• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagian besar responden (69%) termasuk ke dalam kategori usia dewasa yaitu 30-49 tahun. Hampir semua responden (90%) berpendidikan rendah yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, dan hanya tamat SD. Sebagian kecil sudah tamat SMP dan SMA, namun belum ada yang sekolah hingga Perguruan Tinggi. Sebanyak 52 persen nelayan sudah memiliki pengalaman sebagai nelayan lebih dari 20 tahun.

Jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan mayoritas adalah alat tangkap pancing (75%), dan selebihnya adalah jaring (23%), purshane (1%), dan alat tangkap payang (1%). Kekuatan kapal yang digunakan bervariasi mulai dari 4-28 PK. Sebagian besar kepemilikan perahu nelayan adalah milik sendiri sebanyak 72 persen dan sebagian kecil yaitu 27 persen milik juragan dan 1 persen adalah milik kelompok. Sebagian besar (54%) responden berstatus sebagai juragan darat-laut, dimana pemilik kapal sekaligus berfungsi sebagai nahkoda. Sebanyak 31 persen adalah juragan laut yaitu nelayan yang berfungsi sebagai nahkoda tetapi bukan merupakan pemilik kapal. Hampir semua responden yaitu sebanyak 96 persen menjadikan usaha penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama, dan sisanya sebagai pekerjaan sambilan. Penggunaan alat bantu penangkapan ikan baru hanya dimiliki oleh sebagian kecil nelayan yaitu sebanyak 21 persen. Jenis alat bantu penangkapan yang digunakan oleh nelayan adalah GPS dan sounder (fish finder), untuk membantu mengetahui posisi berkumpulnya ikan di laut.

27

Tabel 3 Jumlah responden menurut umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman nelayan di Desa Muara Tahun 2014

No. Kategori Keterangan Jumlah

n % A. Umur (tahun) 1. Muda 18-29 tahun 11 11 2. Sedang 30-49 tahun 69 69 3. Tua > 50 tahun 20 20 B. Tingkat pendidikan

1. Rendah Tidak sekolah, tidak tamat

SD, dan tamat SD 90 90

2. Sedang Tamat SMP dan Tamat SMA 10 10

3. Tinggi Perguruan Tinggi 0 0

C. Pengalaman (tahun)

1. Baru <5 tahun 2 2

2. Sedang 5-20 tahun 46 46

3. Lama >20 tahun 52 52

Berdasarkan data dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Samudra Mina, Desa Muara Kecamatan Cilamaya Wetan Karawang, diketahui bahwa jumlah perahu nelayan sekitar 124 perahu dimana setiap perahu dimiliki oleh warga Desa Muara. Adapun jumlah anak buah kapal (ABK/pandega) untuk setiap perahu bervariasi, yaitu mulai dari 1 hingga 12 ABK/pandega.

Daerah penangkapan ikan yang dituju oleh nelayan adalah perairan Karawang, Subang, maupun Indramayu yang masih termasuk ke dalam perairan Laut Jawa. Umumnya lokasi yang dituju oleh nelayan adalah daerah-daerah karang maupun daerah anjungan operasi migas. Daerah karang yang sering didatangi oleh nelayan disebut dengan nama Karang Bui dan Karang Baruan, serta perairan di sekitar Pulau Biawak. Sementara daerah sekitar anjungan operasi Migas yang sering didatangi oleh nelayan adalah Anjungan Migas Eko, Bravo, Foxtrot, Johnson, Arco Ardjuna, Kilo, dan lain-lain. Adapun alasan nelayan memilih lokasi penangkapan ikan di area sekitar karang-karang, anjungan migas dan Pulau Biawak adalah disebabkan di daerah tersebut banyak terdapat ikan. Umumnya, lama waktu penangkapan ikan di laut adalah 4-5 hari dan kadang- kadang lebih dari 4-5 hari untuk nelayan yang menggunakan alat pancing. Biaya operasional harian bervariasi tergantung lokasi tujuan daerah penangkapan ikan dan jumlah anak buah kapal. Sementara itu, nelayan yang hanya menggunakan alat tangkap jaring adalah nelayan harian (tidak menginap di laut). Biasanya nelayan jaring berangkat pagi hari dan kembali siang atau sore hari. Hasil tangkapan nelayan dijual di juragan/boss atau TPI Samudra Mina, Desa Muara Kecamatan Cilamaya Wetan Karawang dengan sistem lelang. TPI biasanya mengadakan lelang setiap hari mulai pagi sekitar pukul 09.00 pagi hingga siang pukul 14.00 siang. Namun demikian, lelang yang diadakan sangat tergantung pada ada tidaknya ikan yang dihasilkan dari laut. Jika cuaca buruk, biasanya nelayan tidak berangkat ke laut sehingga otomatis tidak dilakukan lelang di TPI.

