• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP

SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI,

TEMANGGUNG

ALFIANA RACHMAWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ketergantungan Petani Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

(4)

ABSTRAK

ALFIANA RACHMAWATI. Ketergantungan Petani Tembakau terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggun. Dibimbing oleh HERU PURWANDARI.

Kemitraan adalah kerjasama yang dilakukan oleh petani tembakau dan pabrik rokok. Sosialisasi adalah salah satu bagian dari sistem kemitraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan kemitraan menimbulkan ketergantungan petani terhadap pihak mitra. Ketergantungan tersebut membuat petani sulit mengakses sumberdaya teknologi, finansial, dan pasar. Pada akhirnya, petani tembakau memilih tidak bermitra dan bekerjasama dengan tengkulak. Saat ini, petani lebih mudah mengakses kebutuhan produksi tembakau. Selain itu, petani juga memiliki posisi tawar yang lebih tinggi saat tidak bermitra dengan pabrik rokok.

Kata kunci: Kemitraan, Ketergantungan, Sosialisasi, Tingkat Akses

ABSTRACT

ALFIANA RACHMAWATI. Dependency Of Tobacco Farmers in Company Partnership System in Bansari Village, Temanggung. Supervised by HERU PURWANDARI.

Partnership system is a collaboration by tobacco farmers and cigarette factory. Socialization is one of part in partnership system. The result showed that partnership system can raise the dependence of farmers on the partner. That dependence will make it difficult for farmers to access technological, financial, and market resources. Finally, the farmers choose to not partnering and make a collaboration with middleman. Currently, the farmers get easier to access tobacco production needs. In addition, the farmers also have higher bargaining position when not partnered with cigarette factory

(5)

KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP

SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI,

TEMANGGUNG

ALFIANA RACHMAWATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah Nama : Alfiana Rachmawati

NIM : I34090006

Disetujui oleh

Heru Purwandari, SP, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah ketergantungan, dengan judul Ketergantungan Petani Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih dan rasa hormat yang mendalam penulis ucapkan kepada Ibu Heru Purwandari selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, dukungan, dan selalu sabar membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih mendalam juga penulis sampaikan untuk Bapak Rilus A. Kinseng selaku dosen penguji utama, dan Ibu Anna Fatchiya selaku dosen penguji akademik, yang telah memberi masukan selama proses ujian skripsi. Terima kasih untuk Bapak Zainal selaku Kepala Desa Bansari, Bapak Rofi’i selaku Kepala Dusun Banaran dan seluruh warga Dusun Banaran, Bansari yang telah membantu dan menerima penulis dengan sangat baik selama proses pengambilan data lapang. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta, ayahanda Alwi Romadlon, ibunda Afifah Nurhayati, Adik Alfian Hamam Akbar yang telah memberikan doa, kasih sayang, serta dukungan yang besar kepada penulis. Tidak lupa kepada teman satu bimbingan, Firda Emiria Utami dan Yanitha Rahmasari yang telah banyak membantu, memberikan kritik dan saran untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman di SKPM 46, BEM KM IPB 2013 “Kreasi Untuk Negeri”, dan KOMINFO BEM KM IPB 2013 yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi dan bertukar opini serta pemberi semangat dengan sukarela. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak yang telah membacanya.

Bogor, Januari 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

Pola-Pola Kemitraan 5

Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan 6

Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk 7

Posisi Petani dalam Kemitraan 9

Mekanisme Ketergantungan 10

Kerangka Pemikiran 12

Hipotesis Penelitian 12

Definisi Konseptual 13

Definisi Operasional 13

METODE PENELITIAN 15

Pendekatan Penelitian 15

Lokasi dan Waktu 15

Penentuan Responden dan Informan Penelitian 16

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17

Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa 17

Kependudukan Desa Bansari 18

Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar 22 MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI PETANI DALAM

KEMITRAAN 27

(11)

Penerimaan terhadap Sosialisasi 28

Tingkat Akses Petani 29

Hubungan Penerimaan Sosialisasi dan Tingkat Akses Petani 31 Hubungan Tingkat Ketergantungan dan Tingkat Akses Petani 33

KETERGANTUNGAN PETANI PADA TEMBAKAU 37

Sosialisasi, Akses, dan Ketergantungan 37

Kemitraan, Ketergantungan, dan Perubahan pada Petani Tembakau 38

Ketergantungan Petani pada Tembakau 40

SIMPULAN DAN SARAN 43

Simpulan 43

Saran 43

DAFTAR PUSTAKA 45

LAMPIRAN 47

(12)
(13)

x

DAFTAR TABEL

1 Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah 9

2 Penggunaan lahan Desa Bansari 17

3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012 18

4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012 18

5 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian 19

6 Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari 20 7 Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra 21 8 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan

pasar tahun 2011 22

9 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan

pasar tahun 2012 22

10 Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal 24 11 Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap sosialisasi 28 12 Jumlah dan persentase penerimaan jenis sosialisasi oleh responden, Desa

Bansari 28

13 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari 29 14 Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012 30 15 Hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani 31 16 Hubungan tingkat ketergantungan petani dan tingkat akses 33

17 Perbedaan petani bermitra dan tidak bermitra 37

18 Perbedaan kondisi ketergantungan 18 responden saat bermitra (2011) dan

tidak bermitra (2012) 39

19 Jadwal Penelitian tahun 2013 48

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 12

2 Rantai pemasaran tembakau 35

3 Masa tanam lahan Desa Bansari 40

4 Ketergantungan pada tembakau 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah 47

2 Jadwal Penelitian 48

3 Data Responden 49

4 Kuesioner 50

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena ketergantungan dalam sejarah ekonomi Indonesia dapat ditelusuri dari kondisi perkebunan. Sejak kemunculannya pada masa kolonial, karakteristik perkebunan tampak khas karena disamping memiliki ciri struktur internal negara yang terkait dengan produksi dan tenaga kerja, juga terlibat dengan dunia luar dan terintegrasi dengan sistem ekonomi dunia (Purwandari 2011). Perkebunan sebagai salah satu sub-sektor pertanian, memainkan peranan penting bagi penerimaan devisa negara yaitu dengan meningkatkan pendapatan petani perkebunan rakyat, meningkatkan ekspor dan devisa negara, memperluas tenaga kerja, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya tanpa meninggalkan usaha-usaha pelestariannya (Heriyanto 2000). Sari (2008) menambahkan bahwa salah satu diantara komoditi perkebunan yang mempunyai peran penting tersebut adalah tembakau.

Menurut data FAO (2002) dalam Widiyanto (2009) secara internasional, Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau. Kontribusi Indonesia sekitar 15.000 ton daun tembakau atau 2,3% suplai dunia. Selain itu, industri tembakau juga mampu menyediakan lapangan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi sekitar 6,4 juta orang meliputi 2,3 juta petani tembakau, 1,9 juta petani cengkeh, serta 900.000 orang yang bekerja di sektor lembaga keuangan, percetakan, dan transportasi (Mukani dan Murdiyati (2003) dalam Mamat (2006).

Industri tembakau memang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi petani. Tetapi, Hafsah (2003) dalam Latifah (2010) mengatakan bahwa budidaya tembakau memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah cposisi petani yang kerap kali lemah baik dalam hal manajemen, profesionalisme, akses terhadap permodalan, teknologi dan jaringan pemasaran. Oleh karena itu, diperlukan peran serta pengusaha besar (pemilik modal) untuk membantu mengembangkan usahatani petani kecil dalam bentuk kemitraan.

(15)

2

Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah adalah salah satu desa dengan penduduk yang setiap tahunnya selalu menanam tembakau. Hubungan kemitraan dengan perusahaan juga pernah dialami oleh petani tembakau di desa ini, salah satunya pada tahun 2011 bersama PT. Djarum. Pola kemitraan yang terjalin adalah hubungan produksi, dimana petani hanya menjual hasil panen tembakau kepada pabrik. Harga jual daun tembakau pun sudah ditentukan pabrik. Sedangkan, semua kebutuhan selama proses produksi disiapkan secara mandiri oleh petani sesuai dengan ketentuan yang diinginkan mitra.

