• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PEMBAHASAN

1. Penyebab dan Asal-usul Ketertindasan Kaum

Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang perempuan sesungguhnya berkedudukan sama dengan laki-laki. Laki-laki pergi berburu, perempuan bekerja di rumah menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi.77

Para ahli antropologi menemukan bahwa asal-usul penindasan (terpinggirnya) kaum perempuan ternyata dimulai ketika berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya kearah masyarakat pertanian, seluruh struktur masyarakat pun berubah. Termasuk di antaranya hubungan antara laki-

Kemudian, ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga kemudian industri, keterlibatan perempuan pun sangat besar. Bahkan dalam masyarakat berladang, berbagai suku di dunia, perempuanlah yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik, bukan laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa peran dan kerja-kerja laki-laki dan perempuan sebenarnya sama zaman dulu.

77

Makalah Fredy Eko Prasetyo, Kesetaraan Gender Dilihat dari Sudut Antropologi

Budaya (Materi yang dibawakan pada Seminar Gender “Menelusuri Akar-akar Diskriminasi Kaum

laki dan perempuan. 78

Fase Komunal Primitif.

Para ahli antropologi dan arkeologi ini kemudian menjabarkan sejarah perkembangan masyarakat melalui fase-fase sebagai berikut:

Pada zaman komunal primitif kedudukan perempuan dan laki-laki benar- benar setara. Masyarakat dimana kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden (hidup berpindah-pindah), yang mengandalkan perburuan dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama mereka.

Dalam masa pertengahan fase komunal primitif terjadi pembagian kerja pertama antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pembedaan jenis kelamin. Laki-laki pergi berburu dan mengumpulkan makanan, sementara perempuan di rumah membuat kerajinan, mengurus anak dan kebutuhan lainnya. Namun bukan berarti pada saat ini posisi perempuan menjadi lebih rendah daripada laki-laki. Sebaliknya posisi perempuan menjadi semakin mapan dan menempati posisi-posisi penting, karena mereka yang terlibat dalam produksi ekonomi yang lebih stabil. Para perempuan ini mulai menemukan teknologi pangan seperti pertanian sederhana (pertanian primitif) dan memelihara ternak.

Sekalipun sudah menemukan model bercocok tanam sederhana, pertanian tidak dianggap sebagai satu hal yang terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama. Melainkan hanya dikerjakan oleh kaum perempuan dalam mengisi waktu senggang. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika hewan-hewan buruan mereka sedang menetap di satu tempat.

78

Namun, ketika berbagai masyarakat manusia mulai menempatkan pertanian sebagai cara hidup yang utama (masyarakat pertanian), seluruh struktur masyarakatnya pun berubah. Termasuk di antaranya hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Pertanian dan Lahirnya Patriarki

Berdasarkan data Arkeologi dan Antropologi, didapatkan keterangan bahwa pada awalnya, umat manusia tidaklah dengan sukarela memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang beranggapan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah subur yang cocok untuk bertani. Namun berdasarkan data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.79

Peradaban pertanian yang pertama kali muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya lahir dari terdesaknya suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang rumput yang kini dikenal sebagai Afrasia. Padang rumput ini mengalami ketandusan akibat perubahan iklim. Ketandusan ini berawal dari daerah Arabia dan meluas ke utara dan selatan. Bersamaan dengan mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan buruan akan berpindah mencari tempat yang masih subur.80

79

Makalah Fredy Eko Prasetyo, op. cit., hal. 3.

Saat itu para pemburu dan pengumpul, mengikuti hewan buruan ke utara dan akhirnya bertemu dengan lembah sungai Eufrat dan Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai Nil. Pada masa itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak tertembus oleh manusia. Namun demi

kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki lembah-lembah sungai ini dan berusaha menaklukkannya karena setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih tersedia air.

Perubahan kondisi alam ini menuntut mereka harus menciptakan improvisasi bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk membersihkan lahan, karena sebelumnya alat-alat yang mereka miliki hanyalah peralatan untuk berburu. Karena peralatan mereka yang primitif itu, proses pembukaan lahan ini dapat berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara jarang ada binatang buruan yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain.

