• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa

Desa Bansari terletak di Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah dengan luas wilayah 302.4 Ha. Desa Bansari memiliki sembilan dusun (Dusun Sawit, Dusun Tambahrejo, Dusun Srimulyo, Dusun Tegalsari, Dusun Banaran, Dusun Bangunsari, Dusun Pringapus, dan Dusun Malatan) dengan 10 Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Letak desa ini berada di lereng Gunung Sindoro sebelah timur dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut (dpl). Batas-batas wilayah Desa Bansari adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Candisari 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gentingsari

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mranggen Tengah 4. Sebelah Barat berbatasan dengan tanah Perhutani

Lahan seluas 302.4 Ha ini dibagi menjadi beberapa bagian penggunaan lahan seperti pada Tabel 3.

Tabel 2 Penggunaan lahan Desa Bansari

No Penggunaan lahan Luas lahan (Ha) Persentase (%)

1 Pemukiman 30.50 10.08

2 Bangunan fisik 0.06 0.01

3 Tanah sawah 24.50 8.10

4 Tanah tegalan 247.40 81.81

Total 302.40 100

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

Berdasarkan data pada Tabel 2, mayoritas tanah Desa Bansari, yang terdiri dari sekitar 8% tanah sawah dan sekitar 82% tanah tegalan, digunakan sebagai lahan pertanian. Lokasi desa ini cukup dekat dengan lereng Gunung Sindoro, karena itu sebagian besar tanahnya adalah tanah tegalan. Tekstur tanah ini cenderung lebih kering dibandingkan dengan tanah sawah karena lokasinya yang berada di lereng atas Gunung Sindoro. Sedangkan, tanah sawah berada di bawah lereng Gunung Sindoro atau di sekitar pemukiman penduduk. Saat masa tanam tembakau tiba, maka semua tanah sawah dan tegalan hanya menanam tembakau. Periode tanam hingga panen tembakau dimulai pada bulan Mei sampai dengan September. Jika periode tanam tembakau selesai, maka tanah sawah Desa Bansari biasa ditanami tanaman pokok seperti padi, jagung, kacang panjang, dan kol putih. Sedangkan pada tanah tegalan hanya akan ditanami cabai merah dan bawang merah. Periode tanam ini berlangsung pada bulan Oktober hingga Maret.

Sarana dan prasarana umum yang terdapat di Desa Bansari meliputi sarana pemerintahan, sekolah, pemukiman, dan tempat peribadatan. Sebagian besar masyarakat Desa Bansari sudah memiliki bangunan rumah atau pemukiman yang sangat layak huni dan permanen. Alat transportasi yang digunakan oleh masyarakat sekitar antara lain kendaraan bermotor roda dua, motor roda empat (mobil), dan pick-up terbuka. Prasarana transportasi darat seperti jalan raya pun sudah cukup baik dengan jalan-jalan yang menghubungkan antar dusun di Desa Bansari. Sarana lain yang terdapat di Desa Bansari meliputi 1 buah kantor desa, 1

18

buah balai pertemuan, 1 buah kantor LPMD, 1 buah kantor PKK, 2 buah gedung kesenian dan 4 gardu pos kamling. Sarana pendidikan terdapat 1 buah Taman Kanak-kanak (TK), dan 2 buah Sekolah Dasar (SD). Sarana kesehatan desa terdapat 1 buah posyandu, dan 1 buah puskesmas. Sementara itu, untuk sarana peribadatan di Desa Bansari terdapat 7 buah masjid, 6 buah mushola, dan 1 buah gereja.

Kependudukan Desa Bansari

Jumlah penduduk Desa Bansari pada tahun 2012 sebanyak 4 888 jiwa dengan rincian berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 2 490 jiwa dan perempuan sebanyak 2 398 jiwa. Berdasarkan kepercayaan, sebagian besar penduduk beragama Islam dengan jumlah 4 525 jiwa, Kristen sebanyak 361 jiwa, dan Budha sebanyak 2 jiwa.

