• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI PETANI DALAM KEMITRAAN

Stakeholder dan Peran yang dilakukan

Keberadaan pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi salah satu komponen yang sangat diperlukan dalam suatu hubungan kerjasama. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pembagian tugas dan jenis pekerjaan yang harus dilakukan. Berbeda lokasi maka berbeda pula pihak-pihak yang terlibat dalam pola kemitraan. Beberapa rujukan menyebutkan di Madura terdapat dua sistem perdagangan tembakau, dimana petani dapat menjualnya langsung ke pasar atau melibatkan juragan dan bandol. Lain halnya dengan di Pamekasan dan Garut yang hanya melibatkan petani dan pembeli (pabrik rokok) dalam proses kemitraannya. Hubungan yang terbentuk antar stakeholder ini terlihat dari pola kemitraan yang terjadi pada masing-masing daerah.

Petani tembakau, pabrik rokok, kepala desa, dan kepala dusun adalah stakeholder yang terlibat dalam hubungan kemitraan di Desa Bansari. Proses awal kemitraan ini terjalin dengan pengajuan kerjasama oleh pabrik rokok melalui kepala desa. Pengajuan kemitraan ini hanya untuk perwakilan anggota setiap kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Selanjutnya kepala desa melakukan proses diskusi bersama seluruh kepala dusun mengenai penawaran tersebut. Selanjutnya, kepala dusun mengumpulkan perwakilan anggota kelompok tani yang dianggap mampu mengikuti program ini. Setelah itu, setiap perwakilan anggota kelompok tani akan dikumpulkan kemudian diberi penjelasan lebih lanjut. Jika seluruh pihak setuju, maka kepala desa dapat memutuskan kemitraan dari pabrik rokok dapat berjalan di wilayah tersebut atau tidak.

Pemberian pembinaan (sosialisasi) mulai dilakukan pada awal pertemuan mitra dengan petani. Sebagai pihak mitra, pabrik rokok akan memberikan sosialisasi mengenai penggunaan bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang harus digunakan petani. Selain itu, mitra juga memberikan sedikit bantuan pupuk sebagai bentuk tanggung jawab yang sudah ada dalam kesepakatan. Keadaan ini membuat petani harus melengkapi kebutuhan lainnya secara mandiri. Selain itu, pengontrolan juga dilakukan secara berkala dengan memperhatikan kebersihan, cacat daun, dan perkiraan kualitas daun. Saat panen tiba, petani tidak perlu menjual hasil tembakau karena pihak pabrik langsung mengambil seluruh hasil panen. Harga daun tembakau sudah ditentukan sesuai kualitasnya. Disinilah posisi yang dianggap merugikan petani, karena petani tidak dapat menentukan harga lebih tinggi lagi dari harga yang ditetapkan.

Berbeda dengan petani yang tidak melakukan kemitraan. Stakeholder yang terlibat hanya petani dan tengkulak saja. Petani dapat menentukan pilihan jenis modal dan saprotan yang akan digunakan, seperti bibit, pupuk, obat, dan pestisida. Bibit yang diperlukan petani dapat dengan mudah dibuat secara mandiri. Selain itu, cara memperoleh pupuk, obat, dan pestisida pun dapat disesuaikan dengan relasi yang dimiliki oleh masing-masing petani. Perawatan kesehatan dan kebersihan kebun juga dapat disesuaikan dengan pilihan waktu petani. Peran tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli hasil panen tembakau. Tengkulak maupun petani dapat sama-sama menentukan harga yang diinginkan. Petani dapat menawar harga yang lebih tinggi jika kualitas daun tembakau lebih baik.

28

Penerimaan terhadap Sosialisasi

Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak mitra terkait dengan pembudidayaan tembakau. Penerimaan sosialisasi ini dikelompokkan pada penerimaan terhadap bibit, pupuk, obat-obatan, pestisida, alat teknologi, perubahan harga alat teknologi, perubahan harga tembakau, pemilihan daun tembakau, potensi pasar alternatif, dan potensi pemberi modal. Penerimaan sosialisasi ini juga mengalami perbedaan ketika petani melakukan kemitraan tahun 2011 dan saat petani tidak lagi bermitra tahun 2012