Dan di saat inilah, menurut data arkeologi, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat. Mereka menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Apa yang tadinya hanya pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan utama seluruh masyarakat. Inilah awal munculnya sistem pertanian

Keharusan manusia untuk menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian, jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya. Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual). Proses untuk menghasilkan

80

sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari proses komunal menjadi proses individual.

Dan ketika pekerjaan sudah dilakukan secara individual maka hasilnya kemudian menjadi milik individu (perorangan). Pertanian memperkenalkan

kepemilikan pribadi pada umat manusia. Di samping itu, pertanian menghasilkan

lebih banyak daripada berburu dan mengumpul. Tiap kali panen, manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada yang dapat dihabiskannya. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil lebih pada prikehidupan manusia.

Namun, hasil itu harus dijaga agar cukup sampai panen berikutnya. Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan membagi hasil lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan ini menumbuhkan tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan Negara pada prikehidupan manusia.81

Dan salah satu perubahan penting dari peristiwa ini adalah terjadinya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Pertama, pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh karena itu, proses reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting untuk mendapatkan sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas seksual, yang tidak pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang penting. Dan sebagai akibat logis dari keadaan ini

81

kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif di tengah masyarakat dan terserap ke dalam kegiatan-kegiatan reproduktif.

Kedua, teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini ternyata malah

membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya bajak telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi.82

Kepemilikan Pribadi dan Patriarki

Bajak merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah ketrampilan kaum laki-laki. Masuknya peternakan ke dalam pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam bidang pertanian, semakin tertutup. Karena perempuan semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka ia pun semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai meluas di muka bumi.

Tergesernya kaum perempuan dari lapangan produktif ini terjadi dalam konteks berkembangnya kepemilikan pribadi. Dengan semakin bergesernya proses produksi komunal (kolektif) menjadi sebuah proses perorangan, maka unit pengaturan masyarakat pun berubah. Jika tadinya unit pengaturan masyarakat yang terkecil adalah suku maka kini muncullah sebuah lembaga baru, yakni keluarga.83

82

Artikel Ken Budha Kusumandaru, ibid., hal. 8.

83

Frederick Engels, op. cit., hal. 81.

Di atas kita telah melihat bahwa peranan perempuan perlahan-lahan tergusur dari lapangan produktif ke lapangan domestik. Pada awalnya ini adalah satu proses yang diterima baik oleh kaum perempuan karena pembagian kerja seperti ini dapat secepatnya meningkatkan hasil yang dapat diperoleh dari lapangan produksi itu sendiri. Dengan sukarela kaum perempuan menyerahkan tempatnya di lapangan produksi demi satu pembagian tugas yang akan meningkatkan hasil produksi setinggi-tingginya. Yang tidak dapat dilihat oleh kaum perempuan masa itu adalah peranan kepemilikan pribadi dalam menempa sebuah sistem masyarakat.

Dalam hal ini, karena proses produksi telah menjadi sebuah proses perorangan, maka alat-alat produksi juga menjadi milik perorangan. Dan bersamaan dengan itu, kepemilikan atas hasil produksi juga berubah dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan perorangan. Dan karena perempuan telah menyerahkan tempat mereka dalam lapangan produksi kepada laki-laki, maka kepemilikan atas alat-alat produksi itu kemudian juga jatuh kepada laki-laki. Dan karena kepemilikan atas alat produksi itu jatuh pada laki-laki, kepemilikan atas hasil produksinya juga jatuh ke tangan laki-laki.

Perlahan-lahan, setelah proses ini berlangsung ratusan tahun, orang pun melupakan asal-usul pergeseran ini dan hak waris dari garis laki-laki kemudian terlembagakan. Demikian pula seluruh sistem nilai dalam masyarakat yang semula menjunjung tinggi kesamaan antara laki-laki dan perempuan kini tergeser dan tergantikan oleh sistem nilai di mana laki-laki berkuasa atas perempuan. Kaum perempuan kemudian hanya berperan semata-mata sebagai pelayan dalam

keluarga. Perempuan disingkirkan dari kegiatan produksi dan diposisikan hanya sebagai aset yang dimiliki, dan berfungsi untuk melayani.

