• Tidak ada hasil yang ditemukan

Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan gegar budaya

diperkenalkan pertama kali oleh antropolog, Kalvero Oberg pada tahun 1960. Menurut Kalvero Oberg dalam Larry A. Samovar, Porter dan McDaniel (2010, h.476) definisi kejutan budaya adalah:

“Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari: bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana untuk tidak berespon. Petunjuk ini, dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau norma, diperlukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang kita ucapkan atau kepercayaan yang kita terima. Kita semua menginginkan ketenangan pikiran efisiensi ribuan petunjuk tersebut yang kebanyak tidak kita sadari”

Menurut Oberg dalam Dayakisni (2012, h.265) menggambarkan bahwa gegar budaya adalah respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru. Istilah ini menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai. Pada awalnya definisi gegar budaya cenderung pada kondisi gangguan mental. Bowlby dalam Dayakisni (2012, h. 266) menggambarkan bahwa kondisi ini sama seperti dengan kesedihan, berduka cita dan kehilangan, sehingga dapat dikatakan mirip dengan kondisi seseorang ketika kehilangan orang yang dicintai. Ketika kita masuk dan

34

mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ gegar budaya (Littlejohn, dalam Mulyana, 2006, h.125)

Sejak diperkenalkan untuk pertama kali, berbagai konsep tentang gegar budaya berkembang untuk memperluas definisi ini, seperti dikemukakan oleh Adler (1975) dan Pedersen (1995, 1970) dalam Abbasian and Sharifi, (2013). Menurut Adler (1975) yang dikutip oleh Abbasian and Sharifi (2013) mengemukakan bahwa gegar budaya merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutan akan ditipu, dilukai ataupun diacuhkan. Gegar budaya merupakan sebuah fenomena emosional yang disebabkan oleh terjadinya disorientasi pada kognitif seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada identitas atau disonan ( Hayqal, 2011).

Edward Hall dalam bukunya yang berjudul Silent Language (1959) dalam Hayqal, 2011) mendeskripsikan Gegar Budaya adalah gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing.

Konsep Gegar Budaya yang diperkenalkan oleh Oberg (1960) yang kemudian disempurnakan oleh Furnham dan Bochner (1970) menunjukkan bahwa Gegar Budaya terjadi biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini, yaitu: 1) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan

sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gestur), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu. 2) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa

35

adalah penyebab jelas dari gangguan ini. 3) Krisis identitas dengan pergi keluar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya (Dayakisni, 2012: 265).

Edward Hall dalam Hayqal (2011) mendeskripsikan gegar budaya adalah gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing. Sejak diperkenalkan untuk pertama kali, banyak konsep tentang gegar budaya untuk memperluas definisi ini. Adler (dalam Abbasian and Sharifi, 2013) mengemukakan bahwa gegar budaya merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutan akan di tipu, dilukai ataupun diacuhkan. Gegar budaya merupakan sebuah fenomena emosional yang disebabkan oleh terjadinya disorientasi pada kognitif seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada identitas (Stella, dalam Hayqal, 2011). Menurut Kim seperti dikutip oleh Abbasian & Sharifi, (2013) dinyatakan bahwa gegar budaya adalah proses generik yang muncul setiap kali komponen sistem hidup tidak cukup memadai untuk tuntutan lingkungan budaya baru. Selanjutnya gegar budaya adalah tekanan dan kecemasan yang dialami oleh orang-orang ketika mereka bepergian atau pergi ke suatu sosial dan budaya yang baru (Odera, dalam Niam, 2009).

Untuk mahasiswa internasional, komponen pengaruh kejutan budaya muncul dalam studi yang menunjukkan perubahan kehidupan akulturasi berkorelasi dengan tekanan psikologis (Searle & Ward, 1990; Ward & Kennedy, 1993a, 1993b) seperti dikutip oleh Yamashita & Tanaka (2010). Hampir semua mahasiswa internasional menghadapi serangkaian stresor akulturasi, termasuk hambatan bahasa, lingkungan pendidikan, situasi sosial budaya diskriminasi, kesepian, dan stresor gaya hidup atau praktis (Smith & Khawaja, 2011). Lin dan Yi (1997) dalam Alavi dan Mansor (2011) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan situasi sosial budaya antara lain kesulitan akomodasi yang sesuai, kesulitan

36

finansial, kesulitan dalam makanan dan kebiasaan-kebiasaan cara makan yang berbeda, tuntutan akademis yang tinggi serta tantangan untuk menyesuaikan diri pada budaya baru juga membuat proses mahasiswa asing dalam menyesuaikan diri menjadi lebih rapuh dan beresiko.

