• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Perempuan sebagai Korban dalam Konflik Bersenjata

Perkosaan terhadap perempuan terjadi diberbagai negara tanpa dibatasi oleh usia, suku, ras dan agama ataupun status sosial. Kedudukan perempuan yang seringkali dianggap sebagai warga negara kelas dua semakin menempatkan perempuan dalam posisi yang lemah dan seringkali dimanfaatkan sebagai obyek kekerasan baik oleh masyarakat, negara dan bahkan dilingkup terkecil masyarakat sekalipun keluarga.

Di berbagai belahan dunia setidak – tidaknya satu dari tiga orang perempuan menjadi korban pemukulan, pemaksaan seksual atau menjadi

korban kekerasan seumur hidupnya. Pelaku kekerasan yang paling sering adalah anggota keluarga mereka sendiri22

Ketika sebuah konflik bersenjata terjadi, kedudukan perempuan yang pada masa damai sudah dianggap sebagai obyek semakin tersudutkan dengan adanya sangketa yang terjadi yang selalu diiringi dengan perebutan kekuasaan.

.

Rape is also a crime of extreme violence. It is an expression of dominance, power and contempt, a rejection of the woman’s right to self determination , a denial of heir being. Rape is not passion or lust gone wrong. It is first and foremost an act of aggresion with a sexual manifestation23

Ada beberapa macam tipe perkosaan yang dikenal, hal ini juga dapat menggambarkan alasan-alasan dilakukannya perkosaan terhadap perempuan

.

(perkosaan juga merupakan tindak pidana kekerasan ekstrem.itu adlah ekspresi dari dominasi,kekuasaan dan penghinaan,penolakkan terhadap wanita untuk menentukan nasib sendiri,penyangkalan terhadap dirinya.perkosaan tidak gairah atau nafsu yang tidak beres. Pertama-tama dan teruPertama-tama dan bertindak agresif dengan manifestasi sexual)

Perkosaan adalah suatu bentuk pernyataan akan adanya dominasi, kekuatan dan penghinaan. maka sangatlah tidak heran kekerasan perkosaan sangat sering terjadi dalam suatu konflik bersenjata.

24

a. sadistic rape

:

dalam tipe ini seksualitas dan agresi bercampur menjadi satu rasa geram dan kekejaman, serta tindakan – tindakan merusak.

22

“Ending Violence Against Women”

tanggal 26 Juni 2010 23

Chaterine N. Niarchos, “Women, War, and Rape : Challenges Facing The International Tribunal for the Former Yugoslavia”

24

Steven Box, Powe, Crime and Mystification (New York : Tavistock Publications, 1983), p. 127-129. Dikutio dari Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana (Jakarta : IND-HLL CO, 1997), hal 22-23.

b. anger rape

adalah penyerangan seksual dimana seksualitas menjadi sara untuk mengekspresikan dan melaksanakan hasrat kemarahan yang tertahan, dan ini ditandai dengan kebrutalan secara fisik.

c. domination rape

motif dari pemerkosa adalah untuk mendemonstrasikan kekuatannya dan kekuasaannya atas si korban.

d. Seduction-turned intor-rape

Penyerangan seksual timbul dalam situasi menggairahkan yang “diterima”, tetapi dimana korban memutuskan atau sebelumnya telah memutuskan bahwa keintiman pribadi akan dihentikan segera sesudah “coitus”

e. Exploitation rape

Merujuk pada suatu tipe dimana si pria memperoleh keuntungan dari mudah diserangnya si perempuan karena perempuan tersebut tergantung secara ekonomi atau bantuan sosial, atau karena kurangnya perlindungan hukum bagi siperempuan.

Berdasarkan kelima tipe perkosaan tersebut diatas, tiga dari kelima tipe tersebut menggambarkan bahwa perkosaan dilakukan sebagai pelampiasan dari rasa marah, kekejaman, kegeraman dan penunjukkan kekuatan dari pelakunya. Gambaran emosi tersebut merupakan emosi yang seringkali muncul pada saat suatu perang/konflik bersenjata sedang berlangsung, hal ini menunjukkan alasan yang sangat tepat untuk menjawab kenapa perkosaan diwaktu perang sangat sering terjadi.

Perkosaan moral yang dilakukan secara sistematis ini dilakukan dengan restu atau bahkan keterlibatan langsung/tidak langsung dari pemerintah/negara terkait. Yang dimaksud dengan keterlibatan langsung adalah ketika pemimpin negara dengan resmi menggunakan perkosaan sebagai alatnya dalam mencapai tujuan. Sedangkan yang dimaksud keterlibatan tidak langsung adalah ketika negara tidak melakukan apapun pada saat perkosaan masal tersebut terjadi sehingga seolah – olah negara membiarkan dan setuju dengan tindakan tersebut.

