dilakukan terhadap Raja Rajapatni Gayatri, neneknya Prabu Hayam Wuruk yang meninggal pada tanggl 4 bhadramasa 1272 atau tahun 1350 Masehi.

Menurut I Ketut Bangbang Gde Rawi, upacara sraddha adalah upacara keagamaan dengan maksud untuk menyempurnakan atman (roh) leluhur dengan cara mengendapkan atau mengheningkan atman leluhur agar secepatnya luluh menjadi satu dengan “Brahman Yang Maha Tunggal”. Dalam kontek upacara di Kerajaan Majapahit tersebut, upacara yang dilakukan terhadap Raja-raja Patni Gayatri, merupakan perintah yang dilakukan oleh Ibunda Raja Hayam Wuruk, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Oleh Mahapatih Gajah Mada disebutkan bahwa upacara tersebut harus segera dilaksanakan dan merupakan kewajiban yang tidak bisa

3 I Ketut Pasek Swastika, Upacara Mawinten (Bali: Kayumas Agung, 2009), h. 36.

(34)

ditinggalkan. Upacara inilah yang kemudian dilaksanakan, yang disebutkan dengan nama sraddha.4

Disebutkan juga bahwa pendeta Kerajaan Majapahit, yang disebut dengan purohita, membuat aturan-aturan jangka waktu bagi pelaksanaan upacara sraddha bagi jenazah yang telah meninggal. Bagi jenazah yang tidak langsung dikremasi, tetapi masih diditipkan di prativi (dikubur), maka wajib dilaksanakan upacara sraddha pada hari pertama, 3, 7, 40, 100, 1000, dan hari ke-3000. Setelah jenazah ditanam selama 1000 hari, maka tulang belulangnya dibongkar dan sisa rambut yang ada dibuatkan acara tertentu, lalu dibakar. Abu pada bagian kepala dipisahkan ditempatkan pada lokasi tersendiri dan kemudian disimpan di suatu tempat (biasanya di sanggar keluarga atau candi). Setelah itu sisanya dibuang ke laut.

Dengan demikian, unsur-unsur sarira yang berasal dari tanah, air, api, udara, dan angkasa telah kembali ke asalnya semula. Setelah itu setiap 35 hari sekali dilakukan upacara sraddha kepada leluhur dan diulang sampai 57 kali dan terus sampai sebanyak 85 kali. Setelah itu dianggap telah mengendap.5

Dalam pandangan Mantik, upacara yang dilakukan di zaman Kerajaan Majapahit inilah yang kemudian menjadi cikal bakal upacara ngaben atau kremasi yang ada di Bali, yang dikembangkan oleh para Brahmana. Jika dilihat dari pelaksanaan upacara ngaben yang sekarang dilangsungkan di Bali, ada beberapa unsur yang mirip dengan pelaksanaan upacara nyandran seperti yang pernah diselenggarakan pada zaman Kerajaan Majapahit itu. Misalnya, di Bali ada ketentuan waktu untuk melaksanakan upacara ngaben bagi jenazah yang masih dikubur. Pelaksanaan yang memakan waktu sampai berhari-hari, bahkan sampai sebulan, juga merupakan adaptasi dari jaman Kerajaan Majapahit tersebut. Filosofi yang memandang sraddha itu merupakan upaya menyatukan atman dengan Brahman, adalah sama dengan filosopi Pitra Yadnya di Bali, yakni bersatunya roh manusia dengan Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan Yang Maha Esa.

