• Tidak ada hasil yang ditemukan

I Gede Arya Sunantara

mi, digabungkan dengan ketiga fungsi suci sawah yaitu, keindahan, aktivitas ritual, dan atraksi budaya, maka ia me- rupakan daya tarik tersendiri di mata wisatawan. Jika daya tarik itu hancur, maka tanpa disadari pariwisata Bali yang adiluhung juga akan lenyap. Oleh karena itu, seyogyanya kini subak diles- tarikan atau dibina perkembangannya.

Kegiatan yang dilakukan oleh subak digolongkan menjadi dua macam, yaitu kegiatan yang ada hubungannya dengan keagamaan dan non-keagamaan. Ke- giatan yang ada hubungannya dengan keagamaan meliputi membuat sesajen untuk sawah, sembahyang di pura su- bak atau pura lainnya yang ada hubung- annya dengan pengairan, serta meng- adakan perbaikan di tempat-tempat sembahyang subak. Upacara sembah- yang di pura subak dilakukan pada hari- hari tertentu. Di samping itu juga ada hari-hari lain untuk membuat sesajen yang erat kaitannya dengan kegiatan di sawah, seperti upacara mapag toya

(upacara menyongsong datangnya air). Kegiatan lainnya adalah adanya upacara

ngewiwit bulih (mempersiapkan bibit padi), upacara nandur (menanam pa- di), upacara padi umur dua belas hari, sampai kepada upacara bersyukur kare- na panen berhasil. Upacara kadang-ka- dang dilakukan secara berkelompok ya- itu di pura subak, kadang-kadang juga dilakukan sendiri-sendiri di masing- masing petak sawahnya. Tempat sem- bahyang tersebut dibuat dari bahan se- derhana sampai bahan permanen, di mana saat itu seluruh krama (anggota) subak beriring-iringan menuju sawah- nya masing-masing pada hari yang dite- tapkan oleh rapat subak (pauman).

Kegiatan di luar keagamaan terdiri atas membuat dan memperbaiki salur- an air, tempat pembagian air ke sawah masing-masing (temuku), memperbaiki jalan subak, pemberantasan hama, dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan usaha peningkatan produksi. Pengawasan jalannya air juga dilakukan secara teratur. Anggota subak secara

bergiliran mengawasi jalannya air dari sumber air sampai ke temuku, tempat pembagian air langsung ke sawah ma- sing-masing anggota subak. Seandainya dijumpai kerusakan-kerusakan kecil yang mengganggu jalannya air, maka kerusakan tersebut segera diperbaiki.

Perhatian terhadap subak menjadi penting karena berhubungan dengan upaya menjaga aspek fisik (ekologis) su- bak yang dalam konsep Tri Hita Karana disebut unsur palemahan (tanah/sawah dan air) sehingga dapat merembet ke- pada usaha untuk menjaga aspek sub- sistem sosial anggota/krama subak pa- wongan dan aspek lingkungan spiritual

parhyangan. Karena keanggotaan su- bak di Bali tidak membedakan agama, ada anggota yang beragama Hindu, Islam, dan Kristen. Memang kegiatan subak terutama didasarkan pada ritual Agama Hindu karena kebanyakan ang- gota subak (krama) beragama Hindu. Anggota yang bergama Islam dan Kris- ten tetap ikut membayar iuran yang di- perlukan untuk kegiatan subak. Tetapi mereka melakukan sembahyang esuai dengan agamanya masing-masing. Anggota beragama Islam mengadakan sembahyang di masjid, sedangkan yang beragama Kristen di gereja. Perbedaan agama tidak merupakan masalah dalam keanggotaan subak. Karena itulah ma-

nakala subak bubar maka taruhan berikutnya adalah Bedugul dan Ulun Suwi, Pura-nya Krama Subak sebagai pedoman hidup manusia Bali juga akan hancur.

Dereligiusitas Subak = Desakrali- sasi Air

Di tengah mulai munculnya ke- sadaran akan pentingnya agama, dalam hal ini Agama Hindu untuk menjaga lingkungan terutama air saat ini, melalui ajeg-nya subak, masyarakat dan pemerintah daerah di Bali sebagai ele- men utama pelaksana keinginan terse- but masih belum sepenuhnya terbebas dari ikatan "cara berfikir institusio- nalis". Padahal rasionalisme dalam Hindu ketika menilai dan melihat re- ligiusitas subak dan kesakralan air tidak hanya terbatas pada ritus dalam arti sempit, tetapi sesungguhnya memadu- kan simbol penilaian moral dan simbol konstruktif agama, dengan kata lain ju- ga menggunakan bentuk ritualisme da- lam arti yang lebih luas sehingga secara diakronis terangkum dan teridentifikasi mulai dari hal-hal periferal sampai pada hal-hal yang esensial atau terkait de- ngan tattwa.

