• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Penyelesaian Masalah Ganti Rugi terhadap Korban Perkosaan di Waktu Perang Perang

D. 3. Ganti Rugi Rwanda

Jika melihat dalam ketentuan statuta ICTY, ganti rugi dimungkinkan, hanya saja sebatas harta benda kepemilikan yang dirusak atau mengalami kerusakan akibat tindak kejahatan yang dilakukan (Pasal 24 ayat (3)) sedangkan untuk kasus perkosaan, dengan klausul seperti itu berarti korban perkosaan tidak bisa mengajukan ganti rugi atas apa yang telah dideritanya.

Adalah hal yang sesungguhnya timpang ketika dalam statuta ICTR dan ICTY diatur mengenai hak terdakwa tetapi sama sekali tidak berbicara/menyinggung hak korban.

D. 3. Ganti Rugi Rwanda

73

Catherine Petruzz, Bosnia : Why your Voice Matters

Para peserta tersebut berharap dapat belajar dari negara-negara yang telah memiliki mekanisme dalam menghadapi persoalan semacam ini74

Format kompensasi yang akan diberikan bagi korban di Rwanda menjadi topik utama dalam pertemuan Persatuan Afrika (The Organisation of African Unity Summit-OAU) yang dilakukan di Togo. Meminta kompensasi bagi para korban genosida 1994 di Rwanda merupakan hal yang dipermasalahkan oleh OAU dimana mereka merupakan hal yang dipermasalahkan oleh OAU dimana mereka menyalahkan kekuatan negara-negara barat karena kegagalannya melakukan intervensi untuk menghentikan pembunuhan masal yang terjadi saat itu.

Meskipun sebagian besar negara-negara Afrika terlibat dalam kegiatan ini ada beberapa negara yang menolak terlibat didalamnya, diantaranya Angola dan Namibia.

OAU secara khusus menyalahkan Perancis dan Amerika Serikat dan menyalahkan secara umum negara-negara Dewan Keamanan PBB, sebagai pihak yang bersalah karena gagal mencegah genosida yang terjadi tersebut.

.

Perancis dianggap bersalah karena Perancis sesungguhnya melakukan kontak yang sangat intens dengan mantan Presiden Rwanda dari suku Hutu yang karenannya seharusnya dapat / melakukan tekanan – tekanan untuk mencegah terbunuhnya 800.000 orang75

74

Semianr on compensation of Genosida victims opens

.

Juni 2010. 75

Togo’s President Eyedema : “Controversial host and major west African power Ivory coast has been excluded because of December’s military coup”.

Amerika Serikat disalahkan karena kegagalannya menggunakan pengaruhnya di dewan keamanan PBB untuk mengirimkan intervensi pasukan militer untuk mencegah pembunuhan yang terjadi. Laporan yang dikeluarkan OAU mengatakan bahwa pihak Barat telah gagal mengambil tindakan padahal ada banyak bukti yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa pembunuhan masal tersebut akan terjadi.

Para perumus laporan tersebut diantaranya adalah mantan presiden Ketumile Masire dari Bostwana, Jenderal Ahmadou Toure dari Mali, Mantan Ketua Peradilan dari India PN Bhagwati dan beberapa senior PBB membuat laporan tersebut menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan secara serius.

Dalam kesimpulan laporan tersebut dikatakan bahwa sebuah permintaan maaf yang sangat sederhana sebagaimana yang telah dilakukan oleh PBB tidaklah cukup untuk itu, mereka meminta adanya ganti rugi. Laporan tersebut juga meminta adanya ganti rugi. Laporan tersebut juga meminta agar dilakukannya di Tanzania agar dipindahkan agar dipindahkan di Rwanda. Hal lainnya yang juga diminta adalah dilakukannya ekstradisi bagi orang-orang yang dicurigai sebagai kepala pimpinan yang melakukan genosida di beberapa negara di Eropa, Afrika dan Amerika Serikat76

Jika melihat dalam statuta ICTR maka sama halnya dengan statuta ICTY, dalam statuta ICTR akan kita temukan bahwa ganti rugi sesungguhnya dimungkinkan, hanya saja sebatas harta benda kepemilikan yang dirusak atau mengalami kerusakan akibat tindak kejahatan yang dilakukan (Pasal 23 ayat

.

76

Rwanda counts its dead,

(3)) sedangkan untuk kasus perkosaan, dengan klausul seperti itu berarti korban perkosaan tidak bisa mengajukan ganti rugi atas apa yang telah dideritanya.

