• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Peran Pengadilan Internasional dalam Mencegah dan Menyelesaikan Kasus-kasus Perkosaan di Waktu Perang

C.3. Kasus-kasus yang pernah diputuskan

Sampai dengan saat ini telah ada beberapa putusan pengadilan yang berhasil dikeluarkan oleh pengadilan internasional yang berwenang dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan terhadap perempuan di waktu perang. Putusan – putusan pengadilan internasional tersebut kemudian menjadi preseden hukum baru dalam penegakan hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan secara internasional.

C. 3. 1. Kasus Jepang

Pengadilan militer internasional untuk timur jauh (Tokyo Trial) telah menghukum 28 orang terpidana yang dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Jepang selama perang Asia Pasifik.

Pengadilan ini berdiri atas deklarasi pada tanggal 1 Desember 1943 dari tiga negara sekutu yaitu, Inggris, Cina dan Amerika Serikat. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa tujuan dari perang yang ada adalah untuk menghentikan dan menghukum agresi Jepang.

Setelah Jepang menyerah, komisi Kejahatan (Crimes Comission) PBB yang didirikan di London pada tahun 1943, membuat rekomendasi untuk

mendirikan pengadilan militer internasional untuk kejahatan dan kekejaman Jepang. Kemudian delapan negara sekutu utama (Australia, Inggris, Kanada, Cina, Perancis, Belanda, New Zealand, Uni Soviet dan Amerika Serikat) untuk mengorganisasikan pengadilan tersebut. Konferensi Moskow yang dihadiri empat menteri luar negeri negara besar (Inggris, Cina, Uni Soviet dan Amerika Serikat) memutuskan bahwa pengadilan tersebut akan diadakan di Tokyo.

Pengadilan ini berlangsung selama dua setengah tahun dan selesai pada tanggal 4 Nopember 1948 dengan diputuskannya pidana terhadap 28 penjahat perang kelas A.

Dari tujuh hukuman mati yang diputuskan, pengadilan ada satu putusan pengadilan yang berkaitan menghukum terdakwa karena dianggap bertanggung jawab terhadap perkosaan yang terjadi di Indonesia dan Nanking

(the Rape of Nanking) yaitu terhadap Akira Muto, ia seorang ketua deputi tentara Jepang di Cina Tengah.

Dari enam belas terpidana hukuman seumur hidup penjara hanya satu putusan yang berkaitan dengan perkosaan, yaitu atas nama Kingoro Hashimoto, seorang komandan resimen alteri. Sama halnya dengan Akira Muto, dalam putusan hakim ia dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas terjadinya “the rape of Nanking” ia bertanggung jawab atas pembunuhan masal yang terjadi, kudeta dan menerbitkan buku tentang propaganda rasisme.

Pengadilan ini menurut banyak pihak tidak dapat dikatakan memuaskan, hal ini terjadi karena :

1. Mayoritas dari penjahat perang Jepang kelas A dilepaskan. Dari 70 orang yang dianggap sebagai penjahat perang kelas A hanya group pertama saja, yang terdiri dari 28 orang, yang dibawa ke pengadilan, selebihnya yaitu grup pertama (23 orang) dan grup kedua (19 orang) akan diadili di Penjara Sugamo, Tokyo.

Grup pertama merupakan orang-orang yang dianggap pemimpin utama dalam bidang militer, politik, dan diplomatik. Grup kedua dan ketiga merupakan orang-orang yang terkenal dibidang industri dan keuangan yang terkait dengan jual beli senjata dan obat-obatan berbaya, dalam grup ini termasuk juga pimpinan-pimpinan militer, politik dan diplomatik yang dianggap terlibat.

