• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

F. Gaya Atribusi Bermusuhan

Konsep ini mengacu pada kecendrungan kebiasaan seseorang untuk menginterpretasi stimulus ambigu dengan cara bermusuhan dan agresi. Hasil penelitian Burks (dalam Krahe, 2005) menunjukan bahwa struktur pengetahuan mengenai permusuhan menyebabkan anak-anak menginterpretasi stimulus sosial dengan cara yang lebih negatif sehingga mereka lebih berkemungkinan untuk merespon dengan cara agresif.

C.3.2 Faktor Situasional

Sebelumnya telah disebutkan ciri-ciri individual yang bertanggung jawab atas terjadinya perbedaan kecendrungan agresi yang relatif stabil dari waktu kewaktu (Krahe, 2005). Selanjutnya berikut pengaruh situasional terhadap perilaku agresif :

A. Penyerangan

Serangan merupakan salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab agresif dan muncul dalam bentuk serangan verbal atau serangan fisik. Adanya aksi penyerangan dari orang lain akan menimbulkan reaksi agresi dari diri seseorang.

B. Efek senjata

Lebih dari 60% pembunuhan di Amerika serikat dilaporkan FBI dilakukan dengan senjata pada tahun 1989 dan pada tahun 1990 di Texas angka kematian

lebih banyak disebabkan pembunuhan dengan senjata daripada kecelakaan lalu lintas. Perilaku agresif akan lebih sering dilakukak ketika ada senjata, pisau atau benda tajam.

C. karakteristik target

Ada karakteristik ciri tertentu yang mempuyai potensi sebagai target agresi, misalnya anggota kelompok yang tidak disukai atau orang yang tidak disukai.

D. In group vs Out group conflic

Perilaku agresif seringkali didasari atas konflik antar kelompok. Konflik antar kelompok seringkali dipicu oleh perasaan in group vs out group, sehingga anggota kelompok diwarnai prasangka.

E. Alkohol

Ada banyak temuan yang menunjukan bahwa, ketika terintoksikasi oleh alkohol, individu-individu menunjukan perilaku agresif lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak terintoksifikasi. Efek Farmakologis alkohol sangat bertanggung jawab atas efek peningkatan agresi. Alkohol memang tidak secara langsung menyebabkan perilaku agresif melainkan secara tidak langsung, yaitu alkohol mengganggu fungsi kognitif yang menyebabkan hambatan dalam pemrosesan informasi, termasuk perhatian terhadap berbagai hambatan normatif yang mestinya menekan respon agresif dalam keadaan tidak terintoksikasi.

F. Temperatur

Temperatur udara sekeliling juga adalah determinan situasional agresi. Terdapat suatu hipotesis yang dikenal dengan heat hypothesis yang menyatakan

bahwa “temperatur tinggi yang tidak nyaman meningkatkan motif maupun perilaku agresif.

D. Kontrol Diri

D.1. Definisi Kontrol Diri

Gottfredson dan Hirschi (1990) mendefinisikan kontrol diri sebagai derajat kemudahan seseorang terkena serangan godaan sesaat. Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan orang yang memiliki kontrol diri yang rendah adalah orang-orang yang cenderung memiliki orientasi “here and now”, lebih memilih menyelesaikan sesuatu secara fisik dari pada mengandalkan kognitif, senang terlibat dalam aktifitas berbahaya, kurang sensitif pada kebutuhan orang lain, lebih memilih jalan pintas dibanding hal-hal yang kompleks, serta memiliki toleransi yang rendah terhadap sumber frustasi. Tokoh lain yang juga memberikan definisi kontrol diri antara lain Averill (dalam Rice, 2000) memberikan definisi kontrol diri dengan membedakannya kedalam tiga jenis kontrol diri yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif dan mengontrol keputusan. Kontrol perilaku didefinisikan sebagai kemampuan untuk bertindak yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kontrol kognitif Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Kemudian mengontrol keputusan

didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.

Kopp (dalam Newman, 2008) yang menyatakan kontrol diri sebagai kemampuan untuk memenuhi keinginan dengan memodifikasi perilaku sesuai dengan situasi, menyegerakan atau menunda tindakan, dan berperilaku yang diterima secara sosial tanpa dibimbing atau diarahkan oleh hal lainnya. Nofziger (2001) menyatakan kontrol diri sebagai perlawanan terhadap godaan pada saat ini yang mungkin merintangi cita-cita jangka panjang, menunda kesenangan atau tujuan lain. Menurut pradiansyah (2003), kontrol diri adalah mampu menunda kenikmatan jangka pendek untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar secara jangka panjang. Zulkarnain (2002) menyatakan kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku, pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Semakin tinggi kontrol diri semakin intens pengendalian terhadap tingkah laku.