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap sosialisasi

Penerimaan sosialisasi

2011 2012

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Rendah 47 72 65 100

Tinggi 18 28 0 0

Total 65 100 65 100

Pada tahun 2011, penerimaan sosialisasi 18 responden tergolong tinggi, karena petani tergabung dalam hubungan kemitraan dengan pabrik rokok. Sosialisasi diberikan pihak mitra kepada petani yang bermitra dan pemberian sosialisasi terbatas pada beberapa hal saja, yaitu bibit, pupuk, obat, dan pestisida. Menurut penuturan responden, sosialisasi yang diberikan mitra hanya terjadi dua kali selama kerjasama berjalan. Proses ini hanya diberikan pada awal pertemuan dan saat akan tiba masa panen. Selain itu, pemberian sosialisasi ini dimaksudkan agar petani menanam sesuai dengan yang diinginkan mitra. penjabaran aspek yang disosialisasikan oleh mitra seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah dan persentase penerimaan jenis sosialisasi oleh responden, Desa Bansari

Jenis Sosialisasi

Menerima Tidak Menerima

2011 2012 2011 2012

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Bibit 18 28 0 0 47 72 65 100 Pupuk 18 28 0 0 47 72 65 100 Obat 18 28 0 0 47 72 65 100 Pestisida 18 28 0 0 47 72 65 100 Teknologi 0 0 0 0 65 100 65 100 Alternatif modal 0 0 0 0 65 100 65 100 Harga alat 0 0 0 0 65 100 65 100 Harga tembakau 0 0 0 0 65 100 65 100 Pasar alternatif 0 0 0 0 65 100 65 100

29

Pemberian sosialisasi kepada 18 responden terbatas pada kebutuhan petani akan bibit, pupuk, pestisida, dan obat-obatan. Hanya bantuan berupa pupuk yang diberikan oleh pihak mitra kepada petani. Bantuan ini tidak diberikan dalam jumlah yang besar, hanya 15 persen dari kebutuhan tanam tembakau, sisanya petani harus mencari dan menyesuaikan dengan jenis dari bantuan yang diberikan mitra. Sedangkan, pada aspek teknologi, alternatif modal, harga alat, harga tembakau, dan alternatif pasar tidak termasuk dalam sosialisasi.

Berbeda dengan 47 responden yang tidak bergabung dengan kemitraan dan 18 responden yang memutuskan tidak lagi bermitra pada tahun 2012. Responden tidak menerima sosialisasi dari pihak manapun sehingga penerimaan sosialisasinya tergolong rendah. Menurut responden, walau tidak menerima sosialisasi, petani dapat memilih jenis bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang ingin digunakan. Jenis yang digunakan petani memang memiliki kualitas sedikit lebih rendah dibandingkan dengan jenis yang digunakan oleh petani mitra. Petani yang tidak bermitra, memilih hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak yang membeli hasil panen petani. Selama proses kerjasama dengan tengkulak, tidak terjadi proses pemberian sosialisasi secara formal dari pihak tengkulak. Hanya pertukaran informasi mengenai perubahan harga jual tembakau selama proses kesepakatan jual beli. Sebelumnya, masing-masing pihak sudah mengetahui perubahan harga jual dilihat dari cuaca dan curah hujan serta tampilan daun tembakau yang sudah dirajang. Sehingga kesepakatan harga dapat tercapai dengan mudah tanpa harus merugikan pihak manapun.

Perbedaan penerimaan sosialisasi responden terlihat dari 18 responden yang bermitra di tahun 2011 dan tidak lagi bermitra di tahun 2012. Responden ini adalah petani yang terikat kemitraan dengan pabrik rokok Djarum. Petani menerima sosialisasi di tahun 2011 dari pihak mitra secara formal. Sedangkan di tahun 2012, responden tidak menerima sosialisasi secara formal dari tengkulak, tetapi hanya terjadi pertukaran informasi secara informal antara petani dengan tengkulak.

