• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Porter dan McDaniel (2010, h. 460-461) Kompetensi merupakan sebuah kemampuan, perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu. Komunikator yang kompeten merupakan seseorang yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dengan anggota dari latar belakang linguistik-kultural yang berbeda.

Seseorang dapat berinteraksi dengan baik jika memiliki motivasi untuk berkomunikasi, pengetahuan yang cukup, kemampuan komunikasi yang sesuai, sensitivitas dan memiliki karakter.

40

Menurut Chen & Starosta (1996) dalam Luthfia (2011, h.850) Sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan semakin menyepitnya dunia dan adanya saling ketergantungan global, maka pemahaman antar budaya dan kemampuan berkomunikasi antar budaya menjadi sangat penting. Hanya melalui komunikasi antar budaya yang kompeten, orang dari budaya yang berbeda dapat berkomunikasi dengan efektif dan layak serta dapat memahami satu sama lain di dalam masyarakat global.

Kompetensi komunikasi antarbudaya sangat diperlukan di era globalisasi di mana orang dengan latar belakang budaya dan etnis yang berbeda semakin sering melakukan kontak face to face. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Kompetensi Komunikasi Antarbudaya yang dikemukakan oleh Samovar, Porter dan Mc.Daniel (2010), dan Chen dan Starosta (1996) karena ketiga teori ini sangat sesuai dengan penelitian ini.

2.3.3 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Menurut Spitzberg dalam Samovar, Porter, McDaniel (2010, h.446) menjelaskan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah “perilaku yang efektif dalam suatu konteks tertentu.” Seorang komunikator yang kompeten memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara efektif sesuai dengan anggota dari budaya yang memiliki latar belakang linguistik-kultural. Menurut Samovar, Porter dan Mc.Daniel (2010, h.447), menyebutkan terdapat lima komponen kompetensi komunikasi antarbudaya, yakni: motivasi, pengetahuan, keterampilan, sensitivitas dan karakter.

1. Motivasi

Merupakan hal yang logis dan alami untuk mengasumsikan bahwa seseorang termotivasi untuk berinteraksi dengan orang yang dekat dengannya baik secara fisik dan emosional. Walaupun hal ini merupakan reaksi normal, hal ini kadang menjauhkan orang tersebut untuk memahami pengalaman orang-orang. Motivasi

41

dalam hubungannya dengan kompetensi komunikasi antarbudaya berarti harus memiliki keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan komunikasi. Jadi, sebagai komunikator yang penuh motivasi, harus menunjukkan ketertarikan, berusaha untuk berbicara serta mengerti, dan menawarkan bantuan. Motivasi, yaitu keinginan untuk berkomitmen dalam hubungan, keinginan untuk belajar tentang diri pribadi dan orang lain dan berusaha untuk fleksibel. Motivasi adalah dimensi terpenting dalam komponen individual. Motivasi itu dapat berupa kebutuhan seseorang terhadap suatu informasi. Namun karena kebutuhan setiap individu berbeda-beda, jadi setiap individu memiliki kombinasi kebutuhan dan hal itu menentukan kekuatan motivasi seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Selanjutnya harus menunjukkan bahwa ingin berhubungan dengan orang lain dalam level personal dan memiliki perspektif internasional ketika berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang berbeda. Supaya komunikasi antarbudaya sukses, harus dimotivasi untuk maju melintasi batas pribadi anda dan berusaha mempelajari pengalaman orang-orang yang bukan bagian dari kehidupan anda sehari- hari. Seperti yang diingatkan oleh antropolog Jane Goodall, “Bahaya terbesar bagi masa depan kita adalah keapatisan.” (Samovar, Porter, Mc Daniel, 2010, h.461).

2. Pengetahuan

Menurut Samovar, Porter, Mc Daniel (2010, h.461) Komponen Pengetahuan dalam kompetensi komunikasi antarbudaya berarti bahwa perlu menyadari dan memahami peraturan, norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang berhubungan. Misalnya, perlunya pengetahuan ini seperti yang diaplikasikan pada dunia medis dijelaskan oleh Luckmann, “Perawat yang tidak mengetahui perbedaan budaya beresiko salah mengerti usaha pasien untuk berkomunikasi.

Sebagai akibatnya, pasien mungkin tidak menerima perawatan yang seharusnya.”

42

Morreale, Spitzberg, dan Barge mengindikasikan bahwa seseorang memerlukan dua jenis pengetahuan supaya lebih kompeten yaitu pengetahuan konten dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan konten meliputi pengetahuan mengenai topik apa, kata-kata, arti, terkait kebahasaan, verbal dan nonverbal dan seterusnya yang dibutuhkan dalam suatu situasi. Pengetahuan procedural merujuk pada pengetahuan mengenai bagaimana membuat, merencanakan, dan menunjukkan pengetahuan konten dalam situasi tertentu. Perlu kedua jenis pengetahuan dalam rangka menentukan strategi komunikasi yang tepat, protokol apa yang pantas, dan kebiasaan budaya apa yang perlu diamati.

