• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat a) Epizeuksis

Epizeuksis merupakan gaya bahasa dengan perulangan pada satuan lingual yang diulang-ulang secara langsung pada kata yang dipentingkan secara berturut-turut.

(225) Tansah ngêlayung, mung tansah ngêlamun (MMLT/II/3) ‘Akan pucat (karena sedih), hanya akan melamun’

(226) Wis wis ya wis cukup Kangmas (CA1/VI/3) ‘Sudah sudah ya sudah cukup Kakanda’

(227) Nanging, nanging, nanging arume rambutmu (SLNJ/II/3) Namung bisa tak bayangne (SLNJ/II/4)

‘Tetapi, tetapi, tetapi harumnya rambutmu’ ‘Hanya bisa saya bayangkan’

(228) Tak coba tak apura (CA1/VI/1) ‘Saya mencoba maafkan’

Pada data (225), kata yang mengalami perulangan ialah kata tansah ‘akan’ yang diulang sebanyak dua kali dalam satu baris pada awal baris dan kata kedua dari belakang. Sedangkan pada data (226), kata wis ‘sudah’ diulang secara beruntun mulai dari awal baris sebanyak tiga kali dalam satu baris. Kemudian pada data (227), kata nanging ‘tetapi’ diulang secara beruntun sebanyak tiga kali. Serta pada data (228), perulangan terjadi pada kata seru (interjeksi) atau dalam bahasa Jawa disebut dengan tembung panyeru yang ditunjukkan oleh kata tak

yang mengikuti kata coba ‘coba’, dan apura ‘maafkan’di awal baris dan kata kedua dari belakang.

(229) Tansah tak trima (CA2/I/4)

Tak tampa kanti ikhlas ati (CA2/I/5) ‘Akan saya terima’

‘Saya terima dengan ikhlas hati’ (230) Judhine mbok aja diterusne (D/II/2)

Mbok dipikir tuwèke (D/II/1)

‘Judinya sebaiknya jangan diteruskan’ ‘Sebaiknya dipikirkan masa tuanya’

(231) Nganti omah-omah ajur mumur padha bubrah (PM/I/4) ………

Omah-omah ajur rata karo lemah (PM/IV/4) ‘Hingga rumah-rumah hancur lebur menjadi rusak’ ……… ‘Rumah-rumah hancur rata dengan tanah’

(232) Trênyuh nyawang nyawa-nyawa ilang (PM/IV/2) Trênyuh, Ngayogjakarta trênyuh (PM/IV/3)

‘Terharu (bercampur sedih) melihat nyawa-nyawa hilang’ ‘Sedih, Yogyakarta bersedih’

Data (229) dan (232) memiliki pola perulangan yang sama yaitu pada kata kedua baris pertama yang diulang di awal baris berikutnya. Kata yang mengalami perulangan merupakan partikel tak dan mbok yang mengikuti kata trima ‘terima’, dan tampa ‘terima’, serta aja ‘jangan’, dan dipikir ‘dipikir’. Masing-masing kata seru tersebut diulang sebanyak dua kali pada data. Kemudian data (231) menujukkan pola perulangan yang sama dengan data (229) dan (230), dimana kata omah-omah ajur ‘rumah-rumah hancur’ diulang sebanyak dua kali di kata kedua baris pertama dan awal baris berikutnya. Sedangkan pada data (232), kata trenyuh ‘terharu’ diulang sebanyak tiga kali di awal baris pertama, awal baris kedua, dan akhir baris kedua.

