• Tidak ada hasil yang ditemukan

Residu lambung

Dalam dokumen Maria Galuh Kamenyangan Sari S 500708012 (Halaman 38-53)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

C. Residu lambung

Aspirasi lambung merupakan suatu prosedur untuk penilaian terhadap toleransi asupan di mana lambung dihisap melalui selang nasogastrik atau orogastrik. Pada neonatus, penilaian toleransi asupan (minum) didasarkan pada pengukuran volume residu lambung preprandial (sebelum pemberian asupan) sebagai marker yang signifikan dan objektif untuk mengevaluasi adanya intoleransi asupan (Walter, 2002; Fletcher, 1994).

Ada beberapa definisi intoleransi asupan berdasarkan peningkatan volume residu lambung baik dinamis maupun menetap yang telah banyak digunakan. Pada neonatus, interpretasi dari hasil aspirasi lambung ini dianggap abnormal bila

volume mencapai lebih dari 30 % dari total formula yang diberikan 3 sampai 4 jam sebelum aspirasi lambung, dan memerlukan evaluasi lebih lanjut (Dollberg, 2000). Prosedur ini biasanya dilaksanakan setiap sebelum menyusui untuk menentukan apakah pemberian formula sebelumnya dapat ditoleransi dan dicerna dengan baik, untuk mengetahui adanya intoleransi minum (Gomella, 2004). Aspirasi lambung yang normal pada neonatus adalah jika didapatkan kurang dari 20% dari volume formula yang diberikan 3-4 jam sebelum pengukuran, berupa formula tak tercerna berwarna susu. (Gomella, 2004; Dollberg, 2000).

Intoleransi asupan (minum) dinyatakan dengan peningkatan volume residu lambung dinamis yakni lebih dari 20 % dari volume asupan yang telah diberikan 4 jam sebelumnya (Dollberg, 1999), lebih dari 50 % dari volume asupan yang diberikan 3 jam sebelumnya (Rayyis, 1999; Dollberg, 2000), pada pengukuran volume residu lambung setiap 3 jam. Definisi yang banyak digunakan untuk menyatakan intoleransi asupan adalah adanya volume residu lambung ≥ 2 ml formula tak tercerna (undigested formula), volume residu gaster ≥ 2 ml berwarna hijau-empedu (billious residual) ataupun volume residu gaster ≥ 3 ml berwarna hijau. Tidak ada dari berbagai definisi tersebut yang dianggap lebih baik dibanding yang lainnya pada suatu studi uji klinis (Silvestre, 1996).

Karakteristik dari jenis dan volume aspirasi lambung dapat memberikan petunjuk klinis sebagai gejala yang penting mengenai adanya penyebab masalah pada neonatus (Gomella, 2004):

1. Residu lambung warna hijau-empedu (bilious in colour) commit to user

Biasanya mengindikasikan suatu obstruksi dari lesi usus yang berlokasi pada distal ampulla Vateri. Tipe residu ini menunjukkan masalah yang serius, terutama bila terjadi dalam 72 jam pertama setelah kelahiran.

a. Obstruksi usus

Suatu studi mengemukakan bahwa 30% dari neonatus dengan residu lambung berwarna hijau-empedu yang didapatkan pada usia 72 jam pertama setelah kelahiran mengalami obstruksi, yang mana 20% dari neonatus tersebut membutuhkan terapi pembedahan. b. Necrotizing Enterocolitis (NEC)

Terjadi paling sering pada neonatus kurang bulan, hanya 10% terjadi pada neonatus cukup bulan.

c. Meconium plug

d. Penyakit Hirschprung e. Malrotasi usus

f. Volvulus g. Ileus

h. Gangguan pasase usus

2. Residu lambung bukan warna hijau-empedu (non bilious in color)

Formula minum yang tercerna maupun yang tidak tercerna dapat terlihat pada pemeriksaan aspirasi lambung jika pemberian minum dilaksanakan terlalu agresif. Hal ini sering dijimpai terutama pada neonatus kurang bulan dengan berat badan lahir rendah yang diberi formula dalam jumlah sedikit saat pertama kali pemberian minum, kemudian diberikan formula

berikutnya dengan jumlah yang lebih besar dalam waktu yang terlalu cepat.

a. Aspirasi lambung berupa formula tak tercerna (undigested

formula) dapat sering dijumpai pada neonatus, jika interval atau

rentang waktu antara pemberian minum terlalu pendek.

