• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan peredaran darah dan fungsi jantung pada sepsis

Dalam dokumen Maria Galuh Kamenyangan Sari S 500708012 (Halaman 25-38)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. Gangguan peredaran darah dan fungsi jantung pada sepsis

Fenomena mekanisme gangguan otot jantung oleh karena adanya proses inflamasi diperantarai oleh adanya berbagai mediator yang beredar dalam sirkulasi. Beberapa substansi yang telah dijelaskan yakni adanya peranan utama dari TNF-α dan interleukin-1β (Kumar, 1996; CV, 2005; Lancel, 2005) serta adanya peranan interleukin-6 yang ditunjukkan sebagai kunci mediator utama gangguan fungsi otot jantung pada anak dengan meningokokus dan syok septik (Pathan, 2004).

Gambar 2. Mekanisme peningkatan cardiac troponin (cTn) dan B-type natriuretic peptide (BNP) pada pasien dengan sepsis berat dan syok septic. ALI = acute lung injury; IL = interleukin; LV = left ventricular; RV = right ventricular; RVEDP = right ventricular

end-diastolic pressure; RVSWI = right ventricular stroke work index; TNF = tumor necrosis factor. (Maeder, 2006)

Tidak banyak diketahui mengenai efek kardiovaskular pada sepsis neonatus, namun perkembangan kardiomiosit pada neonatus yang berbeda dari orang dewasa dapat menyebabkan perbedaan pula dalam efek sepsis terhadap jantung (Rudiger, 2007). Selain perbedaan mendasar dalam struktur kardiomiosit pada neonatus, telah diidentifikasi pula mengenai perubahan fungsional dalam aktivitas proliferatif dan eksitasi-kontraksi coupling (Huttenbach, 2001; Escobar, 2004).

Perbedaan ini dapat diperantarai oleh perubahan dalam ekspresi ion kalsium (calcium channel) yang didasarkan pada saluran kalium ATP-sensitif dan β-reseptor coupling, hal ini yang menjadi perbedaan dalam hasil dan pengobatan sepsis pada neonatus dibandingkan dengan sepsis pada orang dewasa (Huang, 2006; Morrissey, 2005).

Gangguan fungsi jantung dan kolapsnya saluran kardiovaskuler selama sepsis adalah akibat dari meningkatnya kadar TNF-α dan produksi nitrit oksida (NO) serta peroxynitrite yang menyebabkan kerusakan DNA lebih lanjut serta terjdinya pengurangan produksi ATP yang akan mengakibatkan kegagalan energi sekunder (Kumar, 2007; Khadour, 2002; Watts, 2004; Carcillo, 2003).

Proses apoptosis miosit pada ventrikel berhubungan dengan gangguan fungsi kardiovaskular. Serum darah pada pasien dengan sepsis secara langsung menyebabkan penurunan tingkat maksimum dan kecepatan puncak kontraksi ventrikel, mengaktivasi sitokin pro inflamasi serta menginduksi proses apoptosis pada miosit. Paparan lipopolisakarida (LPS) yang menginduksi produksi TNF-α telah dikaitkan dengan peningkatan apoptosis pada kardiomiosit orang dewasa (CV, 2005; Lancel, 2005). Namun, pada kardiomiosit neonatus, tidak ada

peningkatan apoptosis walaupun terjadi peningkatan produksi TNF-α setelah terpapar lipopolisakarida. Maka dari itu, perlu diteliti lebih lanjut bagaimana mekanisme lain mengenai gangguan fungsi kardiovaskular terkait dengan sepsis pada bayi baru lahir (Hickson, 2006). Komplikasi lain yang memperberat respon kardiovaskuler terhadap sepsis adalah adanya penyakit lain yang menyertai, seperti paten ductus arteriosus (PDA), hipertensi pulmoner, asfiksia dan asidosis (Carcillo, 2002; Crepaz, 1998).

Penurunan curah jantung (cardiac output) merupakan asumsi umum dalam gangguan fungsi otot jantung ventrikel kiri. Kardiomiopati septik ditandai dengan gangguan kontraktilitas otot jantung intrinsik biventrikuler, dengan pengurangan fraksi ejeksi dan indeks kerja ventrikel kiri (Timothy, 2008; Hunter, 2010). Poelaert dkk mengemukakan bahwa semua pasien septik mempunyai pola pengisian diastolik yang abnormal dibandingkan dengan kontrol. Pada studi syok septik yang dilakukan menggunakan ekokardiografi Doppler ini menemukan bahwa gangguan fungsi jantung pada syok septik menunjukkan disfungsi ventrikel, baik sistolik maupun diastolik yang berkesinambungan.