Berdasarkan hasil analisis di atas, adanya gaya bahasa epizeuksis dalam kutipan LLBJKNB mempertegas tuturan yang dianggap penting oleh pengarang.

b) Anafora

Anafora merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang sama di depan larik-larik pada kalimat-kalimat sebelumnya (Sutejo, 2010:28). Anafora ditentukan oleh perulangan atau repetisi satuan lingual baik berupa kata, frasa, maupun klausa di awal baris atau larik secara berturut-turut, sehingga posisi atau distribusi penanda dari gaya bahasa ini di awal struktur kalimat atau larik lagu. Penggunaan gaya bahasa anafora LLBJKNB dapat dilihat pada data berikut. (233) Nganti kapan aku (BS/III/1)

Nganti kapan aku (BS/III/2)

Nganti kapan dadi bojo simpênan (BS/III/3) ‘Sampai kapan saya’

‘Sampai kapan saya’

‘Sampai kapan saya jadi istri simpanan’

(234) Wis aja ngrêsula (BK/III/1) ‘Sudah jangan mengeluh’ Wis aja nêlangsa (BK/III/2) ‘Sudah jangan bersedih’ (235) Wis nêm taun sliramu ora bali (CA1/II/2)

Wis ra ana kabar êmbuh papanku nèng êndi (CA1/II/3) ‘Sudah enam tahun dirimu tidak kembali’

‘Sudah tidak ada kabar tidak tahu tempatku dimana’

(236) Wis cukupna anggonmu lara (CA2/V/1) ‘Sudah cukup dirimu sakit’ Wis cukupna anggonmu gela (CA2/V/2) ‘Sudah cukup dirimu kecewa’ (237) Ana sing egol-egolan (PJ/V/1)

Ana sing punji-punjian (PJ/V/2)

‘Ada yang mengoyang-goyangkan pinggul’

‘Ada yang saling memanggul (membawa di atas bahu)’ (238) Ora ngêrti lagune (PJ/VII/1) ‘Tidak tahu lagunya’

Ora ngêrti syaire (PJ/VII/2) ‘Tidak tahu syairnya’

(239) Ra kênal penyanyine (PJ/VIII/1) ‘Tidak kenal penyanyinya’ Ra ngêrti penciptane (PJ/VIII/2) ‘Tidak kenal penciptanya’

(240) Tutupên botolmu (O/III/1) ‘Tutup botolmu’ Tutupên oplosanmu (O/III/2) ‘Tutup oplosanmu’ (241) Ya wis cukupna anggonmu mêndêm (O/VI/1)

Ya wis cukupna anggonmu gêndhêng (O/VI/1) ‘Ya sudah cukup dirimu mabuk’

‘Ya sudah cukup dirimu gila’

(242) Ya mari-maria (O/III/3) ‘Sembuhkanlah’ Ya lèrèn- lèrèna (O/III/4) ‘Berhentilah’

Data (233) terdapat gaya bahasa anafora pada tuturan nganti kapan ‘sampai kapan’ yang mengalami perulangan sebanyak tiga kali dimana pengarang bermaksud menggambarkan kesedihan seorang istri simpanan yang menginginkan adanya kepastian akan statusnya menjadi istri sah. Data (234), tuturan wis aja ‘sudah jangan’ yang muncul sebanyak dua kali pada setiap unsur langsungnya, maksud dari perulangan kata wis aja dalam konteks lagu ini pengarang menceritakan seorang pria yang meminta istri ketiganya untuk tidak lagi bersedih dan menerima kenyataan bahwa menjadi istri ketiga tidak bisa memperoleh perhatian yang penuh dari suami.

Seperti halnya data (234), data (235) juga terdapat anafora yang ditunjukkan oleh kata wis yang diulang sebanyak dua kali. Kata wis terkait dengan konteks lagu menekankan pada maksud pengarang untuk menggambarkan kepergian suami menjadi alasan utama seorang istri menjadi seorang WTS (Wanita Tuna Susila). Data (236), perulangan juga terdapat pada tuturan wis cukupna anggonmu ‘sudah cukupkan Kamu’ yang diulang sebanyak dua kali dengan maksud agar berhenti untuk bersedih dan kecewa. Pada data (237), (238), dan (239), anafora terdapat pada tuturan ana sing ‘ada yang’, ora ngêrti ‘tidak

tahu’, dan ra ‘tidak’ yang diulang sebanyak dua kali dengan maksud menggambarkan kegiatan dan suasana saat melihat orkes musik dangdut.

Data (240) hingga (242) terdapat anafora pada kata tutupên ‘Tutup’, tuturan wis cukupna anggonmu ‘sudah cukupkan Kamu’, dan kata ya ‘ya’ yang diulang sebanyak dua kali dengan maksud untuk menghimbau agar mau menghentikan minum oplosan (miras).

