• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PEMBAHASAN

2. Gambaran Umum Situasi Perempuan di Indonesia

Indonesia hari ini adalah negeri yang perekonomiannya didominasi oleh sistem ekonomi Imperialisme Neoliberalisme.90

Dominasi dan penghisapan ini yang menjadi akar dari permasalahan rakyat Indonesia seluruhnya, juga terhadap kaum perempuan. Akibat dari kebijakan

neoliberalisme membuat rakyat semakin miskin. Rakyat masih harus hidup

semakin miskin akibat krisis ekonomi yang sampai saat ini belum juga teratasi. PHK besar-besaran hingga saat ini terus terjadi, dari hari ke hari menambah lautan penganguran di Indonesia. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makasar, merupakan tempat berjubelnya ratusan ribu orang yang hidup Imperialisme menurut Vladimir

Illich Lenin adalah tahapan tertinggi dari sistem ekonomi kapitalisme yakni

kapitalisme monopoli. Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan kepemilikan modal dan penumpukan keuntungan oleh segelintir orang dengan cara melakukan penghisapan atas tenaga kerja buruh.

tanpa pekerjaan. Mereka itu, generasi-generasi muda dan kaum perempuan yang datang dari desa menuju kota, dengan tujuan: hidup sejahtera.

Akan tetapi, sampai di kota, setelah mendapatkan pekerjaan di pabrik- pabrik mereka dilemparkan ke jalanan akibat di PHK, karena pabrik-pabrik itu bangkrut terkena terjangan krisis. Para pengangguran itu akhirnya memadati kota. Sebagai manusia yang harus hidup, mereka mencari pekerjaan apa saja, menjadi pencopet, sopir, tukang parkir, tukang palak, dan lain-lain, asal bisa menyambung hidup. Tak sedikit jumlah mereka yang terpaksa menjadi pelacur karena himpitan kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang harus segera dipenuhi.

Walaupun melakukan pekerjaan yang terpaksa karena tidak ada pilihan lain, pelacuran diperlakukan sebagai tindakan kriminal. Para pelacur di razia, disidangkan dan diadili padahal sudah jelas maraknya pelacuran sebagai pekerjaan yang tidak bermartabat adalah karena ekses kebijakan-kebijakan ekonomi politik

Neoliberal yang semakin menyengsarakan rakyat.91

Ditengah-tengah kemiskinan rakyat yang semakin menggila, rakyat miskin masih harus menjadi sasaran penggusuran. Mereka, yang sudah hidup pas-pasan, Para urban tersebut, yang karena tidak mampu lagi untuk menyewa rumah- rumah yang layak, akhirnya mendiami bantaran-bantaran sungai, lorong-lorang jembatan, kiri kanan jalan kereta api, tanah-tanah rawa yang masih kosong. Hidup dirumah-rumah yang sebetulnya tidak layak disebut rumah, harus hidup dilingkungan yang kumuh, jorok, yang setiap turun hujan harus siap siaga menghadapi banjir.

90

Soliper Kinasih, Memahami Akar Permasalahan Kaum Perempuan, KOMPAS, Selasa, 26 Juni 2007, hal. 1.

91

Dokumen Resmi Partai Rakyat Demokratik (PRD), Resolusi PRD: Jalan Keluar Bagi

yang hanya sekedar bisa menyambung hidup untuk esok harinya, dengan kejam, tanpa mengenal belas kasihan, digusur, diusir dari tempat tinggalnya. Tanpa diberi rumah baru, mereka digusur begitu saja, sehingga, dengan terpaksa harus tinggal di tenda-tenda darurat. Bayi-bayi itu, anak-anak kecil itu, beserta para ibunya harus hidup ditempat yang selayaknya bukan menjadi tempat bagi manusia.

Kapitalisme telah melemparkan kaum perempuan, menjadi buruh-buruh upahan, menjadi bagian dari baling-baling industrialisasi. Perempuan-perempuan dari golongan rakyat miskin itu bagi kapitalisme adalah tenaga kerja yang melimpah dengan upah yang murah.92 Dari desa-desa, kaum perempuan miskin itu ditarik ke kota menjadi buruh-buruh pabrik, penjaga-penjaga toko, pelayan- pelayan restoran, babu orang-orang kaya, dan bahkan, karena kerja-kerja yang bermantabat tidak mereka dapatkan lagi, mereka bekerja menjadi pelacur- pelacur.93