Kemitraan yang terjalin antara petani dengan perusahaan bergantung pada bagaimana perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Tetapi, kemitraan yang terjadi selama ini masih terkesan menempatkan petani dalam posisi yang lemah. Dimana petani hanya melakukan kegiatan produksi saja sesuai standar yang diinginkan oleh perusahaan sehingga petani tidak dapat mengelola sendiri kegiatan usahataninya (Susrusa dan Zulkifli 2009). Bachriadi (1995) menambahkan dalam model contract farmingnya ada hubungan produksi yang mengikat petani untuk menyediakan/menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam batasan-batasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah). Pada banyak kasus, petani tidak dapat terlibat di pasar bebas untuk kelebihan komoditi yang dimiliki, karena akses tersebut tidak mereka miliki.

Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada petani Garut. Kertawati (2008) menjelaskan bahwa pola kemitraan yang terjadi di Garut adalah keterikatan perjanjian modal dengan pabrik. Petani yang terikat perjanjian modal memilih sistem ini dengan alasan sudah saling mengenal lama sehingga tumbuh kepercayaan, lokasinya pun lebih dekat, dan adanya keterikatan modal. Walaupun kondisi seperti ini membuat petani tidak dapat menjual bebas hasil produksinya kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih jalur ini karena dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat menjual tembakaunya kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan berdasarkan kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses pelaksanaannya, banyak petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran tataniaga yang pendek dan sudah ada jaminan penjualan tembakau.

(16)

3

Perumusan Masalah

Pola pengembangan tembakau yang kerap kali ditemui adalah menjalin kemitraan dengan pihak yang dianggap menguntungkan. Berbagai jenis pola kemitraan banyak berkembang di setiap daerah dengan ciri khas masing-masing. Setiap pola juga melibatkan berbagai macam pihak yang dapat membantu mencapai hasil maksimal. Oleh karena itu, timbul pertanyaan bagaimana mekanisme kemitraan terbentuk dan siapa saja stakeholder yang terlibat?

Tanpa bantuan pihak mitra, petani sulit untuk masuk dan menembus pasar global. Faktor pembinaan, teknologi, finansial, dan akses pasar diduga menjadi alasan terciptanya pola kemitraan pada usaha produksi tembakau. Berbagai jenis bantuan dari mitra kerap kali diterima petani walau jumlahnya tidak banyak. Tetapi, dengan bantuan yang diterima, umumnya petani akan bergantung pada pihak mitra, karena penjualan dan harga jual biasanya sudah ditentukan oleh mitra. Melihat kondisi ini, timbul pertanyaan bagaimana posisi petani dalam hubungan kemitraan?

Pada saat petani sudah bermitra, akan sulit bagi petani untuk keluar dari lingkaran kemitraan. Lingkaran ini biasanya dibuat dan dikondisikan oleh pihak mitra agar proses produksi dapat dikontrol dengan baik. Tetapi, saat kemitraan ini sudah berakhir masa kontrak dan tidak lagi diperpanjang, maka petani harus menyiapkan segala kebutuhan produksi tembakau secara mandiri. Hal ini menjadi menarik dengan timbulnya pertanyaan bagaimana perubahan yang terjadi pada petani ketika tidak lagi bermitra?

Tujuan Penelitian

Merujuk pada perumusan masalah yang ada, tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui pembentukan mekanisme kemitraan dan stakeholder yang terlibat

2. Mengetahui posisi petani dalam hubungan kemitraan

3. Menganalisis perubahanyang terjadi pada petani ketika tidak lagi bermitra

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai kalangan, diantaranya:

1. Peneliti dan civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai sejauh mana ketergantungan petani tembakau terhadap sistem kemitraan yang ada.

2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terutama masyarakat sekitar untuk mengetahui ketergantungan petani tembakau terhadap sistem kemitraan yang ada.

(17)
(18)

PENDEKATAN TEORITIS

Pola-Pola Kemitraan

Kemitraan menjadi salah satu solusi dalam pelaksanaan pengembangan usaha pertanian. Sebagai wujud dari keterkaitan usaha dalam rangka merealisasikan kemitraan, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1995. Pola ini dapat membantu perusahaan maupun petani dalam melakukan kerjasama kemitraan. Pola yang dimaksud, diantaranya:

1. Pola Inti Plasma

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, yang dimaksud dengan “pola inti plasma adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang didalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi.”

2. Pola Subkontrak

(19)

6

4. Pola Keagenan

Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 “pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya”. Dalam pola keagenan, usaha menengah dan atau usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak 1995 “pola waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen”. Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas, dalam pola waralaba, pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima waralaba.

Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan

Menurut UU No.9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Dari definisi kemitraan sebagaimana tersebut di atas, mengandung makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha menengah/besar untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk menarik keuntungan dan kesejahteraan bersama. Bobo (2003) dalam Hakim (2004) menyatakan bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya.

(20)

7

kemitraan yang dilakukan dengan pihak mitra. Pembinaan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan proses sosialisasi berbagai faktor yang diperlukan dalam pengembangan produksi tanam tembakau.

Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk

Crosby (1992) dalam Iqbal (2007) mengatakan bahwa secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu:

1. Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan.

2. Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal.

3. Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan.

Stakeholder atau pemangku kepentingan menjadi pihak yang berperan dalam pelaksanaan pemasaran tembakau petani yang sudah dipanen. Menurut Iqbal (2007) dalam konteks sektor pertanian, secara organisasi pemangku kepentingan dapat dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas. Secara perorangan atau kelompok, pemangku kepentingan mencakup aparat pemerintah (lingkup nasional hingga lokal), peneliti, penyuluh, petani (kontak tani, pemilik, penggarap, buruh tani), pedagang (sarana produksi dan hasil pertanian), penyedia jasa (alsintan dan transportasi), dan pihak pihak terkait lainnya. Sedangkan dalam sistem perdagangan tembakau, menurut Fathorrahman dan Nasikun (2004) terdapat empat kelompok, yaitu tauke, juragan, bandol, dan petani. Sistem perdagangan yang melibatkan kelompok tersebut cenderung menampakkan hubungan superioritas struktural.

Pola kemitraan perdagangan tembakau dapat menjadi salah satu cara merangkai stakeholder yang terlibat didalamnya. Menurut UU No.9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Harjono dalam Fadloli (2005) dalam Rochmatika (2006) menambahkan bahwa kemitraan diciptakan karena pihak pertama memerlukan sumber-sumber yang dimiliki pihak lain meliputi modal, tanah, tenaga kerja, akses terhadap teknologi baru, kapasitas pengolahan dan outlet untuk pemasaran hasil produksi.

(21)

8

melalui juragan dan bandol. Juragan adalah orang yang dipercaya oleh pabrik rokok untuk membeli tembakau. Juragan ini biasanya dibantu oleh bandol yang bertugas untuk mendapatkan tembakau dari para petani.

Sebagai upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan tersebut. Rochmatika (2006) menjelaskan dalam tulisannya bahwa peran pengusaha besar dalam bermitra yaitu melaksanakan pembinaan dan pengembangan kepada pengusaha kecil dalam hal (a) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pengusaha kecil seperti pelatihan, permagangan, dan keterampilan teknis produksi, (b) menyusun rencana usaha dengan pengusaha mitra untuk disepakati bersama, (c) bertindak sebagai penyandang dana atau penjamin kredit, (d) memberikan pelayanan dan penyediaan sarana produksi untuk keperluan usaha, (e) menjamin pembelian hasil produksi pengusaha mitra sesuai kesepakatan, (f) promosi hasil produksi untuk mendapatkan pasar yang baik, dan (g) pengembangan teknologi yang mendukung pengembangan usaha dan keberhasilan kemitraan.