(243) Nêm taun sliramu ra bali (CA2/II/4) ………

Nêm taun suwene aku sengaja ngilang (CA2/III/2) ‘Enam tahun dirimu tidak kembali’

………

‘Enam tahun lamanya saya sengaja menghilang’

(244) Mêrga kowe sing tak trêsna (ARK/I/4) ‘Karena Kamu yang saya cintai’ ………...

Mêrga sing tak trêsnani (ARK/II/4) ‘Karena yang saya cintai’ (245) Sing tawuran bêrarti kuwi ndesa (PJ/V/3)

……….. Sing pênting aku jogèt wae (PJ/VI/3) ……….. Sing pênting hore rame-rame (PJ/VIII/3) ‘Yang tawuran berarti itu kampungan’ ………. ‘Yang penting saya joget saja’

……… ‘Yang penting hore ramai-ramai’

(246) Dhuh Kangmas pancèn jêmbar têmênan atimu (CA2/II/1) ………

Dhuh wong ayu pêpujanku sing tak sayang (CA2/III/1) ………...

Dhuh Kangmas kudune sliramu kandha apa anamu (CA2/IV/1) ‘Duh Kakanda memang lapang betul hatimu’

………... ‘Duh wanita cantik pujaanku yang saya sayang’ ………..

Kutipan yang ditunjukkan oleh data (243) hingga (246) merupakan perulangan kata di awal baris pada bait yang berbeda namun masih dalam satu judul lagu. Frekuensi munculnya perulangan dalam setiap data berbeda beda. Pada data (243) dan (244), kata nêm ‘enam’ dan kata mêrga ‘karena’ diulang sebanyak dua kali pada awal baris. Kata nêm ‘enam’ terkait konteks lagu, digunakan pengarang untuk menegaskan lamanya waktu kepergian suami tanpa adanya kabar berita sehingga membuat istrinya terpaksa harus menghidupi diri dengan bekerja di lokalisasi. Sedangkan kata mêrga ‘karena’ pada data (244) menggambarkan perasaan seseorang yang dipendam karena dia yang dicintai sudah dimiliki orang lain.

Pada data (245) dan (246), kata sing ‘yang’, dan kata seru dhuh ‘duh’ diulang sebanyak tiga kali di awal baris. Kata sing ‘yang’ oleh pengarang digunakan untuk menggambarkan keleluasaan dan kebebasan setiap orang untuk mengekspresikan suasana hatinya. Sedangkan kata dhuh ‘duh’ lebih menjelaskan ungkapan kesedihan seorang pasangan suami istri yang sudah lama tidak berjumpa.

c) Epistrofa

Epistrofa adalah repetisi atau perulangan kata atau frasa pada akhir baris kalimat secara berurutan, sehingga posisi atau distribusi penanda dari gaya bahasa ini di akhir struktur kalimat atau larik lagu. Pada LLBJKNB ditemukan data yang mengandung gaya bahasa epistrofa yang dapat dilihat pada hasil analisis berikut. (247) Arêp sambat sapa (BS/IV/1)

Arêp sambat sapa (BS/IV/2)

Têrus aku kudu sambat sapa (BK/IV/3) ‘Akan mengeluh pada siapa’

‘Akan mengeluh pada siapa’

‘Terus saya harus mengeluh pada siapa’ (248) Kadhung wis kelara-lara ati iki (PIL/IV/1)

Aku kudu ikhlas nrima kahanan iki (PIL/IV/2) ‘Terlanjur sudah sakit hati ini’

‘Saya harus ikhlas menerima keadaan ini’

Pada data-data di atas ditemukan adanya pengulangan di setiap akhir kalimat. Pada data (247), tuturan sambat sapa diulang sebanyak tiga kali pada akhir kalimat yang barmaksud bahwa pengarang ingin menggambarkan konflik batin yang dialami seorang istri simpanan yang tidak bisa membagi kesedihannya pada orang lain. Data (248) adanya pengulangan pada kata iki yang muncul sebanyak dua kali, dengan maksud pengarang ingin mempertegas kondisi seorang yang dihianati oleh kekasihnya.