b. Aspirasi lambung berupa formula tercerna (digested formula) dapat merupakan suatu gejala keterlambatan waktu pengosongan lambung atau volume pemberian formula yang terlalu banyak, dapat pula oleh karena osmolaritas formula yang meningkat dengan penambahan vitamin didalamnya.

c. Necrotizing Enterocolitis (NEC)

d. Stenosis pilorus e. Striktur post-NEC f. Infeksi

g. Gangguan metabolism pada neonatus

h. Konstipasi

Serinng terjadi terutama jika abdomen tampak penuh, namun secara klinis dengan palpasi teraba supel, serta tak adanya tinja dalam kurun waktu 48 hingga 72 jam setelah kelahiran.

i. Sindrom adrenogenital j. Hipoplasi adrenal k. Intoleransi formula

Beberapa neonatus mengalami intoleransi karbohidrat yang pada umumnya memiliki proporsi utama dalam berbagai formula. Jika neonatus mendapatkan formula yang mengandung laktosa seharusnya dilakukan pemeriksaan pH tinja untuk mengetahui adanya intoleransi laktosa. Jika pH tinja asam < 5,0, maka dinyatakan sebagai intoleransi laktosa, didukung dengan adanya riwayat intoleransi susu pada keluarga, namun gejala klinis diare lebih sering didapatkan daripada aspirasi lambung.

3. Residu lambung warna cokelat-darah (bloody in colour) Sering didapatkan pada berbagai penyakit seperti :

a. Trauma oleh karena intubasi selang nasogastrik b. Manifestasi darah ibu

c. Gangguan perdarahan, antara lain defisiensi vitamin K, DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), dan penyakit koagulasi congenital yang lain.

d. Ulkus lambung e. Asfiksia fetal berat

f. Necrotizing Enterocolitis (NEC)

g. Medikasi

Beberapa obat diketahui dapat mengakibatkan perdarahan lambung, antara lain tolazoline, indometacin dan kortikosteroid. Penilaian volume aspirasi lambung lebih dari 20% total formula yang diberikan sebelumnya menurut jenis dan karakteristik residu lambung dapat disebabkan oleh

berbagai hal. Diperlukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis maupun dengan pemeriksaan penunjang (Walter, 2002; Fletcher, 1994).

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan secara khusus pada pemeriksaan abdomen. Menilai ada atau tidaknya distensi abdomen dan eritema pada kulit abdomen (secara signifikan menunjukkan gejala peritonitis), menilai peristaltik usus, dimana tidak adanya suara peristaltik usus dapat menunjukkan gejala ileus atau peritonitis), serta menilai ada tidaknya hernia, karena dapat menyebabkan gangguan obstruksi usus (Gomella, 2004).

Pada pemeriksaan laboratorium, diperlukan pemeriksaan darah rutin beserta hitung jenis untuk mengevaluasi adanya sepsis, serta pemeriksaan hematokrit dan trombosit bila terjadi perdarahan. Kultur darah disertakan pula untuk mendukung diagnosis sepsis, dan dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Pemeriksaan kalium untuk mendukung ada atau tidaknya ileus, serta menyingkirkan hipokalemia sebagai penyebab kembung pada neonatus. Tinja penting pula untuk diperiksa, khususnya pH tinja, untuk menyingkirkan adanya intoleransi laktosa (yang ditunjukkan dengan pH tinja asam < 5,0). Adanya ganggua koagulasi dapat memegang peranan sebagai etiologi terjadinya residu lambung, terutama residu darah-cokelat (bloody in colour), maka perlu diperiksa faktor-faktor pembekuan yakni Prothrombin Time (PT), Partial Thromboplastin

Time (PTT), fibrinogen dan trombosit.

Pemeriksaan penunjang lain adalah pencitraan atau radiologi berupa foto polos abdomen. Pemeriksaan ini mutlak dilaksanakan jika secara klinis terdapat aspirasi lambung berwarna hijau-empedu (bilious in colour), adanya kelainan

pada pemeriksaan fisik abdomen, atau jika terjadi aspirasi lambung terus menerus. Foto polos abdomen ini menunjukkan apakah selang nasogastrik berada dalam posisi yang benar dan akan memberikan gambaran pola gas dalam usus. Perlu dilacak pula adanya kelainan gambaran pola gas dalam usus, pneumatosis intestinalis, ileus atau adanya obstruksi usus serta gambaran air-udara (air fluid

level). Penting pula untuk menilai foto polos abdomen posisi dekubitus lateral kiri

karena suatu perforasi sering tidak terlihat pada foto polos anteroposterior. Endoskopi dapat pula dilakukan untuk menyingkirkan adanya ulkus lambung (Gomella, 2004).