Tapi ternyata semua penjahat kelas A yang belum diputuskan tersebut dibebaskan oleh Jenderal Mac Arthur pada tahun 1947 dan 1948. Sebagian dari mereka segera kembali terlibat dalam kegiatan militer dan politik. 2. Hirohito sebagai kaisar yang berkuasa saat itu sama sekali tidak diminta

pertanggungjawabannya, padahal semua kegiatan pemerintahan yang ada saat itu merupakan kebijakan yang ia keluarkan dan harus mendapat izin dari dia

Hal lainnya yang dapat dikatakan tidak memuaskan dari penyelesaian kasus perkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang tersebut adalah :

1. Pengadilan militer terhadap tentara Jepang yang menghukum para pelaku pemerkosaan secara langsung hanya terjadi satu kali yaitu di Batavia – Indonesia (Jakarta) pada tahun 1948. Pengadilan ini lebih dikenal dengan pengadilan Batavia (Batavia trial). Pengadilan ini menghukum beberapa anggota militer Jepang karena telah memaksa 35 perempuan Belanda masuk ke rumah bordir. Namun, pengadilan ini tidak memperhatikan kasus yang sama yang terjadi pada perempuan Indonesia ataupun kewarganegaraan lainnya. Sampai saat ini tidak ada satupun tentara Jepang yang pernah diadili atas perlakuan mereka terhadap perempuan-perempuan Korea. Pemerintah Jepang juga tidak pernah mengeluarkan satu pun dokumen yang menyangkut masalah ini52

2. Tidak adanya satupun permintaan maaf yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang secara resmi yang mengakui kesalahan mereka dimasa lalu.

.

3. Pemerintah Jepang menolak memberikan ganti rugi kepada para korban dengan alasan semua penyelesaian masalah perang telah selesai pada saat ditanda tanganinya perjanjian perdamaian antara Jepang dan negara-negara yang bersengketa.

Ketidakpuasan tersebut membawa para korban yang dibantu organisasi non pemerintah pemerhati perempuan dari berbagao negara korban “Jugun Ianfu” mencoba menuntut hak mereka kepada pemerintahan Jepang. Bermacam cara telah dicoba dilakukan termasuk memasukkan kasus kepengadilan kedistrik Tokyo, tapi semuanya kembali.

52

Kemudian pada tahun 2000 pada korban dan lembaga-lembaga pemerhati perempuan tersebut menyelenggarakan sebuah pengadilan internasional untuk mengadili pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh para perempuan yang pernah menjadi “Jugun Ianfu”53

Pengadilan internasional tersebut dikenal dengan nama International Women’s War Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery

(Pengadilan Internasional terhadap Kejahatan (Kriminal) Perang) yang berlangsung di Tokyo pada tanggal 12 Desember 2000. Meskipun digunakan istilah pengadilan internasional ini dengan pengadilan internasional yang dikenal oleh masyarakat internasional saat ini. Perbedaan tersebut yaitu

.

54

a. Pengadilan ini tidak diselenggarakan oleh institusi negara melainkan oleh masyarakat sipil yang peduli mengenai masalah ini.

:

b. Dikatakan pengadilan internasional oleh para penggeraknya karena memang banyak unsur – unsur dalam pengadilan tersebut yang dapat mengkategorikannya sebagai pengadilan internasional sebagai contoh pihak yang terlibat didalamnya adalah pihak-pihak dari berbagai negara yang berbeda, hukum yang digunakan merupakan kolaborasi dari hukum-hukum di negara-negara pihak yang terlibat begitu pula dengan tempat terjadinya kejahatan yang berbeda-beda pula.

53

Christine Chinkin, Toward the Tokto Tribunal 2000,

54

c. Pengadilan ini mengadili mantan Kaisar Jepang Hirohito yang berkuasa semasa Perang Dunia II yang telah meninggal dunia.

d. Pengadilan ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat hanya sebatas bersifat moral karena pengadilan ini memang bertujuan sebatas memberikan preseden pada masyarakat untuk tidak membiarkan suatu kejahatan kemanusiaan yang sebegitu bejatnya terhadap perempuan, terutama kejahatan seksual, lewat begitu saja dihadapan hukum.

Pengadilan yang diselenggarakan kelompok Koalisi Perempuan dan Hak Asasi Manusia dan dimulai pada tanggal 8 Desember 2000 di Kudan Kaikan, Tokyo ini mendengar pengakuan dari sekitar 60 bekas budak seks Jepang yang lebih dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu. Diantaranya dari Cina, Indonesia, Belanda, Korea Utaram dan Selatan serta Taiwan. Peradilan ini didukung oleh para hakim yang pernah duduk pada pengadilan internasional mengenai perkosaan untuk korban perang di Bosnia dan Rwanda.