28

Gambar 9. Dokumentasi nelayan di Desa Muara

Sebagian besar nelayan Desa Muara merupakan nelayan yang secara ekonomi bergantung kepada juragan-juragan atau dipanggil dengan sebutan boss oleh para nelayan. Hubungan antara nelayan dan juragan (boss) saling menguntungkan secara ekonomi, dimana boss berperan sebagai patron dan nelayan berperan sebagai klien. Hubungan patron-klien ini masih sangat kental ditemui di Desa Muara, sama halnya dengan daerah-daerah pesisir lainnya di sekitarnya. Juragan (boss) merupakan pemilik modal yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh para nelayan, agar kegiatan penangkapan ikan dapat berjalan seperti yang diharapkan. Modal yang diberikan oleh boss kepada nelayan sesuai dengan kebutuhan nelayan, seperti modal untuk pembuatan perahu, perbekalan melaut, alat tangkap, dan modal untuk pembelian mesin. Dengan adanya bantuan modal tersebut, maka terdapat ikatan hutang piutang di antara patron dan klien, dimana nelayan sebagai klien berkewajiban membayar hutangnya kepada nelayan. Adapun cara nelayan membayar hutangnya kepada juragan (boss) adalah dengan cara mencicil hutang dari hasil penjualan ikan yang dijual kepada boss (juragan). Nelayan tidak berhak menentukan harga jual ikan yang dijual kepada boss. Harga ikan sepenuhnya ditentukan oleh boss atau dengan kata lain, penentuan harga jual ikan hanya sepihak. Nelayan yang berhutang kepada boss tertentu tidak diperbolehkan menjual ikan hasil tangkapan kepada juragan lain atau ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI), selama hutang nelayan kepada boss tersebut belum dilunasi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas TPI, terdapat 4 juragan (boss) di Desa Muara yaitu juragan Edi, Oji, Hartono, dan Soraya. Sebagian besar nelayan Desa Muara sangat bergantung kepada para boss tersebut, khususnya nelayan-nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing dan jaring ikan. Sementara sebagian kecil nelayan lainnya yaitu nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring udang tidak bergantung kepada juragan, tetapi menjual hasil tangkapan ke TPI. Selain di Desa Muara, terdapat juga juragan (boss) di Desa Cilamaya Girang Subang yaitu desa yang berada bersebelahan dengan Desa Muara. Nelayan dari Desa Muara tidak hanya bergantung kepada boss di Desa Muara, tetapi beberapa nelayan Desa Muara juga bergantung secara ekonomi kepada boss dari Desa Cilamaya Girang.

Alasan nelayan yang lebih memilih bergantung secara ekonomi kepada juragan (boss) dibanding kepada TPI adalah adanya keterbatasan modal yang mereka miliki sehingga mau tidak mau nelayan harus meminta pinjaman kepada pemilik modal. Menurut nelayan, mereka dapat meminjam modal dengan mudah kepada boss dalam jumlah yang besar yaitu sampai ratusan juta rupiah tanpa memerlukan jaminan. Hubungan patron-klien tersebut terjalin, semata-mata hanya

29

berlandaskan kepercayaan satu sama lain. Sementara itu, jika nelayan ingin meminjam modal ke koperasi di TPI akan lebih sulit persyaratannya dan hanya dapat meminjam dalam jumlah kecil saja yaitu hanya ratusan ribu rupiah. Dengan kata lain, Koperasi Unit Desa (KUD) di TPI Desa Muara belum mampu memenuhi kebutuhan nelayan untuk usaha penangkapan ikan. Alasan tersebutlah yang membuat nelayan lebih suka menggantungkan hidupnya secara ekonomi kepada para boss daripada kepada TPI, walaupun harus membayar hutang kepada boss selama bertahun-tahun bahkan hingga puluhan tahun.