Tabel 3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012 No Kelompok umur (tahun) Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) 1 00 – 09 245 237 482 2 10 – 19 432 421 453 3 20 – 29 591 563 1154 4 30 – 39 572 558 1130 5 40 – 49 317 304 621 6 50 – 59 254 248 502 7 >60 79 67 146 Total 2 490 2 398 4 888

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

Data pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada kisaran usia 20-39 tahun dengan jumlah total 2 284 jiwa jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia lainnya. Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Kepala Desa Bansari, penduduk dengan usia 30-50 tahun adalah pekerja aktif. Tetapi sebagian besar petani tembakau berada pada kisaran usia 40-60 tahun. Sedangkan kisaran usia yang lain masih berada dalam jenjang pendidikan SD hingga SLTA dan pensiunan. Kependudukan Desa Bansari berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012 No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Universitas/Akademi 110 2.30 2 SLTA/Sederajat 702 14.30 3 SLTP/Sederajat 927 19.00 4 Sekolah Dasar (SD) 2 491 51.00 5 Belum Tamat SD 558 11.40 6 Tidak Sekolah 100 2.00 Total 4 888 100

19

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Desa Bansari belum memenuhi program wajib belajar 9 tahun karena sebanyak 2 491 penduduk desa hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Penduduk lebih memilih bekerja sebagai petani tembakau jika dibandingkan harus menyelesaikan jenjang pendidikannya. Keadaan ini dipengaruhi oleh tidak adanya sarana pendidikan lanjutan dan lokasi sekolah yang jauh dari desa. Warga yang tergolong dalam kategori ini berada pada kisaran usia 40-59 tahun. Pekerjaan yang ditekuni masyarakat Desa Bansari cukup beragam dengan pembagian jenis mata pencaharian seperti pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian

No Mata pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Petani 720 41.9 2 Buruh tani 874 51.0 3 Buruh bangunan 51 2.9 4 Pedagang 45 2.6 5 Jasa angkutan 15 0.8 6 PNS 11 0.6 7 Pensiunan 4 0.2 Total 1 720 100

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

Berdasarkan data pada Tabel 5, jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh tani lebih banyak dibandingkan penduduk yang bekerja sebagai petani. Sebagian besar petani Desa Bansari biasanya sudah memiliki lahan sawah sendiri yang dikelola secara mandiri dengan melibatkan beberapa buruh tani. Pekerjaan sebagai petani atau buruh tani bukanlah satu individu petani yang mewakili dalam satu keluarga, melainkan dalam satu keluarga bisa saja terdapat tiga atau lebih individu yang berprofesi sama. Menurut keterangan kepala desa setempat, keadaan ini menyebabkan tidak dapat dipastikannya jumlah keluarga yang bekerja sebagai petani maupun buruh tani.

Jika dikaitkan dengan data pada Tabel 4, menurut Kepala Desa Bansari, warga yang bekerja sebagai petani sebagian besar adalah tamatan SLTA, sedangkan yang bekerja sebagai buruh tani adalah warga dengan sebagian besar tamatan tingkat SLTP dan Sekolah Dasar (SD). Penduduk yang bekerja sebagai PNS dan seorang pensiunan biasanya tamatan universitas dan bekerja sebagai tenaga pengajar di sekolah maupun tenaga perawat di sarana kesehatan desa. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh bangunan dan jasa angkutan adalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Penduduk yang bekerja sebagai pedagang membuka kios warung di masing-masing teras rumahnya dan tidak terpatok pada kisaran tamatan tingkat pendidikan, karena berdagang adalah pekerjaan sampingan yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga lain yang tidak bekerja. Pada akhirnya kepala desa mengatakan bahwa sebenarnya setiap penduduk dapat memiliki pekerjaan lebih dari satu. Bekerja sebagai petani atau buruh tani hanya dilakukan pada pagi hari pukul 05.00 sampai 07.00 dan sore hari pukul 15.00 sampai 17.00, sehingga penduduk dapat melakukan pekerjaan lain diluar sebagai petani.