Tuduhan yang bersifat moral tanpa kekuatan hukum ini mengakhiri pertemuan lima hari yang menghasilkan keputusan dalam kasus Perbudakan Seksual yang dilakukan Militer Jepang terhadap perempuan Asia di wilayah pendudukannya bahwa 55

a. Kaisar Jepang Hirohito yang berkuasa semasa Jepang Dunia II dan pemerintahannya dianggap bertanggung jawab terhadap perbudakan seksual.

:

55

“Hirohito Divonis Bersalah Atas Perbudakan Seks

b. Menghukum pemerintah Jepang semasa Perang Dunia II dan meminta pemerintahan yang menggantikannya sekarang ini untuk meminta maaf dan melakukan ganti rugi terhadap korban budak-budak seks tersebut.

Meskipun pada kenyataannya putusan pengadilan internasional tersebut sifatnya tidak mengikat bagi Jepang tetapi sesungguhnya perbudakan seksual tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 Pasal 27 dan merupakan kejahatan perang.

Penolakan Pemerintahan Jepang untuk mengakui bahwa mereka bertanggungjawab atas terjadinya perbudakan seksual di wilayah pendudukannya selama perang dunia II di tegaskan kembali dengan tidak disinggungnya mengenai sistem perbudakan seksual yang pernah mereka lakukan tersebut dalam buku teks sejarah yang digunakan untuk mengajar para murid sekolah yang dikeluarkan pemerintahan Jepang pada Bulan Mei tahun 2001, Tindakan Jepang ini mendapat protes dari berbagai aktivis kemanusiaan.

Resolusi MU – PBB No. 2391/XXII/1968 (Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Against Humanity) dan perjanjian Dewan Eropa No. 82 tanggal 2 Januari 1974

(European Convention on The Non-Applicability of Statutory Limitation to Crimes Against Humanity and War Crimes) menyatakan bahwa berlalunya waktu sama sekali tidak menyurutkan tanggung jawab suatu negara untuk mengusut, menuntut, mengadili dan menghukum warganya yang terlibat.

Setiap korban beserta keluarganya pun layak mendapat kompensasi dan pemulihan nama baik56

Mereka menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional yang disebut International Tribunal Court di Tokyo. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama LBH APIK dan LBH Jakarta, bersama – sama dengan negara – negara korban lainnya seperti Philipina, Korea dan Taiwan, mengajukan surat dakwaan, berikut bukti – bukti dan kesaksian atas kejahatan tentara Jepang tersebut. Juga menuntut Pemerintah Jepang mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada korban dan memberikan ganti rugi, reprasi serta kompensasi

.

57

56

“Menunggu Peradilan Perbudakan Seksual”

.

C. 3. 2. Kasus Bosnia Herzegovina

Sampai dengan saat dibentuk dan sampai dengan saat ini baik pengadilan internasional untuk bekas Yugoslavia maupun pengadilan internasional untuk Rwanda telah mengeluarkan putusan – putusan yang telah mengikat mengenai kejahatan.

Dari 79 orang tertuduh pelanggaran terhadap hukum perang selama kasus Bosnia – Herzegovina, 55 orang saat ini sedang dalam proses pengadilan (44 orang dalam tahanan dan 11 orang dibebaskan) 24 orang sampai dengan saat ini masih belum diketahui keberadaannya (lihat lampiran).

diakses tanggal 29 April 2010. 57

Menuntut Keadilan Bagi Jugun Ianfu

Dari putusan – putusan yang telah dihasilkan oleh pengadilan, putusan atas tindak perkosaan tercatat sebanyak 5 putusan yang dengan jelas menggunakan kata “perkosaan” dalam penjatuhan hukumannya, yaitu terhadap :

1. Anto Furundzija, Jumat 21 Juli 2000, dengan hukuman 8 tahun penjara. Defenisi yang sama kemudian digunakan oleh hakim – hakim di ICTY dalam memutuskan kasus perkosaan selama perang berlangsung lainnya. 2. Hazim Delic, 6 Nopember 1998, dalam putusannya hakim selain

memutuskan perkosaan sebagai kejahatan yang berdiri sendiri, hakim pengadilan juga mendefenisikan perkosaan sebagai bentuk penyiksaan (torture).