Berbeda dengan kemitraan di Kabupaten Pamekasan daerah tegalan dan sawah yang dilakukan bersama pabrik rokok Gudang Garam. Pihak pabrik menyediakan input seperti pupuk, bibit, pestisida dan pembinaan untuk petani. Akan tetapi, jumlah petani yang terlibat dengan kemitraan ini sedikit karena jumlah tenaga kerja yang banyak dapat mengurangi inefisiensi produksi tembakau. Jika dibandingkan dengan jumlah petani yang bermitra, petani tembakau swadaya di daerah tegalan dan sawah jumlahnya jauh lebih besar hanya dengan mengandalkan tenaga kerja dari dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja yang tidak memiliki lahan sebagian besar bermigrasi keluar daerah (Fauziah et al. 2010).

Lain halnya dengan hasil yang ditunjukkan Kertawati (2008) bahwa di Kabupaten Garut mengkategorikan tataniaga tembakau atas keterikatan modal kepada pembeli. Garut memiliki dua macam saluran tataniaga tembakau yaitu petani yang tidak terikat perjanjian modal dan petani yang terikat perjanjian modal. Petani yang terikat perjanjian modal adalah petani yang terikat ketentuan menjual hasil produksinya hanya pada pembeli tertentu saja. Biasanya petani menjual langsung kepada bandar/supplier dan kemudian langsung dikirim ke pabrik rokok (dalam saluran ini PT Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat menjual tembakaunya kepada pembeli manapun.

(22)

9

Tabel 1 Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah

Daerah Stakeholder Kategori Proses Mitra Proses Non-mitra

Madura Pabrik rokok,

Petani tembakau sebagai pihak yang menjalankan proses produksi tentunya menjadi ujung tombak bagi industri besar rokok. Bachriadi (1995) memberikan beberapa prasyarat agar petani dapat tetap berkembang (berkembang dalam ketergantungan) dalam sistem ini, yaitu:

a. Stabilnya harga jual olahan pihak inti di pasar eksternal yang nilainya relatif lebih tinggi dibanding biaya produksi minimal yang telah ditetapkan pihak inti.

b. Tersedianya manajemen usaha bagi pihak inti.

c. Ada transfer teknologi dari pihak inti kepada petani yang berlangsung dengan lancar dan berkesinambungan

d. Tersedianya modal usaha yang cukup untuk petani memulai usaha produktifnya

Seluruh prasyarat tersebut pada akhirnya memang jatuh pada pihak inti, karena pada jalinan hubungan produksi ini mereka lebih dominan. Sifat dominan itulah yang menempatkan petani pada posisi pasif di dalam kerangka hubungan produksi. Kepasifan petani ini dapat terlihat melalui hubungan kemitraan yang terjalin dengan perusahaan rokok. Susrusa dan Zulkifli (2009) mencantumkan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa kemitraan yang terjadi selama ini masih terkesan menempatkan petani dalam kondisi yang sangat lemah. Dimana petani diharuskan untuk melaksanakan kegiatan usahatani sesuai analisa yang dibuat perusahaan, sehingga petani tidak dapat bertindak sebagai manajer dalam usahataninya melainkan hanya sebagai buruh tani yang memperoleh upah (bukan keuntungan). Kesan ini muncul karena kegiatan usahatani dilakukan oleh petani mitra, sedangkan evaluasi kinerja kemitraan hanya dilakukan pihak perusahaan terhadap petani mitra. Selain itu masih ada kesepakatan-kesepakatan dalam kemitraan yang dilaksanakan perusahaan mitra belum sesuai dengan harapan. Sebagai contoh pelayanan dan fasilitas yang diberikan perusahaan dalam kemitraan dinilai belum optimal, sehingga petani hanya merasa cukup puas selama proses kemitraan yang berlangsung.

(23)

10

kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT Djarum) dan petani tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga. Berbeda dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih jalur ini karena dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat menjual tembakaunya kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan berdasarkan kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses pelaksanaannya, banyak petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran tataniaga yang pendek dan sudah ada jaminan penjualan tembakau.

Kepasifan petani yang lain dalam hubungan kemitraan adalah organisasi petani atau kelompok tani. Bachriadi (1995) mengatakan bahwa salah satu mekanisme yang diupayakan dalam penerapan contract farming adalah pengontrolan organisasi petani plasma. Petani plasma selalu diatur untuk berorganisasi hanya dalam batas-batas yang telah ditetapkan pihak inti. Pembatasan-pembatasan dalam organisasi petani selain untuk meredam keresahan petani juga diperlukan perusahaan untuk mempermudah operasionalisasi pengelolaan hubungan produksi. Pihak inti bersinggungan langsung dengan petani pada saat penyuluhan, penimbangan hasil, atau pengukuran mutu/nilai hasil produksi petani. Bahkan dalam penyuluhan pun pihak inti hanya memberikannya kepada ketua-ketua kelompok tani saja. Dengan kata lain model pengorganisasian petani lebih ditujukan untuk menunjang proses hubungan produksi antara pihak inti dan plasma dalam perspektif kepentingan pihak inti.

Uraian diatas menunjukkan bahwa posisi petani dalam mekanisme kemitraan ini sebenarnya kurang diuntungkan. Petani cenderung pasif dalam setiap pengambilan keputusan produksinya. Penentuan harga dan evaluasi kemitraan pun hanya dilakukan oleh pabrik rokok. Bachriadi (1995) menambahkan bahwa dampak hubungan ketergantungan dalam contract farming cenderung negatif untuk pihak plasma, karena cenderung eksploitatif dan merampas hak berusaha dari plasma sepenuhnya, sehingga perkembangan sosial mereka pun terhambat. Pihak plasma yang dimaksud dalam hal ini adalah petani tembakau.

Mekanisme Ketergantungan

Purwandari (2011) mengatakan bahwa terkait dengan konteks hubungan ekonomi Indonesia dengan negara maju, pencapaian pertumbuhan sub-sektor perkebunan dilakukan dengan cara meningkatkan permodalan, bahan baku dan sistem produksi, serta sistem pemasaran. Dari perkembangannya, terlihat bahwa perkebunan menjadi sektor yang penting dalam menopang perekonomian Indonesia. Namun sayangnya, perkebunan memberi peluang bagi terciptanya ketergantungan negara produsen terhadap negara maju.

(24)

11

proses sosialisasi yang diberikan oleh pihak mitra kepada petani tembakau. Sosialisasi yang diberikan ini pada akhirnya akan mengikat petani dalam memperoleh dan memilih faktor penentu proses produksi yang dibutuhkan selama penanaman tembakau.

Kembali Bachriadi (1995) menjelaskan bahwa mengikat petani dalam situasi ketergantungan finansial dan teknologi bisa dianggap sebagai satu mekanisme yang mereka ciptakan untuk mengontrol proses produksi. Pengontrolan proses produksi ini sangat penting untuk mencapai hasil yang sesuai dengan keinginan mereka. Sebagai bentuk pengontrolan proses produksi, pihak inti merencanakan menyediakan seluruh paket teknologi dan pembiayaannya. Proses pengontrolan produksi ini dapat terlihat melalui pola kemitraan Di Kabupaten Bojonegoro dimana PT Gudang Garam sebagai perusahaan yang melakukan kemitraan dengan petani tembakau dapat memberikan suplai barang produksi yang dibutuhkan petani. Latifah (2010) menjabarkannya dengan pemberian pinjaman modal yang diberikan tepat waktu dan tidak terlambat sesuai dengan kebutuhan petani. Selain itu, PT Gudang Garam juga menyiapkan pengadaan saprodi, seperti benih, pupuk, pestisida, dan teknologi yang digunakan. Penyediaan berbagai sumberdaya ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk menimbulkan perasaan tergantung petani. Kotter (2001) mengungkapkan metode yang kerap kali digunakan oleh para manajer untuk menciptakan rasa ketergantungan orang lain. Hal ini dilakukan dengan cara manajer mengidentifikasi serta menjamin (jika perlu) beraneka sumberdaya yang dibutuhkan orang lain untuk melakukan pekerjaannya, sumberdaya yang tidak dimilikinya, serta sumberdaya yang tidak tersedia dimana-mana. Menurut Latifah (2010) masalah modal awal, fluktasi harga, sarana produksi, harga jual hasil produksi, persaingan antar petani tembakau besar dan kecil, minimnya teknologi dan kesulitan akan akses pasar yang lebih luas dalam menyalurkan hasil panen tembakaunya adalah permasalahan sumberdaya yang sulit dijangkau oleh petani.