Diagnosis gangguan fungsi jantung pada neonatus dan bayi sampai usia kurang dari 1 tahun secara klinis dapat dinilai dengan kritria Ross, yang menilai adanya toleransi minum, baik banyaknya volume maupun lamanya waktu setiap kali minum, jenis pernapasan dan laju napas per menit, perfusi perifer, bising diastolik serta adanya hepatomegali (Motz, 2005).

Tabel 2.3. Kriteria Ross untuk menilai gagal jantung pada bayi (Motz, 2005) Gejala klinis Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Volume tiap minum (cc) 100 70-100 <70 Waktu tiap minum (menit) <40 >40

Laju napas per menit <50 50-60 >60

Jenis pernapasan normal abnormal

Perfusi perifer normal menurun

S3/ bising diastolik ada Tidak ada

Hati di bawah sela iga <2 cm 2-3 cm >3 cm

Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan lebih tepat untuk menilai kelainan anatomis dan penurunan fungsi kontraksi jantung adalah dengan ekokardiografi. Alat ini dapat digunakan untuk menilai kelainan anatomis dan penurunan fungsi jantung pada neonatus. Fungsi diastolik ventrikel kiri mempunyai peranan utama terhadap pengisian jantung kiri yang berkaitan dengan volume isi sekuncup berikutnya. Fungsi diastolik umumnya dinyatakan dengan alat ekokardiografi Doppler, yang merupakan teknik yang sederhana, non invasif dan aman untuk mengukur volume pengisian diastolik untuk mendiagnosis adanya gangguan fungsi diastolik (Vlahovic, 1999; Vignon, 2007). Ada 2 jenis pemeriksaan ekokardiografi yang ditampilkan dalam 2 dimensi yang telah banyak digunakan, yakni M-mode dan M-mode dengan Doppler. Pada pemeriksaan ekokardiografi M-mode menunjukkan tampilan refleksi gelombang ultrasonografi dari berbagai kedalaman pada aksis vertikal dan waktu pada aksis horisontal. Pemeriksaan ini ideal untuk mengukur berbagai dimensi ruang jantung dan commit to user

pembuluh darah, karena dapat dilakukan tepat pada saat siklus jantung yang dikehendaki. Dengan ekokardiografi 2 dimensi dapat dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dari berbagai sudut pandang dan yang dianggap baku adalah pandangan subkostal, parasternal, apikal dan suprasternal (Myung, 2008).

Fungsi jantung dapat diukur melalui beberapa parameter untuk menentukan adanya gangguan fungsi sistolik maupun diastolik. Fungsi sistolik dapat dinilai dengan mengukur persentase pemendekan diameter ventrikel selama sistolik (FS = fractional shortening) dan fraksi ejeksi (EF = ejection fraction), keduanya merupakan indikator yang baik dan tepat untuk menilai fungsi jantung. Fraksi pemendekan adalah presentase perubahan pada dimensi rongga ventrikel kiri saat kontraksi sistolik dan merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengekspresikan fungsi sistolik (Oemar, 2005). Fraksi pemendekan ini dihitung dari perubahan persentase diameter ventrikel kiri yang terjadi saat sistolik dengan mengukur diameter sistolik akhir dan diameter diastolik akhir menggunakan M-mode ekokardiografi Doppler. Nilai normal fraksi pemendekan adalah 28 – 44% dengan rerata 36%. Pengukuran ini tidak tergantung usia dan laju jantung, namun tergantung dari preload dan afterload ventrikel. Fraksi ejeksi merupakan teknik analisis volume sebagai indikator pompa ventrikel. Fraksi ejeksi mewakili isi sekuncup sebagai persentase dari volume akhir diastolik ventrikel kiri dengan nilai normal berkisar antara 64 – 83% dengan rerata 74% (Myung, 2008).