3. Dragoljub Kunarac, Radomir Kovavc dan Zoran Vukovic pada tanggal 22 Februari 2001, dihukum atas tindakan perbudakan seksual dan perkosaan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ia bertanggung jawab atas perbudakan seksual yang dilakukan terhadap Muslim Bosnia di Fovca. Pengadilan ini tergolong unik karena memang berfokus pada kejahatan seksual.

Mereka menggunakan perkosaan sebagai teror di desa di Foca selama berlangsungnya perang di Bosnia. Pengadilannya berlangsung selama 10 bulan. Salah satu tuduhannya adalah bertanggungjawab atas perkosaan terhadap anak berusia 15 dan 12 tahun. Kunarac terbutki bersalah terhadap 11 tuduhan pemerkosaan terhadap wanita-wanita dan anak-anak perempuan

Muslim selama berlangsungnya konflik pada tahun 1992-1995. Ia dihukum 28 tahun penjara.

Kovac dihukum 20 tahun penjara untuk 4 tuduhan termasuk salah satunya melakukan kekerasan seksual terhadap anak berusia 12 tahun.

Vukovic, dihukum 12 tahun penjara atas empat tuduhan dimana salah satunya atas perkosaan terhadap seorang anak berusia 15 tahun yang ternyata seusia dengan anak perempuannya sendiri58

58

Historic Trial Makes Rape War Crime February 22, 2001 Web posted at : 7:11 p.m. EST (0011 GMT),

.

Saat ini mantan Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic juga sedang dalam sebuah proses pengadilan yang bertujuan meminta pertanggungjawabannya terhadap peristiwa genosida yang dialami aum muslim Bosnia termasuk didalamnya perkosaan yang dilakukan secara sistematis dan masal terhadap kaum perempuan muslim Bosnia sebagai alat dari genosida.

Proses penegakan hukum internasional untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di Bosnia dimulai dengan diadakannya dua pengadilan Hague pada saat yang nyaris bersamaan. Pada bulan maret 1993, Bonsia menuntut Republik Federal Yugoslavia (FRY) ke pengadilan internasional dengan tuduhan telah melanggar Konvensi Jenewa 1949. Dua bulan kemudian, Dewan Keamanan PBB membentuk Pengadilan Kriminal Internasional untuk Mantan Yugoslavia.

Tuduhan yang diinginkan oleh para warga Bosnia delapan tahun yang lalu sama dengan yang dituduhkan para Milosevic saat ini sebagaimana yang dibuat oleh penuntut umum, Carla Del Ponte. Dalam berbagai kesempatan, Yugoslavia selalu mencoba menghindari tanggung jawabnya atas apa yang terjadi. Ia menolak menerapkan aturan-aturan pengadilan untuk mencari tahu pelanggaran-pelanggaran yang terjadi atas konvensi Genosida. Ia kemudian juga mempermasalahkan kemampuan hukum Bosnia dan Herzegovina ketika mengajukan kasus tersebut ke pengadilan, termasuk pula jurisdiksi pengadilan di pertanyakan.

Pada bulan Juli 1996, pengadilan telah menyelesaikan semua keberatan-keberatan yang muncul pada akhirnya membawa Yugoslavia sebagai tertuduh atas tuduhan Binsia dengan tuduhan bahwa pemerintahan Sarajevo melakukan Genosida terhadap Penduduk Serbia yang ada di Bosnia. Sampai dengan 2000, Belgrade selalu mencoba dalam setiap hubungan internasional bahwa Bosnia menghentikan tuntutannya. Dengan kewenangan perwakilan Serbia di kelembagaan warga Bosnia, Yugoslavia seringkali mencoba menghentikan penerapan keputusan pengadilan bahkan ketika dibawah pemerintahan presiden yang baru, Vojislav Kostunica, pemerintahan mengatakan bahwa negara tersebut bukan lagi anggota PBB dari sejak tanggal 1992 sampai dengan 2000 dan karenanya bukan anggota Konvensi Genosida.