Tingkat Akses Petani

Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat akses ini dibagi dalam tiga kategori, yaitu akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Kemudahan petani dalam mengakses faktor produksi akan mempengaruhi ketersediaan bahan yang baik selama tanam tembakau seperti yang terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari

Tingkat akses

Petani

2011 2012

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Rendah 18 28 0 0

Tinggi 47 72 65 100

30

Pada tahun 2011, sebanyak 18 responden memiliki kemampuan akses rendah dan responden tersebut bermitra dengan pabrik rokok Djarum. Pemenuhan terhadap akses berkaitan dengan pihak mitra, terutama dalam hal teknologi dan pasar. Akses petani pada teknologi yang dipenuhi oleh pihak mitra hanya sedikit bantuan pupuk. Sedangkan sisa kebutuhan lain yang belum terpenuhi harus dipenuhi secara mandiri oleh petani karena tidak terdapat dalan perjanjian. Akses petani pada pasar juga ditentukan oleh pihak mitra. Penjualan hasil tembakau hanya boleh dilakukan dengan pihak mitra. Sedangkan akses terhadap modal tidak diberikan oleh pihak mitra, sehingga petani harus mencari mandiri. Berbeda dengan penentuan harga jual tembakau yang memang sudah ditentukan oleh pihak mitra dan petani tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi. Menurut responden yang bermitra, keadaan ini sebenarnya merugikan petani, tetapi karena keanggotaan sebagai kelompok tani dan sebagai bentuk menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan pabrik, maka responden sepakat untuk bermitra dengan pabrik rokok.

Keadaan yang berbeda terjadi pada 47 responden yang tidak bergabung dengan kemitraan pada tahun 2011 dan 65 responden di tahun 2012 yang memutuskan tidak bergabung dengan kemitraan, termasuk 18 responden diantaranya yang memilih tidak melanjutkan hubungan kemitraan. Keduanya memiliki kemampuan akses yang tinggi. Tengkulak adalah pihak yang diajak kerjasama oleh petani yang tidak bermitra. Petani dapat dengan bebas memilih setiap jenis akses kebutuhan yang diperlukan dalam menanam tembakau. Akses dalam teknologi, pasar, dan finansial dapat dicari dan diperoleh secara mandiri oleh responden. Kebutuhan dalam hal teknologi bisa diperoleh dari relasi masing- masing petani. Kemudian, kebutuhan akan pasar dapat dilakukan dengan bantuan tengkulak. Penjualan tembakau biasa dilakukan petani bersama tengkulak. Selanjutnya, kebutuhan finansial, baik cara memperoleh modal maupun harga jual tembakau dapat dilakukan secara mandiri oleh petani. Modal yang dibutuhkan dapat diperoleh melalui dana pribadi yang sudah disiapkan oleh petani atau melakukan pinjaman kepada bank atau koperasi. Harga jual tembakau tidak ditentukan oleh pihak tengkulak, melainkan terjadi proses tawar-menawar antara petani dan tengkulak. Pertukaran informasi kerap terjadi antara petani dan tengkulak mengenai perubahan harga, sehingga petani berani menawar harga lebih tinggi jika kualitas daun tembakau yang dimiliki lebih baik.

Perbedaan kemampuan akses petani dapat terlihat dari 18 responden yang bermitra di tahun 2011 dan tidak melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Perbedaan tersebut terlihat pada Tabel 14

Tabel 14 Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012

Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)

Mudah akses teknologi × 

Mudah akses saprotan × 

Mudah akses modal × 

Mudah menentukan harga jual × 

Mudah menentukan pasar × 

Perbedaan akses petani lebih mudah saat tidak bermitra jika dibandingkan saat bermitra. Kemitraan yang terjalin membuat petani harus mengakses

31

kebutuhan akan teknologi, finansial dan pasar sesuai dengan perjanjian yang sudah ditentukan. Teknologi (bibit, pupuk, obat, dan pestisida) yang digunakan harus sesuai dengan jenis yang ada dalam kontrak. Kesulitannya karena jenis yang dipakai sulit diperoleh dan harganya pun lebih mahal dibanding dengan jenis yang biasa dipakai petani. Kemudian kesulitan dalam akses finansial ini dilihat dari kesiapan jumlah modal dan harga jual. Jika kebutuhan teknologi sulit untuk diakses, maka modal yang disiapkan pun juga harus lebih besar dibandingkan modal sebelumnya. Selain itu, harga jual daun tembakau petani juga sudah ditentukan oleh mitra sejak awal kemitraan, sehingga petani sulit menawar dengan harga yang lebih tinggi. Kesulitan petani dalam mengakses pasar karena tidak tersedianya pasar alternatif untuk menjual hasil panen, karena seluruh hasil panen harus dijual kepada mitra.