Kertawati (2008) juga menjelaskan kesulitan akses sumberdaya ini menjadi alasan petani untuk melakukan kemitraan bersama dengan perusahaan rokok besar. Petani Garut yang terikat modal dapat menjual langsung kepada bandar/supplier dan langsung dikirim ke pabrik rokok. Cara penjualan ini dipilih sebagian besar petani karena petani telah meminjam modal untuk kegiatan usahataninya kepada pembeli dan hasil yang diperoleh diserahkan kepada pedagang tersebut sesuai dengan modal yang telah dipinjamnya dulu. Bandar/supplier dalam saluran ini menentukan harga berdasarkan informasi dari pabrik rokok. Dalam kondisi demikian petani tidak dapat menjual bebas kepada pembeli lain.

(25)

12

Kerangka Pemikiran

Menurut beberapa sumber rujukan, pola kemitraan adalah salah satu cara pengembangan usaha produksi tembakau. Hubungan kemitraan ini melibatkan berbagai stakeholder dengan kesepakatan yang dibuat bersama. Salah satu diantaranya pembinaan dalam bentuk sosialisasi terkait pembudidayaan dan pilihan penggunaan faktor produksi yang diinginkan mitra. Proses inilah yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat akses petani terhadap faktor-faktor produksi tembakau. Penyedia sarana produksi, pengambil keputusan, perolehan modal, pasar penjualan tembakau, penentu harga jual, dan peluang terbukanya pasar alternatif menjadi hal yang diduga menentukan tingkat akses petani. Ketergantungan petani baru akan terlihat setelah kemitraan berjalan cukup lama. Secara sederhana dapat dijelaskan melalui Gambar kerangka analisis berikut:

Keterangan:

Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dibuat, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Penerimaan sosialisasi (bagian dalam kemitraan) petani tembakau mempengaruhi tingkat akses petani terhadap sumber lain (teknologi, finansial, dan pasar)

2. Tingkat akses petani (teknologi, finansial, dan pasar) mempengaruhi tingkat ketergantungan petani

Tingkat akses

petani Alur penjualan tembakau

Tingkat

Sosialisasi Kemitraan 1. Tipe Kemitraan 2. Hubungan dengan

(26)

13

Definisi Konseptual

Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tipe kemitraan adalah pihak yang melakukan kemitraan/kerjasama dengan petani tembakau. Tipe kemitraan ini dibagi dalam dua pihak yaitu bermitra dengan pabrik rokok atau dengan tengkulak

2. Hubungan dengan stakeholder lain adalah hubungan yang dijalin oleh pihak yang bermitra kepada pihak lain yang berkaitan dengan pembudidayaan tembakau

3. Posisi petani adalah keadaan yang terjadi pada petani selama proses kemitraan

4. Alur penjualan tembakau adalah proses distribusi hasil panen tembakau dari petani hingga pihak mitra.

Definisi Operasional

Pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional, yaitu: 1. Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak

mitra yang terkait dengan pembudidayaan tembakau. Sosialisasi yang diberikan berkaitan dengan bibit, pupuk, obat, pestisida, alat teknologi, pasar, harga, dan pendanaan. Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi nilai sebagai berikut:

- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya

- Skor 9-13 = penerimaan sosialisasi rendah - Skor 14-18 = penerimaan sosialisasi tinggi

2. Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat akses ini akan diukur melalui tiga variabel yang dijabarkan sebagai berikut: a. Teknologi

 Penyediaan sarana produksi adalah adanya kebutuhan alat dan bahan untuk proses produksi tembakau. Penyediaan ini menggolongkan setiap kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik dengan melihat jenis alat dan bahan yang disediakan, yaitu bibit, pupuk organik, pupuk kimia, pestisida, obat dan teknologi.

 Pengambil keputusan adalah langkah yang diambil oleh para aktor kemitraan dalam setiap proses pengolahan dan pengelolaan produksi tembakau yang akan dilihat dalam hal pemilihan bibit, pupuk, pestisida, obat, teknologi, dan penentuan pasar penjualan.

Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi nilai sebagai berikut:

(27)

14

b. Finansial

 Modal adalah biaya atau dana yang digunakan oleh petani tembakau terhadap seluruh pembayaran kebutuhan proses produksi tembakau.  Penentu harga adalah ketetapan harga yang digunakan oleh para aktor

dalam memberikan harga jual hasil produksi tembakau.

Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi sebagai berikut:

- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya - Skor 7-10 = tingkat akses rendah - Skor 11-14 = tingkat akses tinggi c. Pasar

 Pasar alternatif adalah peluang terciptanya proses pemasaran yang lebih luas oleh pihak petani terhadap hasil produksi berlebih.

Jumlah nilai dari variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi sebagai berikut:

- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya - Skor 5-7 = tingkat akses rendah - Skor 8-10 = tingkat akses tinggi

Tingkat ketergantungan petani terhadap tingkat akses petani akan diukur dan dinilai berdasarkan nilai akumulasi variabel tingkat akses yang dibagi atas dua kategori, yaitu:

a. Tinggi: apabila akumulasi tiga variabel memiliki dominasi nilai tingkat akses rendah

(28)

METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti dengan menambahkan informasi kualitatif pada data kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan instrumen terstruktur (kuesioner) dan wawancara sampel penelitian yang telah ditentukan untuk mengetahui tingkat akses dan ketergantungan petani tembakau. Selain itu, perolehan data diinterpretasikan lebih mendalam menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus yang bersifat deskriptif. Metode ini digunakan untuk mengetahui tipe kemitraan yang terbentuk dan alur penjualan tembakau. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk menggali informasi lebih dalam dari pihak informan dan responden.

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Bansari merupakan salah satu sentra penghasil tembakau terbaik di Kabupaten Temanggung. Desa yang berada di wilayah Gunung Sindoro ini, seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tembakau. Hubungan kemitraan petani dilakukan bersama pabrik rokok Djarum sepanjang tahun 2011. Kemitraan ini hanya melibatkan petani yang menjadi anggota kelompok tani. Petani yang terlibat wajib menanam tembakau sesuai kesepakatan. Keadaan ini menimbulkan ketergantungan petani terhadap mitra, dan mengalami berbagai kesulitan dalam hal akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Sedangkan pada tahun 2012, seluruh petani Desa Bansari tidak lagi bermitra dengan pabrik rokok. Hal ini dikarenakan petani lebih memiliki kebebasan akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Melihat dua keadaan yang berbeda inilah, peneliti memilih Desa Bansari sebagai lokasi dalam penelitian ini.