C.1. Gangguan peristaltik saluran pencernaan

Gerakan peristaltik terjadi oleh karena kemampuan motilitas usus yang sudah matur melibatkan interaksi antara koordinasi dari sel-sel saraf pada usus, otot polos gastrointestinal dan sel-sel interstisial Cajal (Burns, 2009).

Berbagai aspek mengenai fungsi motorik saluran pencernaan masih menjadi masalah yang kompleks berkaitan dengan intoleransi asupan pada bayi dengan berat badan lahir rendah. Gangguan motilitas usus sering terjadi pada neonatus pada usia gestasi kurang dari 34 minggu oleh karena koordinasi antara reflek menghisap dan menelan biasanya belum umur kehamilan 34 minggu.

Molilitas usus halus kurang terkoordinasi dengan baik pada neonatus kurang bulan dibandingkan dengan neonatus cukup bulan. Hal ini disebabkan oleh imaturitas intrinsik dari sistem saraf usus, menyebabkan pertumbuhan bakteri berlebihan sehingga terjadi distensi sebagai akibat dari produk gas fermentasi bakteri (Berseth, 1996; Neu, 2007). Imaturitas usus ini memberikan kontribusi

terhadap lingkungan usus dimana berkaitan dengan interaksi terhadap nutrisi, pertahanan host imatur dan faktor lain yang menginisiasi kaskade translokasi mikroba atau produk toksin melalui sawar mukosa usus yang imatur, yang kesemuanya berperan dalam kaskade proses inflamasi (Neu, 2007).

Proses adaptasi penting dari traktus gastrointestinal pada lingkungan ekstrauterin beberapa saat setelah kelahiran adalah berkembangnya sawar mukosa usus yang dapat melawan penetrasi dari fragmen – fragmen protein. Sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap invasi kuman atau benda asing yang berbahaya melewati sawar mukosa usus, permukaan mukosa lumen usus pada neonatus harus berkembang dengan baik untuk mengontrol dan memelihara epitel usus sebagai sawar yang tidak permeabel terhadap antigen makromolekuler (Riezzo, 2009).

Intoleransi asupan enteral pada neonatus pada minggu pertama setelah lahir, merupakan masalah yang kompleks, terutama pada neonatus kurang bulan, hal ini berkaitan erat dengan pola pematangan sluran pencernaan. Mekanisme pertahanan pada sistem gastrointestinal meliputi sistem imunologi lokal terhadap fungsi dalam lingkungan usus yang kompleks sebagaimana proses non-imunologi seperti sawar lambung (gastric barrier), sekresi pada permukaan usus, gerakan perisaltik, dan sebagainya yang semuanya berkaitan dengan perlindungan maksimum pada traktus gastrointestinal. Selama periode post natal, terutama pada neonatus kurang bulan dan kurang untuk masa kehamilan, perkembangan sistem pertahanan tubuh lokal belum sempurna. Sebagai akibat dari keterlambatan

maturitas dari sawar mukosa, bayi baru lahir rentan untuk terkena infeksi oleh karena adanya substansi intralumen yang patologis (Piena, 2001; Riezzo, 2009).

Cheung dkk mengamati respon kecepatan aliran arteri mesenterika superior pada saat fase diastolik terhadap pemberian minum yang dilaporkan pada neonatus dengan patent ductus arteriosus (PDA) post shunting. Studi ini secara bermakna menunjukkan tahanan vaskuler mesenterika yang relatif lebih rendah, baik preprandial maupun post prandial sebagai mekanisme adaptasi untuk melindungi usus dari keadaan iskemik. Pada neonatus dengan sepsis, terjadi penurunan sirkulasi splanknikus menunjukkan instabilitas kardiovaskuler yang berdampak terhadap terjadinya hipoperfusi pada usus oleh karena distribusi oksigen yang kurang adekuat (Kempley, 2000).

Pemberian asupan secara enteral bermakna meningkatkan kecepatan aliran darah pada arteri mesenterika superior yang mencapai puncaknya pada waktu 30 sampai 45 menit postprandial (Coombs, 1992; Cheung, 2003). Selain itu, pemantauan pemberian asupan secara enteral dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya perubahan pada perfusi splanknik. Peningkatan kecepatan aliran darah splanknik pada neonatus sehat maupun terinfeksi tidak terlepas dari proses vasodilatasi usus sebagai respon terhadap adanya penurunan tahanan vaskuler mesenterika. (Coombs, 1992; Martinussen, 1994; Pezzati, 2000).