Sedangkan perempuan-perempuan yang tidak tertampung untuk bekerja di Indonesia yang semakin sempit lapangan pekerjaanya, sebagian besar menyerahkan nasibnya ke luar negeri, menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Di luar negeri, karena hanya tenaga yang mereka miliki, dengan sedikit ketrampilan untuk kerja-kerja rumah tangga, sering kali diperlakukan sewenang-wenang, dilucuti hak-hak sebagai manusia. Tidak ada yang bisa mengingkari lagi, sudah beribu-ribu TKW di Indonesia yang diperlakukan sewenang-wenang. Dari diperkosa, disiram dengan air panas, disetrika punggungnya, dipukul, bahkan ada yang sampai gila. Apakah kaum perempuan memang diciptakan untuk diperlakukan seperti itu?

92

C. Y. Marselina Nope, op. cit., hal. 58.

93

Selain mereka harus bekerja di pabrik, di toko-toko, ditempat kerja-kerja lainya, kaum perempuan masih harus dibebani dengan kerja-kerja rumah tangga. Kerja-kerja rumah tangga, dari membersihkan rumah, merawat anak, melayani suami, masak, mencuci, semua harus dilakukan oleh perempuan-perempuan Indonesia dari golongan yang miskin-kalau perempuan dari golongan kaya bisa membayar pembantu. Kerja-kerja kaum perempuan dirumah lebih banyak bila dibanding jam kerja di tempat kerja mereka, namun tidak dibayar sepersepun. Dan hal ini dianggap sebagai suatu kewajaran.

Keringat, jerih payah, kaum perempuan itu, sering kali dibayar oleh caci maki, tamparan suami-suami mereka karena dianggap kerjanya tidak beres. Merebaklah di Indonesia, kasus-kasus kekerasan rumah tangga yang dialami oleh kaum perempuan. Sering kali, kekerasan yang dialami kaum perempuan di rumah tangga mereka, tidak diketahui, tidak ditangani secara hukum, karena masih lemahnya posisi perempuan di Indonesia.94

Sumber (asal-usul) keterpurukkan kaum perempuan adalah PATRIARKI. Patriarki adalah musuh paling tua kaum perempuan Indonesia. Patriarki, bisa bercokol sampai saat ini, karena kegagalan Revolusi Nasional 1945 dalam menghancurkan sisa-sisa feodalisme. Feodalisme, yang seharusnya menjadi salah satu musuh revolusi pembebasan nasional, tetap dipelihara, tidak dihancurkan, Masih banyak kaum perempuan yang tidak berani melaporkan perlakukan kejam suami mereka ke aparat hukum. Akibatnya, secara berulang-ulang, kekerasan-kekerasan sang suami kepada istrinya terus terjadi.

94

Hasil wawancara dengan Mbak Diah, seorang kuasa hukum yang bekerja di KontraS – Sumatera Utara yang juga adalah kuasa hukum (Pengacara) yang mendampingi masyarakat

sehingga sisa-sisanya masih ada sampai sekarang.95

Di Indonesia, sikap diskriminasi terhadap perempuan ini sangat jelas dalam hal perkawinan. Kaum laki-laki diberi hak untuk mempunyai istri lebih dari satu (poligami), sedangkan kaum perempuan tidak diberi hak untuk bersuami lebih dari satu (poliandri). Sampai saat ini, poligami, yang sebetulnya warisan budaya patriarki, masih dipertahankan, bahkan kemudian disahkan dalam

Budaya feodal yang menempatkan kaum laki-laki sebagai poros dunia, yang memegang peran sentral dari kehidupan ini dan mempunyai keistimewaan- keistimewaan, tetap dipertahankan. Inilah yang kemudian melahirkan sistem patriarki. Dan praktek nyata diterapkannya sistem ini terdapat pada lingkungan keluarga.

Diskriminasi, sistem patriarki lahir seiring dengan lahirnya penindasan terhadap perempuan. Patriarki merupakan kelanjutan perkembangan matriaki. Dalam sejarah dunia, patriarki muncul dari pembagian kerja secara sosial, ketika perempuan mulai dipisahkan dari pekerjaan pertanian yang dianggap bidang laki- laki. Hasilnya, kekayaan meningkat, kepemilikan pribadi dan perbudakan muncul. Dalam patriarki, kepemilikan diwariskan kepada anaknya (biasanya anak laki-laki) dan laki-laki menjadi jenis kelamin dominan dalam ekonomi dan aktivitas-aktivitas lainnya. Perempuan kemudian menjadi sebuah obyek eksploitasi. Kemilikian pribadi terhadap alat-alat produksi, yang kemudian memunculkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat, merupakan cikal bakal penindasan terhadap terhadap umat manusia, termasuk kaum perempuan didalamnya.