Petani mengalami banyak kesulitan saat bermitra, karena seluruh proses akses terpusat hanya di pihak mitra. Petani sulit untuk mengakses sumber lain (teknologi, finansial dan pasar) di luar pihak mitra. Berbanding terbalik saat 18 responden memutuskan tidak lagi melanjutkan kemitraan. Kemampuan akses petani jauh lebih mudah dan bebas karena biasanya petani sudah memiliki relasi yang baik. Petani juga bisa mengakses sumberdaya lain yang dianggap menguntungkan dan mempermudah petani selama proses produksi tembakau. Akses terhadap teknologi, finansial dan pasar bisa dilakukan petani bersama berbagai pihak. Keuntungan penjualan tembakau yang didapat petani juga jauh lebih besar saat tidak bermitra jika dibandingkan saat bermitra. Oleh karena itu, petani memilih tidak lagi melakukan kemitraan agar lebih mudah mengakses kebutuhan selama proses produksi.

Hubungan Penerimaan Sosialisasi dan Tingkat Akses Petani

Pemberian sosialisasi oleh pihak mitra dapat mempengaruhi kemudahan tingkat akses petani terhadap kebutuhan faktor produksi.

Tabel 15 Hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani Penerimaan

Sosialisasi

Tingkat Akses

2011 2012

Tinggi Rendah Tinggi Rendah

f % f % f % f %

Rendah 47 100 0 0 65 100 0 0

Tinggi 0 0 18 100 0 0 0 0

Jumlah 47 100 18 100 65 100 0 0

Berdasarkan perhitungan pada tabulasi silang Tabel 15, menunjukkan bahwa ada hubungan yang berbanding terbalik antara penerimaan sosialisasi dengan tingkat akses petani. Penerimaan sosialisasi yang rendah menunjukkan tingkat akses yang tinggi. Keadaan ini dikarenakan 47 responden tidak melakukan hubungan kemitraan dengan pabrik rokok. Kondisi ini serupa pada tahun 2012 yang tidak ada lagi kemitraan dengan pihak pabrik, termasuk 18 responden yang mulanya bermitra pada tahun 2011 memutuskan tidak lagi bermitra pada tahun 2012. Petani yang tidak bermitra memang tidak mendapatkan sosialisasi, karena sosialisasi hanya untuk petani mitra saja. Sosialisasi ini diberlakukan sebagai

32

bentuk pemenuhan kebutuhan kualitas tembakau yang diinginkan oleh pihak mitra. Jika dikaitkan dengan tingkat akses yang tinggi, petani yang tidak bermitra menuturkan bahwa mereka tidak menemui kesulitan untuk pemenuhan kebutuhan pada teknologi, finansial, dan pasar. Bahkan petani dapat dengan mudah memperoleh kebutuhan tersebut dari pihak manapun. Lain halnya dengan 18 responden yang bermitra di tahun 2011. Selama proses sosialisasi diberikan, petani diminta untuk memproduksi tembakau sesuai dengan kriteria yang diinginkan pabrik. Bantuan yang sedikit dari pihak mitra pun dianggap tidak cukup membantu petani saat masa tanam, karena petani harus menanam tembakau sesuai perjanjian dan memenuhi kekurangan kebutuhan lain secara mandiri.

“...mending gak dapet sosialisasi aja mbak. Bingung saya malahan kalo ngikut tuh, beda sama kenyataan. Ada kok yang ikut dulu, tapi gak pernah dipake, gak sesuai soale sama keadaan sawah. Lagian kalo dapet sosialisasi gitu kan cuma yang aktif aja. Kalo yang gak dapet malah bisa kemana-mana, bebas dadine mbak...” (Smn, 55 tahun)

Menurut pengakuan 18 responden, mereka yang mengikuti kemitraan pasti akan mendapatkan sosialisasi, dan yang paling sulit dilepas adalah penggunaan jenis kebutuhan produksi, pemasaran dan harga saat panen tembakau. Petani yang bermitra dan mendapatkan sosialisasi, secara jelas terikat kontrak dengan pabrik rokok. Pemasaran hasil panen tembakau tentu tidak sebebas petani yang tidak bermitra. Petani yang bermitra akan menjual hasil tembakaunya kepada pihak mitra saja dan tidak diizinkan untuk dijual kepada pihak lain. Jumlah dan kriteria pencapaian panen pun juga ditentukan oleh pihak mitra. Sedangkan, petani yang tidak bermitra, hanya akan melakukan hubungan kerjasama dengan tengkulak saja. Tengkulak tidak berperan dalam pemberian sosialisasi, pemenuhan kebutuhan produksi, dan penentu harga jual. Peran tengkulak hanya sebagai pembeli hasil daun tembakau milik petani. Penjualan hasil panen ke tengkulak dapat dilakukan kepada lebih dari satu tengkulak.