Alasan lainnya yang menyebabkan perempuan sangat rentan terhadap tindak kekerasan perkosaan dalam perang adalah karena adanya pandangan bahwa perempuan adalah milik kaum laki-laki yang terlibat dalam peperangan. Perang yang terjadi zaman sekarang juga ditandai oleh penaklukan suatu kelompok melalui penaklukan terhadap perempuan milik kelompok yang ditaklukan tersebut25

Pandangan bahwa perempuan adalah harta milik terus berlangsung sampai saat ini di kalangan masyarakat, karena itu tidak mengherankan bila perang yang terjadi zaman sekarang juga ditandai oleh penaklukan suatu kelompok melalui penaklukan terhadap perempuan milik kelompok yang ditaklukkan tersebut. Bahkan, penaklukan terhadap suatu kelompok musuh dianggap dapat dilakukan melalui penaklukan terhadap perempuan milik kelompok tersebut. Untuk dapat memenangkan suatu pertarungan maka yang

.

25

Sulistyowati Irianto, “Menumbuhkan Budaya Hukum Baru Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” (makalah disampaikan dalam Sesi tentang Kesukubangsaan dan negara” dalam Seminar Jubileum ke-30 Jurnal Antropologi Indonesia “Memasuki Abad ke-21 : Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya Bangsa”, di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok, 6-8 Mei 1999), hal 7.

harus dilakukan adalah mengambil apa yang menjadi harta milik kelompok musuh tersebut, dengan demikian kelompok yang harta miliknya diambil akan merasa malu dan kalah.

Karena dianggap sebagai hak milik seorang pria maka perempuan seringkali disiksa (diperkosa) dengan maksud untuk menunjukkan kepada kaum pria kelompoknya bahwa sesungguhnya mereka telah kalah. Hal ini berlangsung terus menerus dan saling berbalasan sehingga kaum perempuan pun semakin banyak yang menjadi korban.

Margaret A. Schuler menunjukkan bagaimana kekerasan seksual terhadap perempuan yang pada waktu perang digunakan oleh militer sebagai bagian dari strategi perangnya, dinyatakan 26

d. Perkosaan telah digunakan dengan tujuan – tujuan sebagai berikut : :

1. Menteror atau melakukan teror terhadap penduduk sipil dan sebagai dampak ikutannya mendorong penduduk sipil untuk meninggalkan rumah dan desa mereka.

2. Merendahkan musuh dengan cara menaklukkan kaum perempuannya. 3. Merupakan “bonus” bagi para tentara serta untuk meningkatkan

keberanian mereka di medan perang.

e. Pelacuran paksa telah digunakan untuk tujuan – tujuan sebagai berikut : 1. Meningkatkan moral para tentara dan pegawai dan

2. Merupakan cara untuk membuat atau menjadikan kaum perempuan merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang terjadi.

26

Nursyahbani Karjasungkana, “Militer dan Kekerasan Terhadap Perempuan” dalam

Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, cet.1. Edited by Kartini Syahrir, (Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation Indonesia, 2000), hal 239-240.

f. Penghamilan dan kehamilan paksa telah digunakan untuk tujuan – tujuan sebagai berikut :

1. Memperdalam penghinaan terhadap korban perkosaan.

2. Melahirkan bayi-bayi dengan etnis yang sama dengan

pemerkosaannya. Berdasarkan alasan – alasan yang dikemukakan oleh Margaret A.

Schuler terlihat bahwa perempuan seringkali hanya dianggap sebagai obyek yang digunakan untuk memenangkan perang atau sebagai alat mencapai tujuan ketika suatu konflik bersenjata terjadi.

Kedudukan perempuan sebagai korban tidak selesai ketika perkosaan tersebut selesai. Selain penderitaan fisik dan mental yang dihadapi karena diperkosa. Para korban perkosaan juga seringkali mengalami “penyiksaan mental” dalam bentuk lain ketika ia diharuskan berhadapan dengan keluarga dan masyarakat disekitarnya.

Ketika terjadi penyerangan balik di Rwanda, dibeberapa tempat terjadi perkosaan terhadap remaja – remaja yang selamat dari penyerbuan. Perkosaan tersebut dilakukan oleh para milisi. Banyak dari remaja – remaja tersebut yang dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat disekitarnya karena kemudian hamil. Beberapa diantara mereka kemudian tidak menghiraukan bayinya dan tidak sedikit pula yang melakukan bunuh diri27

Dalam beberapa kasus perempuan – perempuan yang mengalami perkosaan atau kekerasan sesksual dalam bentuk lainnya bukan merupakan

.

27

“Sexual violence as a weapon of war”

satu-satunya pihak yang mengalami trauma. Pihak – pihak lain seperti misalnya, anak korban, anggota keluarga lainnya atau teman – teman korban juga ikut mengalami trauma karena menyaksikan, mendengar teriakan atau melihat akibat fisik dan mental yang dialami oleh korban28

Begitu seringnya kasus perkosaan terhadi dan dampak yang ditimbulkan dari kasus tersebut menyebabkan persoalan ini jagan lagi dianggap sebagai masalah pribadi atau negara saja tapi sudah merupakan masalah masyarakat secara umum

.

29

C. Kasus-kasus Perkosaan di Waktu Perang yang Pernah dan sedang

Dokumen terkait