(249) Nganti nekad ati jêgur nang lokalisasi (CA1/I/3) ……….

Dudu karêp ati iki jêgur nang lokalisasi (CA1/II/1) ‘Hingga nekad hati masuk ke lokalisasi’

……… ‘Bukan ingin hati ini masuk ke lokalisasi’

Pada data (249), perulangan nampak pada akhir baris antar bait yang ditunjukkan oleh tuturan jêgur nang lokalisasi ‘masuk ke lokalisasi’. Perulangan tersebut muncul sebanyak dua kali pada bait pertama dan kedua pada judul lagu Cupet Ati 1. Dengan adanya repetisi seperti yang ada pada data-data di atas menambah pendalaman makna terhadap lagu.

d) Mesodiplosis

Mesodiplosis adalah perulangan kata atau frasa di tengah baris kalimat secara berurutan. Dalam analisis LLBJKNB, ditemukan kalimat-kalimat yang mengandung gaya bahasa mesodiplosis, dapat dilihat pada hasil analisis berikut. (250) Têrus aku kudu sambat sapa (BS/IV/3)

Sênadyan aku amung bojo simpênan (BS/IV/4) Sêjatine aku trêsna têmênan (BS/IV/5)

‘Terus saya harus mengeluh pada siapa’ ‘Meskipun saya hanya istri simpanan’ ‘Sebenarnya saya benar-benar cinta’

Kata yang diulang dalam data tersebut adalah kata aku yang diulang sebanyak tiga kali secara berturut-turut di kata kedua tiap baris data (250). Kata aku pada data (250) menekankan bahwa pengarang ingin menggambarkan aku dalam lagu tersebut merasakan sendiri rasa sakit yang dialaminya karena kepedihan itu tidak dapat dibagi bersama orang lain. Kata aku mengacu pada kata ganti orang pertama tunggal bentuk bebas.

(251) Bên kêprungu swarane (GA/IV/2) ………..

Semana uga atiku yèn kêprungu swaramu (GA/V/1) ‘Setiap terdengar suaramu’

………..

‘Begitu juga hatiku jika terdengar suaramu’ (252) Ra bakal nrima sliramu (PIL/III/5)

………

Aku kudu ikhlas nrima kahanan iki (PIL/IV/2) ‘Tidak akan menerima dirimu’

‘Saya harus ikhlas menerima keadaan ini’

Data (251), kata kêprungu mengalami perulangan dua kali pada bait ke empat baris kedua dan pada bait kelima baris pertama. Kemudian pada data (252), kata nrima pada kata kedua bait ketiga diulang kembali pada bait ketiga baris

kelima diulang kembali pada bait keempat baris kedua. Perulangan kata aku ‘saya’, kêprungu ‘terdengar’ dan kata nrima ‘menerima’ pada berfungsi sebagai penambah keestetisan bahasa pengarang.

e) Anadiplosis

Anadiplosis adalah gaya bahasa dimana kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama pada klausa setelahnya. Dalam analisis LLBJKNB ditemukan beberapa data yang termasuk dalam gaya bahasa anadiplosis sebagai berikut.

(253) Nandhang rasa kangên, kangên marang sliramu (ARK/III/2) ‘Merasakan rasa rindu, rindu pada dirimu’

(254) Nanging pancèn, pancèn wis dadi nasibe (SLNJ/I/3) ‘Memang sudah, sudah menjadi nasibnya’

Data (253) kata kangên pada tuturan pertama sebelum tanda koma (,) diulang kembali pada tuturan berikutnya setelah tanda (,) dalam satu baris. Data (254), kata pancèn juga diulang dengan pola serupa dengan data di atasnya yaitu diulang kembali pada kalimat setelahnya. Data di atas bertujuan untuk menegaskan maksud dengan menampilkan kata kangen yang menunjukkan kesungguhan rasa rindunya, menekankan kata pancen yang menandakan adanya kepasrahan, dan menekankan kata sêsandhingan yang mewakili rasa kecewa karena tidak bisa memiliki kekasih hatinya.

f) Repetisi utuh (penuh)

Repetisi utuh adalah perulangan satu baris, satu kalimat atau beberapa kalimat, maupun satu bait secara utuh. Pada LLBJKNB terdapat repetisi utuh sebagai berikut.

