• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

B. Gaya Hidup

1. Pengertian Gaya Hidup

Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang

pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini). (http://lifestyle-awan.blogspot.com/2009/03/pengertian-gaya-hidup.html) Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan. Gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari dunia modern dan seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks waktu.

Menurut David Channey dalam artikel Kentoznoism, gaya hidup telah menjadi ciri sebuah dunia modern artinya, siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Tentang konsep gaya hidup, Channey memberikan suatu definisi sebagai berikut:

“Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. (http://www.kentoznoism.com/2011/02/gaya-hidup-hedonis-remaja-modern.html)

Dalam masyarakat modern, hubungan primer antar individu telah jauh berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat impersonal menjadi lebih dominan. Manusia modern ingin memperoleh pengakuan sebagai individu selain sebagai anggota masyarakat. Ia juga senantiasa berupaya untuk terus maju, tidak statis, dan berusaha menampilkan dan mencari yang terbaik. Pada umumnya ciri personalitas manusia modern adalah manusia yang mampu membimbing dirinya sendiri, mampu

mengambil keputusan sendiri (menetapkan pilihan-pilihan) dan mampu menghadapi perubahan.

Sedangkan dalam masyarakat tradisional atau pramodern, status, hubungan dan keterkaitan sosial lebih didasarkan pada apa atau siapa seseorang; latar belakang keluarga atau keturunan, suku atau ras, gender (pria atau wanita), dan usia. Selain itu, memang ada juga pertimbangan kemampuan (capability), tetapi lebih bersifat fisik (jagoan) atau magis (paranormal). Struktur yang mewarnai suatu masyarakat tradisional berintikan kekerabatan, kesukuan, atau keagamaan. Struktur yang bersifat primordial itu tertutup bagi yang lain di luar hubungan-hubungan itu dan tidak bersifat sukarela.

Dibandingkan dengan saat ini, orang zaman dulu hidup dalam penjara gaya. Sedang dalam masyarakat modern, walaupun gaya berkembang pesat, ia juga mencirikan suatu ketiadaan acuan akan nilai tertinggi dan melahirkan sekularisasi atau perkembangan ke arah keduniawian. Adanya penilaian terhadap suatu produk ditentukan oleh pola pikir dan nilai-nilai yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat, di mana hal ini dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media komunikasi.

Suatu gaya hidup atau mode tertentu yang muncul belakangan di era modern dan kemudian menjadi in, disebut sebagai trend. Sedangkan trend yang sudah diterima oleh masyarakat kemudian mewabah karena banyak permintaannya, lalu dinamakan trendy. Baik trend maupun modern pada

dasarnya merupakan bantuk hasil karsa dan cipta manusia yang kreatif.

Munculnya suatu daya kreatifitas paling mutakhir dan dinilai “cukup berani” di tengah suasana kehidupan modern.

2. Teori Tentang Gaya Hidup

Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kelas sosial satu dengan kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidak sama, bahkan ada yang kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup yang eksklusif untuk membedakan dirinya dengan kelas yang lain. Berbeda dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersikap konservatif di bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan dan lain-lain gaya hidup dan penampilan kelas sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif. (Narwoko J, 2007 :183)

Giddens dalam artikel Memperbincangkan Gaya Hidup dalam

Prespektif Anthony Giddens, ingin menunjukkan gaya hidup tidak lagi

masuk pada wilayah kelompok tertentu saja, tetapi hampir semua lini kehidupan. Paham ideologis gaya hidup telah menggantikan nilai-nilai kultural, yang tadinya hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup, menjadi gaya, menjadi bagian keseharian yang menjadi tanda, bahwa pencinta gaya ini ada serta menandai identitas kelompok pencinta gaya yang muncul sebagai akibat dukungan media dan terbentuk atas dasar dibuat-buat ada. (http://denijusmani.blogspot.com/2010/11/memperbincangkan-gaya-hidup-dalam.html)

Bagaimana gaya hidup (lifestyle) menata sesuatu menjadi suatu kesatuan, menjadi sebuah pola yang kurang-lebih punya keteraturan. Bagi Giddens identitas diri adalah suatu proyek yang diwujudkan, yang dipahami oleh para individu dengan cara-cara pendirian mereka sendiri, dan cara-cara menceritakan, mengenai identitas personal dan biografi mereka. (Kuper Adam, 2008: 150) Menurut Giddens, identitas diri tidak diwariskan atau statis, melainkan menjadi suatu proyek refleksif, yang menjadi sebuah nilai dari kehidupan seseorang. Pada wilayah ini, berbicara identitas diri semakin masuk pada wilayah ideologis tertentu, yang melandasi kenapa seseorang harus bergaya.

Gaya hidup yang muncul pada masa kini merupakan cerminan dan wajah kultural dari elemen kultural yang ada, sehingga identitas diri tersebut sudah masuk pada identitas kelompok, bahkan menjadi identitas kultural dalam wacana nasional. Istilah modernitas yang dibicarakan Giddens sebelumnya, menunjuk langsung keegoan si pecinta gaya hidup, atas dasar nilai-nilai kekinian. (Pilliang, 2003: 73) Giddens juga berpendapat, bahwa pada tahap awalnya proses modernisasi ini berlangsung di dunia Barat, tetapi dengan berkembangnya beberapa negara, khususnya dunia bagian Timur, sehingga perubahan makin cepat terjadi dalam masyarakat modern, yang menunjukkan terjadi persenyawaan dari nilai-nilai yang berkembang di dunia Barat dengan bagian dunia Timur. (Giddens, 2004: 120-122)

Giddens menyatakan bahwa nilai-nilai kebarat-baratan, khususnya yang ada di wilayah Eropa Barat, telah berkembang dan menjadi identitas kultural bangsa Timur. Berarti, gaya hidup semacam gaya berbusana, gaya busana, tren-tren tentang sesuatu, bukan nilai asli yang ada di Indonesia. Ini adalah adobsi dan hasil pemaksaan budaya yang disenangi oleh orang-orang pribumi. Untuk mengurai masalah identitas diri dan identitas kultural ini, Giddens telah membantu dengan mencetuskan teori strukturasi. (Pilliang, 2003: 78) Teori ini memiliki tiga dimensi pokok, yaitu: adanya pemahaman yang menyatakan cara seseorang memahami sesuatu; pembentukan moralitas yang menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan; terdapat kekuasaan dalam bertindak, bagaimana cara mencapai suatu keinginan. (Giddens, 2004: 172-174)

Teori strukturasi ini mampu menjelaskan bagian struktur-struktur sosial yang terbentuk pada wacana gaya hidup, interpretasi yang didapati dan dimiliki seseorang pecinta gaya hidup, dikontruksi atas dasar keinginan-keinginan dalam memuaskan hasrat untuk bergaya. Interpretasi ini juga termasuk pada ranah dalam penentuan tentang gaya yang akan diikuti dan di anuti, pertimbangan yang dominan dan logis adalah bagaimana agar seseorang tersebut dianggap ada pada lingkungan sosial tertentu. Giddens mengklaim bahwa kehidupan sistem sosial tidak mempunyai kebutuhan apapun, yang memiliki kebutuhan hanyalah manusia sebagai pelaku sosial tersebut. Tentu saja, keputusan-keputusan untuk bergaya tetap dikembalikan pada manusia, sebagai pelaku budaya

dan bagian dari sistem sosial yang terbentuk. Image negatif dan positif tentang gaya hidup sesuatu, merupakan konsekuensi masing-masing yang harus diterima oleh orang-orang yang bergaya.

Baca selengkapnya

Dokumen terkait