(29)

16

Penentuan Responden dan Informan Penelitian

Terdapat dua subyek dalam penelitian ini, yaitu responden dan informan. Populasi yang dipilih adalah seluruh petani di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah. Kerangka sampling yang diambil adalah seluruh petani tembakau Desa Bansari. Responden penelitian ini adalah petani tembakau Desa Bansari (Lampiran 3). Unit analisis dari penelitian ini adalah individu. Peneliti memilih Dusun Banaran, Desa Bansari secara cluster dan responden secara sensus. Keadaan ini dilihat dari populasi penduduk yang bekerja sebagai petani tembakau murni. Selain itu, pemerintah Desa Bansari tidak memiliki data tertulis terkait nama penduduk yang bekerja sebagai petani dan petani tembakau khususnya. Pemerintah desa juga tidak memiliki data terkait dengan proses kemitraan yang terjadi di tahun 2011 bersama pabrik rokok Djarum. Pendataan petani tembakau oleh pihak desa baru dilaksanakan saat peneliti berada dilapang yang dilakukan oleh masing-masing kepala dusun. Dusun Banaran sengaja dipilihkan oleh pemerintah desa karena sudah mulai melakukan pendataan. Oleh karena itu, sebanyak 65 orang petani tembakau Dusun Banaran yang sudah terdaftar kemudian dipilih seluruhnya sebagai responden dalam penelitian ini.

Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive). Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memahami perkembangan tembakau di Desa Bansari. Oleh karena itu, peneliti memilih perangkat dan sesepuh desa. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi atau data tambahan terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui kuesioner.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti, yakni hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti sendiri. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur, informasi dari internet, dokumen yang berhubungan dengan tembakau, data potensi desa, serta berbagai dokumen dan pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian.

(30)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa

Desa Bansari terletak di Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah dengan luas wilayah 302.4 Ha. Desa Bansari memiliki sembilan dusun (Dusun Sawit, Dusun Tambahrejo, Dusun Srimulyo, Dusun Tegalsari, Dusun Banaran, Dusun Bangunsari, Dusun Pringapus, dan Dusun Malatan) dengan 10 Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Letak desa ini berada di lereng Gunung Sindoro sebelah timur dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut (dpl). Batas-batas wilayah Desa Bansari adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Candisari 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gentingsari

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mranggen Tengah 4. Sebelah Barat berbatasan dengan tanah Perhutani

Lahan seluas 302.4 Ha ini dibagi menjadi beberapa bagian penggunaan lahan seperti pada Tabel 3.

Tabel 2 Penggunaan lahan Desa Bansari

No Penggunaan lahan Luas lahan (Ha) Persentase (%)

1 Pemukiman 30.50 10.08

2 Bangunan fisik 0.06 0.01

3 Tanah sawah 24.50 8.10

4 Tanah tegalan 247.40 81.81

Total 302.40 100

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

Berdasarkan data pada Tabel 2, mayoritas tanah Desa Bansari, yang terdiri dari sekitar 8% tanah sawah dan sekitar 82% tanah tegalan, digunakan sebagai lahan pertanian. Lokasi desa ini cukup dekat dengan lereng Gunung Sindoro, karena itu sebagian besar tanahnya adalah tanah tegalan. Tekstur tanah ini cenderung lebih kering dibandingkan dengan tanah sawah karena lokasinya yang berada di lereng atas Gunung Sindoro. Sedangkan, tanah sawah berada di bawah lereng Gunung Sindoro atau di sekitar pemukiman penduduk. Saat masa tanam tembakau tiba, maka semua tanah sawah dan tegalan hanya menanam tembakau. Periode tanam hingga panen tembakau dimulai pada bulan Mei sampai dengan September. Jika periode tanam tembakau selesai, maka tanah sawah Desa Bansari biasa ditanami tanaman pokok seperti padi, jagung, kacang panjang, dan kol putih. Sedangkan pada tanah tegalan hanya akan ditanami cabai merah dan bawang merah. Periode tanam ini berlangsung pada bulan Oktober hingga Maret.

(31)

18

buah balai pertemuan, 1 buah kantor LPMD, 1 buah kantor PKK, 2 buah gedung kesenian dan 4 gardu pos kamling. Sarana pendidikan terdapat 1 buah Taman Kanak-kanak (TK), dan 2 buah Sekolah Dasar (SD). Sarana kesehatan desa terdapat 1 buah posyandu, dan 1 buah puskesmas. Sementara itu, untuk sarana peribadatan di Desa Bansari terdapat 7 buah masjid, 6 buah mushola, dan 1 buah gereja.

Kependudukan Desa Bansari

Jumlah penduduk Desa Bansari pada tahun 2012 sebanyak 4 888 jiwa dengan rincian berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 2 490 jiwa dan perempuan sebanyak 2 398 jiwa. Berdasarkan kepercayaan, sebagian besar penduduk beragama Islam dengan jumlah 4 525 jiwa, Kristen sebanyak 361 jiwa, dan Budha sebanyak 2 jiwa.

Tabel 3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012 No Kelompok umur

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

Data pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada kisaran usia 20-39 tahun dengan jumlah total 2 284 jiwa jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia lainnya. Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Kepala Desa Bansari, penduduk dengan usia 30-50 tahun adalah pekerja aktif. Tetapi sebagian besar petani tembakau berada pada kisaran usia 40-60 tahun. Sedangkan kisaran usia yang lain masih berada dalam jenjang pendidikan SD hingga SLTA dan pensiunan. Kependudukan Desa Bansari berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012 No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Universitas/Akademi 110 2.30

2 SLTA/Sederajat 702 14.30

(32)

19

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Desa Bansari belum memenuhi program wajib belajar 9 tahun karena sebanyak 2 491 penduduk desa hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Penduduk lebih memilih bekerja sebagai petani tembakau jika dibandingkan harus menyelesaikan jenjang pendidikannya. Keadaan ini dipengaruhi oleh tidak adanya sarana pendidikan lanjutan dan lokasi sekolah yang jauh dari desa. Warga yang tergolong dalam kategori ini berada pada kisaran usia 40-59 tahun. Pekerjaan yang ditekuni masyarakat Desa Bansari cukup beragam dengan pembagian jenis mata pencaharian seperti pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian

No Mata pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Petani 720 41.9

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

Berdasarkan data pada Tabel 5, jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh tani lebih banyak dibandingkan penduduk yang bekerja sebagai petani. Sebagian besar petani Desa Bansari biasanya sudah memiliki lahan sawah sendiri yang dikelola secara mandiri dengan melibatkan beberapa buruh tani. Pekerjaan sebagai petani atau buruh tani bukanlah satu individu petani yang mewakili dalam satu keluarga, melainkan dalam satu keluarga bisa saja terdapat tiga atau lebih individu yang berprofesi sama. Menurut keterangan kepala desa setempat, keadaan ini menyebabkan tidak dapat dipastikannya jumlah keluarga yang bekerja sebagai petani maupun buruh tani.

(33)

20

Mitra Petani Tembakau

Kemitraan di Desa Bansari dilakukan bersama pabrik rokok Djarum. Akan tetapi kemitraan ini hanya berlangsung di sepanjang tahun 2011. Kontrak yang diberikan oleh pihak Djarum berlaku untuk satu tahun saja. Petani yang tidak bermitra, hanya melakukan kerjasama dengan tengkulak. Setelah masa kontrak selesai, petani memutuskan untuk tidak melanjutkan kemitraan, karena dianggap hanya menguntungkan pihak Djarum. Sejak tahun 2012 hingga saat ini petani hanya melakukan hubungan kerjasama dengan tengkulak. Mereka berperan sebagai pihak yang membeli hasil panen petani. Tengkulak juga kepanjangan tangan dari setiap pabrik rokok yang beroperasi di Temanggung. Hubungan kemitraan yang terjadi pada tahun 2011 terlihat seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari

Pihak mitra 2011 2012

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Pabrik Rokok 18 28 0 0

Tengkulak 47 72 65 100

Total 65 100 65 100

Berdasarkan data pada Tabel 6, pada tahun 2011 sebanyak 18 responden melakukan kemitraan dengan pabrik rokok. Responden yang bermitra dengan pabrik rokok adalah perwakilan anggota dari setiap kelompok tani di Desa Bansari. Pada tahun tersebut, pihak pabrik hanya ingin melakukan hubungan kemitraan dengan kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Sedangkan, 47 responden yang tidak bermitra bukan anggota dari kelompok tani dan hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak pembeli hasil panen.