Pada penentuan harga jual tembakau, petani yang tidak bermitra dapat melakukan proses tawar menawar dan ikut serta menentukan harga bersama tengkulak. Hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti kemitraan bersama pabrik rokok. Petani tidak dapat menentukan harga jual tembakau yang sudah ditanam. Semua harga ditentukan oleh pihak pabrik sesuai dengan kualitas daun yang dihasilkan. Selain itu, petani juga tidak diizinkan untuk menjual kepada pihak lain selain pabrik mitra. Jika kualitas hasil panen tidak sesuai dengan perjanjian, maka harga yang diberikan pun akan sangat rendah dibandingkan harga normal. Keadaan ini tentu membuat petani mengalami kerugian dan kesulitan dalam mengakses pasar maupun harga yang dibutuhkan.

Kebutuhan pada teknologi dan finansial dari segi modal tidak menjadi masalah bagi petani yang tidak bermitra. Semua kebutuhan teknologi dapat dipesan melalui distributor, dan modal dapat disiapkan dengan cara dari masing- masing petani. Sedangkan petani yang melakukan kemitraan dengan pabrik rokok, sebagian kebutuhan pada teknologi dibantu oleh pihak mitra, selanjutnya petani mencari sesuai jenis yang diminta oleh mitra. Bantuan yang diterima ini tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan petani harus membayar sesuai dengan

33

harga yang ada di pasaran. Selain itu modal awal yang diperlukan seluruhnya disiapkan oleh petani. Jadi dalam hubungan kemitraan dan suasana sosialisasi yang dibentuk merupakan salah satu cara penciptaan kondisi menanam tembakau sesuai dengan yang diinginkan oleh pabrik rokok.

Melihat uraian diatas, hubungan penerimaan sosialisasi berbanding terbalik dengan tingkat akses petani. Hal ini dikarenakan, sebanyak 18 petani yang menerima sosialisasi terikat kontrak kemitraan dengan pabrik rokok pada tahun 2011. Hubungan kemitraan yang terbentuk menghambat kemudahan akses petani dalam pemenuhan kebutuhan pada teknologi, finansial dan pasar, karena semua harus disesuaikan dengan kriteria pabrik. Sedangkan, 47 petani lainnya memang tidak menerima sosialisasi karena tidak bermitra dengan pabrik, sehingga tidak mengalami kesulitan akses pada teknologi, finansial dan pasar. Sejak tahun 2012 hingga saat ini, petani lebih memilih bekerja mandiri, tidak bermitra dan hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak pembeli hasil panen, sehingga kemampuan akses mereka tetap berjalan dengan baik.

Perbedaan hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani dapat terlihat pada 18 responden saat bermitra (2011) dan tidak lagi bermitra (2012). Pada tahun 2011, responden menerima sosialisasi dari mitra, karena keterlibatannya dalam kemitraan. Tetapi kemampuan akses petani lebih sulit, karena keharusan petani untuk menyesuaikan faktor produksi sesuai yang tercantum dalam kontrak. Keadaan yang berbeda terlihat ketika 18 responden ini tidak lagi melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Petani lebih mudah mengakses faktor produksi yang diinginkan sesuai dengan kemampuan, walaupun tidak menerima sosialisasi dari pihak manapun secara formal.

Hubungan Tingkat Ketergantungan dan Tingkat Akses Petani

Tingkat ketergantungan petani terhadap kemitraan ini akan diukur dan dinilai berdasarkan nilai akumulasi variabel tingkat akses petani. Ketergantungan terhadap mitra akan terlihat dari tinggi atau rendahnya kemampuan akses petani terhadap kebutuhan penanaman tembakau.