Pematang Lalang dalam kasus sengketa tanah dengan PT. ATP (Anugerah Tambak Perkasindo), Kamis 29 Agustus 2007.

undang-undang perkawinan. UU No.1 Tahun 1974, bahwa poligami diperbolehkan untuk dilakukan walaupun dengan syarat-syarat tertentu. UU No. 1 Tahun 1974 ini juga banyak menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua dalam pasal-pasalnya yang menempatkan perempuan berkwajiban mengurusi urusan kerumahtanggaan atau domestik. Ini jelas-jelas merupakan bentuk diskriminasi yang merupakan warisan budaya patriarki yang disahkan oleh negara.96

Budaya patriarki, juga menyingkirkan perempuan dari kesempatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Akibat pandangan budaya patriarki, bahwa tugas perempuan untuk mengerjakan urusan rumah tangga, maka, hak dalam mendapatkan pendidikan juga dibedakan. Pada jaman Kartini dan masa sebelumnya, perempuan tidak diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan formal, sehingga tetap hidup dalam dunia yang tidak bisa baca tulis. Akibat diskriminasi dalam hal pendidikan ini, perkembangan perempuan Indonesia menjadi terhambat. Seperti pernyataan yang disampaikan oleh seorang ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai buruh tani kepada penulis saat diwawancarai, yang menyatakan “untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, kan nanti setelah

menikah akan menjadi ibu rumah tangga, yang tugasnya mengurus suami dan anak”.

97

Masih ada lagi, warisan budaya patriarki, yang sampai saat ini masih

Pernyataan ini cukup mewakili pandangan banyak masyarakat bahkan

kaum perempuan sendiri sampai hari ini dalam menyikapi persoalan perempuan.

95

Dokumen Resmi Partai Rakyat Demokratik (PRD), loc. cit.

96

Dokumen Resmi Partai Rakyat Demokratik (PRD), ibid., hal. 12.

97

Hasil wawancara dengan Ibu Rosdiana Sihombing, seorang buruh tani yang juga merangkap sebagai ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Desa Pematang Lalang, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang. Beliau juga merupakan salah satu pengurus Komite Pimpinan Desa –

dipeluk erat oleh masyarakat Indonesia dan malah dilegitimasi oleh negara. Budaya warisan patriarki itu adalah peraturan tentang hak waris. Dalam pembagian warisan, misalnya, dapat dilihat pada masyarakat Batak, laki-laki mendapatkan bagian lebih besar dibandingkan kaum perempuan. Ini dasarkan pada pandangan budaya patriarki, bahwa laki-laki adalah orang yang bertangungjawab dalam kehidupan keluarga, laki-laki adalah makluk yang memiliki keistimewaan-keistimewaan, sehingga, dalam pembagian hak waris pun juga harus diistimewakan.98

3. PETANI PEREMPUAN DESA PEMATANG LALANG DALAM JERATAN NEOLIBERALISME DAN PATRIARKI.

Kondisi perempuan Indonesia yang sudah digambarkan melalui penjelasan diatas juga menjadi gambaran riil dilapangan kondisi petani perempuan di Desa Pematang Lalang. Mayoritas perempuan di desa ini selain sebagai ibu rumah tangga juga berprofesi sebagai buruh tani dan hanya sedikit yang berprofesi sebagai petani. Ini dikarenakan kebanyakan dari mereka yang tidak memiliki akses pertanian atau alat produksi yaitu tanah. Kemiskinan struktural, terutama di pedesaan masih tetap menjadi wajah perempuan di desa Pematang Lalang

Selama penulis melakukan penelitian, penulis melihat bagimana perempuan-perempuan di Desa Pematang Lalang yang harus turut bekerja membanting tulang untuk membantu suami-suami mereka dalam menafkahi keluarga. Mereka mulai bangun pagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya seorang istri/ ibu melayani segala keperluan suami dan anak-anak.

Serikat Tani Nasional (KPD – STN) Pematang Lalang, Seksi Perempuan Tani. Wawancara pada tanggal 1 September 2007 di Desa Pematang Lalang.