Berdasarkan laporan komisi hak asasi manusia dilaporkan bahwa untuk menghindari terlalu penuhnya penjara akibat peristiwa pembantai yang telah berlalu maka dibuat mekanisme yang diadopsi dari kebiasaan adat masyarakat setempat (gacaca-pengadilan oleh masyarakat) yang mana cara ini akan diberlakukan kepada tiga dari empat kategori tersangka pelaku genosida. Yang tidak akan menggunakan cara ini adalah kategori pertama yaitu mereka yang merencanakan genosida, melakukan pembunuhan dan melakukan kekerasan/penyiksaan seksual. Ganti rugi hanya berlaku terhadap kejahatan terhadap benda milik (property), jika pelaku kejahatan tidak sanggup membayar maka ia harus melakukan kerja sosial (community services).

Pemerintah Rwanda telah berulang kali mengindikasikan keinginannya untuk memberikan ganti rugi kepada para pihak yang selamat dari genosida dan keluarga korban atas kerugian yang mereka alami. Hanya saja jumlah kepastian yang akan diberikan belum juga dipastikan dan sampai dengan saat ini belum ada pihak yang menerima ganti rugi tersebut.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Johns Hopkins Centre for Communication Programs, sebuah LSM Internasiolah, terhadap warga

Rwanda mengenai ganti rugi akibat genosida yang terjadi, mereka berpendapat agar 77

a. 86% responden sangat sependapat dengan ganti rugi yang diberikan :

b. Pihak – pihak yang dianggap perlu untuk mendapatkan ganti kerugian adalah : anak – anak mereka (51%), para orang tua (45%), pasangan hidup (suami/isteri) (37%), saudara laki-laki (17%) dan saudara perempuan (16%).

c. Pembayaran dalam bentuk uang secara langsung kepada korban/keluarganya merupakan pilihan yang paling banyak dipilih.

d. Sekitar (65%) responden berpendapat bahwa pihak yang bersalah melakukan genosida dan keluarganya harus bertanggung jawab dalam membayar ganti rugi tersebut.

e. (69%) responden berpendapat bahwa dengan membayar ganti rugi merupakan bentuk keinginan pihak yang melakukan genosida untuk melakukan rekonsiliasi.

f. (58%) responden terutama mereka yang kehilangan anggota keluarganya akibat genosida (68%), menganggap bahwa pembayaran ganti rugi tidak sebegitu penting dalam mewujudkan perdamaian di negara tersebut.

g. (89%) responden berpendapat bahwa perdamaian yang berkelanjutan hanya dapat terwujud jika pelaku-pelaku genosida menyadari kesalahan mereka, meminta maaf dan menunjukkan niat untuk melakukan rekonsiliasi.

77

Gacaca Perceptions & Itentions, Johns Hopkins Centre for Communication Programs,

Pemerintah Rwanda telah membentuk lembaga keuangan nasional yang ditujukan melakukan Pendampingan terhadap para mereka yang selamat dari tindakan genosida dan pembunuhan masal. Dana ini direncanakan akan digunakan untuk melakukan pendampingan terhadap pihak – pihak yang selamat dari genosida dan pembunuhan masal yang mengalami trauma yang besar. Untuk menyiapkan program bagi lembaga keuangan ini, dilaksanakan sensus bagi pihak-pihak yang selamat dari genosida yang tidak hanya bicara mengenai jumlah saja tetapi juga gambaran sosial dan ekonomi kelompok tersebut sehingga dapat memberikan gambaran sesungguhnya mengenai kebutuhan mereka sesungguhnya78

78

Tharcisse NTUKANYAGWE & Ildephonse KARENGERA “LESSONS LEARNED IN RWANDA”

. Namun, sampai saat ini belum ada satupun pihak yang telah menerima kompensasi yang dijanjikan tersebut, padahal kompensasi bagi korban genosida di Rwanda akan sangat berperan bagi persatuan dan kesatuan serta rekonsiliasi antara kedua belah pihak di Rwanda.