20

Mitra Petani Tembakau

Kemitraan di Desa Bansari dilakukan bersama pabrik rokok Djarum. Akan tetapi kemitraan ini hanya berlangsung di sepanjang tahun 2011. Kontrak yang diberikan oleh pihak Djarum berlaku untuk satu tahun saja. Petani yang tidak bermitra, hanya melakukan kerjasama dengan tengkulak. Setelah masa kontrak selesai, petani memutuskan untuk tidak melanjutkan kemitraan, karena dianggap hanya menguntungkan pihak Djarum. Sejak tahun 2012 hingga saat ini petani hanya melakukan hubungan kerjasama dengan tengkulak. Mereka berperan sebagai pihak yang membeli hasil panen petani. Tengkulak juga kepanjangan tangan dari setiap pabrik rokok yang beroperasi di Temanggung. Hubungan kemitraan yang terjadi pada tahun 2011 terlihat seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari

Pihak mitra 2011 2012

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Pabrik Rokok 18 28 0 0

Tengkulak 47 72 65 100

Total 65 100 65 100

Berdasarkan data pada Tabel 6, pada tahun 2011 sebanyak 18 responden melakukan kemitraan dengan pabrik rokok. Responden yang bermitra dengan pabrik rokok adalah perwakilan anggota dari setiap kelompok tani di Desa Bansari. Pada tahun tersebut, pihak pabrik hanya ingin melakukan hubungan kemitraan dengan kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Sedangkan, 47 responden yang tidak bermitra bukan anggota dari kelompok tani dan hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak pembeli hasil panen.

“...waktu itu pernah ada kemitraan mbak, dari djarum. Tahun 2011 dan itu cuma setahun, setelah itu gak ada. Tapi, lebih enak sendiri sih, daripada sama pabrik, hasilnya sama aja...” (Wyt, 48 tahun)

Keuntungan saat kemitraan ini berjalan sebagian besar adalah milik pabrik rokok. Keuntungan ini berupa harga yang dipatok oleh pabrik untuk membeli daun tembakau petani, cenderung lebih rendah dibandingkan harga pasaran pada umumnya. Selain itu, pihak mitra hanya memberikan sosialisasi dan pengontrolan rutin terhadap daun tembakau yang ditanam petani. Pihak mitra juga hanya memberikan sedikit bantuan saprotan kepada petani. Tidak ada alokasi peminjaman dana dari pihak pabrik rokok. Keadaan ini dianggap merugikan petani, karena petani tidak memperoleh keuntungan dari harga yang dipatok pabrik. Selain itu, petani juga harus melengkapi kekurangan saprotan sesuai yang dibutuhkan pabrik secara mandiri dan menjual hasil panen hanya kepada pihak mitra saja.

Berbeda hubungan kemitraan yang terjadi pada tahun 2012. Seluruh petani memilih untuk tidak melanjutkan kemitraan dengan pabrik rokok dan hanya bekerjasama dengan tengkulak. Sama halnya dengan 47 petani yang ditunjukkan pada Tabel 6 yang memilih bermitra dengan tengkulak. Hubungan kemitraan ini hanya sebatas hubungan kerja sama jual beli daun tembakau petani. Setiap

21

tengkulak dapat dikatakan sebagai tangan kanan dari masing-masing pabrik rokok yang beroperasi di Temanggung. Peran tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli daun tembakau ketika musim panen. Bekerjasama dengan tengkulak dirasa tidak menyulitkan akses petani. Petani dapat dengan mudah memilih sarana produksi yang dibutuhkan, mencari dan menggunakan modal yang akan dikeluarkan. Selain itu, petani juga dapat melakukan penjualan kepada tengkulak manapun dengan proses tawar menawar harga yang sudah disepakati sebelumnya. Jika pada tahun tersebut terjadi perubahan harga, baik tengkulak maupun petani sudah mengetahui keadaan ini terlebih dahulu. Cara yang dilakukan adalah dengan melihat kondisi cuaca dan curah hujan saat masa tanam. Selain itu, bentuk, rasa, dan aroma daun tembakau ketika sudah dirajang juga menjadi salah satu penentu harga jual beli tembakau. Menurut penuturan responden, dibutuhkan pengalaman bertahun-tahun untuk mengetahui dengan mudah mutu dan kualitas daun tembakau yang baik. Oleh karena itu, banyak penduduk yang menjadi petani tembakau berkisar antara usia 40-59 tahun.

