Masyarakat Lampung diklasifikasikan menjadi dua kelompok masyarakat – berdasarkan kesukuan dan etnisitas – yaitu masyarakat Lampung Pepadun dan Saibatin. Semboyan Provinsi Lampung (terdapat pada logo Provinsi Lampung) yang berbunyi “Sang Bumi Ruwa Jurai” merupakan arti dari dua kelompok masyarakat Lampung, yaitu satu bumi Lampung atau satu wilayah Lampung –“Sang Bumi” – yang di dalamnya didiami oleh dua kelompok masyarakat atau suku – “Ruwa Jurai” – yaitu Pepadun dan Saibatin. Masyarakat Lampung Pepadun biasa disebut atau dikenal sebagai masyarakat pedalaman atau daratan. Mereka yang masuk dalam kategori masyarakat Lampung Pepadun adalah Masyarakat Abung (daerah Abung), Masyarakat Tulang Bawang (daerah Tulang Bawang), Masyarakat Pubian Telu Suku (daerah Pubian), dan masyarakat Sungkay-Way Kanan (daerah Sungkay-Way Kanan). Berbeda dengan masyarakat Pepadun, masyarakat Lampung Saibatin biasa disebut atau dikenal sebagai masyarakat pesisir, karena berdomisili di pesisir pantai timur, selatan dan barat Lampung. Masyarakat Saibatin ini terdiri dari Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat), Keratuan Melinting (Lampung Timur), Keratuan Darah Putih (Lampung Selatan), Keratuan Semangka (Tanggamus), Keratuan Komering (Provinsi Sumatera Selatan), dan Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten).
Gambar 74. Logo Provinsi Lampung
Berdasarkan sejarah atau asal-usul leluhurnya, masyarakat Lampung (ulun Lampung (Bahasa Lampung): orang Lampung) berasal dari Sekala Brak yang terletak di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. I Tsing (Fa-Hien), pengelana asal Tiongkok, pernah singgah ke daerah ini setelah mengunjungi Kerajaan Sriwijaya, di mana ia menyebutkan daerah ini “To-Lang P‟o-Hwang” atau “To-Langpohwang”. Arti lain (serupa) kata ini, selain yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya, adalah orang (To) atas (Langpohwang). Kata “atas” yang dimaksudkan adalah lokasi Sekala Brak yang terletak di dataran tinggi Sekala Brak, di mana merupakan daerah (puncak) tertinggi di tanah (daerah) Lampung. Kemudian, kata “Langpohwang” ini berkembang menjadi (cikal-bakal) nama atau sebutan kata “Lampung” yang menunjukkan tempat (wilayah) Lampung. Pada mulanya negeri Sekala Brak ini merupakan penganut dinamisme yang berasal dari pengaruh ajaran Hindu Bairawa. Lambat laun pengaruh Hindu mulai hilang setelah mendapat pengaruh Islam dari empat orang penyiar agama Islam yang berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat. Pengaruh Islam semakin berkembang pesat dalam masyarakat Lampung terutama setelah Banten menguasai Lampung.
Masyarakat Lampung memiliki landasan atau falsafah hidup menjadi akar dari nilai-nilai budayanya seperti yang termuat dalam kitab
Kuntara Raja (Khaja277) Niti. Kelima falsafah hidup tersebut adalah:
277
Khaja = Raja. “Khaja” adalah ucapan dalam dialek Lampung. Huruf “r” dibaca “kh”
1. Piil-Pusanggiri (Piil-Pasenggiri): perilaku bermoral berlandaskan agama, sikap hidup, dan harga diri. Arti: malu melakukan perbuatan dan pekerjaan yang hina berdasarkan agama, dan memiliki harga tinggi (bermartabat).
2. Juluk-Adok (Berjuluk-Beadek): berkepribadian, bernama, bergelar, dan saling menghormati serta menghargai. Arti: memiliki kepribadian yang sesuai dengan gelar adat yang disandang.
3. Nemui-Nyimah: terbuka tangan, murah hati, dan ramah pada sesama. Arti: saling mengunjungi kerabat, saudara, dan teman guna membangun silahturahmi, serta ramah menerima tamu. 4. Nengah-Nyampur (Nengah-Nyappur): hidup bermasyarakat (bersosialisasi dengan masyarakat), dan membuka diri dalam pergaulan. Arti: berpartisipasi aktif dalam hidup (pergaulan) bermasyarakat dan tidak individualistis.
5. Sakai-Sambayan: gotong royong dan tolong menolong. Arti: gotong royong dan saling membantu dengan sesama anggota masyarakat lain.
Selain kelima falsafah hidup tersebut, masyarakat Lampung juga memiliki tujuh pedoman hidup yang menjadi pegangan hidup mereka, yaitu:
1. Berani menghadapi tantangan: mak nyekhai ki mak kakhai, mak nyedokh ki mak badokh.
2. Berpendirian teguh (tidak ikut arus): khatong banjikh mak kisikh, khatong bakhak mak kikhak.
3. Tekun meraih cita-cita (tidak mudah putus asa): asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jekha tilah ya kelai.