Berdasarkan penjabaran diatas jelas terlihat bagaimana masalah ganti rugi belum dianggap penting oleh para penegak hukum internasional. Terlihat bagaimana dalam kedua statuta pengertian ganti rugi hanya sebatas harta benda yang dirusak tapi tidak dibahas mengenai kerugian-kerugian mental yang dialami oleh korban. Hal ini menjadi penting dalam hal kasus perkosaan karena ketika perkosaan terjadi kerugian terbesar yang dialami korban adalah gangguan psikologis dan mental yang dialaminya bukan hanya fisik materai saja. Dengan ketentuan yang ada tersebut berarti korban perksoaan tidak akan bisa menuntut ganti kerugian atas apa yang telah terjadi pada dirinya.

PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan oleh penulis diatas, maka atas pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam skripsi ini, dapat diambil kesimpulan

1. Bahwa pengaturan perkosaan terhadap korban perempuan di waktu perang menurut HI adalah Berikut ini merupakan konvensi-konvensi dan pernjanjian internasional lainnya yang memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindak perkosaan baik yang sifatnya langsung (yang dengan jelas menggunakan isitilah “perkosaan/rape”) maupun tidak langsung (yang tidak dengan jelas menggunakan kata “perkosaan/rape”). a. Berdasarkan Konvensi Janewa IV Tahun 1949

Konvensi Janewa IV tahun 1949 merupakan perangkat internasional yang mengatur mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil selama berlangsungnya sebuah konflik bersenjata/perang. Dalam konvensi ini diatur pula mengenai perlindungan terhadap perempuan dari berbagai tindakan yang dapat mengancam kehormatannya dimana perkosaan termasuk salah satunya.

b. Berdasarkan Perjanjian Internasional

Perkosaan telah dikecam oleh hukum internasional sudah sejak lama. Ahli hukum internasional Scholars Belli (1563), Gentili (1612) and

Grotius (1625) mengatakan bahwa perkosaan diwaktu perang sebagai kejahatan perang79

Selain Konvensi Jenewa IV 1949 beserta kedua protokolnya, ada beberapa perjanjian-perjanjian internasionalnya lainnya yang mengatur mengenai perlindungan terhadap perempuan selama berlangsungnya perang baik secara langung maupun tidak langsung. Perjanjian – perjanjian tersebut antara lain :

.

1. Komisi pasca Perang Dunia I, Versailles Commission, telah mengakui perkosaan sebagai kejahatan perang. Control Council Law No. 10, telah memasukkan kejahatan tehadap kemanusian, termasuk didalamnya perkosaan diwaktu perang, dalam piagam Nuremberg dan Tokyo.

2. Konvensi Den Hague, pelaksanaan Perang Dunia II juga telah melakukan pelarangan terhadap tindak perkosaan diwaktu perang dan berbagai tindak kekerasan seksual lainnya.

3. The Covenant of The League of Nations (termasuk Amandemen December, 1924)

4. International Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others.

5. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979).

79

Karen Parker, J.D., United Nations Commissions On Human Rights Fifty-first session

Agenda item 11, War Rape,

6. Vienna Declaration & Programme of Action (World Conference on Human Rights, Vienna, 14-25 June 1993).

7. Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1994), Beijing Declaration 1995.

8. Piagam PBB, Deklarasi Hak Asasi Manusia (Charter of the United Nations, Universal Declaration of Human Rights)

9. International Covenant On Economic Civil And cultural Rights

10.International Convenant On Civil And political Rights

11.Konvensi mengenai hak anak (convention on the rights of the child)

12.Convention on the elimination of all forms of discrimination Agsinst women

13.Convention on the Elimination of Violence Against Women

14.Instruksi Pemerintah terhadap tentara Pemerintah Amerika serikat yang berada di lapangan.

2. Bahwa peranan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang merupakan Peranan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang dapat dilihat lewat pengadilan militer internasional untuk Timur Jauh tahun 1946 (International Military fo the Far East) pengadilan internasional untuk Rwanda tahun 1994 (International for Rwanda), dan peranan pengadilan internasional untuk bekas Yugoslavia tahun 1993

Pengadilan internasional memiliki peran yang sangat signifikan dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Apakah keadilah suatu kasus terpenuhi atau tidak sangat tergantung dari hasil putusan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan. Demikian pula halnya dengan putusan yang dikeluarkan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang.

Bahwa ada penyelesaian masalah ganti rugi terhadap korban-korban perkosaan diwaktu perang adalah Ganti rugi merupakan hal yang penting untuk dipenuhi ketika suatu tindak pidana terjadi. Pentingnya ganti rugi tidak terlepas dari nilai keadilan itu sendiri.