3. Kemampuan

Sebagai komunikator antarbudaya yang kompeten harus dapat mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan serta mengaplikasikan perilaku khusus ini dalam cara yang memungkinkan untuk mencapai tujuan. Smith dan Bond menjelaskan poin ini ketika mereka mengindikasikan kemampuan tersebut perlu diadaptasi dalam peraturan interaksi yang pantas dalam budaya tuan rumah.

Sebenarnya setiap orang telah mempelajari kemampuan ini dalam hidupnya, sehingga dapat berkomunikasi dengan anggota budaya mereka sendiri. Harus disadari, bagaimanapun, bahwa kemampuan komunikasi yang sukses dengan suatu kelompok mungkin tidak pantas bagi budaya yang lain (Samovar, Porter, Mc Daniel, 2010, h.462).

4. Sensitivitas

Kompetensi komunikasi membutuhkan partisipan suatu interaksi yang sensitif satu sama lainnya dan terhadap budaya yang ditampilkan dalam suatu interaksi.

Sensitivitas, menurut Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya meliputi sifat fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai budaya lain, terbuka pada perbedaan, dan

43

merasa nyaman dengan yang lain. Pencer-Roberts dan McGovern menambahkan bahwa komunikator yang sensitif memiliki rasa toleransi terhadap ambiguitas. Hal ini berarti bahwa ketika melihat suatu kebiasaan dan perilaku yang aneh dan tidak biasa, tidak akan merasa bingung karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi atau menentang perilaku dan kebiasaan tersebut. Hal ini mengarah pada pemikiran lain oleh Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya yang percaya bahwa komunikator yang sensitif harus lebih toleran terhadap orang lain dan budaya lain serta mengembangkan perasaan allophila, yaitu menyukai yang lain dan perilaku yang menginspirasi (Samovar, Porter, Mcdaniel, 2010, h.462).

5. Karakter

Menurut P.B. Fitzwater (dalam Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010, h.463), bahwa karakter merupakan keseluruhan dari pilihan seseorang. Intinya, adalah bagaimana Anda melaksanakan pilihan tersebut ketika Anda berinteraksi dengan orang yang berbeda budayanya. Sifat yang diasosiasikan dengan karakter adalah apakah mereka dapat dipercaya atau tidak (Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:463). Sifat kadang diasosiasikan dengan orang yang terpercaya adalah kejujuran, penghargaan, kewajaran, dan kemampuan untuk mekakukan pilihan yang tepat, dan juga kehormatan, altruisme (sifat mementingkan kepentingan orang lain), ketulusan, dan niat baik.

2.3.4 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Menurut Chen & Starosta (1996) kompetensi komunikasi antarbudaya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan interaktan dalam memahami, menghargai, menoleransi dan mengintegrasikan perbedaan budaya, sehingga mereka siap menjadi menjadi anggota masyarakat dunia. Model ini menyajikan sebuah proses transformasional dari saling ketergantungan simetris yang dapat dijelaskan melalui tiga perspektif:

44

1. Affective, atau sensitivitas antarbudaya;

2. Cognitive, atau kesadaran antarbudaya; dan 3. Behavioural, atau kecakapan antarbudaya.

Ketiga perspektif ini sama-sama penting, tidak dapat dipisahkan dan membentuk gambaran yang holistik dari kompetensi komunikasi antarbudaya.

Perspektif sensitivitas antarbudaya (affective) berfokus pada emosi personal atau perubahan perasaan yang disebabkan oleh situasi, orang dan lingkungan tertentu (Triandis dalam Chen & Starosta, 2014). Menurut Bennett (1984, 1986) dalam Chen (2010, h.1), sensitifitas antar budaya adalah proses yang terus dibangun di mana seseorang dapat mengubah diri mereka dari tahap etnosentris menuju tahap etnorelatif. Empat atribut personal yang membangun perspektif ini adalah: (1) self-concept (konsep diri), cara seseorang memandang dirinya; (2) open-mindedness (berpikiran terbuka); (3) non-judmental attitudes, tidak berprasangka buruk; (4) social relaxation, kemampuan untuk mengungkap hanya sedikit kecemasan emosi dalam komunikasi antarbudaya.