Kontrol diri dalam penelitian ini didefinisikan berdasarkan pendapat Gottfredson dan Hirschi (1990) yang menyatakan kontrol diri sebagai derajat kemudahan seseorang terkena serangan godaan sesaat. Dimana orang yang memiliki kontrol diri yang rendah adalah orang-orang yang cenderung memiliki orientasi “here and now”, lebih memilih menyelesaikan sesuatu secara fisik dari pada mengandalkan kognitif, senang terlibat dalam aktifitas berbahaya, kurang sensitif pada kebutuhan orang lain, lebih memilih jalan pintas dibanding hal-hal yang kompleks, serta memiliki toleransi yang rendah terhadap sumber frustasi

D.2. Aspek Kontrol Diri

Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan 6 aspek yang menjelaskan ciri orang yang memiliki kontrol diri yang rendah, yaitu:

A. Impulsiveness

Konsep ini mengacu pada seseorang yang tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang akan dilakukannya. Mereka memiliki orientasi “here and now” dan gampang tergoda untuk sesuatu yang menyenangkan.

B. Physical activity

Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah lebih memilih kegiatan yang melibatkan aktifitas fisik daripada aktifitas yang melibatkan pemikiran.

C. Risk seeking

Konsep ini menjelaskan bahwa individu dengan kontrol diri yang rendah suka terlibat dalam aktifitas-aktifitas fisik yang beresiko, membangkitkan dan menegangkan.

D. Self-centeredness

Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung mementingkan diri sendiri, kurang sensitif terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain, mereka sering tidak ramah, atau cenderung kurang peduli dalam pembinaan hubungan dengan orang lain.

E. Simple tasks

Individu dengan kontrol diri yang rendah akan cenderung menghindari tugas-tugas yang sulit dan membutuhkan banyak pemikiran, mereka lebih menyukai tugas sederhana yang tidak menuntut banyak pemikiran.

F. Volatile temper

Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung rentan mengalami frustasi, mudah meledak-ledak, tempramental, dan ketika terlibat permasalahan dengan orang lain cenderung sulit untuk menyelesaikannya dengan kepala dingin.

D.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Kontrol Diri

Menurut Gottfredson dan Hirschi (1990) beberapa karakteristik yang berhubungan dengan lemahnya kontrol diri adalah kurangnya kedewasaan, disiplin dan pelatihan. Usia menurut gottfredson dan Hirschi (dalam Conner et all, 2009) juga mempengaruhi kontrol diri, yaitu semakin meningkat usia seseorang kemampuan mengontrol dirinya juga akan semakin meningkat.

Tokoh lain yang mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kontrol diri adalah Siegel (2008) yang menyatakan pola asuh orang tua mempengaruhi kurangnya kontrol diri pada anak. Orang tua yang mengabaikan atau gagal memonitor tingkah laku menyimpang yang dilakukan anak, dan tidak memberikan hukuman, akan menghasilkan rendahnya kontrol diri pada anak. Kemudian anak yang tidak dekat dengan orang tuanya, kurang pengawasan, serta anak yang orangtuanya berperilaku kriminal atau menyimpang lebih mungkin memiliki kontrol diri yang rendah.

E. HARGA DIRI E.1 Definisi Harga Diri

Menurut Coopersmith (1981) harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang diekspresikan dalam suatu bentuk sikap dan menunjukan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Tokoh lain yang memberikan definisi harga diri antara lain frey & Carlock (1998) yang menyatakan harga diri merupakan penilaian positif atau negatif terhadap diri sendiri yang menunjukan sejauh mana individu itu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga yang berpengaruh dalam perilaku seseorang. Selanjutnya Branden (2000) dalam bukunya How To Raise Your Self Esteem, menyatakan bahwa harga diri merupakan perpaduan antara kepercayaan diri (self confidence) dan penghormatan diri (self respect).

Taylor, Peplau, Sears (2000) mengatakan bahwa harga diri adalah evaluasi yang kita buat terhadap diri kita sendiri, yaitu bahwa kita tidak hanya melihat apa yang kita miliki akan tetapi juga pada bagaimana kita menilai kualitas yang kita miliki tersebut.