4 S Radhakrishnan, Upanisad Upanisad Utama, terjemahan dari The Principal Upanisads (Surabaya: Paramita 2008), h. 52.

5 S Radhakrishnan, Upanisad Upanisad Utama, terjemahan dari The Principal Upanisads, h. 52.

(35)

Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, upacara ngaben merupakan pelaksanaan pembayaran utang kepada leluhur. Dalam tradisi Hindu di Bali, dikenal adanya tiga utang, yang disebut dengan Tri Rna. Ketiga Rna tersebut adalah Dewa Rna, Pitra Rna, dan Rsi Rna.6 Masyarakat Hindu Bali memegang teguh tradisi yang sangat konsisten terhadap upacara ngaben. Tradisi tersebut pasti dilangsungkan oleh setiap keluarga Hindu sehingga secara tidak langsung berpengaruh secara turun- temurun tanpa berani melakukan perubahan secara radikal. Pelaksanaan upacara ngaben dipengaruhi oleh nilai dan norma-norma sosial yang berlangsung di kalangan umat Hindu di Bali. Disamping itu, ada lontar yang menyatakan bahwa upacara pengabenan wajib dilakukan oleh masyarakat Hindu. Sebab, jika hal itu tidak dilakukan dalam kurun waktu tertentu, akan membawa bencana bagi umat manusia dan tidak mendapat tempat yang layak. Lontar Tattwa Loka Kretti, Lampiran 5a, menyebutkan: Yan wang mati mapendhem ring prathiwi salawasnya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro-haro gering mrana ring rat, atemahan gadgad... Terjemahannya: Kalau orang mati ditanam pada tanah, selamanya tidak diupacarakan ngaben, sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit merana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)...7Kunang ikang sawa yan tan inupakara atmanya mandali neraka, mungguwing tegal panangsaran, mangebeki wadhuri ragas, katiksnan panesing surya, manangis angisek-isek, sumambe anak putunya, sang kari mahurip lingnya:

duh anakku bapa, tan hana matra wlas ta ring kawitanta, maweh bubur mwang we atahap, akeh mami madruwe, tan hana wawanku mati, kita juga mawisesa, anggen den abecik-becik, tan eling sira ring ram arena, kawitanta, weh tirtha pangentas, jah tasmat kita santananku, wastu kita amangguh alphayusa, mangkana temahing atma papa ring Santana.

Artinya: Adapun sawa yang tidak diupacarakan, atmanya akan berada di neraka, bertempat di tegal yang sangat panas, yang penuh dengan pohon medhuri

6 I Ketut Pasek Swastika, Upacara Mawinten (Bali : Kayumas Agung , 2009), h. 36.

7 I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben : Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama / I Nyoman Singgin Wikarman (Surabaya: Paramita, 2002), h. 25.

(36)

reges, terbakarnya oleh sengatan matahari, menangis tersedu-sedu, menyebut anak cucunya yang masih hidup, katanya O anakku, tidak sedikit belas kasihan kepada leluhurmu, memberikan bubur dan air seteguk, saya dulu punya tidak ada yang saya bawa, kamu juga menikmati, pakai baik-baik, tidak ingat sama ayah ibu, air tirtha pangentas, pemastuku, semoga kamu umur pendek, demikian kutukannya.8

b. Ritual Ullambana Umat Buddha

Ritual Ullambana dalam Budhha ialah manifestasi rasa hormatumat Buddha kepada leluhur mereka dan cinta kasihmereka kepada semua makhluk yang menderita di alam sengsara. Peringatan Ullambana pada tanggal15 bulan 7 penanggalan bulan, didasarkan pada kejadiaan saat Maudgalyayana (Mogallana), seorang pengikut Buddha, melalui kekuatan meditasinya menemukan bahwa ibunya dilahirkan kembali di alam sengsara. Karena sedih, ia meminta pertolonganBuddha yang memberinya nasihat-nasihat untuk membuat persembahan kepada Sangha, karena jasa kebajikan atas perbuatan itu dapat membebaskan penderitaan ibunya dan juga makhluk lain di alam sengsara. Membuat persembahan untuk membebaskan penderitaan manusia yang telah meninggal dan makhluk lain di alam sengsara menjadi perayaan umum yang terkenal. Ullambana diperingati dengan mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan Sangha, mengulang khotbah Dharma, dan melakukan perbuatan-perbuatan amal kebaikan. Jasa kebajikan dari perbuatan- perbuatan ini akan dilimpahkan kepada semua makhluk.9