Perspektif kesadaran antarbudaya (cognitive) menekankan pada perubahan pemikiran seseorang tentang suatu lingkungan melalui pemahaman perbedaan-perbedaan karakteristik dari budaya dirinya dan orang lain. Di antaranya yaitu, (1) awareness atau self-monitoring, kesadaran diri; (2) cultural awareness, kesadaran budaya. Pengetahuan

antarbudaya (intercultural awareness) yang merupakan aspek kognitif dari kompetensi komunikasi antarbudaya menekankan pada pemikiran individu tentang lingkungan malalui pemahaman karakteristik yang membedakan budayanya dan budaya orang lain.

Perspektif perilaku, ialah kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel serta pandai dalam menggunakan keahlian kognitif dan afektif yang dimilikinya. Perspektif ini menekankan pada bagaimana untuk bertindak secara efektif di dalam interaksi antar budaya.

Kecakapan antar budaya (intercultural adroitness) bertalian erat dengan ketrampilan

45

berkomunikasi. Hal ini meliputi perilaku verbal dan non-verbal yang memberikan interaksi yang efektif. Atribut-atribut yang membangun perspektif ini adalah: (1) Message skills, kemampuan untuk menggunakan bahasa orang lain; (2) Appropriate self-disclosure, pengungkapan diri yang layak; (3) Behavioral flexibility, kemampuan untuk memilih perilaku yang layak dalam konteks dan situasi yang berbeda; (4) Interaction management, kemampuan untuk berbicara dalam percakapan dan untuk memulai dan menghentikan pembicaraan secara layak; (5) Social skills, empati.

Dalam menelaah perspektif ini akan digunakan konsep-konsep Edward T. Hall membedakan tipe komunikasi antar budaya dalam low dan high context culture. Menurut Edward Hall dalam Liliweri (2009) budaya konteks tinggi, ditandai dengan penyajian pesan komunikasi tidak secara eksplisit, tidak fokus ke persoalan, terlalu banyak basa-basi.

Singkatnya, tidak mengungkapkan secara terbuka apa yang menjadi masalah. Sebaliknya, budaya konteks rendah, cenderung menyajikan pesan secara eksplisit, bicara langsung, lugas dan berterus terang. Berbagai penelitian menunjukkan, berbagai kelompok budaya atau etnis di Indonesia. Budaya, menurut Geert Hofstede, perbedaan-perbedaan budaya, merupakan

”the collective programming of the mind which distinguishes the member of one human group from another” (Anna Ruttger, 2018). Pada high-context cultures sebagian besar informasi dalam konteks fisik atau diinternalisasikan di dalam orang-orang yang berinteraksi.

Sangat sedikit informasi yang berupa pesan-pesan verbal. Pada low-contextt cultures sebagian besar informasi berupa pesan-pesan verbal. Jepang, Korea dan negara-negara Asia lainnya merupakan high-context cultures. Amerika Serikat, Jerman, Swiss dan negara Eropa Barat lainnya adalah low-context cultures.

Individu yang termasuk dalam high-context culture lebih menyukai penyampaian pesan secara non verbal dengan cara yang tidak langsung. Untuk memahami pesan dalam masyarakat high-context culture satu sama lain perlu melibatkan jaringan konteks yang luas

46

dan erat misalnya keluarga, teman, kolega. Berbeda dari masyarakat high-context culture, suatu informasi bagi masyarakat low-context culture hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu secara pribadi. Pada komunikasi low-context, pesan disampaikan melalui pernyataan-pernyataan atau simbol-simbol yang jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami makna. Dalam komunikasi low-context, situasi dan perilaku-perilaku non verbal sifatnya relatif kurang penting, demikian juga masyarakat tipe ini sangat jarang melibatkan suatu pesan dengan subjek dari jaringan informasi yang luas. Karena itu, untuk memahami suatu pesan, mereka mengantisipasinya dengan cara meminta berbagai informasi terperinci yang mendukung pesan tersebut seperti dinyatakan dalam Sarah-Jane Pill (2009, h.27) dalam Sugiastuti (2018, h.9). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat dari negara-negara low context culture cenderung lebih bersifat individualis sementara high context culture cenderung lebih kolektif. Hofstede (2011, h.193) menjelaskan perbedaan dari budaya

individualis dan kolektif. Individu dalam budaya kolektif memperhatikan kesejahteraan dari in- group, meletakkan tujuan dari kelompok dahulu diatas tujuan pribadi dan perilaku mereka

diatur oleh norma sosial daripada sikap pribadi. Individu sejak lahir bergabung dalam kohesivitas kelompok yang kuat dan keluarga besar. Sedangkan, individu dalam budaya individualis lebih fokus pada tujuan personal dibandingkan kelompok dan berperilaku sesuai dengan sikap mereka daripada norma dalam masyarakat.