“...waktu itu pernah ada kemitraan mbak, dari djarum. Tahun 2011 dan itu cuma setahun, setelah itu gak ada. Tapi, lebih enak sendiri sih, daripada sama pabrik, hasilnya sama aja...” (Wyt, 48 tahun)

Keuntungan saat kemitraan ini berjalan sebagian besar adalah milik pabrik rokok. Keuntungan ini berupa harga yang dipatok oleh pabrik untuk membeli daun tembakau petani, cenderung lebih rendah dibandingkan harga pasaran pada umumnya. Selain itu, pihak mitra hanya memberikan sosialisasi dan pengontrolan rutin terhadap daun tembakau yang ditanam petani. Pihak mitra juga hanya memberikan sedikit bantuan saprotan kepada petani. Tidak ada alokasi peminjaman dana dari pihak pabrik rokok. Keadaan ini dianggap merugikan petani, karena petani tidak memperoleh keuntungan dari harga yang dipatok pabrik. Selain itu, petani juga harus melengkapi kekurangan saprotan sesuai yang dibutuhkan pabrik secara mandiri dan menjual hasil panen hanya kepada pihak mitra saja.

(34)

21

tengkulak dapat dikatakan sebagai tangan kanan dari masing-masing pabrik rokok yang beroperasi di Temanggung. Peran tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli daun tembakau ketika musim panen. Bekerjasama dengan tengkulak dirasa tidak menyulitkan akses petani. Petani dapat dengan mudah memilih sarana produksi yang dibutuhkan, mencari dan menggunakan modal yang akan dikeluarkan. Selain itu, petani juga dapat melakukan penjualan kepada tengkulak manapun dengan proses tawar menawar harga yang sudah disepakati sebelumnya. Jika pada tahun tersebut terjadi perubahan harga, baik tengkulak maupun petani sudah mengetahui keadaan ini terlebih dahulu. Cara yang dilakukan adalah dengan melihat kondisi cuaca dan curah hujan saat masa tanam. Selain itu, bentuk, rasa, dan aroma daun tembakau ketika sudah dirajang juga menjadi salah satu penentu harga jual beli tembakau. Menurut penuturan responden, dibutuhkan pengalaman bertahun-tahun untuk mengetahui dengan mudah mutu dan kualitas daun tembakau yang baik. Oleh karena itu, banyak penduduk yang menjadi petani tembakau berkisar antara usia 40-59 tahun.

Merujuk pada Tabel 6, terdapat 18 responden yang terikat kontrak dengan kemitraan di tahun 2011. Ketika kontrak ini habis pada tahun 2012, 18 responden tersebut tidak lagi melanjutkan kemitraan dan memilih untuk bekerjasama dengan tengkulak, sama halnya dengan 47 responden yang memang tidak bermitra. Terdapat perbedaan kondisi saat 18 responden bermitra dengan pabrik rokok dan saat tidak lagi melanjutkan kemitraan. Perbedaan ini dilihat dari perolehan fasilitas yang diterima petani. Secara sederhana perbedaan tersebut digambarkan pada Tabel 7

Tabel 7 Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra

Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)

Mendapat sosialisasi  ×

(35)

22

hanya kepada mitra saja. Petani tidak diizinkan untuk menjual hasil panen kepada pihak lain atau pasar umum. Berbeda dengan kondisi saat 18 responden tidak lagi bermitra. Petani memilih untuk bekerjasama dengan tengkulak. Sosialisasi dan jaminan pinjaman modal dari mitra memang tidak diterima. Tetapi petani lebih mudah dalam mencari dan memperoleh saprotan sesuai dengan modal yang dimiliki. Selain itu, petani juga dapat melakukan penawaran saat menentukan harga jual bersama tengkulak. Pasar penjualan petani pun lebih bebas karena petani dapat menjual kepada tengkulak manapun. Alat teknologi yang digunakan petani juga masih sama saat bermitra ataupun tidak bermitra, karena alat berat yang dibutuhkan petani hanya alat perajang yang biasanya masing-masing petani sudah memilikinya lebih dari 7 tahun.

Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar

Kemampuan akses petani terhadap finansial, teknologi, dan pasar diperlukan oleh petani selama penanaman tembakau. Akses ini akan memudahkan petani untuk memperoleh dan memenuhi sarana yang dibutuhkan. Akan tetapi, kemudahan akses petani pada tahun 2011 berbeda dengan akses petani pada tahun 2012. Perbedaan kemampuan akses petani tembakau Desa Bansari dapat terlihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan pasar tahun 2011

Tabel 9 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan pasar tahun 2012

(36)

23

bantuan pupuk sebanyak 15 persen dari yang dibutuhkan petani. Keadaan ini membuat petani harus menyiapkan seluruh kekurangan bahan dengan jenis yang sesuai. Menurut responden, jenis bahan yang digunakan oleh pihak pabrik cukup sulit dicari dan memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga yang biasa dikeluarkan petani.

Sama halnya dengan kesulitan akses petani terhadap pasar. Responden tidak dapat memasarkan secara bebas hasil panen tembakau kepada pihak manapun, karena petani sudah dikontrak untuk menjualnya kepada pihak mitra. Akan tetapi, seluruh responden mampu mengakses finansial sesuai dengan jumlah yang diperlukan. Pada tahun 2011, hubungan kemitraan bersama pabrik tidak memberikan jaminan pinjaman modal awal, sehingga petani harus mencari sejumlah modal yang harus disiapkan. Selain itu, modal yang disiapkan lebih besar karena kebutuhan yang diperlukan juga lebih mahal dibanding yang biasa digunakan. Penentuan harga jual dilakukan oleh pihak mitra, sehingga petani tidak dapat melakukan proses tawar-menawar. Proses ini terjadi ketika masa panen tiba, perwakilan pihak mitra akan mengambil hasil panen ke setiap rumah petani mitra dan memberikan harga sesuai dengan kualitas daun yang dihasilkan. Petani tidak diizinkan untuk menawar harga yang lebih tinggi dari harga yang sudah ditentukan. Ketentuan ini sudah ada dalam perjanjian yang telah disepakati. Walaupun petani tidak dapat menawar harga jual tembakau, keadaan ini tidak menyulitkan petani jika dibandingkan dengan menyiapkan modal yang lebih besar.

Berbeda dengan 47 responden lainnya yang tidak bermitra dengan pabrik rokok. Mereka memiliki kemudahan pilihan akses lain terhadap teknologi, finansial dan pasar. Hal serupa juga terjadi pada 18 responden yang tidak melanjutkan kemitraan di tahun 2012 (Tabel 9). Perbedaan ini terlihat ketika petani lebih mudah menyiapkan semua kebutuhan produksi, tanpa harus terikat oleh ketentuan yang dibentuk oleh mitra. Pada akhirnya kebutuhan akan teknologi, finansial, dan pasar dapat ditentukan oleh masing-masing petani berbekal relasi yang dimiliki. Hanya ketika masa penjualan tembakau, petani bergantung kepada tengkulak sebagai pihak pembeli. Tidak dapat dipungkiri, selain karena tengkulak merupakan kepanjangantangan pabrik rokok, tembakau adalah bahan utama pembuat rokok di Indonesia. Selanjutnya, petani dapat memilih menjual hasil panennya kepada tengkulak yang dapat memberikan harga tinggi. Selain itu, petani juga dapat memilih lebih dari satu tengkulak untuk menjual hasil panen yang dimiliki. Pada setiap tahunnya petani dapat merubah pilihan tengkulak yang akan membeli hasil panen. Menurut keterangan yang diperoleh, biasanya bukan petani yang mencari tengkulak, melainkan tengkulak yang mencari petani dengan kualitas daun tembakau terbaik. Jika tengkulak sudah menemukan petani dengan kualitas daun yang terbaik. Tengkulak cenderung tidak akan berpindah kepada petani lain dan siap memberikan harga tinggi atas hasil panen tersebut.

