• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sambungan Desa, Manajemen Kota

dana warga Rp. 8 juta. Partisipasi masyarakat juga diwujudkan da- lam bentuk inkind berupa kerja bakti setiap minggu. ''Kita hampir dua bulan kerja bakti,'' kata Imam. Proyek itu dimulai dengan pembangunan Bak Penampung Air (BAP) di Sumber Apak. Bak itu berupa bangunan silinder dari beton dengan diameter 2 meter. Silinder itu dibangun dengan ke- dalaman sekitar 4 meter ke dalam tanah. Selain itu dibangun pula rumah panel listrik yang berjarak sekitar 5 meter dari BAP, dan tan- don penampung dengan ukuran 6 x 6 persegi dan tinggi 2 meter yang bisa menampung air 50 meter kubik. Tandon air ini terletak di ujung desa, yang letaknya memang lebih tinggi. Untuk menaikkan air dari sumber digu- nakan pompa elektrik dengan kekuatan 12.000 watt dengan kapasitas 3 liter per detik. Pompa diletakkan di bagian atas BAP.Untuk menyalurkan air, TKM ber- sama warga membangun jaringan per- pipaan. Panjang jaringan itu mencapai 9.050 meter.

Bersamaan dengan itu TKM pun menyelenggarakan program jamban bergulir; pelatihan kader kesehatan ma- syarakat, anak sekolah, dan guru; pem- bangunan tempat cuci tangan di seko- lah, dan pembinaan kantin UKS di seko- lah yang ada di desa tersebut.

Proyek yang dimulai Mei 2004 itu berakhir Mei 2005. Ini berarti masa tugas TKM pun selesai. Untuk memeli- hara dan mengoperasikan sarana yang terbangun, warga dalam rembug desa membentuk Badan Pengelola Sarana Air Bersih (BPSAB). Pengurusnya adalah para mantan TKM, beranggo- takan tujuh orang.

Pasca Proyek

Setelah BPSAB terbentuk, organi- sasi bentukan masyarakat itu langsung melaksanakan tugasnya. Yang pertama dilakukan adalah melakukan penyam- bungan pipa ke rumah-rumah. ''Kita

memilih menggunakan meteran agar lebih adil. Yang pakai sedikit bayar sedikit, yang banyak bayar banyak,'' je- las Imam.

BPSAB menetapkan biaya sambung- an per rumah sebesar Rp. 250 ribu. Kini biaya sambungan naik menjadi Rp. 300 ribu, setelah adanya kenaikan bahan ba- kar minyak yang berimbas kepada ke- naikan harga peralatan sambungan. Se- dangkan biaya pemakaian, BPSAB me- netapkan Rp. 750 per liter kubik. Saat ini ada 609 satuan sambungan.

Kesadaran masyarakat untuk mem- bayar iuran pun cukup baik. Warga da- tang sendiri ke loket pembayaran yang telah ditentukan lokasinya oleh BPSAB. Terbukti belum ada yang menunggak membayar. Pada November 2005, dana yang masuk sekitar Rp. 6 juta dengan pengeluaran sekitar Rp. 4 juta. Setiap bulan ada peningkatan pemasukan.

Uang hasil iuran pelanggan ini, me- nurut Imam, digunakan untuk pengem- bangan jaringan dan penggantian pompa. Bahkan beberapa waktu lalu, pompa baru dengan kapasitas 6 liter per detik telah dipasang menggantikan pompa yang lama. ''Jadi sekarang, kita punya dua pompa. Yang satu kita sim- pan, dan bisa gunakan sewaktu-waktu bila ada kerusakan pompa yang ada,'' je- lasnya. Selain itu, hasil iuran ini juga akan disisihkan kepada pengurus

BPSAB sebagai uang jasa. Sebelumnya pada saat men- jadi TKM, mereka tak mem- peroleh honor sama sekali.

BPSAB mengadakan ra- pat rutin tanggal 12 setiap bulan. Badan ini menggu- nakan prinsip manajemen terbuka dan sistem keuang- an yang transparan sehing- ga akuntabilitasnya cukup baik. Pengurusnya pun te- lah memiliki rencana ke depan termasuk menghi- tung penyusutan alat dan sebagainya.

Dampak Langsung

Kepala Desa Jambearjo Abdullah mengungkapkan keberadaan air bersih ini mampu meningkatkan jumlah pemi- lik jamban. Sebelum ada proyek WSLIC jumlah jamban di Jambearjo ada 310. Kini jamban tersebut menjadi 733 unit. Jumlah diare pun menurun.

Keberadaan air bersih ini men- dorong pembangunan rumah baru. Dari semula ada 910 rumah kini telah ber- tambah menjadi 968 rumah. Sebuah kompleks perumahan dibangun di wi- layah tersebut.