Setiap Bulan Tujuh Penanggalan Lunar, penganut buddhis mazhab Mahayana selalu mengadakan upacara persembahan makanan bagi para leluhur yang telah meninggal yang dikenal dengan nama Ulambana atau Chao Du. Tradisi Ulambana ini memang hanya dikenal dalam mazhab Mahayana, dan tidak dikenal dalam Mazhab Theravada, karena timbulnya tradisi Ulambana ini didasarkan pada apa yang tertulis dalam Ulambana patra Sutra, khotbah Sang Buddha kepada Yang Arya Maha Maudgalyayana (Maha Mogallana), salah seorang siswa utama Sang

8 I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama / I Nyoman Singgin Wikarman (Surabaya: Paramita, 2002), h. 25-26

9 Khairiah, Agama Buddha, (Yogyakarta: Kalimedia, 2018), h. 93-94.

(37)

Buddha, mengenai apa yang dapat beliau lakukan untuk menolong ibundanya yang berada di alam setan kelaparan. Dalam Ulambana patra Sutra dikisahkan bahwa Maha Maudgalyayana dengan kekuatan mata-batinnya mampu melihat bahwa ibunya yang telah meninggal terlahir di alam setan kelaparan. Karena ibunya terlalu lama tidak dapat makan dan minum, maka tubuh ibunya tinggal tulang dan kulit yang kering. Melihat kondisi ibunya yang sedemikian buruk, Maha Maudgalyayana, dengan kekuatan gaibnya, mengirimkan semangkuk nasi kepada ibunya. Karena sangat lapar dan khawatir nasinya direbut setan-setan kelaparan yang lain, maka sang ibu setelah menerima nasi tersebut buru-buru menutupi mangkuknya dengan telapak tangan kirinya, dan dengan tangan kanannya ia mengambil segenggam nasi dan dimasukkan ke mulutnya. Tetapi alangkah malangnya, begitu nasi tersebut memasuki mulutnya, nasi tersebut berubah menjadi bara api sehingga sang ibu tidak bisa memakannya.10

Melihat situasi tersebut, Maha Maudgalyayana sebagai seorang anak yang sangat cinta kepada ibunya, menangis sejadi-jadinya. Dengan berduka dan putus asa, beliau pergi menemui Sang Buddha untuk meminta nasihat. Sang Buddha kemudian menerangkan kepada Maha Maudgalyayana bahwa karma buruk masa lalu dari ibunya adalah sedemikian berat dan dalam, sehingga kekuatan gaib Maha Maudgalyayana tidak akan bisa menolong ibunya, bahkan para dewa yang perkasapun juga tidak akan sanggup menolong. Satu-satunya jalan untuk menolong ibunya adalah dengan mengundang para anggota Sangha dari10 penjuru, melakukan kebaktian bersama, dan kemudian melakukan pelimpahan jasa untuk ibunya. Hanya dengan cara ini lah penderitaan ibunya akan dapat terlepas. Kemudian Sang Buddha juga memberikan petunjuk kepada Maha Maudgalyayana, bahwa setiap tanggal 15 bulan 7 menurut penanggalan Candrasangkala adalah Hari Pravarana Sangha. Pada saat itulah waktu yang terbaik untuk memberikan persembahan kepada para bhikshu dan bhikshuni dari 10 penjuru, dan pada saat itu pula lah mereka sering mengadakan perbincangan untuk pertobatan. Pada saat itu lah Maha Maudgalyayana bisa

10 Kshanti Paramita, Dharma Mangala,Buletin Maya Indonesia, vol. 1, no. 12(2004), h. 3- 4.

(38)

mengambil kesempatan untuk mengadakan upacara persembahan (dana) makanan kepada para orang suci, yakni upacara Ulambana. Dan fungsinya khusus untuk menyelamatkan orang tua si pemberi dana, baik orang tua yang masih hidup maupun yang telah meninggal atau yang sedang tertimpa malapetaka, juga untuk menyelamatkan arwah para leluhur yang hidup pada masa silam.11

c. Ritual Imlek Umat Konghucu

Perihal tahun baru atau hari raya Imlek ini, tentu kita juga ingin tahu asal mula hari raya tahun baru ini sehingga masih terjaga sampai sekarang. Menurut Tjoa Tjoe Kooan, bahwa pada zaman dahulu ketika langit dan bumi dibentangkan atau tercipta, orang yang pertama-tama ada di dunia ialah Poan Kow atau Hoen Toen.