(37)

24

karena itu, petani tidak ada yang membeli bibit di warung ataupun toko pertanian. Penyediaan sarana produksi lainnya seperti pupuk, obat, dan pestisida disiapkan oleh petani dengan memesan kepada distributor. Pemesanan biasa dilakukan dalam jumlah besar dengan menggunakan bantuan mobil pick-up terbuka. Selain itu, penyediaan alat teknologi pun juga dilakukan secara mandiri, karena yang dibutuhkan hanya mesin alat perajang dan alat penyemprot. Kedua alat ini biasanya sudah dimiliki petani bertahun-tahun dengan sedikit perbaikan.

“...disini mah gak susah mbak kalo nyiapin bibit, pupuk, obat, sama alat. Semua bisa disiapin sendiri. Bibit kan tinggal buat, terus pupuk sama obat kan tinggal mesen, kalo alat juga udah punya sendiri-sendiri. Jadi gak kerepotan...” (Pwt, 49 tahun)

Kebutuhan akan finansial, baik dalam hal penyediaan modal dan menentukan harga jual juga dilakukan secara mandiri oleh petani. Responden mengaku tidak mengalami kesulitan selama menyiapkan modal awal untuk membeli kebutuhan tanam tembakau. Seluruh modal diperoleh dengan cara yang berbeda, baik meminjam kepada pihak lain atau menggunakan dana pribadi, seperti yang terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal

(38)

25

dapat mengajukan kembali pinjaman kedua dan selanjutnya dengan jumlah nominal maksimal Rp15 000 000. Sedangkan responden lainnya mengatakan bahwa jumlah limit nominal dana usaha yang dapat dipinjam melalui bank biasanya sebesar Rp50 000 000. Sistem pengembalian pinjaman tersebut baru dilakukan setelah masa panen dan penjualan tembakau.

“...kalo modal, ya nyiapin sendiri, pake duit sendiri. Tapi, kalo lagi gak ada duit, baru pinjem sama bank atau koperasi. Mudah kok, ngembaliinnya juga nanti, nek wes panen...” (Frl, 40 tahun)

“...pinjem sama koperasi itu gampang, cuma isi kertas kasih copyan KTP sama KK, terus matur njaluke piro, dapet duite. Biasane niku, 20 sampe 25 yuto lah pas pinjem pisanan. Kalo kurang, ya pinjem lagi aja...”(Hsm, 55 tahun)

Selain modal, menentukan harga jual juga dapat dilakukan petani dengan tengkulak. Selama proses menentukan harga, responden dapat melakukan proses tawar menawar. Harga yang ditawarkan pun beragam dan disesuaikan dengan kualitas daun tembakau. Harga daun tembakau bisa mengalami perubahan yang tidak dapat diprediksikan sesuai kualitas daun. Kondisi kualitas daun tembakau bergantung pada curah hujan dan cuaca selama proses penanaman, panen, hingga pengeringan. Menurut kepala Dusun Banaran, salah satu ciri daun tembakau yang memiliki kualitas baik dapat dilihat dari proses pengeringan setelah daun dirajang. Daun tembakau kualitas baik dan bagus memiliki tekstur yang kasar dan kaku, aroma tembakau juga menyengat dan langsung kering setelah satu hari dijemur di bawah sinar matahari. Daun juga tidak sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Jenis daun yang seperti ini biasanya memiliki harga tinggi dengan kisaran Rp150 000 per kg sampai Rp200 000 per kg. Berbeda dengan kualitas daun yang kurang baik. Teksturnya lembut dan sedikit masih basah, aroma tembakau dari daun jenis ini juga tidak menyengat. Hal ini dikarenakan daun tembakau yang tidak langsung kering setelah dijemur selama satu hari di bawah sinar matahari. Daun ini biasanya diberi harga yang jauh lebih rendah, berkisar antara Rp50 000 per kg sampai Rp90 000 per kg.

(39)
(40)

MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI

PETANI DALAM KEMITRAAN

Stakeholder dan Peran yang dilakukan

Keberadaan pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi salah satu komponen yang sangat diperlukan dalam suatu hubungan kerjasama. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pembagian tugas dan jenis pekerjaan yang harus dilakukan. Berbeda lokasi maka berbeda pula pihak-pihak yang terlibat dalam pola kemitraan. Beberapa rujukan menyebutkan di Madura terdapat dua sistem perdagangan tembakau, dimana petani dapat menjualnya langsung ke pasar atau melibatkan juragan dan bandol. Lain halnya dengan di Pamekasan dan Garut yang hanya melibatkan petani dan pembeli (pabrik rokok) dalam proses kemitraannya. Hubungan yang terbentuk antar stakeholder ini terlihat dari pola kemitraan yang terjadi pada masing-masing daerah.

Petani tembakau, pabrik rokok, kepala desa, dan kepala dusun adalah stakeholder yang terlibat dalam hubungan kemitraan di Desa Bansari. Proses awal kemitraan ini terjalin dengan pengajuan kerjasama oleh pabrik rokok melalui kepala desa. Pengajuan kemitraan ini hanya untuk perwakilan anggota setiap kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Selanjutnya kepala desa melakukan proses diskusi bersama seluruh kepala dusun mengenai penawaran tersebut. Selanjutnya, kepala dusun mengumpulkan perwakilan anggota kelompok tani yang dianggap mampu mengikuti program ini. Setelah itu, setiap perwakilan anggota kelompok tani akan dikumpulkan kemudian diberi penjelasan lebih lanjut. Jika seluruh pihak setuju, maka kepala desa dapat memutuskan kemitraan dari pabrik rokok dapat berjalan di wilayah tersebut atau tidak.

Pemberian pembinaan (sosialisasi) mulai dilakukan pada awal pertemuan mitra dengan petani. Sebagai pihak mitra, pabrik rokok akan memberikan sosialisasi mengenai penggunaan bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang harus digunakan petani. Selain itu, mitra juga memberikan sedikit bantuan pupuk sebagai bentuk tanggung jawab yang sudah ada dalam kesepakatan. Keadaan ini membuat petani harus melengkapi kebutuhan lainnya secara mandiri. Selain itu, pengontrolan juga dilakukan secara berkala dengan memperhatikan kebersihan, cacat daun, dan perkiraan kualitas daun. Saat panen tiba, petani tidak perlu menjual hasil tembakau karena pihak pabrik langsung mengambil seluruh hasil panen. Harga daun tembakau sudah ditentukan sesuai kualitasnya. Disinilah posisi yang dianggap merugikan petani, karena petani tidak dapat menentukan harga lebih tinggi lagi dari harga yang ditetapkan.

(41)

28

Penerimaan terhadap Sosialisasi

Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak mitra terkait dengan pembudidayaan tembakau. Penerimaan sosialisasi ini dikelompokkan pada penerimaan terhadap bibit, pupuk, obat-obatan, pestisida, alat teknologi, perubahan harga alat teknologi, perubahan harga tembakau, pemilihan daun tembakau, potensi pasar alternatif, dan potensi pemberi modal. Penerimaan sosialisasi ini juga mengalami perbedaan ketika petani melakukan kemitraan tahun 2011 dan saat petani tidak lagi bermitra tahun 2012

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap sosialisasi

Penerimaan sosialisasi

2011 2012

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Rendah 47 72 65 100

Tinggi 18 28 0 0

Total 65 100 65 100

Pada tahun 2011, penerimaan sosialisasi 18 responden tergolong tinggi, karena petani tergabung dalam hubungan kemitraan dengan pabrik rokok. Sosialisasi diberikan pihak mitra kepada petani yang bermitra dan pemberian sosialisasi terbatas pada beberapa hal saja, yaitu bibit, pupuk, obat, dan pestisida. Menurut penuturan responden, sosialisasi yang diberikan mitra hanya terjadi dua kali selama kerjasama berjalan. Proses ini hanya diberikan pada awal pertemuan dan saat akan tiba masa panen. Selain itu, pemberian sosialisasi ini dimaksudkan agar petani menanam sesuai dengan yang diinginkan mitra. penjabaran aspek yang disosialisasikan oleh mitra seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12.