Fungsi diastolik ventrikel diketahui dengan mengukur kecepatan maksimal pengisian ventrikel pada saat awal diastolik (E), kecepatan maksimal pengisian

ventrikel pada saat kontraksi atrium (A), serta kecepatan rasio maksimal pengisian awal dan akhir (E/A). Pada sepsis neonatus, adanya karakteristik adanya gangguan fungsi diastolik ditunjukkan oleh ketinggian konstan waktu relaksasi ventrikel kiri, yang tampak jelas pada sepsis hari pertama, ketiga dan ketujuh (Sharma, 2007).

Fenomena depresi otot jantung pertama kali dideskripsikan oleh Parker dkk yang menampilkan ventrikulogram radionuklida serial pada 20 pasien dengan syok septik dengan hasil 13% dari subyek penelitian menunjukkan depresi fraksi ejeksi ventrikel kiri yang reversibel (LEVF) secara signifikan (Maeder, 2006). Kelompok ini menunjukkan peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan akhir sistolik, dengan demikian volume isi sekuncup dapat tetap terpenuhi meskipun terjadi gangguan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Penurunan afterload dapat terjadi pada fraksi ejeksi ventrikel kiri sebagai akibat penurunan kontraktilitas otot jantung yang diukur dengan indeks kerja ventrikel kiri pada pasien sepsis menunjukkan adanya gangguan fungsi mekanik jantung. Perubahan serupa juga diamati pada ventrikel kanan (seperti terjadinya dilatasi dan penurunan kontraksi yang ditunjukkan dengan indeks kerja ventrikel kanan).

Studi yang dilakukan oleh Poelaert dkk mengemukakan data yang sangat komprehensif dari pemantauan invasif dengan pengukuran melalui kateter arteri pulmonalis serta ekokardiografi transesofagus untuk menilai fungsi ventrikel kiri, sistolik dan diastolik pada pasien dengan syok septik. Penelitian ini menganalisis pola aliran transmitral, yakni rasio kecepatan aliran puncak pengosongan atrium kiri ke ventrikel kiri (E) terhadap kontraksi atrium kiri untuk mengalirkan sisa

darah ke ventrikel kiri (A) serta pola kecepatan aliran vena pulmonalis saat fase sistolik (S) dan diastolik (D). Berdasarkan analisis ini, subyek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok, yakni:

a. Fungsi diastolik dan sistolik ventrikel kiri normal; dinyatakan dengan kontraksi area fraksional ventrikel kiri (LVFAC) normal, pola aliran vena pulmonalis dan aliran transmitral yang normal (E/A > 1 dan S/D > 1). b. Gangguan fungsi diastolik; dinyatakan dengan kontraksi area fraksional

ventrikel kiri (LVFAC) normal, dengan aliran vena pulmonalis abnormal, serta aliran transmitral yang pseudonormal (E/A > 1 dan S/D < 1).

c. Gangguan fungsi diastolik sebagai konsekuensi adanya gangguan fungsi sistolik; dinyatakan dengan penurunan kontraksi area fraksional ventrikel kiri (LVFAC), adanya pola aliran vena pulmonalis dan aliran transmitral yang abnormal (E/A < 1 dan S/D < 1).

Pada kelompok pasien dengan gangguan fungsi diastolik dan sistolik, menunjukkan angka mortalitas yang lebih tinggi dibanding kedua kelompok yang lain. Tidak ada perbedaan yang bermakna dalam besarnya tahanan vaskuler sistemik (LVSWI) antara ketiga kelompok. Kesimpulan penelitian Poelaert dkk ini adalah rendahnya kontraksi area fraksional ventrikel kiri berhubungan secara bermakna dengan kondisi yang lebih buruk berkaitan dengan adanya gangguan fungsi diastolik pada pasien sepsis.

Pada neonatus kurang bulan maupun cukup bulan, fungsi sistolik ventrikel kiri sangat tergantung pada afterload, yang dapat meningkatkan sensitivitas neonatus terhadap adanya perburukan kondisi jantung (Crepaz, 1998; Toyono,

1998). Bayi baru lahir secara relatif mengalami penurunan massa otot ventrikel kiri dan peningkatan proporsi tipe I kolagen (kekakuan jaringan) terhadap kolagen tipe III (memberikan elastisitas) dalam jaringan otot jantung, yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan fungsi diastolik ventrikel kiri serta perubahan pemendekan pertengahan dinding ventrikel kiri pada bayi kurang bulan (Joyce, 2004; Marijian, 1994; Kozak, 2001). Kelainan fisiologis ini, sesuai dengan pernyataan bahwa otot jantung ventrikel kiri neonatus telah berfungsi sebagai dasar fungsi kontraksi jantung, yang dapat membatasi kemampuan peningkatan isi sekuncup (stroke volume) atau peningkatan kontraktilitas pada neonatus dengan sepsis.