Fase Perbudakan

Sementara itu pada fase perbudakan, terjadi peperangan antar klan/suku untuk memperebutkan sumber daya alam yang menjadi faktor menuju terbentuknya masyarakat kepemilikan budak dan keadaan ini semakin membuat perempuan terpojok. Suku bangsa (klan) yang kalah perang dipaksa untuk menjadi budak bagi klan yang menang, posisi kaum perempuan pada saat ini semakin tidak berharga.

Dalam masa ini kaum perempuan juga mengalami penindasan sebagai budak84

Selain karena perang, banyak juga diantara para perempuan ini yang menjadi budak karena hutang. Para perempuan ini dijual oleh majikannya yang terdahulu, atau orang tuanya, sebagai alat pembayaran hutang. Pada fase ini ketika kegiatan produksi sudah dikerjakan oleh para budak dan diawasi para mandor, para tuan budak memiliki kesempatan untuk mengkonstruksi sistem ide yang , meski disisi lain sudah sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Kaum perempuan budak melakukan berbagai macam pekerjaan, mulai dari bertani dan memanen, menenun, pembantu rumah tangga tuan budak, hingga menjadi perempuan penghibur dan gundik. Para perempuan budak tidak hanya dipaksa untuk bekerja diluar batas kemanusiaan sebagai budak, namun juga menjadi budak seks bagi para majikannya. Sementara para perempuan yang bukan budak menjadi tidak lebih dari sekedar pajangan yang berfungsi untuk melahirkan keturunan dan mengatur rumah tangga.

84

menopang kelanggengan kekuasaannya. Pada saat inilah mulai lahir embrio

negara, meski masih dalam bentuk yang sederhana, juga sistem kepercayaan dan budaya. Termasuk budaya patriarki yang mensubordinasikan perempuan.

Fase Feodalisme

Budaya patriarki dikukuhkan sebagai sistem budaya yang utuh pada fase masyarakat feodal. Feodalisme adalah sebuah bentuk sistem ekonomi yang berlandaskan pada kepemilikan tanah yang luas oleh tuan tanah dan melakukan penghisapan kepada tani hamba yang hidup di atas tanah tersebut. Bagi para perempuan dari kalangan tuan tanah dan buruh tani, mereka tak ubahnya bunga dalam vas yang hanya jadi pajangan penghias dalam rumah tuan-tuan tanah lokal maupun asing. Para perempuan ini hanya dijadikan pemuas kebutuhan biologis semata bagi para tuan tanah tersebut.

Keadaan kaum perempuan Indonesia pada fase feodal secara ekonomi tidak jauh berbeda dengan keadaan rakyat Indonesia pada umumnya. Kemiskinan dan kelaparan semakin menjadi-jadi sebagai akibat dari penghisapan kolonialisme dan feodalisme melalui sistem tanam paksa yang semakin di luar batas kemanusiaan. Sementara bentuk-bentuk penindasan yang khas terjadi terhadap kaum perempuan, seperti penjualan perempuan dan anak, serta kasus-kasus perkosaan, juga kian merajalela.

Secara ekonomi politik dan kebudayaan, keadaan kaum perempuan Indonesia pada masa feodal tidak jauh berbeda dengan keadaan rakyat secara menyeluruh. Tetapi pada masa ini pula benih-benih perlawanan mulai tumbuh secara perlahan di kalangan rakyat dan kaum perempuan, yang ditunjukan dengan

mulai tumbuhnya gerakan perlawanan yang bersifat lokal di hampir seluruh wilayah jajahan di nusantara pada saat itu.85

Keberadaan sistem ekonomi feodalisme berlangsung secara dominan sebelum kelahiran sistem kapitalisme pada pertengahan abad ke 17, dan dihancurkan oleh perkembangan kapitalisme. Namun, di Indonesia sistem ekonomi feodalisme belum pernah mengalami kehancuran bahkan masih berlangsung secara luas, khususnya di wilayah pedesaan, namun tidak dalam bentuknya yang lama.86

Fase Kapitalisme

Perbedaan bentuk feodalisme yang lama dengan yang baru adalah, dalam bentuk yang lama produksi pertanian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten), sedangkan saat ini produksi pertanian ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan penggunaan uang yang menyebar luas di pedesaan (disebut juga sebagai ekonomi berbasis uang).