Setelah Hoen Toen ini meninggal, ia diganti dengan Thian Hong, yaitu manusia yang pertama yang telah memulai untuk membikin nama-nama tahun. Thian Hong ini semasa hidupnya belum sempat mengatur tempatnya matahari, bulan, bintang dan membagi siang dan malam. Barulah setelah Hoen Toen wafat dan gantikan oleh Tee Hong pengaturan matahari, bulan, siang dan malam, dan setiap 30 hari dijadikan satu dapat dilaksanakan. setelah Tee Hong wafat, ia digantikan oleh Djin Hong.12

Setelah Hong meninggal ia digantikan oleh Yoe Tjauw, pada masa hidup Yo Tjauw bisa dibilang bahwa manusia masih hidup dengan sederhana, di mana mereka rata-rata tinggal di lubang-lubang yang hidup berbaur dengan binatang liar, sehingga mereka banyak yang mengalami kecelakan atau tewas akibat dimangsa binatang liar tersebut. Melihat situasi seperti itu yang banyak membahayakan jiwa manusia, oleh sebab itu Yoe Tjauw mulai memikirkan bagaimana supaya dapat menyelamatkan manusia dari santapan binatang. Salah satu caranya, mereka mulai membuat saung-saung, dan balai-balai peristirahatan di atas pohon, untuk tempat tinggal manusia. Selain belum mengenal tempat tinggal yang berbentuk rumah, pada masa itu juga belum memahami hal mengenai bagaimana menanam padi atau bersawah. Untuk keperluan makan sehari-hari mereka memakan rumput-rumput

11 Kshanti Paramita, Dharma Mangala,Buletin Maya Indonesia, vol. 1, no. 12 (2004), h. 4.

12 M Ikhsan Tanggok, “Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia,” Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol. 1, no 1 (2015), h. 42.

Gambar

Foto Peta Wilayah yang di ambil dari Kelurhan Kota Baru Bekasi Barat
Foto Bersama Ibu latifah Sebagai Narasumber pada tanggal 07
Foto Bersama Bapak Sekertari Kelurahan Kota Baru.
Foto Bersama Mohammad Roby sebagai Masyarakat asli Rawa Bebek pada tanggal  07 Juni 2021
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang MAKNA DAN FUNGSI SIMBOLIS DALAM TRADISI MANGURE LAWIK MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA: KAJIAN

Makna Simbolik Arsitektur Gereja Santo Cornelius Kelurahan Pangongangan Kecamatan Manguharjo Kota Madiun Jawa Timur.. Annisa Tri Rahmawati dan

MAKNA TRADISI “DEKAHAN” BAGI MASYARAKAT DESA PAKEL (Studi Fenomenologi Tentang Alasan Masyarakat Melestarikan Tradisi Dekahan Dan Perilaku Sosial Yang Ada Didalamnya Pada

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi yang berkembang di masyarakat Kelurahan Kertasari Kecamatan Pebayuran Kabupaten Bekasi adalah mereka menuntut Talitian

Skripsiyang berjudul “Pergeseran Tradisi Masak-masak Dalam Kegiatan Hajatan di Masyarakat Tangga Buntung Kelurahan 35 Ilir Kecamatan Ilir Barat II Kota

Sehingga Kota Bekasi terdiri atas 10 kecamatan dan berdasarkan Perda Kota Bekasi Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Penetapan Kelurahan, maka seluruh desa yang ada di Kota Bekasi berubah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana prosesi upacara tradisi wiwit padi di desa Silendung Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo, makna simbolik sesaji dalam

Simbol-simbol yang menunjukkan adanya interaksi, mendukung bahwa teori ini sangat cocok dengan penelitian tentang partisipasi dan makna prosesi Tradisi Nyadran karena pada setiap