Selain itu, kata Abdullah, ada penu- runan ongkos air bagi warga yang ha- jatan. ''Dulu kalau hajatan, paling tidak warga mengeluarkan Rp. 200 ribu un- tuk air. Kini cuma Rp. 13 ribu,'' katanya.

Yang pasti warga pun amat gembira dengan adanya proyek ini. ''Ya lebih enak sekarang. Nggak perlu lagi ke sumber,'' kata Bagilin, warga yang se- mula harus turun ke jurang untuk mengambil air.

Rupanya kini warga Desa Bulula- wang, Kecamatan Bululawang, yang bersebelahan dengan desa tersebut pun telah mengajukan diri untuk menda- patkan sambungan air bersih. BPSAB pun telah siap memasang sambungan baru. Tentu dengan harga yang berbeda. Ada yang mau belajar ke Jambearjo? „

mujiyanto

P

esimistis. Inilah sikap yang muncul ketika program Com- munity Led Total Sanitation

(CLTS) mulai masuk ke Indonesia. Ba- nyak kalangan ragu, mampukah masya- rakat dengan kesadaran sendiri me- ninggalkan kebiasaan buang air semba- rangan, sementara tidak ada insentif apapun yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka.

Sikap pesimistis itu terjawab setelah program tersebut diujicobakan di enam kabupaten yakni Lumajang (Jawa Ti- mur), Sambas (Kalimantan Barat), Mu- ara Enim (Sumatera Selatan), Muara Jambi (Jambi), Sumbawa (NTB), dan Bogor (Jawa Barat). Proses uji coba per- tama diawali di Lumajang pada Mei 2005, dan menyusul kabupaten lain pa- da Juni 2005.

Hasilnya cukup mencengangkan. Dalam satu sampai tiga bulan, masya- rakat yang dipicu melalui program ini berubah, kecuali di Kabupaten Bogor. Mereka tak lagi membuang air besar sembarangan, yang biasanya dilakukan di sepanjang sungai, kebun, atau se- mak-semak. Dengan kesadaran sendiri mereka membangun jamban sesuai dengan kemampuan masing-masing. Keberhasilan itu tak cukup sampai di si- tu tapi terus menjalar ke desa-desa yang lain di sekitarnya. Bahkan di Sambas, Bupati telah mencanangkan program tersebut untuk seluruh wilayahnya.

Kamal Kar, pakar yang menemukan konsep CLTS, dalam lokakarya CLTS tingkat nasional di Jakarta, 28-30 No- vember lalu, mengatakan capaian Indo- nesia sangat bagus. Dalam enam bulan

mampu mengubah sedikitnya 3.500 orang untuk tidak buang air sem- barangan.

Program CLTS pertama kali dilak- sanakan di Bangladesh tahun 2000. Kini program tersebut telah menyebar di delapan negara termasuk Indonesia. Di setiap Negara ada pembelajaran yang bisa ditarik untuk memperbaiki proses. Kamal menguraikan di Bangladesh ada kendala yakni berupa masuknya subsidi atau bantuan dari pemerintah, yang jus- tru menghambat keberhasilan program. Selain itu, target menjadi tujuan sehing- ga melupakan proses.

Makanya, Kamal menegaskan bah- wa keberhasilan program CLTS harus didukung perubahan sikap pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus meng- hindari pemberian subsidi atau bantu- an. Selain itu, CLTS membutuhkan fasi- litator yang banyak untuk memicu ma- syarakat.

Oswar Mungkasa dari Direktorat Pe- rumahan dan Permukiman Bappenas pun menekankan yang terpenting dari program CLTS ini adalah proses peru- bahannya, bukan target deklarasi bebas buang air besar sembarangannya. Ber- bagai prinsip dasar, karakteristik ma- syarakat, faktor pendorong kesuksesan harus terus dipelajari dan dikembang- kan.

Dari lokakarya nasional tersebut dihasilkan prinsip dasar program CLTS. Prinsip tersebut yakni:

Yang harus dilakukan dalam CLTS Memicu dengan baik (melalui proses perkenalan, diskusi/analisas partisi- patif, transect walk, pemicuan dan motivasi)

Pemahaman bahwa CLTS bukan pro- yek, tetapi sebuah pendekatan Belajar bersama (bukan penyuluhan) Pemicuan yang terus menerus untuk menimbulkan rasa malu, jijik, gengsi, dengan menggunakan bahasa yang dikenal di masyarakat

Pendampingan/monitoring yang in- tensif

Meningkatkan ketrampilan fasilitator Membentuk fasilitator baru (yang siap mental, pantang menyerah, dan berkomitmen tinggi) dan tim fasilita- tor masyarakat

Implementasi CLTS di wilayah yang tidak ada proyek

Dukungan untuk menciptakan keswa- dayaan masyarakat (melalui kegiatan gotong royong, tokoh adat, tokoh agama)

Memberi kebebasan untuk berinisi- atif

Dokumen terkait