(42)

29

Pemberian sosialisasi kepada 18 responden terbatas pada kebutuhan petani akan bibit, pupuk, pestisida, dan obat-obatan. Hanya bantuan berupa pupuk yang diberikan oleh pihak mitra kepada petani. Bantuan ini tidak diberikan dalam jumlah yang besar, hanya 15 persen dari kebutuhan tanam tembakau, sisanya petani harus mencari dan menyesuaikan dengan jenis dari bantuan yang diberikan mitra. Sedangkan, pada aspek teknologi, alternatif modal, harga alat, harga tembakau, dan alternatif pasar tidak termasuk dalam sosialisasi.

Berbeda dengan 47 responden yang tidak bergabung dengan kemitraan dan 18 responden yang memutuskan tidak lagi bermitra pada tahun 2012. Responden tidak menerima sosialisasi dari pihak manapun sehingga penerimaan sosialisasinya tergolong rendah. Menurut responden, walau tidak menerima sosialisasi, petani dapat memilih jenis bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang ingin digunakan. Jenis yang digunakan petani memang memiliki kualitas sedikit lebih rendah dibandingkan dengan jenis yang digunakan oleh petani mitra. Petani yang tidak bermitra, memilih hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak yang membeli hasil panen petani. Selama proses kerjasama dengan tengkulak, tidak terjadi proses pemberian sosialisasi secara formal dari pihak tengkulak. Hanya pertukaran informasi mengenai perubahan harga jual tembakau selama proses kesepakatan jual beli. Sebelumnya, masing-masing pihak sudah mengetahui perubahan harga jual dilihat dari cuaca dan curah hujan serta tampilan daun tembakau yang sudah dirajang. Sehingga kesepakatan harga dapat tercapai dengan mudah tanpa harus merugikan pihak manapun.

Perbedaan penerimaan sosialisasi responden terlihat dari 18 responden yang bermitra di tahun 2011 dan tidak lagi bermitra di tahun 2012. Responden ini adalah petani yang terikat kemitraan dengan pabrik rokok Djarum. Petani menerima sosialisasi di tahun 2011 dari pihak mitra secara formal. Sedangkan di tahun 2012, responden tidak menerima sosialisasi secara formal dari tengkulak, tetapi hanya terjadi pertukaran informasi secara informal antara petani dengan tengkulak.

Tingkat Akses Petani

Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat akses ini dibagi dalam tiga kategori, yaitu akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Kemudahan petani dalam mengakses faktor produksi akan mempengaruhi ketersediaan bahan yang baik selama tanam tembakau seperti yang terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari

Tingkat akses

Petani

2011 2012

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Rendah 18 28 0 0

Tinggi 47 72 65 100

(43)

30

Pada tahun 2011, sebanyak 18 responden memiliki kemampuan akses rendah dan responden tersebut bermitra dengan pabrik rokok Djarum. Pemenuhan terhadap akses berkaitan dengan pihak mitra, terutama dalam hal teknologi dan pasar. Akses petani pada teknologi yang dipenuhi oleh pihak mitra hanya sedikit bantuan pupuk. Sedangkan sisa kebutuhan lain yang belum terpenuhi harus dipenuhi secara mandiri oleh petani karena tidak terdapat dalan perjanjian. Akses petani pada pasar juga ditentukan oleh pihak mitra. Penjualan hasil tembakau hanya boleh dilakukan dengan pihak mitra. Sedangkan akses terhadap modal tidak diberikan oleh pihak mitra, sehingga petani harus mencari mandiri. Berbeda dengan penentuan harga jual tembakau yang memang sudah ditentukan oleh pihak mitra dan petani tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi. Menurut responden yang bermitra, keadaan ini sebenarnya merugikan petani, tetapi karena keanggotaan sebagai kelompok tani dan sebagai bentuk menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan pabrik, maka responden sepakat untuk bermitra dengan pabrik rokok.

Keadaan yang berbeda terjadi pada 47 responden yang tidak bergabung dengan kemitraan pada tahun 2011 dan 65 responden di tahun 2012 yang memutuskan tidak bergabung dengan kemitraan, termasuk 18 responden diantaranya yang memilih tidak melanjutkan hubungan kemitraan. Keduanya memiliki kemampuan akses yang tinggi. Tengkulak adalah pihak yang diajak kerjasama oleh petani yang tidak bermitra. Petani dapat dengan bebas memilih setiap jenis akses kebutuhan yang diperlukan dalam menanam tembakau. Akses dalam teknologi, pasar, dan finansial dapat dicari dan diperoleh secara mandiri oleh responden. Kebutuhan dalam hal teknologi bisa diperoleh dari relasi masing-masing petani. Kemudian, kebutuhan akan pasar dapat dilakukan dengan bantuan tengkulak. Penjualan tembakau biasa dilakukan petani bersama tengkulak. Selanjutnya, kebutuhan finansial, baik cara memperoleh modal maupun harga jual tembakau dapat dilakukan secara mandiri oleh petani. Modal yang dibutuhkan dapat diperoleh melalui dana pribadi yang sudah disiapkan oleh petani atau melakukan pinjaman kepada bank atau koperasi. Harga jual tembakau tidak ditentukan oleh pihak tengkulak, melainkan terjadi proses tawar-menawar antara petani dan tengkulak. Pertukaran informasi kerap terjadi antara petani dan tengkulak mengenai perubahan harga, sehingga petani berani menawar harga lebih tinggi jika kualitas daun tembakau yang dimiliki lebih baik.

Perbedaan kemampuan akses petani dapat terlihat dari 18 responden yang bermitra di tahun 2011 dan tidak melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Perbedaan tersebut terlihat pada Tabel 14

Tabel 14 Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012

Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)

Mudah akses teknologi × 

Mudah akses saprotan × 

Mudah akses modal × 

Mudah menentukan harga jual × 

Mudah menentukan pasar × 

Gambar

Tabel 1 Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Tabel  11  Jumlah  dan  persentase  responden  menurut  penerimaan  terhadap  sosialisasi
Tabel 13 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari
+2

Referensi

Dokumen terkait

The Mean-standard-deviation (MS) Large membership function is used because the large amounts of land and ocean pixels dominate the SAR image with large mean and standard

Mesin penggerak yang digunakan adalah turbin air untuk mengubah energi potensial air menjadi kerja mekanis poros yang akan memutar rotor pada generator untuk menghasilkan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari termodinamika proses pembentukan hidrat metana sehingga diperoleh kondisi suhu dan tekanan kesetimbangan

Berdasarkan penelitian dapat disim- pulkan bahwa Rata-rata N-gain keterampilan mengkomunikasikan dan penguasaan konsep pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan

menjelaskan kalau ayat yang lalu telah menyebutkan salah satu bentuk kezaliman orang-orang yahudi yaitu menghalangi manusia menuju jalan Allah, maka ayat ini menyebut sebagian yang

Makna al- jama’ah dalam hadis dari 171 kali penyebutannya, dapat dikategorisasikan – untuk sementara sebagai kajian awal—dalam empat hal, yakni kebersamaan

Kewibawaan merupakan faktor penting dalam kehidupan kepemimpinan, sebab dengan faktor itu seorang pemimpin akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain

Based on the statement about learning and teaching grammar above, the researcher formulated research question as follow; was Transformational Grammar Drill through game effective