3. Bahwa Untuk masalah ganti rugi ini dikenal dua macam ganti kerugian, yaitu:

a…Restitusi (restitution); ganti kerugian oleh pihak pelaku

b. Kompensasi (compensation); ganti kerugian oleh pihak pemerintah. Pemerintah memberikan ganti rugi walaupun pemerintah tidak salah, tetapi demi pelayanan terhadap yang dirugikan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan dan keadilan.

Komisi hak asasi manusia telah membuat serangkaian prinsip-prinsip yang ditujukan untuk mendampingi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Prinsip – prinsip tersebut termasuk hak anggota keluarga untuk mengetahui kepastian orang yang hilang, hak untuk mendapatkan penggantian kerugian, hak untuk keadilan bagi tindak pidana dan prinsip bahwa pemerintah

mempunyai kewajiban untuk mencegah hal yang sama terulang kembali. Sangat disayangkan prinsip-prinsip ini sifatnya hanya rekomendasi.

Fenomena yg berkembang dibeberapa kasus yang muncul menunjukkan bahwa perkosaan telah digunakan sebagai alat untuk memenangkan peperangan, dilakukan dengan cara masal dan sistematis dan dalam beberapa kasus mendapat restu dari Negara.

Dalam kasus bosnia dan Rwanda, perkosaan digunakan sebagai cara pembersihan ras (genosida) sehingga diharapkan dari perempuan perempuan yang di perkosa tersebut akan lahir anak anak yank memiliki ras campuran. Fakta mengenai hal ini telah di kuatkan lewat utusan pengadilan internasional untuk bekas Yugoslavia dalam kasus kunarac , kovavc dan zoran (bosnia) serta kasus akayesu (Rwanda)

Pengaturan mengenai perkosaan di waktu perang di atur dalam Pasal 27 konvensi jenewa IV 1949 dan Pasal 4 protokol II nya. Kedua perangakat hukum internasional tersebut merupakan perangakt hukum internasional utama dalam upaya mencegah dan menyelesaikan kasus kasus pemerkosaan di waktu perang. Hanya saja menunnjukan bahwa meskipun kedua perangakat hukum tersebut efektif dalam menyelesaikan kasus kasus perkosaaan di waktu perang namun masih sangat minim perannya dalam mencegahterjadinya kasus kasus perkosaan di waktu perang. Hal ini biasa dilihat dari kasus Bosnia dan Rwanda yang terjadi setelah kedua perangkat hukum tersebut berlaku. Ini menunjukkan kegagalan konvesi jenewa dan protokolnya dalam mencegah terjadi kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Kegagalan tersebut terjadi

karena rendahnya control dari lembaga PBB dalam mengawasi penerapan setiap konvensi yang telah berlaku. Perkosaan di waktu perang membawa banyak persoalan hukum, dimana diantaranya adalah ; masalah kewarganegaraan dan hukum dimana yang berlaku mengingat antara korban dan pelaku perkosaan bias memiliki kewarganegaraan yang berbeda,masalah pengungsian dan kesejahteraanya selama pengungsian. Hal ini perlu diperhatikan mengingat ketika banyak terjadi perkosaan yang dilakukan diwaktu perang ,menyebabkan tingginya tingkat pengungsi terutama perempuan yang berusaha menghindar ke daerah yang dianggap aman. Selain kedua maslah tersebut muncul maslah lainnnya yaitu mengenai kewenangan pengadilan internasional,dan masalah ganti rugi terhadap korban.

Pengadilan internasional memiliki peranan yang sangat besar dan penting dalam segala upaya mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Meskipun dengan beberapa putusan yang dianggap tidak memuaskan misal: putusan terhadap para penjahat perang jepang di Tokyo pada tahun 1946,putusan pengadilan internasional lainnya misal ICTR dengan putusan pengadilan internasional lainnya misal ICTR dengan putusan pengadilan internasional lainnya misal ICTR dengan putusan terhadap akayesu, pengadilan telah membuat preseden besar mengenai kejahatan perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). ICTY juga memberikan preseden hukum yang besar pada saat menghukum kunarac,kovavc dan zoran atas tindak perkosaan secara sistematis terhadap para perempuan Bosnia. Dengan hukum yang dijatuhkan kepada

pelaku perkosaan dan mereka yang dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya perkosan diwaktu Pe r a ng me r upa ka n c a r a ya n g s a nga t e fe kt i f un t uk me nc e ga h kasus serupa terjadi dikemudian hari.