Beberapa penelitian mengevaluasi kinerja jantung pada pasien sepsis dengan ekokardiografi transtorakal dan transesofageal. Hasil dari penelitian tersebut yakni ditemukannya penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada lebih dari 50% subyek penelitian (Spapen, 2000; Charpentier, 2004). Namun, pola spesifik pada dilatasi ventrikel kiri dengan gangguan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri hanya ditemukan pada studi Charpentier dkk meskipun dimensi ventrikel nasih normal.

Pada studi yang dilakukan oleh Shimada dkk menyatakan bahwa pada

Patent Ductus Arteriosus (PDA) meskipun terjadi peningkatan output dari

ventrikel kiri namun berdampak penurunan aliran darah yang menuju ke aorta abdominalis, arteri coeliaca, mesenterika dan renalis (Shimada, 1994; Myung, 2008).

B.2. Gangguan peredaran darah pada sepsis neonatus

Respon hemodinamik pada sepsis neonatus belum diketahui dengan jelas yang ditunjukkan dengan adanya abnormalitas hemodinamik yang bervariasi (Carcillo, 2002). Pola hemodinamik pada syok septik biasanya ditandai dengan keadaan hipersirkulasi, termasuk penurunan tahanan vaskuler sistemik dan peningkatan indeks jantung secara signifikan setelah resusitasi cairan yang memadai. Namun, beberapa penelitian telah menyatakan dengan jelas mengenai gangguan kinerja ventrikel kiri pada pasien dengan syok septik. Adanya perbedaan dalam hal anatomi, fisiologi dan adaptasi fungsi kardiovaskuler pada sepsis neonatus perlu diidentifikasi lebih lanjut untuk strategi terapi yang lebih baik. (Tabbutt, 2001).

Pada bayi baru lahir terjadi gangguan efektivitas stimulasi adrenergik eksogen oleh karena adanya saraf otonom yang belum matang secara fungsional (Rosentiel, 2001; Longin, 2006) serta peningkatan kadar katekolamin baseline, terutama pada bayi kurang bulan (Hirsimaki, 1992; Kalio, 1998). Lemahnya respon terhadap rangsangan adrenergik telah dilaporkan pada neonatus dengan syok septik, sebagai akibat dari reseptor down regulation, reseptor dari

uncoupling adenil siklase ataupun penurunan produksi c-AMP (Tabbutt, 2001).

Pada sepsis dapat terjadi gangguan mikrosirkulasi yang disebabkan oleh berbagai patogen akibat berbagai mekanisme (Setiati, 2009). Salah satunya adalah respon aliran darah pada sistem splanknikus dan mesenterika. Penurunan sirkulasi splanknik bisa disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi, khususnya selama hipovolemia relatif. Pada keadaan sepsis terjadi disfungsi endotel dan

vasokonstriksi general khususnya pada regio splanknikus sehingga mempengaruhi sirkulasi mesenterika.

Gambar 3. Mekanisme gangguan fungsi endotel vaskuler pada sepsis

Hepar dan usus merupakan organ utama yang mengalami redistribusi perfusi ke sirkulasi sistemik. Vasokonstriksi bisa terjadi akibat autoregulasi peningkatan aliran darah dari system enterik yang meningkatkan kecepatan ekstraksi oksigen. Disamping peningkatan tahanan vaskuler sistemik, vasokonstriksi yang disebabkan oleh system saraf simpatis juga mengosongkan vena pada regio splanknikus sehingga terjadi autotransfusi. Efek ini meningkatkan sirkulasi darah sampai sepertiga akibat peningkatan tekanan pengisian jantung, sehingga mempertahankan curah jantung sesuai mekanisme Hukum Starling (Setiati, 2009).