Aku mung lampune lilin (BK/I/7) ‘Saya hanya lampu lilin’ Sing mobat-mabit (BK/I/8) ‘Yang terombang-ambing’

Kêna silire angin (BK/I/9) ‘Terkena semilir angin’ ………

………

Nanging aku sadhar (BK/IV/5) ‘Tetapi saya sadar’ Aku mung lampune lilin (BK/IV/6) ‘Aku hanya lampu lilin’ Sing mobat-mabit (BK/IV/7) ‘Yang terombang-ambing’ Kêna silire angin (BK/IV/8) ‘Terkena semilir angin’ (256) Wis aja ngrêsula (BK/III/1) ‘Sudah jangan mengeluh’

Wis aja nêlangsa (BK/III/2) ‘Sudah jangan bersedih’ Donga-dongakna (BK/III/3) ‘Doa-doakan’

Bojoku lila (BK/III/4) ‘Istriku rela’

Wis aja ngrêsula (BK/III/5) ‘Sudah jangan mengeluh’ Wis aja nêlangsa (BK/III/6) ‘Sudah jangan bersedih’ Donga-dongakna (BK/III/7) ‘Doa-doakan’

Bojoku lila (BK/III/8) ‘Istriku rela’

(257) Nganti kapan... nganti kapan... nganti kapan dadi bojo simpênan (BS/V/1) Nganti kapan... nganti kapan... nganti kapan dadi bojo simpênan (BS/V/2) Nganti kapan... nganti kapan... nganti kapan dadi bojo simpênan (BS/V/3) ‘Sampai kapan... Sampai kapan… Sampai kapan jadi istri simpanan’ ‘Sampai kapan... Sampai kapan… Sampai kapan jadi istri simpanan’ ‘Sampai kapan... Sampai kapan… Sampai kapan jadi istri simpanan’ (258) Oplosan (O/IV/1) ‘Oplosan’

Oplosan (O/IV/2) ‘Oplosan’ Oplosan (O/IV/3) ‘Oplosan’

(259) Tutupên botolmu (O/III/1) ‘Tutup botolmu’ Tutupên oplosanmu (O/III/2) ‘Tutup oplosanmu’ Emanên nyawamu(O/III/3) ‘Sayangilah nyawamu’

Aja mbok têrus-têrusne (O/III/4) ’Jangan Kamu terus-teruskan’ Mêrgane ora ana gunane (O/III/5) ’Karena tidak ada gunanya’ ……….

………. ……….

Tutupên botolmu (O/VII/1) ‘Tutup botolmu’ Tutupên oplosanmu (O/VII/2) ‘Tutup oplosanmu’ Emanên nyawamu (O/VII/3) ‘Sayangilah nyawamu’

Aja mbok têrus-têrusne (O/VII/4) ’Jangan Kamu terus-teruskan’ Mêrgane ora ana gunane (O/VII/5) ’Karena tidak ada gunanya’ Tutupên botolmu (O/VIII/1) ‘Tutup botolmu’

Tutupên oplosanmu (O/VIII/2) ‘Tutup oplosanmu’ Emanên nyawamu (O/VIII/3) ‘Sayangilah nyawamu’

Aja mbok têrus-têrusne (O/VIII/4) ’Jangan Kamu terus-teruskan’ Mêrgane ora ana gunane (O/VIII/5) ’Karena tidak ada gunanya’ (260) Nangis sabên dina aku nganti asat êluhku (ARK/III/1)

Nandhang rasa kangên, kangên marang sliramu (ARK/III/2) Nangis sabên dina aku nganti asat êluhku (ARK/III/3)

Nandhang rasa kangên, kangên marang sliramu (ARK/III/4) ‘Menangis setiap hari saya hingga kering air mataku’