98

Dan setelah semua pekerjaan rumah selesai, si perempuan kemudian harus bergegas pergi ke sawah (ladang) yang disebut kerja-kerja produktif misalnya menanam padi, menyemprot hama padi agar tanaman mereka berhasil dipanen, setelah panen perempuan ini ikut mengumpulkan hasil panenan, mengolah dan menjual padi yang dihasilkan kepada si tuan tanah atau sekedar menerima upah saja atas hasil kerja selama ini. Secara keseluruhan apa yang dikerjakan oleh laki- laki juga dilakukan oleh petani perempuan ini.

Tak jarang hasil panen yang mereka jual hanya dihargai sedikit oleh pasar atau tuan si pemilik tanah. Sementara biaya yang mereka keluarkan untuk mengolah tanaman sampai dapat dipanen tidaklah sedikit. Mulai dari pembelian pupuk atau obat untuk membasmi hama, bahkan tenaga untuk mengerjakan pertanian tersebut sangat melelahkan. Agar dapat terus bertahan hidup petani tersebut tetap menjual hasil panen dengan harga rendah. Buruh tani perempuan juga kerap mendapat diskriminasi dalam hal upah yang selalu dibayar lebih murah daripada buruh tani laki-laki.

Namun, pekerjaan mereka tidak berhenti disitu saja, karena sepulang dari sawah petani perempuan atau pun buruh tani perempuan ini harus kembali lagi mengerjakan pekerjaan domestik mereka yaitu, menyiapkan makan, dan malamnya harus melayani suami. Itu semua tentunya dikerjakan tanpa mendapat bayaran, tapi meskipun demikian masih saja ada perempuan mendapat perlakuan yang tidak pantas dari para suami, seperti kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu karena persoalan perekonomian (kemiskinan).

Dari wawancara dengan Ibu Rosdiana juga diperoleh keterangan perilaku beberapa suami (sebagai kepala rumah tangga), yang bermalas-malasan di warung

tuak dengan bermain judi, mabuk-mabukan atau sekedar bersantai ria menikmati obrolan dengan sesama lelaki, padahal seharusnya mereka turut dalam kerja-kerja produktif ketika sang istri atau perempuan sedang bekerja disawah. Ini merupakan bentuk ketidakadilan yang dialami jug oleh perempuan di Desa Pematang Lalang dengan beban ganda yang harus mereka pikul.

Ketidakadilan agraria yang menimpa perempuan, mendesak mereka menjadi buruh tani dengan upah sangat minim dan diskriminatif. Kondisi ini terlalu sering memaksa perempuan yang awalnya berprofesi sebagai petani akhirnya mencari pekerjaan ke sektor kerja yang eksploitatif seperti pekerja seks dan TKW. Sebagian besar mereka terperangkap menjadi korban trafficking (perdagangan perempuan).99 Hal ini juga dialami oleh salah satu keluarga di Desa Pematang Lalang yang terpaksa mengizinkan anak perempuan mereka menjadi TKW di Malaysia karena desakan ekonomi dan berhrap anaknya akan mampu memperbaiki ekonomi keluarga melalui gaji yang didapat sebagai buruh pabrik kabel di Malaysia.100

Berdasarkan beberapa pengamatan dan dialog dengan petani perempuan di Hampir semua profesi tidak lepas dari peran serta kaum perempuan, demikian halnya di bidang pertanian. Dalam kehidupan sosial pedesaan di Pematang Lalang, khususnya dalam kerja-kerja pertanian, secara turun temurun, perempuan turut berperan aktif dalam mendukung kelangsungan ekonomi dan sumber daya keluarga.

99

Bekerja: Berapa Jam Waktu yang Digunakan untuk Menuju Kemandirian Ekonomi?, Senin, 12

Oktober 2004, hal. 2.

100

Wawancara dengan Keluarga A. Nababan salah seorang anggota Serikat Tani Nasional yang istrinya juga menjabat sebagai pengurus seksi perempuan STN- Pematang Lalang. Wawancara ini dilakukan, Minggu, 26 Agustus 2007.

desa Pematang Lalang, hampir rata-rata dari mereka bekerja selama 18 jam/hari. Dimulai dari pukul 04.45 subuh para petani perempuan tersebut telah beraktifitas selayaknya seorang istri/ ibu rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian dan juga harus menyiapkan segala keperluan ataupun kebutuhan anak-anak mereka yang akan berangkat ke sekolah. 101