Gambar 4. Peredaran darah pada sistem saluran pencernaan (Kempley, 2000)

Selama hari-hari pertama kehidupan sirkulasi intestinum harus beradaptasi terhadap nutrisi enteral melalui sirkulasi transisional post natal. Penelitian yang dilakukan oleh Bel dkk menunjukkan bahwa kecepatan aliran darah pada arteri mesenterika superior meningkat sesuai usia gestasi dan berat badan, sedangkan Leidig dkk menemukan adanya peningkatan kejadian puasa setelah pengenalan nutrisi enteral dan peningkatan residu postprandial.

Gambar 5. Iskemia pembuluh darah mesenterika (Kempley, 2000)

Martinussen dkk mempelajari perubahan sirkulasi mesenterika dalam hubungannya dengan adaptasi hemodinamik pada neonatus cukup bulan dengan mengukur kecepatan aliran darah arteri mesenterika superior pada saat 1 jam setelah lahir sampai dengan hari kelima setelah lahir dengan ultrasound Doppler. Variabel lain yang diamati pada studi ini adalah adanya perubahan curah jantung (cardiac output), denyut jantung, tekanan darah dan sirkulasi regional lainnya. Respon sirkulasi terhadap nutrisi diamati dari hari ketiga hingga hari kelima setelah lahir.

Pada hari pertama kehidupan setelah kelahiran, neonatus yang terinfeksi menunjukkan pola hiperemia splanknikus serupa dengan pola yang ditemukan

dalam proses inflamasi pada orang dewasa. Pola ini merupakan salah satu yang resisten terhadap aliran darah, seperti yang ditunjukkan oleh berkurangnya indeks pulsasi dalam aksis coeliaca dan arteri mesenterika superior yang secara konsisten berkaitan dengan kecepatan aliran darah pada keduanya (Kempley, 2000).

Coombs, dkk. telah menjelaskan adanya peningkatan rasio aliran darah sistem coeliaca terhadap aliran darah sistolik arteri mesenterika superior pada kelompok heterogen nenatus beresiko necrotizing enterocolitis (NEC), yakni dengan adanya IUGR (Intra Uterin Growth Retardation), asfiksia, infeksi maupun dengan resiko tinggi lainnya. Pada kelompok neonatus ini, didapatkan penurunan kecepatan aliran darah arteri mesenterika superior dan penurunan kecepatan aliran darah pada aksis coeliaca.

Penelitian Kempley dkk menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan mengenai peningkatan kecepatan aliran darah pada aksis coeliaca antara kedua kelompok neonatus yang beresiko tinggi dengan neonatus normal, dengan menyingkirkan semua subjek yang memiliki berat lahir rendah. Adanya infeksi dapat menstimulasi terjadinya hiperemia splanknikus pada neonatus. Peningkatan kecepatan aliran darah pada aksis coeliaca dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas kardiovaskuler tergantung dari seberapa beratnya infeksi pada neonatus. Meskipun penurunan indeks resistensi vaskuler, sangatlah mungkin menunjukkan peningkatan kebutuhan oksigen, namun aliran darah di dalam usus tidak mengalami peningkatan (Dave, 2009; Kempley, 2000).

Traktus gastrointestinal merupakan organ yang rentan terkena efek sistemik. Pemenuhan aliran darah dan tekanan perfusi yang adekuat merupakan

langkah penting untuk memperbaiki kekurangan ini. Obat-obatan inotropik dengan efek dilatasi telah diketahui dapat meningkatkan perfusi splanknik dan oksigenasi (Setiati, 2009). Pada kondisi seperti NEC telah terbukti berkaitan dengan peningkatan kecapatan aliran darah arteri mesenterika superior (Kempley, 2000).

Pengobatan jangka pendek tujuannya adalah untuk mengoptimalkan perfusi dan distribusi oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan tubuh dalam upaya meningkatkan dan mencegah gangguan metabolisme sel-sel yang dihasilkan oleh hipoperfusi serta untuk mendukung fungsi organ dalam memperthankan homeostasis. Sepsis berkaitan dengan hipodinamik serta vasokonstriktor, sehingga lebih responsif terhadap terapi vasodilator dan inotropik (Rosentiel, 200; Rivers, 2001).

Dalam dokumen Maria Galuh Kamenyangan Sari S 500708012 (Halaman 25-38)

Dokumen terkait