Menurut Papalia (2007) harga diri adalah evaluasi positif individu terhadap gambaran dirinya (self image). Baron (2006) mendefinisikan harga diri sebagai derajat dimana diri kita, kita persepsikan secara positif atau negatif. Rosenberg (dalam Khairani, 2003) menggambarkan individu dengan harga diri tinggi sebagai individu yang menilai dirinya sebagaimana adanya. Sedangkan individu dengan harga diri rendah dinyatakan sebagai individu yang menarik diri

(self rejection), merasa kurang puas terhadap dirinya (self dissatisfaction) dan menghina diri sendiri (self contempt).

Harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku didalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berfikirnya, emosi, nilai, cita-cita, serta tujuan yang hendak dicapi seseorang. Bila seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, maka perilakunya juga akan positif, sedangkan bila harga dirinya negatif, akan tercermin pada perilaku yang negatif pula (Coopersmith, 1981).

Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa harga diri dapat diartikan sebagai evaluasi yang dibuat individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

E.2. Aspek-Aspek Harga Diri

Menurut Coopersmith (1981) aspek-aspek harga diri meliputi : A. Kebutuhan untuk berharga

Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu berupa pernyataan yang bersifat pribadi seperti pintar, sukses, dan baik. Rasa berharga individu muncul karena dirinya sendiri dan penilaian orang lain, terutama orang tua. Penilaian ini sangat tergantung pada pengalaman yang dirasakan individu, yaitu apakah individu merasa berharga atau tidak. Individu yang menganggap dirinya berharga serta dapat menghargai orang lain umumnya memiliki harga diri yang positif. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya, dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik.

B. Perasaan mampu

Perasaan mampu merupakan perasaan individu pada saat ia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan, perasaan mampu merupkan hasil persepsi individu mengenai kemampuannya yang akan mempengaruhi pembentukan harga diri individu tersebut. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Mereka biasanya menyukai tugas baru, menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuatu berjalan diluar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna melainkan tahu keterbatasan diri dan mengharap adanya pertumbuhan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu akan memberi penilaian yang positif pada dirinya.

C. Perasaan diterima

Bila individu merupakan bagian dari suatu kelompok dan merasa bahwa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok lainnya, maka individu akan merasa dirinya diikutsertakan atau diterima. Individu akan memiliki nilai positif tentang dirinya sebagai bagian dari kelompoknya. Sebaliknya individu akan memiliki penilaian negatif terhadap dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima.

Dari uraian diatas maka aspek-aspek harga diri adalah perasaan berharga, perasaan mampu, dan perasaan diterima.

E.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri

Dalam papalia (2007) secara umum terdapat dua faktor yang mempengaruhi harga diri.

A. Budaya.

Adanya harapan dari stereotipe gender terhadap daya tarik fisik pada kaum perempuan mempengaruhi harga diri khususnya bagi wanita karena menjadi khawatir dengan penampilan mereka. Crain (dalam Papalia, 2007) menemukan harga diri pada remaja wanita umumnya lebih rendah dibanding laki-laki karena kekhawatiran dengan penampilan dan kemampuan mereka.

B. Pola asuh orang tua

Dekovic et al. (dalam Papalia, 2007) menyatakan anak dari orangtua yang hangat dan positif membuat anak lebih merasa dihargai dan membantu mereka memiliki evaluasi yang positif terhadap diri, sebaliknya anak yang terabaikan dapiat menyebabkan mereka memiliki harga diri yang rendah serta berpandangan pesimis terhadap masa depan.

F. Gaya Atribusi Bermusuhan F.1 Definisi Gaya Atribusi Bermusuhan

Krahe (2005) menyatakan Konsep gaya atribusi bermusuhan mengacu pada kecendrungan kebiasaan seseorang untuk menginterpretasi stimulus ambigu dengan cara bermusuhan dan agresi. Ketika individu mendapatkan aksi tidak menyenangkan dari orang lain (misalnya ketika seseorang menabrakmu dikoridor swalayan hingga terjatuh) individu dengan gaya atribusi yang tinggi cenderung akan mempersepsikan aksi orang lain tersebut memang dengan sengaja untuk menunjukan permusuhan.

Tokoh lain yang memberikan definisi gaya atribusi bermusuhan antara lain Baron (2006) yang mendefinisikannya sebagai kecendrungan diri untuk mempersepsikan adanya motivasi bermusuhan dari reaksi orang lain terhadap kita ketika reaksi orang lain tersebut terkesan ambigu. Selanjutnya Beumeister dan Bushman (2008) menyatakan konsep gaya atribusi bermusuhan mengacu pada kecendrungan untuk mempersepsikan suatu aksi yang ambigu dari orang lain sebagai niat permusuhan secara sengaja.