Pada fase kapitalisme, budaya patriarki dinyatakan telah menghilang dan dihapuskan dengan hancurnya model produksi feodalisme. Akan tetapi patriarki ternyata tidak pernah menghilang dan terhapuskan, meski model produksi feodalisme yang menjadi basis struktur dari ide ini telah dihancurkan.87

85

Dokumen Resmi Front Mahasiswa Nasional (FMN), Mengapa Gerakan Perempuan

Yang Berwatak Demokratis Nasional Harus Bangkit di Indonesia ( Materi DIKPOL Perempuan

FMN), 2006, hal. 3.

Wujud konkret dari masih berlangsungnya produksi feodalisme di Indonesia dapat kita lihat dari ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria di dalam negeri, yang mayoritas dikuasai oleh negara/pemerintah dan digunakan sebesar- besarnya untuk melayani kebutuhan imperialisme.

Misalnya praktek yang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PERHUTANI dimana produk pertanian/perkebunan/kehutanan yang ditanam diatas tanah tersebut adalah produk yang laku di pasar dunia. Selain itu tanah dan sumber agraria lainnya sebagian besar juga dikuasai oleh swasta asing dan dalam negeri, dengan tujuan yang sama. Sementara kaum tani miskin yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini tidak memiliki tanah dan terpaksa harus menjadi buruh tani/kebun yang dibayar murah.

Selain itu bagi kaum perempuan, feodalisme juga harus mendapat satu perhatian khusus karena merupakan salah satu akar dari sistem budaya patriarki yang menindas kaum perempuan. Feodalisme adalah tiang utama yang menyangga keberlangsungan sistem budaya patriarki.

Dalam era kapitalisme, perempuan merupakan bagian dari kaum proletar88

Selain itu, kaum perempuan dalam era kapitalisme memiliki fungsi yang lain. Yaitu sebagai komoditas dan pasar, karena sangat banyak produksi barang dan jasa yang menggunakan perempuan sebagai barang jualannya maupun sebagai pasar yang disasar. Sementara bentuk penindasan perempuan yang lainnya diseluruh dunia. Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan kepemilikan modal dan penumpukan keuntungan oleh segelintir orang dengan cara melakukan penghisapan atas tenaga kerja buruh. Oleh karena itu penghisapan yang dialami oleh kaum perempuan merupakan penghisapan yang sama sebagaimana yang dialami oleh kaum proletar lainnya, tanpa memandang jenis kelamin.

86

Dokumen Resmi Front Mahasiswa Nasional (FMN), ibid., hal. 3-4.

87

merupakan dampak dari ide patriarki yang masih berlangsung dan penghisapan kaum perempuan pekerja secara ekonomi. Kapitalisme ternyata membawa budaya patriarki yang sama.

Sistem demokrasi dan kesetaraan terhadap perempuan yang didengung- dengungkan oleh kapitalisme ternyata tidak lebih dari omong kosong. Hal ini terlihat dari parahnya martabat dan kehormatan kaum perempuan yang diinjak- injak oleh kapitalisme. Dalam konteks ekonomi dan politik, kapitalisme tetap melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dari mulai masalah upah sampai pengambilan keputusan, perempuan tetap dinomor-duakan.

Bagi kaum perempuan seperti di Indonesia, penindasan dan penghisapan yang dialami menjadi berlipat-ganda. Tidak hanya secara ekonomi, namun juga secara politik dan kebudayaan. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa feodalisme adalah tiang penyangga utama budaya patriarki. Kita dapat melihat dari hak perempuan terhadap kepemilikan lahan di pedesaan maupun di perkotaan yang tetap didiskriminasi, juga partisipasi perempuan dalam proses produksi pertanian di pedesaan yang semakin hilang.