Hubungan patron-klien atau antara juragan (boss) dengan nelayan tersebut merupakan hubungan yang mengikat secara ekonomi dan sosial. Hubungan patron-klien ini sudah berlangsung sekitar 5 tahun, dimana awalnya hanya sebagian kecil nelayan yang berhutang kepada boss. Namun lama kelamaan, sebagian besar nelayan sudah menjalin hubungan dengan boss untuk memenuhi kebutuhan permodalan nelayan. Berbeda halnya dengan hubungan antar nelayan dalam kelompok-kelompok nelayan di Desa Muara. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas TPI, sebelumnya terdapat sebanyak 8 kelompok nelayan di Desa Muara dimana masing-masing kelompok terdiri dari sekitar 20 anggota kelompok. Kelompok-kelompok nelayan tersebut merupakan anggota TPI yang melakukan pelelangan ikan di TPI Desa Muara. Keberadaan kelompok nelayan ini tidak begitu mengikat karena kelompok nelayan tersebut hanya sebagai wadah dalam melakukan koordinasi maupun wadah untuk penyaluran bantuan dari pemerintah daerah. Namun demikian, dengan semakin masifnya upaya para boss dalam menawarkan pinjaman permodalan kepada para nelayan, keberadaan kelompok- kelompok nelayanpun sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Para anggota kelompok nelayan sudah banyak yang lebih suka mengikatkan diri kepada para boss demi untuk keberlangsungan usaha penangkapan ikan para nelayan.

Hubungan antara nelayan dengan juragan (boss) akan terus menerus berlangsung tanpa ada batas waktunya, kecuali ada niat dari nelayan untuk memutuskan hubungan dengan boss dengan cara melunasi seluruh hutang-hutang nelayan kepada boss. Cara lainnya adalah jika ada bantuan pihak ketiga seperti upaya pemerintah setempat untuk memutuskan hubungan patron-klien tersebut, dengan cara melunasi hutang-hutang nelayan kepada juragan, kemudian menyediakan bantuan permodalan kepada nelayan. Namun, berdasarkan pengalaman nelayan selama ini, upaya pihak ketiga tersebut belum terlihat hingga penelitian dilakukan. Dengan demikian, hubungan patron-klien masih merupakan hubungan yang paling mengikat di antara nelayan baik secara ekonomi maupun secara sosial di Desa Muara. Hubungan tersebut menyebabkan perekonomian nelayan tetap berjalan dengan adanya penyediaan permodalan oleh boss dan keberlangsungan hidup nelayan juga terjamin dengan adanya fungsi perlindungan dari boss, misalnya pada saat cuaca buruk dimana nelayan tidak dapat melaut maka boss akan bersedia menjamin kebutuhan-kebutuhan nelayan pada saat musim paceklik. Nelayan dan boss secara sosial saling mengenal satu sama lain, bahkan lama kelamaan akan terbina ikatan persaudaraan karena interaksi diantara nelayan dan boss yang terus menerus terjalin. Adanya rasa kekeluargaan tersebut terkadang dapat menyebabkan nelayan enggan memutuskan ikatan dengan juragannya.

Salah satu hal penting dalam menjalankan usaha penangkapan ikan adalah teknologi penangkapan, baik dalam bentuk alat tangkap maupun alat bantu

30

penangkapan seperti perahu, fish finder, maupun GPS. Jenis alat tangkap yang digunakan sangat menentukan jenis ikan yang ditangkap dan posisi keberadaan ikan yang dituju oleh nelayan. Ukuran perahu yang digunakan juga dapat menentukan apakah nelayan termasuk kategori nelayan kecil, nelayan sedang, atau nelayan besar. Berdasarkan Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 Gross Tonnage (GT). Sebagian besar nelayan Desa Muara termasuk dalam kategori nelayan kecil yaitu sebanyak 51 persen dimana kapasitas perahu 0-5 GT, dan sebagian kecil termasuk nelayan sedang dan nelayan besar. Nelayan sedang dengan kapasitas perahu 5 – 10 GT sebanyak 37 persen dan nelayan besar dengan kapasitas perahu sebanyak 12 persen.