C.2. Pengosongan lambung

Telah diketahui bahwa pematangan fungsional saluran gastrointestinal sangat berbeda dari waktu ke waktu sehubungan dengan perkembangan anatominya (Neu, 2007; Lebenthal, 1999; Berseth, 1996). Tingkat pematangan beberapa

enzim pencernaan dicapai pada saat akhir kehamilan dan aktivitas lactase pada saat usia gestasi 34 minggu hanya mencapai 30% pada neonatus cukup bulan (Lebenthal, 1999). Sampai kini, hanya sedikit data yang menyatakan tentang perkembangan fungsi motilitas usus dan sawar mukosa pada bayi baru lahir. (Riezzo, 2009).

Untuk mengevaluasi fungsi motilitas saluran pencernaan dapat dinyatakan dengan pengukuran aktivitas elektrik lambung, pada pergerakan dinding lambung dan lamanya waktu pengosongan lambung. Metode yang sampai saat ini dipercaya untuk mengetahui fungsi motilitas lambung adalah cutaneus

electrogastrography (EGG) (Familoni, 1991). Studi EGG pada bayi baru lahir

menunjukkan tidak adanya gelombang normal saat lahir dan proses pematangan atau maturasi yang dimodulasi oleh asupan enteral (Chen, 1997; Koch, 1993; Liang, 1998; Riezzo, 2000). Pengosongan lambung dapat dinyatakan dengan ultrasonografi yang dianggap sebagai teknik yang non invasif pada neonatus (Riezzo, 2009).

Integritas fungsional sawar mukosa usus sebagian bergantung pada interaksi sel mukosa yang saling berdekatan. Metode yang paling terpercaya sampai sekarang untuk mempelajari fungsi integritas usus adalah uji absorbsi gula atau sugar absorbtion test (SAT) pada orang dewasa maupun neonatus, baik kurang bulan maupun cukup bulan (Shulman, 1998; Catassi, 1995). Beberapa proses penting yang mempengaruhi permeabilitas mukosa usus, terjadi pada saat periode neonatus, ketika sawar mukosa belum sempurna. Koordinasi fungsi motorik saluran pencernaan memegang peranan yang sangat penting dalam proses

transportasi usus, penyerapan dan pemeliharaan ekologi bakteri usus. Terjadinya keterlambatan waktu peristaltik usus dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas mukosa yang dapat difasilitasi oleh translokasi bakteri pada keadaan sepsis (Gunningham, 1991; Valori, 1992; Riezzo, 2009).

Riezzo dkk meneliti aktivitas elektrik lambung, waktu pengosongan lambung dan permeabilitas usus pada saat hari ke-3, 7, 15 dan 30 setelah lahir untuk mengevaluasi perubahan pada waktu motilitas dan permeabilitas mukosa usus dalam upaya menganalisis perbedaan fisiologi seiring dengan usia setelah kelahiran. Pada bayi baru lahir, aktivitas elektrik lambung cukup stabil dengan sedikit perbedaan dalam rasio dan pengosongan lambung pada saat hari-hari dilakukannya pemeriksaan. Sebaliknya, permeabilitas usus semakin menunjukkan perbaikan pada minggu pertama setelah kelahiran. Studi ini menyimpulkan bahwa bayi baru lahir kurang bulan yang dalam kondisi sehat, menunjukkan pematangan elektrogastrografi dan pengosongan lambung serta secara cepat mengalami perbaikan dalam permeabilitas usus (Riezzo, 2001; Riezzo, 2003; Riezzo, 2009).

Perubahan permeabilitas usus dapat menyebabkan translokasi bakteri dan komplikasi sepsis pada neonatus, namun tidak ada kajian berbasis bukti untuk mendukung pernyataan ini (O’Boyle, 1999; Kanwar, 2000). Permeabilitas usus menurun secara cepat pada neonatus yang mendapatkan ASI (air susu ibu) dibandingkan dengan neonatus yang mendapatkan formula yang dihidrolisa (Catassi, 1995; Riezzo, 2009), namun secara keseluruhan, baik penurunan maupun peningkatan permeabilitas usus selama bulan pertama kehidupan telah dijelaskan (Shulman, 1998; Riezzo, 2009).