Atau, jika mereka berpartisipasi dalam proses produksi pertanian, maka mereka dibayar jauh lebih rendah dari laki-laki. Belum lagi masalah-masalah lain yang terkait dengan kebudayaan dan politik, dimana pendidikan bagi kaum perempuan dinomor-duakan, demikian juga dengan keterlibatan kaum perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di dalam keluarga maupun masyarakat, yang kerap masih dianggap sebagai angin lalu.

88

Proletar yaitu kaum buruh atau orang yang tidak mempunyai apa-apa (modal untuk produksi ekonominya) dan hidup dengan menjual tenaganya kepada pemilik modal. (Menurut Marx dalam tulisan Doug Lourimer, Asal usul kelas dan Perjuangan kelas, hal. 4)

Penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi.89

Dari sejarah perkembangan manusia yang dimulai dari fase komunal primitif dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan sampai ditemukannya pertanian sederhana, menunjukkan bahwa peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan masih setara. Setelah masuknya pertanian modern dengan menggunakan berbagai kemajuan tekhnologi untuk meningkatkan hasil pertanian yang menyebabkan adanya kepemilikan pribadi, maka posisi perempuan semakin terpinggirkan. Ditambah lagi karena perbedaan kelamin antara laki-laki dan perempuan, dimana fungsi reproduksi hanya dimiliki oleh perempuan saja maka

Dan, pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi. Posisi kelas dua ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya memunculkan prasangka, sistem nilai dan ideologi yang menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan terutama dalam institusi keluarga.

Kepemilikan pribadi tumbuh dari sebuah proses produksi yang perorangan, di mana seluruh barang kebutuhan dihasilkan oleh perorangan. Di bawah kapitalisme halnya tidak lagi demikian. Barang kebutuhan hidup telah diproduksi secara komunal (kolektif). Namun, hasil produksi yang komunal ini masih dikuasai oleh pribadi (perorangan). Dan oleh karena sistem kepemilikan pribadi masih berjaya, maka seluruh sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah sistem nilai yang mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan.

89

posisi dan peran perempuan dalam proses produksi diambil alih oleh laki-laki secara keseluruhan. Perempuan mulai ditempatkan dirumah sebagai pengurus keluarga dan semakin lama kegiatannya hanya sebatas reproduktif. Masuknya peternakan dalam pertanian seperti adanya bajak dan teknologi pertanian yang maju, membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup buat perempuan.

Ketika perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestic dan perempuan dengan sukarela menyerahkn alat dan kerja produksi ke tangan laki- laki, ketika itulah patriarki mulai merajalela diseluruh muka bumi dan disemakin dikokohkan sejak berkembangnya sistem kepemilikan pribadi dimana seluruh alat-alat produksi beserta hasilnya dikuasai oleh individu (tidak ada kolektif). Seluruh sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat adalah sistem dimana laki- laki berkuasa atas perempuan. Memasuki fase feodalisme yang mengenal adanya kepemilikan atas budak (Tuan - Hamba) keadaan perempuan menjadi semakin parah karena mayoritas budak adalah perempuan.

Demikian halnya pada fase kapitalisme yang sangat membutuhkan dukungan patriarki, perempuan menjadi komoditas utama karena sangat banyak produksi barang dan jasa yang menggunakan perempuan sebagai barang jualannya maupun sebagai pasar. Perempuan adalah tenaga pekerja (proletar) terbesar dalam kapitalisme. Secara ekonomi dan politik, kapitalisme melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Mulai dari masalah upah sampai pengambilan keputusan, perempuan tetap dinomor-duakan. Kapitalisme tidak pernah menguntungkan bagi perempuan bahkan masyarakat termasuk laki-laki karena keuntungan yang diperoleh dari kerja-kerja buruh hanya untuk kepentingan

segelintir orang (minoritas). Sistem kepemilikan pribadi masih berjaya dalam sistem kapitalisme. Sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah juga sistem nilai yang mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan. Maka, sesungguhnya bukan hanya patriarki saja yang menjadi penyebab ketertindasan

Dokumen terkait