4. Memahami (menerima) perbedaan pendapat (kehendak): pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih.
5. Hasil yang diperoleh ditentukan berdasarkan kerja keras yang telah dilakukan: wat pandah wat padah, khepa ulah khiya ulih.
6. Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang dang nyapang, makhi pekon mak khanggang, dan pungah dan lucah, makhi pekon mak belah.
7. Arif dan bijaksana memecahkan masalah: wayni dang khubok, iwani dapok.
Keterbukaan masyarakat Lampung dalam menerima pendatang sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh falsafah dan pegangan hidup mereka. Meskipun, keterbukaan masyarakat Lampung terhadap para pendatang pada akhirnya mengecilkan pengaruh mereka di pentas percaturan politik lokal, khususnya di masa Orde Baru. Saat ini jumlah mereka menjadi minoritas di tanah kelahirannya sendiri, dan harus berjuang mempertahankan identitas dan kebudayaannya yang mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Dalam beberapa kasus kecil, terjadi gesekan antara masyarakat Lampung (penduduk lokal) dengan pendatang karena tergesernya peran mereka secara ekonomi oleh pendatang yang lebih agresif dalam melakukan aktifitas perekonomian.
Di bidang kebahasaan dan kesusastraan, masyarakat Lampung memiliki bahasa dan aksaranya sendiri, yaitu Bahasa dan Akasara Lampung. Bahasa Lampung merupakan bahasa yang digunakan oleh Ulun Lampung di Propinsi Lampung, wilayah selatan Sumatera Selatan (perbatasan Propinsi Lampung dan Sumatera Selatan), dan pantai barat Banten. Bila diklasifikasikan, Bahasa Lampung terdiri dari dua sub-dialek, yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api (“A”) dan Dialek Abung atau Dialek Nyow (“Nyo”). Untuk Dialek Api banyak digunakan oleh masyarakat Lampung Saibatin dan beberapa masyarakat Lampung Pepadun, sedangkan Dialek Nyow digunakan oleh masyarakat Lampung Pepadun278. Aksara Lampung sendiri – biasa disebut Had Lampung – merupakan bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India
278
Masyarakat Lampung Saibatin yang menggunakan Dialek Api adalah Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Teluk Betung, Semangka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya; sedangkan masyarakat Lampung Pepadun yang menggunakan Dialek Api adalah Way Kanan, Sungkai, dan Pubian. Penggunaan Dialek Nyow oleh masyarakat Lampung Pepadun terdapat pada masyarakat (ulun) Abung dan Tulang Bawang.
Selatan dan Huruf Arab. Aksara Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan konsonan, lambing, angka dan tanda baca. Istilah yang sering digunakan untuk menyebut Aksara Lampung adalah “Ka-Ga-Nga” yang merupakan tiga huruf induk yang pertama berdasarkan urutannya. Huruf induk berjumlah 20 buah, dan pembacaannya dari kiri ke kanan (sama seperti pembacaan dalam Bahasa Indonesia). Seiring dengan perkembangan zaman penggunaan Bahasa Lampung di kalangan masyarakat Lampung yang majemuk semakin tertinggal – meskipun upaya pelestarian Bahasa Lampung (bahasa dan aksara) telah dilakukan dibangku pendidikan SD dan SLTP sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum muatan lokal. Masyarakat Lampung lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam interaksi dengan kelompok masyarakat lain. Dalam masyarakat Lampung sendiri terdapat beberapa bahasa yang digunakan di dalam komunitas etniknya, yaitu Bahasa Lampung, Sunda, Batak, Jawa, Bali, Melayu, Mandarin (Hokkian dan Khek), dan lain-lain. Dalam kasus penggunaan bahasa di Lampung, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang netral, karena melalui Bahasa Indonesia interaksi dan komunikasi antara etnik dapat berjalan dengan lancar.
Di bidang kesenian masyarakat Lampung memiliki kesenian yang beragam, khususnya yang terkenal adalah seni tari dan kain tenun yang biasa disebut kain “Tapis” Lampung. Jenis tarian yang sering diperagakan di antaranya adalah Takarot Kataki atau Lalayang Kasiwan – biasa digunakan saat upacara kerajaan – dan Tari Tanggai. Ciri khas dari tarian ini adalah penarinya yang merupakan gadis-gadis Lampung (Muli Meghanai). Kain Tapis sendiri dalam perkembangannya dulu merupakan kain memiliki nilai-nilai sakral dan keagungan yang hanya digunakan oleh kalangan bangsawan dalam upacara-upacara adat tertentu. Saat ini Kain Tapis sudah dapat digunakan dan dimiliki oleh khalayak dan sudah diproduksi dalam jumlah besar sehingga tidak sulit untuk mendapatkannya. Seperti kain batik, Tapis pun dijadikan sebagai salah satu suvenir atau kenang-kenangan bagi turis yang berwisata ke Lampung.