Menurut Chen (2014, h.10) individu yang kompeten dalam konteks antarbudaya harus memiliki kapasitas, antara lain: mengetahui nilai-nilai budayanya sendiri dan orang lain, menunjukkan perasaan positif, menghargai, dan bahkan menerima perbedaan-perbedaan budaya serta mampu bertingkah laku dengan pantas dan sesuai dalam konteks interaksi antarbudaya. Chen (2014, h.12) juga mengemukakan bahwa sensitifitas antabudaya merupakan konsep yang dinamis. Seseorang yang memiliki sensitifitas

47

antabudaya harus mempunyai keinginan memotivasi diri sendiri untuk memahami, menghargai, dan menerima perbedaan budaya.

Berikut adalah tabel yang memerinci aspek-aspek dalam teori kompetensi komunikasi antarbudaya dari Samovar, Porter dan Mc.Daniel (2010, h.20) dan Chen dan Starosta (2014, h.354):

Tabel 2.2

Aspek-aspek dalam Kompetensi Komunikasi Antarbudaya menurut Samovar,Porter dan Mc.Daniel (2010) dan Chen & Starosta (2014)

Samovar, Porter, Mc.Daniel (2010) Chen & Starosta (2014) 1. Motivation (motivasi)

a. Memiliki keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan b. komunikasi

c. b. Menunjukkan ketertarikan

c. Keinginan untuk berkomitmen dalam hubungan dalam level personal dan memiliki perspektif internasional ketika berinteraksi dengan orang dari budaya berbeda

d. Keinginan untuk belajar tentang diri pribadi dan orang lain

e. e. Berusaha untuk fleksibel

f. Mempelajari pengalaman orang-orang yang bukan bagian dari kehidupan kita sehari- hari.

a. Menyadari dan memahami peraturan, norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang berhubungan.

b. Memahami 2 jenis pengetahuan supaya lebih kompeten yaitu pengetahuan konten (terkait kebahasaan: verbal dan nonverbal) dan pengetahuan procedural (mengenai bagaimana membuat, merencanakan, dan menunjukkan pengetahuan konten dalam situasi tertentu)

Cognitive (kesadaran antarbudaya) Menekankan pada perubahan pemikiran seseorang tentang suatu lingkungan melalui pemahaman perbedaan-perbedaan karakteristik dari budaya dirinya dan orang lain. Di antaranya yaitu,

a. self-awareness atau self-monitoring, kesadaran diri

b. cultural awareness, kesadaran budaya c. intercultural awareness, pengetahuan

48

Perspektif perilaku, fleksibel, pandai dalam menggunakan keahlian kognitif dan afektif yang dimilikinya, bertindak secara efektif di dalam interaksi antar budaya, Terampil berkomunikasi, meliputi perilaku verbal dan non-verbal yang memberikan interaksi yang efektif.

Atribut-atribut yang membangun perspektif ini adalah: konteks dan situasi yang berbeda (4) Interaction management, kemampuan

untuk berbicara dalam percakapan dan untuk memulai dan menghentikan pembicaraan secara layak

(5) Social skills, empati 4. Sensitivity (Sensitivitas)

Fleksibel, Sabar, Empati, Keingintahuan mengenai budaya lain, Terbuka pada perbedaan, Merasa nyaman dengan yang lain, Toleransi terhadap ambiguitas, Mengembangkan perasaan allophila, yaitu menyukai yang lain dan perilaku yang menginspirasi

5. Character (Karakter)

Kejujuran, Penghargaan, Kewajaran

Kemampuan untuk melakukan pilihan yang tepat, Kehormatan, Altruisme (sifat mementingkan kepentingan orang lain), Ketulusan dan niat baik

49

2.4 Alur Pemikiran

Alur Pemikiran ini difokuskan pada gegar budaya yang dialami oleh mahasiswa asing yang mengikuti program Darmasiswa di UNJ. Penelitian ini menggunakan post konstruktivisme dengan teori Gegar Budaya dan teori Kompetensi Komunikasi Antarbudaya untuk menganalisis tahapan gegar budaya. Tahapan gegar budaya tersebut meliputi fase honeymoon, fase frustation, fase recovery, dan fase adjustment/adaptation.

Paradigma Post Konstruktivisme

Studi Kasus

Kompetensi Komunikasi Antar Budaya Mahasiswa Asing di Universitas Negeri

Jakarta

Gegar Budaya:

Fase Honeymoon/

Optimistic

Fase Culture Shock/

Frustration Fase Recovery Fase

Adjustment/Adaptation

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Pengalaman gegar budaya yang dialami oleh mahasiswa asing dan bagaimana mengatasi hambatan-hambatan saat berkomunikasi antarbudaya serta dampaknya jika tidak memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya

Dokumen terkait