Kirsh (2006) menyatakan, gaya atribusi bermusuhan mengacu pada situasi dimana individu menyimpulkan adanya faktor kesengajaan untuk menunjukan permusuhan dalam aksi orang lain, walaupun maksud sebenarnya belum jelas. Miller (2008) menyatakan konsep gaya atribusi bermusuhan merupakan kemungkinan seseorang untuk mengatribusikan tujuan permusuhan dari orang lain ketika situasinya sendiri tidak menjamin adanya niat permusuhan.

Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya atribusi bermusuhan dapat diartikan sebagai kecendrungan seseorang untuk mengartikan aksi orang lain sebagai tindakan yang memiliki tujuan bermusuhan, walaupun maksud sebenarnya belum jelas dan situasinya sendiri tidak menjamin adanya niat permusuhan.

F.2 Aspek-Aspek Gaya Atribusi Bermusuhan

Barbara krahe dan Inggrid moller (2004) dalam mengukur gaya atribusi bermusuhan pada situasi yang ambigu melibatkan 3 aspek berikut :

Krahe (2004) menyatakan konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang yakin bahwa tindakan tidak menyenangkan dari orang lain pada situasi yang tidak jelas merupakan kesengajaan untuk menunjukan permusuhan. Individu dengan atribut gaya atribusi bermusuhan yang tinggi akan menyatakan sangat yakin bahwa orang lain memang benar dengan sengaja menunjukan permusuhan, sebaliknya orang yang rendah pada atribut gaya atribusi permusuhan menyatakan tidak begitu yakin akan adanya kesengajaan dari orang lain untuk menunjukan permusuhan.

B. Merasakan kemarahan (anger)

Krahe (2004) menyatakan konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang merasakan kemarahan pada situasi mendapatkan tindakan tidak menyenangkan dari orang lain, ketika situasi tersebut tidak jelas. Pernyataan sangat marah menandakan keadaan individu dengan gaya atribusi bermusuhan yang tinggi, sementara orang dengan gaya atribusi bermusuhan yang rendah akan menjawab tidak begitu marah.

C. Keinginan membalas (wish to retaliate)

Konsep ini menurut Krahe (2004) mengacu pada sejauh mana seseorang yang mendapatkan tindakan tidak menyenangkan dari orang lain, walau dalam situasi yang belum jelas sekalipun memiliki keinginan untuk membalas tindakannya. Gaya atribusi bermusuhan yang tinggi pada seseorang akan cenderung menyebabkan keinginan yang kuat untuk membalas.

F.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gaya Atribusi Bermusuhan

Stoff, Breiling, & Maser (1997) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi gaya atribusi bermusuhan.

A. Family stressor

Crittendon dan Ainsworth (dalam Stoff, Breiling, & Maser, 1997) menyatakan anak yang terabaikan (maltreatment), mengarahkan dirinya untuk mengembangkan suatu struktur pemikiran bahwa lingkungan sosialnya adalah lingkungan yang tidak ramah, sehingga hal ini juga akan mengarahkannya untuk mempersepsikan tindakan orang lain dalam situasi yang ambigu sebagai tindakan permusuhan.

Dodge, Bates dan Pettit ( dalam Stoff, Breiling, & Maser, 1997) menyatakan riwayat kekerasan yang dialami anak oleh orang dewasa mengarahkan anak untuk mempersepsikan secara bermusuhan tanda-tanda/aksi-aksi orang lain dalam lingkungan sosialnya, bahkan dalam situasi yang belum jelas sekalipun.

B. Sosial ekonomi

Dodge et al. (dalam Stoff, Breiling, & Maser, 1997) menyatkan anak-anak dengan latar belakang ekonomi yang rendah lebih sering menunjukan gaya atribusi bermusuhan. Hal ini juga berkaitan dengan status sosial di masyarakat, anak-anak Amerika-Afrika yang beresiko mendapatkan diskriminasi ras dari penduduk kulit putih mayoritas merasakan perasaan tidak aman di lingkungannya sehingga anak-anak dari ras Amerika-Afrika lebih sering mempersepsikan aksi/tindakan orang lain sebagai permusuhan.

G. Peran Kontrol Diri, Harga Diri, dan gaya Atribusi bermusuhan

Dokumen terkait