‘Merasakan rasa rindu, rindu pada dirimu’

‘Menangis setiap hari saya hingga kering air mataku’ ‘Merasakan rasa rindu, rindu pada dirimu’

(261) Arume kêmbang mêkar ing wayah sore (SLNJ/II/1) ... Arume kêmbang mêkar ing wayah bêngi (SLNJ/III/4) ‘Harumnya bunga mekar di waktu sore’

………. ‘Harumnya bunga mekr di waktu malam’

(262) Nanging aku amung bisa nggonku nyimpên rasa (ARK/I/3) ………. Nanging aku amung bisa nangis brêbês mili (ARK/II/3) ‘Tetapi saya hanya bisa menyimpan rasa’

……….

‘Tetapi saya hanya bisa meneteskan air mata yang jatuh mengalir (ke bawah)’

Pada kutipan diatas terdapat repetisi utuh yang ditunjukkan oleh data (255) hingga (262). Pada data (255), reduplikasi utuh terjadi pada satu bait pada bait pertama yang kemudian diulang kembali pada bait keempat secara utuh. Data (256) repetisi utuh ditunjukkan oleh baris pertama hingga keempat yang diulang kembali secara utuh pada baris kelima hingga kedelapan. Sedangkan pada data (257), baris pertama diulang sebanyak tiga kali dalam satu bait. Kemudian kata oplosan pada data (258), diulang tiga kali dalam satu bait. Selanjutnya pada data (259) bait ketiga diulang kembali pada bait ketujuh dan kedelapan secara utuh.

Data (260), baris pertama dan kedua diulang kembali pada baris ketiga dan keempat. Data (261), repetisi nampak pada baris pertama bait kedua yang diulang

pada baris keempat bait ketiga. Kemudian, data (262) repetisi utuh ditunjukkan oleh baris ketiga bait pertama yang diulang secara utuh pada baris ketiga bait kedua.

(263) Bayangna umpama (SS/I/1) ‘Bayangkan seumpama’ Nèng donya ora ana cahya (SS/I/2) ‘Di dunia tidak ada cahaya’ ………..

Bayangna umpama (SS/II/1) ‘Bayangkan seumpama’

Nang donya ra ana swara (D/II/2) ‘Di dunia tidak ada suara’ ………

Bayangna umpama (SS/III/1) ‘Bayangkan seumpama’

Nang donya ora ana dosa (D/III/2) ‘Di dunia tidak ada dosa’

Pada bait pertama, kedua, dan ketiga terdapat repetisi utuh dengan mengalami variasi dan pelesapan bentuk yang ditunjukkan oleh baris kedua dari bait pertama, dimana kata nèng ‘di’ menggantikan kata nang ‘di’ pada baris kedua bait pertama sehingga diksi mengalami variasi berbeda dengan baris kedua bait kedua an ketiga. Sedangkan pada baris kedua bait kedua didapati pelesapan bentuk diruas kiri yaitu dengan menghilangkan suku kata pertama dari kata ora ‘tidak’ menjadi ra ’tidak’. Fungsi dari reduplikasi utuh pada LLBJKNB yaitu menekankan pada tuturan yang ingin diperjelas pengarang, selain itu juga menunjukkan adanya suatu keruntutan dalam syair lagu sehingga saling berkaitan. a. Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemkan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. perbandingan sebenarnya mengandung dua penertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam bahasa kiasan (Keraf, 2002:136).

a) Metonimia

Metonimia merupakan suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan hal lain, karena mempunyai pertalian yang erat. Hubungan ini dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Pada LLBJKNB ditemukan majas metonimia antara lain.

(264) Gawe tuku banyu setan (BK/I/6) ‘Untuk beli air setan’

Data (264) terdapat majas metonimia pada akhir baris yang ditunjukkan kata banyu setan dengan maksud menyebut minuman keras karena dianalogikan yang meminum air tersebut telah terbujuk rayuan setan. Dalam posisi mabuk, seseorang kehilangan akal sehatnya, yang ada hanyalah bisikan-bisikan setan yang dapat menjerumuskan manusia untuk berbuat dosa.