Kaitannya dengan simbol penilaian moral ketika melihat religiusitas subak dan kesakralan air, masyarakat Hindu

Bali berhadapan dengan tatanan yang senantiasa harus dianggap suci (luanan), sehingga harus dijaga agar ti- dak tercemar dengan hal-hal yang bersi- fat profan (tebenan). Secara kontinum konsep luan-teben harus dipisahkan secara tegas, tetapi secara filsafati kedu- anya mesti senantiasa berpasangan, terutama untuk membangkitkan sum- ber kekuatan atau bayu. Sehingga pe- makaian simbol-simbol penilaian moral dalam menilai religiusitas subak dan kesakralan air ini mengharuskan selu- ruh warga Bali - baik itu pemeluk Aga- ma Hindu (krama adat) maupun warga pendatang non-Hindu (krama tamiu) - harus paham tentang "kedudukan" su- bak dan air sehingga dapat menghin- darkan diri dari pelanggaran-pelanggar- an yang mengakibatkan kecemaran (le- teh), sehingga konsepsi rwa bhineda

yang mempertentangkan konsep kesu- cian (suci, purity) dan kecemaran (le- teh, pollution) selalu dapat terjaga de- ngan baik.

Sedangkan dalam kaitannya dengan simbol-simbol konstruktif ketika meni- lai religiusitas subak dan kesakralan air, dalam masyarakat Hindu dikenal ada- nya pembedaan kedudukan, warna dan struktur keagamaan yang berjenjang, dimana kemudian akan menurunkan

perbedaan distribusi wewenang, kekua- saan, kependetaan dan keagamaan yang berstruktur ketika mendefinisikan reli- giusitas subak dan kesakralan air.

Prinsipnya, air dari mata air di da- lam Agama Hindu adalah salah satu syarat yang diperlukan (tirtha untuk

patirthan) dalam upacara Panca Yajna baik yang bersifat rutin (nityakala) ma- upun yang bersifat insidental (naimiti- kakala). Unsur air dalam Agama Hindu dianggap sebagai sarana menyucikan, unsur yang memberikan kemakmuran, dan arus kehidupan yang harus disebe- rangi seseorang untuk menuju kebaha- giaan sejati (Titib, 2001). Karena itu da- lam mencermati pola pergeseran akan kebutuhan subak dan ketersediaan air seperti yang diuraikan di atas di tengah- tengah kondisi kehidupan rakyat yang semakin "irasional" dan sekaligus "hi- permoralitas" terhadap nilai-nilai ketu- hanan, kemanusiaan, dan pembangun- an ini, akhirnya - mau tidak mau, disa- dari maupun tidak - menghasilkan fluk- tuasi keadaan lingkungan yang terus berkembang menjadi persoalan multi- dimensional. Pendeknya, masalah ter- berangusnya subak dan masalah ke- langkaan air yang mulai terjadi di sana- sini di seantero Pulau Bali sekarang ini, bukan semata-mata sebagai produk

sampingan (by product) dari sebuah "proses horizontal", kasus ini juga tetap merupakan unsur melekat (built-in ele- ment) dari sebuah ketidakselarasan sebentuk "hubungan vertikal".

Menuju Transformasi Tradisi Meskipun tidak semua tradisi dalam masyarakat lokal mengandung nilai-nilai peka terhadap lingkungan, namun keber- adaan subak sudah tidak perlu diper- tanyakan lagi, minimal bagi orang-orang Bali sendiri. Karena itu upaya merekayasa tradisi masyarakat dengan dasar-dasar modernisasi bukanlah pilihan yang bijak- sana. Yang diperlukan sesungguhnya adalah sebuah upaya yang lebih ringkas, lebih sederhana, yaitu memahami setiap tradisi dan adat yang ada pada setiap daerah, melakukan pemberdayaan ter- hadapnya, dan melakukan transformasi budaya di dalamnya. Transformasi bu- daya di sini maksudnya adalah mela- kukan suatu proses terciptanya hubungan (structure) yang secara mendasar baru dan lebih baik. Strategi transformasi tra- disi dan budaya dalam masyarakat lokal ini memungkinkan kita untuk tetap men- jaga, dan yang terpenting tetap memiliki pluralitas tradisi dan budaya itu sendiri, serta memberikan ruang pada setiap ma- syarakat adat untuk menciptakan sejarah mereka sendiri. Intinya, strategi transfor- masi tradisi dan budaya dalam ma- syarakat adat ini harus memperhatikan dimensi pemberdayaan (empowerment), menjamin dan menghargai self iden- tification dan mencegah terjadinya ke- budayaan tunggal (monoculture). Inilah sesungguhnya tantangan bagi masya- rakat adat maupun bagi kita semua, agar ketika melihat religiusitas subak dan sakralnya air dalam masyarakat Bali. Dunia tetap berujar bahwa Bali beserta tradisi dan budayanya tetap merupakan