Budaya patriarki yang selama ini dipegang secara turun menurun ternyata telah meminggirkan dan menghilangkan peran perempuan. Petani perempuan tidak memiliki kedudukan yang mandiri akan tetapi ia merupakan bagian dari petani yang notabene adalah laki-laki, ini terlihat dari KTP petani perempuan yang kebanyakan menyatakan pekerjaan mereka adalah ibu rumah tangga, sehingga dalam setiap kesempatan apakah itu pendidikan, akses informasi, peluang ekonomi tidak pernah diberikan pada ibu rumah tangga yang petani,

Kemudian setelah itu barulah mereka berangkat ke sawah untuk melakukan kerjanya sebagai buruh tani di lahan orang lain. Sekitar pukul 15.30, mereka bersama anak perempuan dan anak laki-lakinya pergi mencari kayu baker dan buah sawit kering untuk digunakan sebagai bahan bakar memasak, dan kembali ke rumah sekitar pukul 16.30 sore hari. Setibanya dirumah, ibu-ibu petani ini kembali mengerjakan rumahnya, yakni memasak untuk makan malam keluarga. Dengan demikian hampir seluruh waktunya hanya digunakan untuk urusan rumah tangga dan kerja-kerja pertanian. Akan tetapi sumbangan yang begitu besar ini tidak di imbangi dengan hak-hak dan pelayanan yang seharusnya mereka dapatkan. Kerja perempuan tidak pernah habis untuk diselesaikan.

101

Hasil wawancara dengan Fariati br Silitonga (46 th) Op. Ridwan br. Manurung (68 th), N. Anita R. br. Tambunan (36 th) yang merupakan anggota Komite Pimpinan Desa – Serikat Tani

tetapi selalu kepada kepala keluarga karena ia seorang laki-laki. Peminggiran perempuan akibat budaya patriarki juga sangat kental dirasakan oleh perempuan di Desa Pematang lalang karena mayoritas keluarga yang bertempat tinggal di desa ini adalah suku Batak yang sangat mengagungkan budaya Bapak (laki-laki).

Posisi perempuan di desa Pematang Lalang seluruhnya di tempatkan diurutan kedua setelah laki-laki. Ini tidak asing lagi, karena warisan budaya patriarki yang masih dianut kuat oleh masyarakat Pematang Lalang. Banyak nilai- nilai dan peraturan di masyarakat yang mengaturnya demikian. Budaya patriarki dan konsep kepala keluarga telah menciptakan ketergantungan yang besar bagi perempuan terhadap seluruh sektor kehidupan. Ketergantungan itu menyebabkan perempuan tidak mandiri dalam mengambil keputusan baik terhadap diriya sendiri maupun lingkungan sosial, politik dsbnya. Karena itu kita bisa melihat bagaimana rendahnya partisipasi perempuan dan pemenuhan hak perempuan dalam seluruh sektor kehidupan itu.

Selain peminggiran posisi perempuan dalam keluarga akibat budaya patriarki, petani perempuan di Desa Pematang Lalang juga harus mengalami ketidakadilan karena tindak kekerasan akibat konflik sengketa tanah antara masyarakat yang hak atas tanah mereka dirampas oleh PT. ATP. Kekerasan negara terhadap petani dalam persoalan sengketa agraria kerap kali menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.

Kekerasan sepertinya dipandang negara atau pemilik modal sebagai jalan keluar yang paling efektif untuk menghentikan perjuangan petani untuk merebut kembali lahannya yang dirampas. Umumnya tindak kekerasan dilakukan oleh

Nasional (KPD – STN) Pematang Lalang dan warga Desa Pematang Lalang, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang. Wawancara dilakukan, Sabtu, 1 September 2007.

aparat militer, polisi dan organisasi preman. Ada beberapa metode kekerasan yang dipakai untuk menekan perlawanan petani dan dari data yang berhasil dikumpulkan, memperlihatkan bahwa perempuan yang paling banyak menjadi korban (mengalami) tindakan kekerasan tersebut. Dari metode kekerasan fisik seperti pemukulan dan penganiayaan pada saat terjadinya bentrokan, intimidasi dan terror serta metode lainnya.