(265) Dorèmi dadhu karo rèmi (BK/I/6) ‘Doremi dadu dna remi’

Wiwit iki mbok ya dilereni (BK/I/6) ‘Mulai sekarang sebaiknya dihentikan’

Domino kiyu-kiyu (BK/I/6) ‘Domino kiyu-kiyu’

Togèle ora metu (BK/I/6) ‘Togelnya tidak keluar’

Pada data (265), metonimia terdapat pada kata dadhu, rèmi, domino kiyu-kiyu, dan togèl merupakan jenis perjudian. Pengarang menggunakan kata-kata tersebut untuk menyebut ragam jenis perjudian mulai dari permainan lempar dadu, kartu, hingga permainan menebak angka yang biasanya menggunakan taruhan uang.

Adapun fungsi dari adanya majas metonimia dalam LLBJKNB ialah untuk menyebut nama benda sebagai sarana mengungkapkan gagasan agar pendengar maupun pembaca langsung memahami maksud tersebut dengan menunjuk atau menyebut langsung nama objek.

b) Sinisme

Sinisme merupakan gaya bahasa yang mengandung ejekan maupun sindiran yang dapat membuat orang lain akan merasa tersinggung oleh ungkapan-ungkapan tersebut. Adapun majas sinisme yang ditemukan pada LLBJKNB sebagai berikut.

(266) Sing tawuran bêrarti kuwi ndesa (BK/I/6) ‘Yang tawuran berarti itu kampungan’ (267) Domino kiyu-kiyu (BK/I/6)

Togèle ora metu (BK/I/6)

Bên dina sambat mumêt sambat ngêlu (BK/I/6) ‘Domino kiyu-kiyu’

‘Togelnya tidak keluar’

‘Setiap hari mengeluh pusing mengeluh pening’

Kata ndesa ‘kampungan’ pada akhir baris data di atas menegaskan adanya majas sinisme yang mengandung maksud untuk mencemooh atau mengejek karena ungkapan ndesa lebih diinterpretasikan pada orang yang kampungan, norak, dan ketinggalan zaman. Fungsi dari majas sinisme dalam LLBJKNB yaitu sebagai himbauan dari pengarang agar dalam menonton orkes dangdut janganlah membuat onar hingga menimbulkan tawuran. Sedangkan pada data (267), tuturan bên dina sambat mumêt sambat ngêlu ‘setiap hari mengeluh pusing, mengeluh pening’ yang mengandung maksud menyindir orang yang kalah judi akan kehabisan uang dan ujungnya pasti akan mengeluh pusing. Fungsi dari tuturan data (267), menyindir untuk mendapatkan respon dari pendengar supaya berhenti berjudi karena judi hanya akan merugikan orang secara materi.

c) Sarkasme

Sarkasme adalah merupakan gaya bahasa yang didalamnya mengandung celaan yang mengandung kata-kata kasar sehingga terkadang dapat membuat orang lain tersinggung. Pada LLBJKNB terdapat gaya bahasa sarkasme yang ditunjukkan oleh data berikut.

(268) Ya wis cukupna anggonmu mêndêm (O/VI/1) Ya wis cukupna anggonmu gêndhêng (O/VI/2) ‘Ya sudah cukupkan mabukmu’

‘Ya sudah cukupkan gilamu’

(269) Ora sugih sing ana malah kere (D/III/5) ‘Tidak kaya yang ada malah miskin’

Pada data di atas terdapat gaya bahasa sarkasme yaitu pada akhir baris yang ditunjukkan kata gêndhêng ‘gila’, dan kere ‘miskin’ yang terdengar kasar jika dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tentunya ketika orang lain yang mendengar kata tersebut bisa saja merasa tersinggung dan sakit hati. Adanya majas sarkasme pada data tersebut, pengarang ingin menyampaikan himbauan dengan menggunakan kata-kata tersebut agar lebih diperhatian pendengar.

d) Simile

Simile merupan gaya bahasa perumpamaan yang dijelaskan dengan pemakaian kata seperti, bak, laksana, umpama, seperti, serupa. Pada LLBJKNB ditemukan penggunaaan majas simile sebagai berikut.

