• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

4.1.1. Bursa Efek Indonesia

4.1.1.1.Profil Bursa Efek Indonesia

Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.

Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagimana mestinya.

Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut: pada tanggal 14 Desember 1912 Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1914-1918 Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I. Pada tahun 1925-1942 Bursa Efek di Jakarta dibuka

kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya. Awal tahun 1939 Karena isu politik (Perang Dunia II) Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup. Tahun 1942-1952 Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II. Tahun 1952 Bursa Efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI (1950). Pada tahun 1956 Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin tidak aktif. Tahun 1956-1977 Perdagangan di Bursa Efek vakum. Tanggal 10 Agustus 1977 Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama. Tahun 1977-1987 Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal.

Tahun 1987 ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia. Tahun 1988-1990 Paket deregulasi dibidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meningkat. Pada tanggal 2 Juni 1988 Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer. Bulan Desember 1988 Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan

kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal. Pada tanggal16 Juni 1989 Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya. Tanggal 13 Juli 1992 Swastanisasi BEJ. BAPEPAM berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ. Tanggal 22 Mei 1995 Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems). Tanggal 10 November 1995 Pemerintah mengeluarkan Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996. Tahun 1995 Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya. Tahun 2000 Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia. Tahun 2002 BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading). Tahun 2007 Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).

4.1.1.2.Visi dan Misi Bursa Efek Indonesia Visi

Menjadi bursa yang kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia. Misi

Menciptakan daya saing untuk menarik investor dan emiten, melalui pemberdayaan Anggota Bursa dan Partisipan, penciptaan nilai tambah, efisiensi biaya serta penerapan good governance.

4.1.2. Perkembangan Industri Tekstile Di Indonesia

Industri Tesktil Dan Produk Tekstil (Tpt) Indonesia secara teknis dan struktur terbagi dalam tiga sektor industri yang lengkap, vertikal dan terintegrasi dari hulu sampai hilir, yaitu: Sektor Industri Hulu (upstream), adalah industri yang memproduksi serat/fiber (natural fiber dan man-made fiber atau synthetic) dan proses pemintalan (spinning) menjadi produk benang (unblended dan blended yarn). Industrinya bersifat padat modal, full automatic, berskala besar, jumlah tenaga kerja realtif kecil dan out put pertenagakerjanya besar.

Sektor Industri Menengah (midstream), meliputi proses penganyaman (interlacing) benang enjadi kain mentah lembaran (grey fabric) melalui proses pertenunan (weaving) dan rajut (knitting) yang kemudian diolah lebih lanjut melalui proses pengolahan pencelupan (dyeing), penyempurnaan (finishing) dan pencapan (printing) menjadi kain-jadi. Sifat dari industrinya semi padat modal, teknologi madya dan modern – berkembang terus, dan jumlah tenaga kerjanya lebih besar dari sektor industri hulu.

Sejarah pertekstilan Indonesia dapat dikatakan dimulai dari industri rumahan tahun 1929 dimulai dari sub-sektor pertenunan (weaving) dan perajutan (knitting) dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen (sabuk), dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa Barat, dimana di daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada

tahun 1935. Dan sejak itu industri TPT Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM.

Tahun 1960-an, sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin, pemerintah Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) yang antara lain seperti OPS Tenun Mesin; OPS Tenun Tangan; OPS Perajutan; OPS Batik; dan lain sebagainya yang dikoordinir oleh Gabungan Perusahaan Sejenis (GPS) Tekstil dimana pengurus GPS Tekstil tersebut ditetapkan dan diangkat oleh Menteri Perindustrian Rakyat dengan perkembangannya sebagai berikut.

Pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau sub-sektornya, yaitu pemintalan (spinning); pertenunan (weaving); perajutan (knitting); dan penyempurnaan (finishing).

Menjelang tahun 1970, berdirilah berbagai organisasi seperti Perteksi; Printer’s Club (kemudian menjadi Textile Club); perusahaan milik pemerintah (Industri Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng, Pinda Sandang Jatim), dan Koperasi (GKBI, Inkopteksi).

Tanggal 17 Juni 1974, organisasi-organisasi tersebut melaksanakan Kongres yang hasilnya menyepakati mendirikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan sekaligus menjadi anggota API. FASE PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL INDONESIA diawali pada tahun 1970-an industri TPT Indonesia mulai berkembang

dengan masuknya investasi dari Jepang di sub-sektor industri hulu

(spinning dan man-made fiber making).

1. Periode 1970 – 1985, industri tekstil Indonesia tumbuh lamban serta terbatas dan hanya mampu memenuhi pasar domestik (substitusi impor) dengan segment pasar menengah-rendah.

2. Tahun 1986, industri TPT Indonesia mulai tumbuh pesat dengan faktor utamannya

adalah: (1) iklim usaha kondusif, seperti regulasi pemerintah yang efektif yang difokuskan pada ekspor non-migas, dan (2) industrinya mampu memenuhi standard kualitas tinggi untuk memasuki pasar ekspor di segment pasar atas-fashion.

3. Periode 1986 – 1997 kinerja ekspor industri TPT Indonesia terus meningkat dan

membuktikan sebagai industri yang strategis dan sekaligus sebagai andalan penghasil devisa negara sektor non-migas. Pada periode ini pakaian jadi sebagai komoditi primadona.

4. Periode 1998 – 2002 merupakan masa paling sulit. Kinerja ekspor tekstil nasional

fluktuatif. Pada periode ini dapat dikatakan periode cheos, rescue, dan survival.

5. Periode 2003 – 2006 merupakan outstanding rehabilitation, normalization, dan

expansion (quo vadis?). Upaya revitalisasi stagnant yang disebabkan multi-kendala, yang antara lain dan merupakan yang utama: (1) sulitnya sumber pembiayaan, dan (2) iklim usaha yang tidak kondusif.

6. Periode 2007 pertengahan – onward dimulainya restrukturisasi permesinan industri

TPT Indonesia.

Dokumen terkait