Sementara itu Pedersen, Neighbors, Larimer, & Lee (2011) mengemukakan bahwa kesulitan adaptasi yang dihadapi oleh para mahasiswa asing dapat dilihat dari enam aspek dalam Sojourner Adjustment Measure, yang tergolong ke dalam faktor positif dan faktor negatif dari penyesuaian diri. Faktor positif antara lain adalah interaksi sosial dengan masyarakat di negara tujuan, pemahaman budaya dan partisipasi di negara tujuan, pengembangan dan penggunaan bahasa negara tujuan, serta identifikasi budaya negara tujuan. Sedangkan faktor negatif antara lain adalah interaksi sosial dengan sesama individu dari negara asal dan homesickness. Menurut Furnham (dalam Tillburg & Vingerhoets, 2005:

20) yang dikutip oleh Istanto dan Engry (2019) homesickness muncul sebagai pemikiran yang kuat tentang rumah, perasaan untuk selalu ingin pulang ke rumah, kesedihan yang mendalam untuk rumah, dan adanya perasaan tidak nyaman yang dimiliki saat berada di tempat yang baru. Berdasarkan beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa homesickness merupakan suatu distress atau perasaan tidak nyaman yang dapat terjadi karena individu berpisah dari lingkungan tempat tinggalnya serta ditandai dengan emosi negatif, dialaminya pemikiran yang kuat tentang rumah serta gejala somatik. Reaksi yang ditimbulkan dalam individu terhadap perbedaan budaya dan culture shock (Andani, 2017:23) dapat dilihat pada gambar berikut ini.

37

Gambar 2.3

Reaksi yang ditimbulkan individu terhadap perbedaan budaya

Sumber : Andani (2017: 23)

Kejutan budaya juga dapat dipengaruhi oleh faktor sewaktu. Larry A. Samovar dkk.

(2010) menuliskan fase-fase kejutan budaya yang digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U – Curve, yaitu :

1) Fase optimistic atau honeymoon, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.

2) Masalah kultural atau culture shock, fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam gegar budaya. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustrasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

3) Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Pada fase recovery, stres yang dirasakan sudah mulai berkurang. Usaha adaptasi yang dilakukan sudah mulai tampak hasilnya. Kegiatan rutin pun sudah bukan menjadi masalah lagi bagi mereka. Setelah itu, masuk pada fase

Rasa ingin tahu terhadap budaya baru Kurangnya

nafsu makan Tekanan

Mental Hilangnya

rasa percaya diri

Home Sickness

38

adaptation atau adaptasi. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

4) Fase penyesuaian atau adjustment, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya seperti nilai-nilai, adab khusus, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain

Gambar 2.4 U Curve

Sumber: Samovar dan Richard Edwin (2010:169) Sumber: Larry A. Samovar dkk (2010)

Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Selain fase – fase di atas, kejutan budaya dapat terjadi terulang ketika seseorang kembali pulang ke asalnya. Dirinya akan merindukan suasana lingkungan, budaya, dan teman – temanya di budaya yang lain. Ketika hal ini terjadi, maka dirinya akan kembali mengalami empat fase penyesuaian tersebut dan terjadilah kurva – W yang merupakan gabungan dari dua kurva – U. Mereka akan mengalami putaran lain dari culture shock, yang dikenal dengan Reverse Culture Shock atau Re-entry Culture Shock, kali

ini dalam budaya asli mereka. Contohnya seperti mahasiswa yang kembali dari belajar di luar negeri, mereka akan memiliki perpektif yang berbeda dan melihat dunia dengan perspektif yang berbeda pula. Mahasiswa banyak yang mengeluh bahwa mengomunikasikan

Recovery

Adjustment

39

pengalaman mereka di luar negeri kepada teman dan keluarga mereka, sering sulit dilakukan.

Inilah yang kemudian terjadi dalam tahapan Kurva W (Oberg, 1960) dalam Dayakisni (2012).

Gambar 2.5 W Curve

Sumber : Oberg (1960) dalam Dayakisni (2012)

Dari teori diatas dapat terindikasi bahwa teori gegar budaya sangat berkaitan dengan orang yang menginjak daerah yang baru pertama kali dikunjungi yang membuat mereka sering mengalami kecemasan, gelisah dan ketidaknyamanan saat memasuki lingkungan baru atau bertemu dengan orang-orang baru.

Dokumen terkait