Jika dilihat dari tehnologi penangkapan ikan yang digunakan, nelayan Desa Muara masih tergolong miskin. Sebagian besar kapasitas perahu yang dimiliki nelayan adalah 0-5 GT, dimana mayoritas merupakan nelayan kecil. Penggunaan fish finder maupun GPS masih minim yaitu sebanyak 21persen dan kekuatan mesin juga masih tergolong kecil yaitu sebanyak 97 persen nelayan masih menggunakan mesin 4-28 PK. Kapasitas perahu nelayan sangat menentukan jumlah tangkapan nelayan yang berimplikasi pada besar kecilnya pendapatan nelayan. Penggunaan fish finder dan GPS dapat membantu nelayan dalam mengetahui posisi ikan sehingga memudahkan dalam melakukan penangkapan ikan. Kekuatan mesin diperlukan untuk menjangkau area tangkapan yang lebih jauh, karena kondisi sumberdaya ikan yang bersifat dinamis sehingga kemampuan mesin yang besar dapat membantu meningkatkan hasil tangkapan ikan. Kemampuan mesin perahu nelayan Desa Muara hanya dapat menjangkau area perairan Karawang, Subang, dan sekitarnya. Nelayan belum dapat menjangkau perairan yang lebih jauh hingga ke luar perairan Pantai Utara disebabkan keterbatasan jangkauan kapal.

Kemiskinan nelayan Desa Muara diperkuat lagi oleh adanya ketergantungan nelayan kepada juragan atau boss dalam memenuhi kebutuhan tehnologi penangkapan ikan yang diperlukan. Boleh dikatakan bahwa nelayan belum dapat mandiri atau memenuhi kebutuhan permodalan sendiri untuk usaha penangkapan ikan. Nelayan masih terus mengandalkan pinjaman modal dari juragan atau boss untuk membeli perahu, mesin, alat tangkap, dan bahkan berhutang untuk biaya perbekalan (bahan bakar dan makanan selama melaut) dikarenakan nelayan masih miskin. Hal tersebut berdampak pada pendapatan nelayan yang akan tetap rendah karena harga ikan ditentukan secara sepihak oleh juragan dan nelayan harus membayar hutangnya terus menerus kepada juragan dalam jangka waktu yang cukup lama. Keterikatan hutang piutang antara nelayan dan juragan membuat nelayan tidak akan pernah dapat menyisihkan uangnya untuk membeli alat tangkap dengan tingkat eksploitasi yang lebih tinggi, membeli perahu dan mesin yang jangkauannya lebih jauh lagi dari perairan Pantai Utara, dan juga tidak dapat membeli alat bantu penangkapan seperi GPS maupun fish finder. Dengan kata lain, nelayan akan sulit untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri.

Apabila dilihat dari tingkat pendapatan nelayan, rata-rata pendapatan nelayan setiap bulannya sekitar Rp 2.000.000, yang masih jauh berada di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Karawang yaitu sebesar Rp 3.330.00 pada

31

Tahun 2016. Mayoritas tingkat pendapatan nelayan tergolong rendah yaitu sebanyak 86 persen, tergolong sedang sebanyak 11 persen, dan pendapatan tinggi sebanyak 3 persen. Rata-rata tingkat pendapatan nelayan kelas bawah adalah < Rp 3 juta, kelas menengah Rp 3-7 juta, dan kelas atas Rp >7 juta. Kondisi tingkat pendapatan nelayan tersebut menggambarkan kondisi kemiskinan nelayan Desa Muara, dimana keadaan tersebut dapat menjadi pemicu setiap keputusan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan di laut.

Dokumen terkait