Merujuk pada Tabel 6, terdapat 18 responden yang terikat kontrak dengan kemitraan di tahun 2011. Ketika kontrak ini habis pada tahun 2012, 18 responden tersebut tidak lagi melanjutkan kemitraan dan memilih untuk bekerjasama dengan tengkulak, sama halnya dengan 47 responden yang memang tidak bermitra. Terdapat perbedaan kondisi saat 18 responden bermitra dengan pabrik rokok dan saat tidak lagi melanjutkan kemitraan. Perbedaan ini dilihat dari perolehan fasilitas yang diterima petani. Secara sederhana perbedaan tersebut digambarkan pada Tabel 7

Tabel 7 Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra

Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)

Mendapat sosialisasi  ×

Bantuan alat teknologi × ×

Bebas mencari saprotan × 

Jaminan pinjaman modal dari

mitra × ×

Bebas menentukan harga jual × 

Bebas memilih pasar × 

Melihat perbedaan pada Tabel 7 sesuai penuturan responden, alasan tidak lagi meneruskan kemitraan karena perolehan seluruh fasilitas selama produksi tembakau sulit didapat. Kemitraan ini menyulitkan petani untuk mencari saprotan yang diperlukan, karena jenis yang digunakan harganya lebih mahal dan sulit dicari disekitar wilayah Bansari. Jika saprotan yang diperlukan harganya lebih mahal, secara tidak langsung modal yang diperlukan pun juga jauh lebih besar. Tetapi, tidak ada jaminan pinjaman modal dari mitra, sehingga petani harus mencari kelebihan modal yang diperlukan secara mandiri. Sosialisasi memang diterima oleh petani, tapi menurut responden, sosialisasi yang diberikan hanyalah menjelaskan apa saja yang harus dilakukan petani sesuai dengan keinginan mitra. Kesulitan lainnya adalah saat menentukan harga dan memilih pasar jual yang sejak awal memang sudah ditentukan oleh mitra. Besar harga jual kualitas tembakau sudah ditentukan mitra, sehingga petani tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi. Pasar penjualan tembakau pun juga sudah ditentukan

22

hanya kepada mitra saja. Petani tidak diizinkan untuk menjual hasil panen kepada pihak lain atau pasar umum. Berbeda dengan kondisi saat 18 responden tidak lagi bermitra. Petani memilih untuk bekerjasama dengan tengkulak. Sosialisasi dan jaminan pinjaman modal dari mitra memang tidak diterima. Tetapi petani lebih mudah dalam mencari dan memperoleh saprotan sesuai dengan modal yang dimiliki. Selain itu, petani juga dapat melakukan penawaran saat menentukan harga jual bersama tengkulak. Pasar penjualan petani pun lebih bebas karena petani dapat menjual kepada tengkulak manapun. Alat teknologi yang digunakan petani juga masih sama saat bermitra ataupun tidak bermitra, karena alat berat yang dibutuhkan petani hanya alat perajang yang biasanya masing-masing petani sudah memilikinya lebih dari 7 tahun.

Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar

Kemampuan akses petani terhadap finansial, teknologi, dan pasar diperlukan oleh petani selama penanaman tembakau. Akses ini akan memudahkan petani untuk memperoleh dan memenuhi sarana yang dibutuhkan. Akan tetapi, kemudahan akses petani pada tahun 2011 berbeda dengan akses petani pada tahun 2012. Perbedaan kemampuan akses petani tembakau Desa Bansari dapat terlihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan pasar tahun 2011

Tingkat akses

Teknologi Finansial Pasar

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 18 28 0 0 18 28 Tinggi 47 72 65 100 47 72 Total 65 100 65 100 65 100

Tabel 9 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan pasar tahun 2012

Tingkat akses

Teknologi Finansial Pasar

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 0 0 0 0 0 0 Tinggi 65 100 65 100 65 100 Total 65 100 65 100 65 100

Berdasarkan data pada Tabel 8, petani mengalami kesulitan akses terhadap teknologi dan pasar. Hal ini dikarenakan hubungan kemitraan yang mengikat 18 responden dengan pabrik rokok pada tahun 2011. Akses terhadap teknologi berkaitan dengan ketersediaan kebutuhan produksi, seperti bibit, pupuk, obat, pestisida, alat perajang, dan alat penyemprot. Pihak mitra sudah menentukan jenis bibit, pupuk, obat dan pestisida yang harus digunakan petani. Sedangkan penggunaan alat perajang dan alat penyemprot tidak menyulitkan, karena setiap petani sudah memiliki alat tersebut. Selain itu, pihak pabrik hanya memberikan

23

bantuan pupuk sebanyak 15 persen dari yang dibutuhkan petani. Keadaan ini membuat petani harus menyiapkan seluruh kekurangan bahan dengan jenis yang sesuai. Menurut responden, jenis bahan yang digunakan oleh pihak pabrik cukup sulit dicari dan memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga yang biasa dikeluarkan petani.