the morning of the world seperti kata Nehru, atau sebagai the paradise island

seperti kata novelis Hickman Powell.

*Alumnus S.2 AN-Fisipol UGM dan MPRK UGM. Pemerhati masalah-masalah water security. Tinggal di Yogyakarta.

R

endi dan Gunadi dengan asyik- nya mengamati air yang baru diambilnya dari Danau Cibu- bur. Beberapa indikator dimasukkan ke bejana tempat air itu. ''30 derajat Celci- us,'' kata Rendi. ''Coba tes sekali lagi,'' kata Gunadi tak percaya.

Tak jauh dari keduanya jongkok, te- man-temannya dari SMP 233 Jakarta yang berjumlah 40 siswa melakukan hal yang sama. Mereka mengukur kualitas air di danau itu. Indikator yang diukur selain suhu, juga jumlah oksigen terla- rut, pH, dan kekeruhan.

''Ini pengalaman yang baru, kita bisa mengetahui tentang biotik air, kadar, suhu dan sebagainya,'' kata Rendi yang mengaku ranking dua di kelasnya. ''Ya, menambah pengetahuan baru. Karena di sekolah hanya teori doang, praktek- nya kurang,'' tambah Gunadi.

Selain itu keduanya mengaku men- dapatkan pengetahuan baru bagaimana menghemat dan menjaga sumber daya air. ''Jangan mencuci sepeda dengan air dalam ember. Boros. Kalau mandi se- baiknya pakai shower. Jangan membu- ang sampah, tinja, oli sembarangan,'' kata Rendi seraya menambahkan bah- wa air tidak hanya untuk manusia se- karang tapi juga generasi yang akan da- tang.

Hal baru juga didapatkan artis sine- tron Marshanda yang hadir sebagai bin- tang tamu. ''Wah aku senang banget. Pengetahuan aku jadi nambah. Aku mendukung bangetprogram ini dituju- kan kepada anak-anak. Semakin sering diadakan maka semakin tertanam kepe- dulian terhadap air,'' katanya. Ia meng- aku sebelumnya tidak banyak tahu ten-

tang kualitas air. ''Aku sebelumnya tak pernah mencoba mengukur yang kayak ginian. Ternyata tak susah ya,'' ungkap- nya.

Selama hampir setengah hari peng- ukuran kualitas air dilakukan. Acara ini merupakan peringatan Hari Monitoring Air Sedunia. Sebetulnya peringatannya sendiri jatuh pada 12 Oktober. ''Ini ada- lah rangkaian kegiatan dari peringatan tersebut,'' kata Job Supangkat dari Fo- rum Komunikasi Air Minum Indonesia (FORKAMI).

Kegiatan diisi dengan mengukur kualitas air di beberapa lokasi, lomba menggambar oleh 30 siswa dari 20 SD di DKI, dan kunjungan ke instalasi pengolahan air. Acara ini diselenggara- kan atas kerja sama FORKAMI, Thames

Pam Jaya (TPJ), dan Pam Lyonnaise Jaya (Palyja).

Job menjelaskan tema utama per- ingatan ini yakni 'Selamatkan Air Kita'. Dari peringatan ini ada dua hal yang ingin diraih yaitu perubahan perilaku berupa penghematan terhadap pema- kaian air dan stop pencemaran. ''In- tinya, perlakukan air secara bertang- gung jawab,'' tandasnya.

Dalam upaya itu, anak-anak dan re- maja menjadi target. Ini dilandasi asum- si bahwa anak-anak memiliki daya ubah yang lebih cepat dan bisa mempengaruhi orang tua atau keluarganya. ''Makanya kita mulai sejak dini, SD, SMP, agar mereka paham pentingnya sumber daya air itu dilindungi,'' kata Ketua Umum FORKAMI, Abdullah Muthalib.

Dokumen terkait