Dalam pengadilan internasional, pengaturan mengenai Perkosaan diatur dalam statute ICTR(Pasal 3), ICTY (Pasal 5) dan ICTY (Pasal 7),dimana perkosaan (rape) diwaktu perang dikategorikan dalam salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

Setiap korban kejahatan termasuk didalamnya korban perkosaan berhak atas ganti rugi atas kerugian yang dialaminya baik itu kerugilan fisik ataupun mental. Hal ini tidak terlepas dari proses pemenuhan keadilan itu sendiri. Ganti rugi merupakan salah satu unsur dasar dari hukum. (Grotius).

Dari ketiga kasus itu kasus perkosaan Jepang selama Perang Asia pasifik,kasus Rwanda Tahun 1993 dan kasus bosnia Tahun 1995,pemberian ganti rugi belum pernah dilakukan sampai saat ini. Perhatian utama penyelesaian kasus beratkan pada menangkap pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab tanpa memperhatikan proses penggantian kerugian yang dialami korban.

Ganti rugi Jepang merupakan contoh buruk dari proses Penyelesaian Dimana jepang sebagai negara tidak mengakui kesalahannya dimasa lampau dan tidak memberikan Ganti rugi kepada para korban perbudakan seksual yang mereka lakukan semasa kependudukannya.

Baik di statuta ICTR Pasal 23 ayat (3) dan ICTY Pasal 24 ayat (3),ganti kerugian dimungkinkan sebatas 'harta benda’ (property) yang mengalami

kerusakan saja. Definisi Ini tidak melingkupi kerugian mental atau fisik korban padahal seharusnya ganti rugi dapat diberikan terhadap kerusakan kehormatan (honor) dan reputasi (reputation) seseorang.Korban perkosaan sebagai pihak yang kehormatan dan reputasinya terusak memiliki hak atas ganti kerugian, namun definisi yang diberikan tersebut akan sulit bagi korban perkosaan untuk menuntut ganti kerugian.

B.

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian demi mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus perkosaan diwaktu perang terjadi dikemudian hari, yaitu bahwa:

Saran

PBB harus Lebih berperan aktif dalam menyelesaikan dan terutama mencegah setiap konflik yang dapat mengarah kearah terjadinya gangguan terhadap keamanan dan perdamaian dunia.

Adalah bahwa penerapan sebuah konvensi adalah fakta yang berlaku terhadap negara-negara anggotanya sering kali tidak efektif sebagaimana yang terjadi dengan konvensi jenewa 1949 yang menyebabkan banyaknya terjadi pelanggaran tersebut untuk k itu perlu dibuatnya sebuah badan pengawasan yang memiliki tugas mengawasi mengontrol dan siap memberikan sanksi terhadap setiap penerapan sebuah konvensi yang telah berlaku.

Sumbangan utama dapat diberikan olehpengadilan adalah tidak hanya hukum yang berlaku/digunakan dan prosedurnya tetapi juga faktor manusia

harus ikut bicara; karakter dan sensitifitas dari hakim dan pengacara yang terlibat terhadap korban perkosaan sangat penting.

Setiap negara hendaknya, membuat mekanisme pengganti kerugian terhadap setiap korban kejahatan termasuk di dalamnya korban baik itu ganti rugi materi lmaupunmental psikologis. Hal ini merupakan hal yang sangat penting mengingat beban dan pendertitaan moral yang harus dihadapi Korban seumur hidupnya. Negara harus terlibat secara aktif dalam proses asistensi dan penyembuhan korban perkosaan.

Masyarakat internasional harus menanggapi secara serius setiap bentuk kejahatan terhadap hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan mengingat posisi perempuan dibelahan dunia ini masih banyak yang dikesampingkan baik baik oleh masyarakat dan Negara sehingga membuat mereka rentan menjadi korban tindak kekerasan.

Korban perkosaan memerlukan serangkaian perangkat perlindungan baik itu yang sifatnya yuridis maupun yang non yuridis. Perlindungan yuridis diberikan lewat seperangkat peraturan hukum yang berpihak pada korban perkosaan dan mampu memberikan rasa aman korban tersebut dalam berbagai tingkatan pemeriksaan. Sedangkan perlindungan non yuridis mewujudkan kedua bentuk perlindungan ini membutuhkan dukungan dan keinginan baik dari Negara.

Dokumen terkait