Imaturitas usus didapatkan pada neonatus dengan usia gestasi kurang dari 34 minggu, namun dapat terjadi pada usia yang lebih matang. Imaturitas usus dapat menjelaskan terganggunya proses koordinasi gastroduodenal dan aktivitas motorik usus yang berkaitan dengan pengosongan lambung, refluks duodenogastrik dan hipomotilitas gastroduodenal (Daniel, 1999; Jadcheria, 2002). Pada neonatus kurang bulan, inisiasi pemberian asupan secara enteral akan merangsang peningkatan fungsi sawar usus (Corpeleijn, 2008) dan menunjukkan fungsi permeabilitas usus yang lebih tinggi pada saat usia 2 sampai 6 hari setelah lahir serta tidak terpengaruh oleh berat badan lahir maupun usia gestasi (Elburg, 2003).

C.3. Hubungan sistem saluran pencernaan dengan sepsis neonatus

Perkembangan sistem pencernaan terjadi pada awal minggu keempat usia gestasi. Sistem pembuluh darah mesenterika berkembang seiring dengan perkembangan usus. Pengaturan dari aliran darah mesenterika terjadi di tingkat arteriola dan prekapiler. Neonatus mempunyai tahanan pembuluh darah usus yang lebih rendah daripada fetus (Crissinger, 1992; Martinussen, 1996). Maka dari itu, aliran darah mesenterika lebih besar pada neonatus daripada fetus sampai minggu kedua bahkan minggu keempat setelah lahir, saat tahanan usus meningkat sebagai respon menurunnya aliran darah dan pasokan oksigen (Myung, 2008).

Gambabar 6. Embriologi lambung dan sistem mesenterika (Corpeleijn, 2008)

Gambar 7. Embriologi saluran pencernaan (Corpeleijn, 2008)

ika

D. Kerangka konsep

LCOS = Low cardiac output syndrome takikardi

Gangguan fungsi sistolik ventrikel ini

Gangguan aliran darah pada aorta abdominalis beserta

percabangannya (sistem splanknikus dan

mesenterika)

Iskemia sistem splanknikus dan mesenterika

Peningkatan permeabilitas membran miosit Kerusakan DNA miosit

Nekrosis dan apoptosis miosit

Penurunan kecepatan puncak kontraksi ventrikel kiri

Gangguan motilitas usus Peristaltik usus menurun

Gangguan metabolisme enzim pencernaan Keterlambatan waktu pengosongan lambung

Iskemia organ sistem pencernaan demam

Hipertrofi ventrikel kiri

Gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri

Pelepasan mediator inflamasi

(TNFα, IL-1β, IL-6, NO)

LCOS Pelebaran kaliber pembuluh darah Injury of endotel vascular Syok distributif Sepsis neonatus

Peningkatan residu lambung

Prematuritas Kelainan kongenital saluran pencernaan

(Hirschprung, stenosis pilorus, stenosis duodenum)

Necrotizing Enterocolitis

Dari kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa sepsis yang terjadi pada neonatus dapat menyebabkan gangguan fungsi sistolik dan diastolik jantung melalui mekanisme kerusakan DNA, nekrosis, apoptosis serta peningkatan permeabilitas membran miosit yang mengakibatkan gangguan kinerja ventrikel kiri (Rudiger, 2007). Selain itu, gejala klinis sepsis, seperti adanya demam akan menyebabkan takikardi dan hipertrofi otot ventrikel kiri yang berakibat gangguan fungsi sistolik. Kesemuanya berdampak menjadi sindroma penurunan curah jantung yang akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke sistemik, termasuk aorta abdominalis beserta percabangannya, secara khusus terjadi penurunan aliran darah pada sistem splanknikus dan mesenterika yang berakibat iskemia organ saluran pencernaan dan berdampak terjadinya gangguan motilitas usus, penurunan fungsi peristaltik, gangguan metabolisme enzim pencernaan serta keterlambatan waktu pengosongan lambung yang bermanifestasi sebagai adanya peningkatan residu lambung (Corpeleijn, 2008). Selain itu, faktor yang mempengaruhi adanya peningkatan residu lambung antara lain prematuritas, adanya kelainan kongenital saluran pencernaan dan NecrotizingEnterocolitis (NEC).

E. Hipotesis

Terdapat hubungan antara residu lambung dengan gangguan fungsi jantung pada sepsis neonatus.

Dalam dokumen Maria Galuh Kamenyangan Sari S 500708012 (Halaman 38-53)

Dokumen terkait