Sama halnya dengan kesulitan akses petani terhadap pasar. Responden tidak dapat memasarkan secara bebas hasil panen tembakau kepada pihak manapun, karena petani sudah dikontrak untuk menjualnya kepada pihak mitra. Akan tetapi, seluruh responden mampu mengakses finansial sesuai dengan jumlah yang diperlukan. Pada tahun 2011, hubungan kemitraan bersama pabrik tidak memberikan jaminan pinjaman modal awal, sehingga petani harus mencari sejumlah modal yang harus disiapkan. Selain itu, modal yang disiapkan lebih besar karena kebutuhan yang diperlukan juga lebih mahal dibanding yang biasa digunakan. Penentuan harga jual dilakukan oleh pihak mitra, sehingga petani tidak dapat melakukan proses tawar-menawar. Proses ini terjadi ketika masa panen tiba, perwakilan pihak mitra akan mengambil hasil panen ke setiap rumah petani mitra dan memberikan harga sesuai dengan kualitas daun yang dihasilkan. Petani tidak diizinkan untuk menawar harga yang lebih tinggi dari harga yang sudah ditentukan. Ketentuan ini sudah ada dalam perjanjian yang telah disepakati. Walaupun petani tidak dapat menawar harga jual tembakau, keadaan ini tidak menyulitkan petani jika dibandingkan dengan menyiapkan modal yang lebih besar.

Berbeda dengan 47 responden lainnya yang tidak bermitra dengan pabrik rokok. Mereka memiliki kemudahan pilihan akses lain terhadap teknologi, finansial dan pasar. Hal serupa juga terjadi pada 18 responden yang tidak melanjutkan kemitraan di tahun 2012 (Tabel 9). Perbedaan ini terlihat ketika petani lebih mudah menyiapkan semua kebutuhan produksi, tanpa harus terikat oleh ketentuan yang dibentuk oleh mitra. Pada akhirnya kebutuhan akan teknologi, finansial, dan pasar dapat ditentukan oleh masing-masing petani berbekal relasi yang dimiliki. Hanya ketika masa penjualan tembakau, petani bergantung kepada tengkulak sebagai pihak pembeli. Tidak dapat dipungkiri, selain karena tengkulak merupakan kepanjangantangan pabrik rokok, tembakau adalah bahan utama pembuat rokok di Indonesia. Selanjutnya, petani dapat memilih menjual hasil panennya kepada tengkulak yang dapat memberikan harga tinggi. Selain itu, petani juga dapat memilih lebih dari satu tengkulak untuk menjual hasil panen yang dimiliki. Pada setiap tahunnya petani dapat merubah pilihan tengkulak yang akan membeli hasil panen. Menurut keterangan yang diperoleh, biasanya bukan petani yang mencari tengkulak, melainkan tengkulak yang mencari petani dengan kualitas daun tembakau terbaik. Jika tengkulak sudah menemukan petani dengan kualitas daun yang terbaik. Tengkulak cenderung tidak akan berpindah kepada petani lain dan siap memberikan harga tinggi atas hasil panen tersebut.

Kebutuhan akan teknologi dalam hal penyediaan sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan, pestisida, alat) dan pengambilan keputusan dilakukan secara mandiri oleh setiap responden. Ketersediaan bibit biasa disiapkan sendiri oleh petani dengan cara membuatnya. Bibit yang sudah dibuat ini kemudian disimpan untuk ditanam pada masa tanam berikutnya. Bibit ini dikenal dengan nama bibit tembakau mloko yang dibuat dari tunas biji tembakau yang sedang ditanam. Oleh

24

karena itu, petani tidak ada yang membeli bibit di warung ataupun toko pertanian. Penyediaan sarana produksi lainnya seperti pupuk, obat, dan pestisida disiapkan oleh petani dengan memesan kepada distributor. Pemesanan biasa dilakukan dalam jumlah besar dengan menggunakan bantuan mobil pick-up terbuka. Selain itu, penyediaan alat teknologi pun juga dilakukan secara mandiri, karena yang dibutuhkan hanya mesin alat perajang dan alat penyemprot. Kedua alat ini biasanya sudah dimiliki petani bertahun-tahun dengan sedikit perbaikan.