Tabel 16 Hubungan tingkat ketergantungan petani dan tingkat akses Tingkat

Akses

Ketergantungan

2011 2012

Rendah Tinggi Rendah Tinggi

f % f % f % f %

Tinggi 47 100 0 0 65 100 0 0

Rendah 0 0 18 100 0 0 0 0

Jumlah 47 100 18 100 65 100 0 0

Berdasarkan data pada Tabel 16 menunjukkan bahwa tingkat akses petani berbanding terbalik dengan tingkat ketergantungan petani. Akses petani yang rendah menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap mitra. Hal ini dikarenakan sebanyak 18 responden terikat kontrak kemitraan dengan pabrik rokok pada tahun 2011. Ketergantungan petani tersebut dalam hal akses terhadap teknologi dan pasar. Sedangkan akses terhadap finansial hanya terkait dengan penentuan harga jual yang sudah ditetapkan oleh pabrik. Petani mitra harus

34

menanam tembakau sesuai yang diinginkan pabrik. Dimulai dari jenis bibit, pupuk, obat dan pestisida yang harus digunakan selama masa tanam. Hal ini dianggap menyulitkan bagi petani, karena tidak dapat menggunakan jenis yang biasa dipakai. Responden menuturkan, jenis yang diminta pabrik diperoleh dari luar wilayah Kecamatan Bansari dengan harga yang lebih mahal. Sama halnya dengan akses pemasaran petani mitra yang terbatas hanya kepada pabrik mitra. Penentuan harga jual oleh pabrik juga tidak sesuai dengan yang sudah petani lakukan. Petani juga tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi atas hasil panen tembakaunya. Inilah alasan petani mitra cenderung sulit dalam mengakses kebutuhan secara bebas dan mandiri, karena bergantung pada pihak mitra yang menginginkan kriteria tertentu pada tembakau yang dibutuhkan. Sebagai pelaksana kemitraan, petani hanya dapat melakukan sesuai kesepakatan dalam kemitraan.

Lain pihak dengan 47 responden yang memiliki ketergantungan rendah dengan kemampuan akses tinggi. Mereka adalah petani yang tidak bermitra dengan pabrik rokok. Akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar dapat dilakukan dengan mudah karena responden bebas menentukan setiap kebutuhan. Akan tetapi dalam hal penjualan hasil, petani membutuhkan tengkulak sebagai pihak yang akan membeli daun tembakau milik petani. Ketika petani tidak dapat menjualnya kepada tengkulak, maka akan dijual di pasar dengan harga yang lebih murah. Biasanya, tembakau yang dijual di pasar adalah daun tembakau yang memiliki kualitas lebih buruk dibandingkan dengan daun yang sudah terjual pada tengkulak.

“...wah yo mending gak bermitra to mbak. Kalo bermitra ya gitu, kabeh kudu nganut pabrik, tergantung pabrike piye. Soale kalo ikut kemitraan, mau ngapa-ngapain itu susah, mau jual gak bebas, regane yo ora penak, udah gitu semuanya disiapin sendiri.” (Sbd, 51 tahun)

Pada tahun 2012 seluruh petani memiliki tingkat akses tinggi. Hal ini karena 18 responden petani yang mulanya bermitra memutuskan tidak melanjutkan kemitraan dan hanya bekerjasama dengan tengkulak. Sedangkan, 47 responden lainnya tetap bekerjasama dengan tengkulak. Ketergantungan petani pun rendah dan dapat dengan bebas mengakses kebutuhan produksi tanpa harus terikat dengan pihak manapun. Secara mandiri, petani dapat menentukan pihak-pihak mana saja yang dapat bekerjasama dengan prinsip saling menguntungkan. Modal yang diperlukan petani juga dapat disiapkan secara mandiri. Menurut responden yang bermitra, sama saja petani mitra dan tidak bermitra, karena untuk mempersiapkan modal awal memang harus dicari sendiri. Responden menjelaskan bahwa akses penjualan yang dimiliki oleh setiap petani berbeda-beda, bergantung pada relasi yang dimiliki, tetapi memiliki alur yang sama. Semua petani menjual kepada setiap tengkulak yang datang kerumah, lalu terjadi proses tawar menawar harga. Biasanya, pada proses ini terjadi pertukaran informasi mengenai pembudidayaan tembakau yang berkembang di daerah lain. Setelah tercapai kesepakatan, petani mengantarkan tembakaunya ke tempat tengkulak tersebut. Pembeda akses penjualan pada setiap petani adalah jumlah dan pihak tengkulak yang diajak bekerjasama. Secara ringkas alur penjualan tembakau seperti pada Gambar 2.

35

terjadi proses tawar menawar dan pembelian

mengantarkan tembakau sesuai kesepakatan Gambar 2 Rantai pemasaran tembakau

Kemampuan akses petani dirasa tidak sulit ketika harus mencari bahan dan alat untuk menanam tembakau. Semua dapat diperoleh dari distributor langganan