Pengadilan terhadap penjahat perang meminta pertanggung jawaban pribadinya atas rencana dan melakukan tindakan genosida di Bosnia. Kasus terhadap Milosevic diperkirakan akan selesai dalam jangka waktu tahun59

Persetujuan tersebut diprakarsai oleh sekjen PBB Kofi Anan, dimana ada tujuh negara yang menentang dibentuknya pengadilan ini diantaranya adalah Amerika Serikat, Cina dan Israel

. Pada bulan Juli, 160 negara memutuskan untuk membuat sebuah pengadilan internasional kriminal yang permanen yang dapat mengadili para individu yang melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang perhatian bersama, misalnya genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

60

Sebuah pengadilan yang sifatnya permanen akan dapat bereaksi lebih cepat ketimbang sebuah pengadilan yang sifatnya sementara (ad hoc). Selain

.

Kebutuhan akan ICC ini dimulai ketika Majelis Umum PBB mulai merasakan adanya kebutuhan pengadilan semacam ini pada tahun 1948, ketika terjadi pengadilan Nurenbergh dan Tokyo setelah Perang Dunia II dan kemudian telah menjadi sejak saat itu. Kemudian dibelakang hari, terjadilah kasus Bosnia dan Rwanda dengan kemudian dibentuk dua pengadilan internasional yang membutuhkan sebuah mekanisme yang permanen yang dapat menghukum pelaku pembuhan masal dan penjahat perang semakin menjadi – jadi.

59

A Criminal Entity, About the Republika Srpska By Kasim Trnka in Sarajevo,

Juni 2010 60

Some Questions and Answers

itu pengadilan yang permanen dengan sistem yang telah pasti akan menjadi alat yang lebih kuat untuk mencegah kejahatan-kejahatan serupa.

Tuduhan terhadap mantan Presiden Slobodan Milosevic lewat pengadilan ad hoc pada bulan Juni 1999 dengan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan semakin memperkuat keinginan pentingnya peranan pengadilan yang permanen61

Pengadilan internasional untuk kasus Rwanda merupakan pengadilan yang memberikan preseden penting dalam perlindungan terhadap korban perkosaan di waktu perang. Pengadilan inilah yang pertama kalinya dalam sejarah pada tanggal 2 September 1998, menghukum terpidana (Akayesu) dengan tuduhan genosida dan menggunakan perkosaan secara sistematis sebagai alat dari genosida

.

C. 3. 3. Rwanda

Sampai dengan tanggal 31 Desember 1999, 48 orang telah dituntut, 38 orang lainnya berada dalam tahanan, baru enam kasus saja yang sudah mendapat putusan. Sepuluh orang sudah dituntut tetapi belum diketahui keberadaannya.

62

61

. Pengadilan mengatakan bahwa perkosaan adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity).

62

Diaman kemudian akibat putusan ini maka munculah preseden mengenai kasus perkosaan bahwa tindakan perkosaan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Jean-Paul Akayesu adalah mayor komunitas Taba di Rwanda. Di posisi ini ia memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap kegiatan militer, politik dan masyarakat Taba. Ia dituduh telah melakukan tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, pembunuhan dan perkosaan, penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi lainnya63

Putusan lainnya yang dikeluarkan ICTR tentang perkosaan jatuh pada terpidana Alfred Musema dengan hukuman penjara seumur hidup

.

64 (27 Januari 2000). Ia didakwa telah melakukan genosida, konspirasi untuk melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan, perkosaan, pemusnahan dan tindakan tidak manusiawi lainnya) dan juga melanggar protokol II dan Artikel 3 Jenewa Konvensi65.

Dengan dikeluarkannya putusan mengenai kejahatan perkosaan di waktu perang oleh ICTR memberikan preseden yang luar biasa besar dalam hukum internasional dibidang perlingungan dan penegakan hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan.

63

Kelly Askin, legar preseden, ibid 64

Kellu D. Askin, Sexual Slavery, op.cit 65

D. Penyelesaian Masalah Ganti Rugi terhadap Korban Perkosaan di Waktu

Dokumen terkait