Seperti yang terjadi di Desa Pematang Lalang, kecamatan Percut Sei Tuan pada tahun 1988, PT. ATP (Anugerah Tambak Perkasindo) mulai melakukan perampasan tanah di desa Pematang Lalang (Lihat lampiran). Pada tahun 1997 PT.ATP kembali melakukan pengrusakan dan perampasan tanah, perbuatan tersebut diadukan oleh Ir. Ahmad Hasan ke Poltabes (lihat lampiran). Pada tanggal 3 Agustus 1998 PT. ATP kembali melakukan perusakan dan perampasan tanah. Hal tersebut diadukan oleh warga bernama Ibu Ramisah Janda Alm. Marca Harahap dengan surat pengaduan No. Pol : LP/124/VIII/98 dan tanda penerima laporan : STPL/6/VIII/98/Ditserse di POLDASU (terlampir). Selanjutnya juga yang bersangkutan (Ishak Charlie) melakukan pembuatan surat ganti kerugian palsu atas nama Misran, yang dari keterangan beberapa orang anggota PERTISI, bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai tanah disana (surat tersebut tertanggal 21 februari 1998) sedangkan kwitansi pembayaran tertanggal 11 Januari 1998 (lihat lampiran).

Pada tahun 1998 juga terjadi bentrokan antara warga Pematang Lalang dengan PT. ATP (Anugerah Tambak Perkasindo), saat terjadi unjuk rasa di areal tambak udang perusahaan yang mengakibatkan jatuhnya korban akibat penembakan, diantaranya; Fariati br Silitonga (perempuan 46th), Abel Lumban

Raja (laki-laki 42 th), Hotlina br Silaen (perempuan 23 th) – kasus ini didiamkan dan tidak ditindak lanjuti oleh kepolisian dan pengadilan.

Ternyata kekerasan yang juga menimpa petani perempuan tak hanya berakhir sampai disitu. Pada 15 Juni 2005 seorang petani perempuan yang bernama Simpan Br Silitonga dianiaya oleh Saut Cs (Kelompok preman bayaran Ishak Charlie)102

Pada bulan Juni 2005, penganiayaan terjadi lagi. Ibu-ibu yang merupakan petani perempuan juga menjadi korban tindak kekerasan. Pada saat peristiwa terjadi, kurang lebih sebanyak 7 orang ibu-ibu petani tersebut berusaha menyelamatkan korban yang membantu perselisihan antara petani dengan preman suruhan Ishak Charlie. Mereka mendapat perlakuan kasar dari orang tak dikenal (OTK) yang melakukan penyerangan tersebut. Perlakuan kasar tersebut antara lain dirasakan pada Rosdiana Br Sihombing yang terkena pukulan didada kanannya serta ditendang perutnya hingga jatuh, Ekson Br Sinaga dan N. Anita R Br Tambunan, tubuhnya dihempas hingga jatuh pada saat berusaha menarik Johan Merdeka (korban yang berasal dari Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi- LMND yang ikut bersolidaritas), dari OTK tersebut, kemudian N. Saut br. Sinaga yang terkena tendangan dibagian perut sampai terjatuh, kemudian wajahnya

. Korban kemudian melaporkan hal tersebut ke Polsek Percut Sei. Tuan (No.pol. STPL/788/K.16/VI/2005/SPK, diterima oleh AIPTU Mody H (diduga tidak ditindaklanjuti). Kembali KontraS Sumut melayangkan surat permohonan perlindungan hukum dan pengusutan kepada KAPOLDASU dengan nomor surat: 182/B/KontraS-SU/VI/2005.

102

diludahi oleh OTK tersebut, Op.Ridwan Manurung, tubuhnya diseret oleh OTK pada saat menarik Tongam Simanjuntak (korban penganiayaan).103

Kurang lebih setahun setelah peristiwa itu, pada tanggal 2 Maret 2006, Komite Pimpinan Desa Serikat Tani Nasional (KPD-STN) Desa Pematang Lalang melakukan aksi Massa menuju kantor Bupati Deli Serdang. Pada saat longmarch menuju kantor bupati, sebanyak belasan preman bayaran yang dipimpin oleh Johnson Sihombing, yang diduga orang bayaran Ishak Charlie104 menyerang 1 orang peserta aksi yang bernama Irawanto (Ketua Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi/LMND Kota Medan) hingga mengalami luka dikepala. Pada saat terjadinya peristiwa penyerangan tersebut, Fatimah Br Nababan (Perempuan 24 thn) yang berbaris tepat disebelah kanan korban juga mendapat tendangan dibagian pinggul hingga jatuh tersungkur.105

Padahal, tanah tersebut adalah satu-satunya alat produksi yang dimiliki oleh mayoritas masyarakat bahkan sumber penghidupan utama keluarga buruh Peristiwa keji dan tidak manusiawi yang digambarkan diatas sangat jelas menggambarkan bagaimana ketidakadilan dan kekerasan yang dialami oleh

Dokumen terkait