“...disini mah gak susah mbak kalo nyiapin bibit, pupuk, obat, sama alat. Semua bisa disiapin sendiri. Bibit kan tinggal buat, terus pupuk sama obat kan tinggal mesen, kalo alat juga udah punya sendiri- sendiri. Jadi gak kerepotan...” (Pwt, 49 tahun)

Kebutuhan akan finansial, baik dalam hal penyediaan modal dan menentukan harga jual juga dilakukan secara mandiri oleh petani. Responden mengaku tidak mengalami kesulitan selama menyiapkan modal awal untuk membeli kebutuhan tanam tembakau. Seluruh modal diperoleh dengan cara yang berbeda, baik meminjam kepada pihak lain atau menggunakan dana pribadi, seperti yang terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal

Sumber modal Petani tembakau

Jumlah Persentase (%)

Dana Pribadi 39 60

Pinjam Koperasi 15 23

Bank 11 17

Total 65 100

Pada Tabel 10 terlihat bahwa 39 responden menyiapkan modal dengan menggunakan dana pribadi. Dana ini dikumpulkan oleh responden dari keuntungan yang diperoleh saat masa panen sebelumnya. Responden yang menyiapkan modal produksi menggunakan dana pribadi adalah 18 responden yang bermitra di tahun 2011 dan 21 sisanya adalah responden yang tidak bermitra di tahun yang sama. Kemudian, sebanyak 15 dan 11 responden lainnya meminjam kepada pihak lain dengan masing-masing meminjam pada koperasi dan bank. Ketiga cara perolehan modal ini dipergunakan petani untuk membeli pupuk, obat, dan pestisida. Merujuk pada Tabel 8 dan 9, tingkat akses petani terhadap finansial tidak mengalami kesulitan, karena petani dapat dengan mudah mencari dan memperoleh modal awal yang diperlukan. Bagi petani yang melakukan kemitraan, dalam kontrak memang tidak mendapatkan pinjaman dana sebagai modal awal. Begitupun dengan petani yang tidak bermitra atau hanya bekerjasama dengan tengkulak juga harus mencari modal awal secara mandiri. Hal ini dikarenakan tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli tembakau. Proses melakukan pinjaman kepada koperasi dan bank tidak menyulitkan petani untuk memperoleh modal. Petani yang melakukan pinjaman ke koperasi atau bank cukup memenuhi persyaratan yang diminta oleh masing-masing instansi. Menurut penjelasan responden, nominal limit yang dapat diambil oleh petani yang meminjam ke koperasi biasanya sebesar Rp25 000 000. Petani yang sudah memperoleh dana ini,

25

dapat mengajukan kembali pinjaman kedua dan selanjutnya dengan jumlah nominal maksimal Rp15 000 000. Sedangkan responden lainnya mengatakan bahwa jumlah limit nominal dana usaha yang dapat dipinjam melalui bank biasanya sebesar Rp50 000 000. Sistem pengembalian pinjaman tersebut baru dilakukan setelah masa panen dan penjualan tembakau.

“...kalo modal, ya nyiapin sendiri, pake duit sendiri. Tapi, kalo lagi gak ada duit, baru pinjem sama bank atau koperasi. Mudah kok, ngembaliinnya juga nanti, nek wes panen...” (Frl, 40 tahun)

“...pinjem sama koperasi itu gampang, cuma isi kertas kasih copyan KTP sama KK, terus matur njaluke piro, dapet duite. Biasane niku, 20 sampe 25 yuto lah pas pinjem pisanan. Kalo kurang, ya pinjem lagi aja...”(Hsm, 55 tahun)

Selain modal, menentukan harga jual juga dapat dilakukan petani dengan tengkulak. Selama proses menentukan harga, responden dapat melakukan proses tawar menawar. Harga yang ditawarkan pun beragam dan disesuaikan dengan kualitas daun tembakau. Harga daun tembakau bisa mengalami perubahan yang tidak dapat diprediksikan sesuai kualitas daun. Kondisi kualitas daun tembakau bergantung pada curah hujan dan cuaca selama proses penanaman, panen, hingga