(270) Aku kêpengin dadi (BK/I/6) ‘Saya ingin menjadi’

Kêrlip-kêrlip lintang (BK/I/6) ‘Kerlap-kerlip bintang’

Sing bisa ngancani (BK/I/6) ‘Yang bisa menemani’ Ing sabên wêngimu (BK/I/6) ‘Di setiap malammu’ (271) Aku kêpengin dadi (BK/I/6) ‘Saya ingin menjadi’

Sing isa madhangi (BK/I/6) ‘Yang bisa menerangi’ Pêtênge atimu (BK/I/6) ‘Gelapnya hatimu’

(272) Paribasane kaya layangan (BK/I/6) ‘Ibaratnya seperti layangan’ Sing mabur tanpa tali goci (BK/I/6) ‘Yang terbang tanpa tali goci’

Pada data (270), (271), dan (272) terdapat adanya majas simile dengan adanya penanda kata yaitu kêpengin dadi ‘ingin menjadi’ dan kaya ‘seperti’ pada tuturan aku kêpengin dadi kerlip-kerlip lintang ‘saya ingin menjadi kerlap-kerlip bintang’, aku kêpengin dadi cahyane rêmbulan ‘saya ingin menjadi cahayanya rembulan’, serta paribasane kaya layangan ‘ibaratnya seperti layangan’. Kata kêpengin dadi pada data (270) dan (271) menegaskan bahwa pengarang ingin menggambarkan keadaan istri ketiga yang berangan-angan ingin menjadi bintang dan rembulan dengan maksud menjadi lebih berarti untuk suaminya. Sedangkan kata kaya dalam data tersebut menegaskan suatu perumpamaan dimana pengarang ingin mengibaratkan istri simpanan seperti layangan putus tali pengaitnya. Fungsi dari majas simile pada data tersebut yaitu menggungkapkan adanya perumpamaan-perumpamaan yang dapat dianalogikan menggambarkan sesuatu melalui kata-kata.

e) Personifikasi

Personifikasi merupakan gaya bahasa kiasan yang mengumpamakan benda-benda mati yang tidak bernyawa seolah-olah dapat hidup berprilaku seperti manusia. Adapun hasil analisis gaya bahasa personifikasi dalam LLBJKNB, yaitu seperti berikut.

(273) Kusumawicitra sing dadi sêksine (MMLT/II/1) Nyinêksèni trêsnaku mring kowe (MMLT/II/2) ‘Bermacam-macam bunga yang menjadi saksinya’ ‘Menyaksikan cintaku pada Kamu’

(274) Nangis, Ngayogjakarta nangis (PM/IV/1) ‘Menangis, Yogyakarta menangis’

Data (273), kusumawicitra yang berarti bermacam-macam bunga diibaratkan seperti manusia yang memiliki mata dan telinga, dapat menjadi saksi cinta seseorang. Data (274) adanya penggunaan gaya bahasa personifikasi pada frasa Ngayogjakarta nangis ‘Yogyakarta menangis’, Yogyakarta merupakan nama dari daerah istimewa di selatan pulau Jawa. Dalam data tersebut Yogyakarta digambarkan dapat menangis seperti manusia yang sedang bersedih. Gaya bahasa personifikasi pada data-data di atas digunakan untuk memeberikan efek dramatis, sehingga pendengar dapat larut degan suasana yang diciptakan oleh lagu tersebut. b. Gaya Bahasa Penegasan

a) Enumerasia

Enumerasia adalah gaya bahasa yang digunakan untuk melukiskan peristiwa atau keadaan dengan pernyataan yang mampu memberikan gambaran-gambaran yang jelas.

(275) Mlakune sêmpoyongan (TO/IV/1) ‘Jalannya sempoyongan’ Ora ngêrti yèn juglangan (TO/IV/2) ‘Tidak tahu ada kubnagan’ Tiba mak blêêêkk.... (TO/IV/3) ‘Jatuh mak blêêêkk....’ Dadi gotong-gotongan (TO/IV/4) ‘Jadi gotong-gotongan’

Dokumen terkait